Oleh Nasbahry Couto
Tulisan-tulisan tentang konflik di Minangkabau sebelumnya bukanlah tentang budaya konflik tetapi tentang konflik eksternal (Nasbahry Couto 2023)
6. Tema Konflik dalam Budaya Minang
6.1. Konflik Internal
1). Pengalaman Masa Kecil
Di manapun di atas dunia, pengalaman masa kecil adalah yang paling indah dan menyenangkan. Namun ada juga pengalaman masa kecil yang mengalami konflik internal seperti ketegangan, ketakutan, kekecewaan, kesedihan, cinta monyet dan sebagainya. Bisa jadi konflik internal itu karena bandel atau terlalu di sayang nenek, yang musuhan dengan bapak, punya bapak atau ibu yg galak (pamberang) dan seterusnya. Pada masa kini pengalaman konflik itu juga di alami anak2, tetapi umumnya sudah tergantikan dalam pengalaman di pemainan game atau baca komik.
Seperti yang diketahui sejak bayi anak itu diasuh dengan penuh kasih sayang. Dan sekarang mesti keluar rumah, dan tidak boleh lagi tidur di rumah. Hal itu tentu menegangkan bagi anak-anak. Pengalaman itu tentu awalnya menyakitkan. Karena bersama dengan teman laki2 di mushola, tetap saja ada yg usil dan menimbulkan perkelahian. Namun setelah akrab tentu saja membentuk perkawanan dan petualangan.
Jangankan masuk komunitas surau, masuk sekolah TK saja bisa menegangkan. Ketegangan anak dan remaja bisa terjadi saat bermain, perang antar kampung dan konflik antar sekolah dan teman. Konflik teritorial, memusuhi orang asing masuk ke kampung. Beberapa cerita di bawah ini menjelaskan hal itu.
Adalah sebuah tradisi dalam budaya minang zaman lampau bahwa seorang anak laki-laki tidak boleh tidur di rumah orang tuanya tetapi tidur di surau sukunya atau di mushola. Di sana mereka belajar banyak hal. Seperti belajar mengaji, berpidato adat, dan dapat dilihat sebagai persiapan untuk merantau ke luar dari komunitasnya.
Musala atau Musholla (Arab: مصلّى) adalah tempat atau rumah kecil menyerupai masjid yang digunakan sebagai tempat mengaji dan salat bagi umat Islam. Musala juga sering disebut dengan surau atau langga. Tetapi pada budaya minang surau suku di bangun oleh masing2 suku.
Ilustrasi mengenai ini diceritakan oleh Jamilus dalam sebuah makalahnya, yang berjudul “Mencari Habitat Budaya pada Silat Harimau/ Silektuo: Seni Mempertahankan Diri Orang Minangkabau”, yang diutarakan pada Seminar Internasional Bahasa dan Seni (6-7 oktober, 2013.
Menurut Jamilus konsep merantau itu ternyata bukan hanya pergi ke negeri orang, sejak kecil orang minang (laki-laki) sudah "hijrah" (merantau), dari rumah orang tuanya ke "surau", dia tidak boleh tinggal di rumah orang tuanya setelah masa akil-balik (remaja).
Menurutnya ada empat konsep "merantau" (terusir-usir), yang menyebabkan kaum laki-laki belajar silat untuk mempertahankan dirinya. Makalah ini adalah hasil penelitian Jamilus, untuk mengambil S3 di Malaysia.
Tetapi konsep merantau menurut Naim ( 1974: 3) dari sudut sosiologi mengandung enam
unsur pokok, yaitu (1) meninggalkan kampung halaman, (2) dengan kemauan sendiri, (3) untuk
jangka waktu yang lama atau tidak, (4) dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu,
atau mencari pengalaman, (5) biasanya dengan maksud dengan kembali pulang, dan (6)
merantau ialah lembaga sosial yang membudaya.
Dengan demikian merantau itu ada rantau kecil dan ada rantau besar. Dan bagi anak'ke luar dari rumah itu (komunitasnya) merupakan sebuah pengalaman petualangan
Anak Mama
Sebutan anak mama itu oleh Gito adalah bagi anak yg tidak mau tidur di surau atau musala.
Gito Suprianto (lahir 1958) yang berbapak Jawa dan beribu Minang. Bapaknya mungkin bagian transmigran zaman gubernur Harun Zain tahun 60-an, setelah wilayah Kab. Pesisir Selatan dibuka untuk transmigrasi.
Menurut cerita bapaknya yang hanya tamat SD lalu jadi pembantu seorang dokter, yang juga orang Jawa. Karena di zaman itu langka tenaga keperawatan dia mendaftar jadi tenaga keperawatan di rumah sakit tentara di Bukittinggi atas anjuran dokter itu. Di sanalah ayah dan ibunya bertemu, dan setelah kawin tinggal di asrama tentara dan bekerja di rumah sakit yang sama.
Hanya beberapa tahun Gito tinggal di Bukittinggi dan di asrama tentara. Jadi kenangannya tentang tinggal di kota Bukittinggi tak seberapa ketimbang tinggal di kampungnya di Kampuang Lua. Yaitu suatu daerah baru di Salido kabupaten Pesisir Selatan, propinsi Sumatera Barat. Jadi dia menyambung SD nya di Kampuang Lua. Dan hidup sebagaimana anak2 kampung di sana.
Menurut cerita dia jarang tidur di rumah karena tradisi di sana sekitar tahun 65 an masih kental tradisi minangnya. Dia tidur di surau/musholla karena anak2 yg tidur di rumah akan di ejek oleh teman2nya dan disebut sebagai anak mama. Itulah salah satu alasan baginya dan teman2nya untuk tidak tidur di rumah. Tetapi di mushola.
Menurutnya walaupun ayahnya orang Jawa namun perasaan dan pengalamannya lebih sebagai orang minang. Dan pengalaman itu diperolehnya sampai saat SMA. Waktu dia memasuki sekolah setingkat SMA dia tidak lagi tidur di Mushola karena pindah ke kota padang.
Menurutnya pergaulan anak2 di zaman sekarang berbeda dengan di zaman lampau. Dan pergaulan masa kini bisa penuh bahaya jika tidak ada kontrol dari orang tua. Baik dalam pemakaian Hp, dan komputer dan bergaul dengan siapa dan jenis permainan yg akan menghabiskan waktu di luar kegiatan positif dan belajar. Oleh karena itu tidur di luar rumah tidak di anjurkan.
Namun dia mengakui dahulu tidur di musala banyak pelajaran yg diperoleh seperti belajar silat. Main randai dan juga belajar permainan yg tidak dikenal oleh anak2 zaman sekarang. Apalagi daerah pesisir pantai.
Banyak kenangan masa kecil yg berhubungan dengan bermain di pinggir pantai dan menangkap ikan di laut. Mengelana di rawa dan pinggir pantai mencari telur penyu.
Zaman kolonial Belanda daerah Salido memang pusat perdagangan. Apalagi di Salido dibuat belanda tambang emas. Dan Belanda mendatangkan orang-orang hitam dari Afrika sebagai tahanan budak untuk kerja di tambang emas. Umumnya yg di datangkan itu laki-laki sehingga terjadi perkawinan dengan perempuan minang atau penduduk lokal.
Menurut Gito di pulau Aur dan beberapa pulau kecil di pesisir selatan masih banyak keturunan campuran Afrika ini. Namun kulitnya tidak terlalu hitam namun posturnya umumnya besar dan tinggi dan pekerjaan mereka di samping jadi nelayan juga pengumpul rumput laut. Disamping otang orang afrika juga banyak pendatang lain seperti orang makasar dan lainnya yg datang ke sana.
Hal yang sama sebenarnya terjadi atas penduduk Pariaman yang merupakan kota internasiomal di masa lampau yg banyak di datangi oleh berbagai bangsa. Misalnya dari aceh; arab dan india dan bercampur dengan penduduk asli hal ini di jelaskan oleh Efrianto. A dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat dalam sebuah jurnal. Dan merekakah yg mungkin mengembangkan budaya tabut pariaman. Dan juga kekhasan budaya pariaman yg tidak terdapat di kawasan lainnya.
Pengalaman yg mengasikkan sekalian menegangkan adalah saat ikut ayahnya yg berprofesi jadi "mantari" rumah sakit. Yaitu suatu julukan bagi seorang ahli obat tetapi bukan dokter. Dia belajar dari ayahnya untuk menyunat anak2. Sebagai anak kedua laki-laki ikut ayahnya pada hari tertentu berkeliling kampung untuk mengobati orang. Dan itu dilakukannya dengan bersepeda.
Kampung Beda: ba nagari, ba kampuang
Lain cerita Gito. Lain pula cerita si Mes. Dia sebenarnya anak Kampung Pisang, yaitu kampung yg tidak berapa jauh dari kota Bukittinggi sekitar 13 km ke arah barat.
Di kota Bukittinggi, mereka tinggal di daerah pinggiran kota arah yg bernama kampung birugo di pinggir jalan arah ke kota Padang.
Menurutnya ada perasaan bahwa dia tidak tinggal di kampung sendiri . Karena sering di buli dan dimusuhi oleh anak kampung birugo, misalnya saat sekolah, terutama saat mengaji atau mandi di kolam mesjid, bermain di sawah atau permainan tertentu seperti main layang-layang.
Oleh karena itu dia berkawan dengan anak tentara atau polisi yg lokasi asrama itu tidak jauh dari birugo ke arah utara. Sehingga jika timbul perkelahian dia minta bantu memusuhi anak birugo yg biasanya takut dengan anak2 asrama tentara itu yang di sebutnya anak Jawa. Ini sebuah pengalaman yg tidak bisa dilupakan.
Permainan yg lazim di mainkan pada saat itu yg khas adalah bermain tondeh (buah kemiri) main kelereng, main kuaci, main patok lele, main kucing-kucingan (mandok-mandokan).
Dan ada pula permainan musiman seperti main layang-layang jika orang telah "manyabik padi", main adu jengkrik apabila musim berladang, dan main "mariam batuang" dan main "pukul beduk" di surau saat mau lebaran atau perayaan hari raya dan atau atau bulan puasa. Pada tahun 60 an permainan seperti itu lazim ditemukan pada anak- anak di samping bertualang ke ngarai atau ke berbagai tempat dan wilayah yang dianggap menarik untuk di kunjungi di bukittinggi maupun di pesisir.
Anak2 perempuan juga punya permainan yg khas seperti main petak umpet, main masak-masakan atau kawin-kawinan. Dan ada juga yg ikut permainan anak laki-laki seperti main kelereng, main kucing-kucingan dan sebagainya.
Berbeda dengan Gito yg tinggal di surau atau mushala di kampuang lua , Salido, Painan. Si Mes dari kecil tidur di rumah orang tuanya yg sebenarnya rumah kontrakan juga di Birugo itu sampai menginjak umur SMA. Waktu usia SMA baru tidur di luar rumah dan orangtuanya mencarikan tempat di luat rumah untuk disewa, dan hanya pulang ke rumah waktu jam makan. Kemudian keluarga ini pindah rumah kontrakan lagi ke daerah gurun Panjang di Bukittinggi dan terakhir tahun 1971 orang tuanya membangun rumah sendiri.
Dan ada pula teman yg benar2 punya kamar khusus di mesjid dan sekalian jadi garin di sana. Dan itu terjadi saat dia di SMA.
Artinya sekitar tahun 60 sd 70 an anak2 minangkabau tidak lagi atau kurang mengenal tidur di surau dan belajar berbagai hal untuk dipersiapkan untuk merantau. Jadi modal merantau benar2 hanya pengetahuan dari sekolah dan lingkungan rumahnya.
Apalagi zaman sekarang. Anak2 laki laki minang sudah sama saja dengan etnis lainnya. Apalagi jika orang tuanya pedagang kaya atau PNS budaya minang seperti yg di lakoni oleh anak2 minang zaman lampau umumnya sudah menghilang.
Orang luar: Preman Pasa dan tukang Palak
Efek negatif dari sistem suku dan tanah suku itu selalu ada. Dan tidak semuanya selalu berarti positif dan baik. Misalnya kedekatan dan ikatan yg kuat terhadap teritorial tanah mengakibatkan orang yg datang dari luar teritorial itu akan terlihat sebagai orang asing dan bahkan dapat dieksploitasi oleh anggota keluarga pemilik tanah.
Beberapa ilustrasi di bawah ini menjelaskan hal itu.
Pada suatu ketika Pantai Carocok di Kota Painan pesisir selatan terkenal dengan tetangga kami berlibur ke sana dengan mobil sewa saat liburan hari raya.
Perjalanan cukup jauh dari kota padang memang melelahkan apalagi di sambut oleh orang2 yg memungut parkir seenaknya dan membawa parkir mobil ke tanah kosong milik pribadi mereka dengan biaya yg tidak masuk akal.
Ada cerita lain lagi.
Di suatu tempat tertentu di bangun sebuah komplek perumahan. Dalam membangun komplek perumahan itu orang-orang yg mengangkut bahan bangunan di cegat oleh para pemuda kampung agar membayar uang jalan bagi setiap truk yg meliwati jalan itu. Kalau tidak mereka akan mencuri bahan bangunan yg di tumpuk di gudang proyek itu. Selain cerita ini. Banyak cerita lain lagi yg menjelaskan hal seperti ini.
Bacaan lebih lanjut tentang kehidupan di surau tulisan nasbahry lihat disini
2) Kehidupan Perempuan Sebelum Perkawinan di Minangkabau
Sebagai etnis/suku yang memegang paham matrilineal, Minangkabau meletakkan wanita dalam posisi yang sangat istimewa.
Di alam Minangkabau,wanita amat sangat dihormati. Perempuan memiliki tempat dan hak suara di dalam kaum. Pendapatnya didengar, pertimbangannya diperlukan. wanita benar-benar mempunyai nilai.
Keistimewaan yang diberikan kepada kaum wanita Minangkabau itu tentu harus diikuti dengan serangkaian usaha untuk menjaganya. Sebab, sesuatu yang istimewa adalah sesuatu yang terjaga dan dipelihara sebaik mungkin.
Oleh karena itu, para pendahulu menetapkan aturan atau pendidikan terhadap anak-anak wanita agar tetap menjaga keistimewaan mereka. Nuansa pendidikan itu disebut dengan sumbang, yang dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sumbang ini terdiri dari 12 butir yang bisa kita bahasakan sebagai 12 budaya terlarang bagi wanita Minangkabau. Budaya dalam konteks ini berarti kebiasaan yang tidak boleh dilakukan oleh wanita Minang demi menjaga warisan budaya dari para pendahulunya. Lihat kutipan ini.
1. Sumbang Duduak
Duduk yang sopan bagi wanita Minang adalah bersimpuh, bukan bersila macam laki-laki, apalagi mencangkung atau menegakkan lutut._ Ketika duduk di atas kursi duduklah dengan menyamping, rapatkan paha. Jika berboncengan jangan mengangkang.
2. Sumbang Tagak
Perempuan Minangkabau dilarang berdiri di depan pintu atau di tangga. Jangan berdiri di pinggir jalan jika tidak ada yang dinanti. Sumbang berdiri dengan laki yang bukan muhrim.
3. Sumbang Jalan
Ketika berjalan,wanita Minang harus berkawan,. tidak boleh jalan sendiri._ Jangan berjalan tergesa-gesa apalagi mendongkak-dongkak. Jika berjalan dengan laki-laki berjalanlah di belakang. Jangan menghalagi jalan ketika bersama dengan teman sebaya.
4. Sumbang Kato
Berkatalah dengan lemah lembut, berkatalah sedikit-sedikit agar paham maksudnya, jangan serupa murai batu atau serupa air terjun._ Jangan menyela atau memotong perkataan orang, dengarkanlah dulu hingga selesai. Berkata-katalah yang baik.
5. Sumbang Caliak
Kurang tertib seorang wanita Minang ketika suka menantang pandangan lawan jenis, alihkanlah pandangan pada yang lain atau menunduk dan melihat ke bawah._ Dilarang sering melihat jam ketika ada tamu. Jangan suka mematut diri sendiri.
6. Sumbang Makan
Jangan makan sambil berdiri, nyampang makan dengan tangan genggamlah nasi dengan ujung jari, bawa ke mulut pelan-pelan dan jangan membuka mulut lebar-lebar_. Ketika makan dengan sendok jangan sampai sendok beradu dengan gigi. Ingat-ingat dalam bertambah (batambuah).
7. Sumbang Pakai
Jangan mengenakan baju yang sempit dan jarang. Tidak boleh yang menampakkan rahasia tubuh apalagi yang tersimbah atas dan bawah._ Gunakanlah baju yang longgar, serasikan dengan warna kulit dan kondisi yang tepat, agar rancak dipandang mata.
8. Sumbang Karajo
Profesi/pekerjaan perempuan Minang adalah yang ringan serta tidak rumit._ Pekerjaan sulit serahkanlah pada kaum laki-laki. Jika kerja di kantor yang bagus adalah menjadi guru.
9. Sumbang Tanyo
Jangan bertanya macam menguji. Bertanyalah dengan lemah lembut_. Simak lebih dahulu baik-baik dan bertanyalah jelas-jelas.
10. Sumbang Jawek
Ketika menjawab, jawablah dengan baik, jangan jawab asal pertanyaan, jawablah sekadar yang perlu dijawab tinggalkan yang tidak perlu.
11. Sumbang Bagaua
Jangan bergaul dengan laki-laki jika hanya diri sendiri yang wanita. Jangan bergaul dengan anak kecil apalagi ketika ikut permainan mereka. Peliharalah lidah dalam bergaul. Ikhlaslah dalam menolong agar senang teman dengan kita.
12. Sumbang Kurenah
Tidak baik berbisik-bisik saat tengah bersama. Jangan menutup hidung di keramaian. Jangan tertawa di atas penderitaan orang lain, apalagi hingga terbahak-bahak. Jika bercanda, secukupnya saja dan diagak-agak, agar tidak tersinggung orang yang mendengar. Jagalah kepercayaan orang lain, jangan seperti musang yang berbulu ayam.
Keistimewaan tentu harus dijaga dengan usaha yang ekstra.
Bagai berlian yang dikurung di etalase kaca anti pecah dan bergembok, tak sembarang orang bisa menyentuhnya.
Perempuan Minangkabau sangat berharga, bahkan jauh lebih berharga dari berlian yang dicontohkan itu Berharganya dan istimewanya mereka selaras dengan harga diri yang perlu mereka pertahankan dengan teguh.
Ketika perempuan Minang bisa menjaga semua itu. Ketika perempuan Minang mampumenjaga diri dari 12 sumbang yang telah dijelaskan di atas, dari situlah kecantikan sejatiakan memancar dan kecantikan itu sampai kapanpun takkan pernah pudar.
Kalau kita amati, tradisi Minangkabau, secara umum terlihat kesan seakan tidak menghargai anak-laki-laki. Karena anak-laki-laki dianggap akan pergi dari “habitatnya” untuk kawin ke suku lain, dan di suku lain itu dia hidup menumpang sampai dia meninggal. Kenapa menumpang? Tiada lain karena jika dia meninggal umumnya dikuburkan bukan di pekuburan pihak istrinya, tetapi dikuburkan di pandam pekuburan pihak orang tuanya atau suku aslinya.
Menghidupi istri bagi orang minang pada hakikatnya memelihara suku “lain” yang bukan sukunya. Sebaliknya memelihara anak laki-laki bagi perempuan minang -- ibarat menanam kelapa condong- sebab yang akan menikmati “hasil pemeliharaan” itu adalah suku lain. Dengan perkataan lain, walaupun susah payah memelihara anak laki-laki, yang akan memetik hasil jerih payahnya itu adalah suku lain, bukan untuk sukunya.
Pandangan seperti ini adalah umum bagi orang Minangkabau, yang masih kuat memelihara tradisinya. Dengan pandangan seperti ini, akan berimplikasi ke banyak hal, diantaranya banyaknya orang tua kurang serius dalam membina pendidikan, karir dan kurangnya penghargaan terhadap anak laki-laki. Hal ini bukan hanya semacam teori, tetapi dalam pengamatan terhadap kasus-kasus khusus oleh penulis, memang nampak perbedaan pelayanan terhadap anak-laki-laki dengan perempuan.
Sebagaimana yang diketahui dalam tradisi Minangkabau, yang bersifat “matrilineal”, yang mewarisi harta dan tradisi suku adalah anak perempuan, artinya jika suku itu bernama “bodi Chaniago” maka semua anak baik laki-laki maupun perempuan akan bersuku Bodi Chaniago. Yang akan mewarisi harta pusaka tinggi dari “suku” itu hanya anak perempuan. Harta suku atau yang disebut “pusako tinggi” itu dapat berupa rumah, sawah, ladang, pandam pakuburan, segala jenis tanaman, tanah "ulayat suku", surau suku dan sebagainya yang merupakan warisan dari suku tersebut.
Sedangkan anak laki-laki tidak mendapatkan apa-apa. Kecuali jika dia sudah tua dan atau terlantar. Sering terjadi jika seorang laki-laki yang sakit atau terlantar, tidak berdaya lagi tidak begitu diperhatikan lagi oleh pihak istrinya. Jika hal ini terjadi maka dia otomatis dia akan kembali ke habitat suku “asli”nya, untuk dipelihara oleh saudara perempuannya atau keponakannya (anak dari saudara perempuannya). Demikian juga jika istrinya meninggal, maka jika dia ingin kawin lagi dia akan pindah ke habitat (suku baru) yang dikawininya dan meninggalkan habitat istri lamanya tanpa membawa apa-apa.
Konflik Internal Jika Suami Meninggal
Dikampung itu terdapat rumah yang penghuninya semuanya para janda, kecuali anak2nya. Seorang nenek bernama "mak gaek" yg sudah berumur 80 tahun. Dua anaknya juga janda yang pertama sebut saja Umi umur 59 tahun punya anak tiha orang satu laki-laki bernama Ijep dan dua perempuan bernama ulan dan ani.
Kami perhatikan saat suami terakhir dari Umi masih hidup, sama sekali tidak ada perhatian terhadap suaminya, apalagi saat dia sakit sakitan. Akhirnya dia dianggap hanya jadi beban dan dikembalikan ke keluarga asalnya, tetapi karena adik2nya sudah merantau semua maka dia pergi ke Pakanbaru untuk tinggal di sana. Tragisnya dia meninggal di jalan saat mau pulang ke Padang.
Mungkin ini sebuah dilema sebuah keluarga petani daerah pinggiran kota. Mereka dipengaruhi oleh budaya kota. Sekaligus masih mempertahankan corak budaya minang yg sifatnya komunal di rumah gadang (disebut rumah tuo atau rumah asal)
Menurut cerita Umi ini semasa hidupnya suka keluyuran kemana-mana. Dimana orang ada pesta perkawinan dia pasti ada disana disamping kerja tani di sawah menanam padi dan kebun, dan dia juga sudah beberapa kali kawin dan ketiga anaknya itu ternyata berasal dari bapak yang berbeda.
Adik ibu Umi bernama Onang juga janda. Dia pernah bekerja di hotel Makhudum di Padang sebagai petugas cleaning servise. Akhirnya keluar karena di larang oleh orang kampung.
Pada suatu saat Onang menderita sakit stroke dan tidak bisa apa2 lagi dan tanpa suami dan anak. Kehidupan mereka miskin sekali dan hanya mengharapkan hasil padi dari sebidang tanah pembagian dari sukunya bodichaniago.
Yang menarik, kisah- kisah kumpulan keluarga janda ini, banyak ditemui di tempat lain di sumatera barat.
Penulis sebagai pengamat sosial sering menemukan yg seperti ini. Dimana di satu rumah terdiri dari nenek yang janda dan anak-anaknya juga janda dan mereka giat berdagang dan mengumpulkan uang kalau tidak untuk naik haji tentu untuk biaya anak cucunya sekolah atau kuliah. Mereka tampak senang tanpa suami hidup dari hasil tani tanah suku, beberapa keluarga berkumpul dalam rumah komunal yang yang didirikan di tanah suku. Cerita tentang hal ini cukup banyak.
Dari sini timbul kesan bahwa mereka sudah biasa hidup komunal tanpa seorang laki-laki di rumahnya kecuali laki-laki itu anaknya sendiri
Akhir cerita anak laki2 satu satunya Ijep merantau ke Jakarta berjualan obat. Dan Ijeplah yg menjadi tulang punggung membiayai kehidupan mereka.
Ijep juga pernah kawin tetapi dalam perantauan di Jakarta istrinya sakit dan meninggal demikian juga anaknya yg baru lahir. Sebuah model konflik batin karena kehidupan model komunal minang masa lampau terpaksa dilakukan.
Konflik Internal Jika Adat Nagari atau Suku Berbeda: Antara Lubuk Alung dan Payakumbuh
Dalam kehidupan modern adat selingkar nagari itu ternyata masih berlaku. Misalnya teman kami yang menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swata di kota Padang. Katakanlah dia bernama Youma S.
Dia bercerai dengan istri pertamanya karena menganggap mertuanya yang orang payakumbuh selalu merongrong dia. Dan kurang menghargai dia.
Setelah diselidiki terjadinya konflik ini karena adat yg berlaku di Payakumbuh dari pihak istrinya berbeda dengan adat yang berlaku di Lubuk Alung yg negeri asalnya. Kedua tradisi ini menumbuhkan sikap yg berbeda pada masing-masing pihak yang bertikai yang ternyata bisa menimbulkan konflik dan perceraian jika masing2 pihak tidak toleransi.
Di daerah Lubuk Alung berlaku adat Pariaman dimana laki2 dihargai dan juga "dibeli " saat perkawinan. Pariaman adalah salah satu dari sedikit daerah di Ranah Minangkabau yang mempertahankan adat membeli laki-laki dalam pernikahan. Tradisi membeli dengan sejumlah uang ini disebut dengan Tradisi Bajapuik yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Pasalnya, biasanya seorang anak laki-laki adalah tumpuan harapan dari keluarganya, sementara ketika mereka menikah menjadi tumpuan harapan keluarga perempuan. Di situlah alasannya, kenapa laki-laki “dibeli” di Pariaman untuk menjalankan dan melanggengkan tradisi pernikahan di ranah Minang itu.
Sebaliknya adat yg berlaku di Payakumbuh sangat berbeda dengan tradisi yg berlaku di Pariaman. Dimana jika terjadi pernikahan maka pihak laki-laki yg harus turun tangan. Tradisi ini di Payakumbuh disebut dengan Maisi sasuduik.
Maisi sasuduik (biasa disebut juga sasuduik, manyuduik, atau isi biliak) merupakan salah satu tradisi pernikahan urang Minangkabau di Luhak Lima Puluh Kota, Pesisir, Kabupaten Agam, Bukittinggi. Tradisi ini menjadi syarat bagi pihak laki-laki untuk meminang perempuan di sana. Dinamakan maisi sasuduik dikarenakan syarat yang mesti di penuhi oleh laki-laki yaitu melengkapi isi kamar perempuan, paling sedikit : tempat tidur, kasur, meja rias, lemari, selebihnya disesuaikan dengan kesanggupan dari pihak laki-laki.
Demikian juga saat sang suami sudah menjadi urang sumando maka merekalah yg turun tangan dalam segala hal termasuk menghidangkan makanan (manatiang piriang) untuk tamu. Jadi untuk menjadi urang sumando di payakumbuh itu bebannya berat. Akibat tradisi seperti ini muncul kesan bahwa tugas seorang sumando sangat berat yg kurang diterima oleh sebagian suku lain di minang.
Bacaan lebih lanjut tentang laki2 bajapuik di pariaman
Bacaan lebih lanjut tentang tradisi yg berlaku dibdaerah lima puluh kotaò
Dilema Perempuan Minang jika Suami Tersinggung
Kamari bedo adalah bahasa Minangkabau yang digunakan untuk menggambarkan posisi yang sulit. Kamari bedo memilik
arti semua salah (Suryadi, 2010).
Istilah ini terdapat pada daerah Minangkabau, dimana kata kamari bedo juga digunakan
untuk menggambarkan perempuan berada di posisi yang sulit. Apapun posisi yang dipilih oleh perempuan ini dalam menjalani
kehidupannya, selalu tidak menguntungkan pihak perempuan itu. Posisi seperti ini tidak terlepas dari struktur masyarakat Minangkabau.
Minangkabau sering dikenal sebagai bentuk kebudayaan dengan sistem matrilineal, artinya garis keturunan diperoleh dari garis ibu, maka setiap aturan adat perempuan menempati posisi yang penting. Masyarakat Minagkabau
menempatkan perkawinan menjadi persoalan dan urusan kaum kerabat, mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan, perkawinan, bahkan sampai kepada akibat perkawinan tersebut. perkawinan bukan masalah sepasang manusia saja yang hendak membentuk rumah tangga, tetapi hal ini merupakan urusan bersama, sehingga masalah pribadi dalam hubungan suami istri tidak terlepas dari masalah bersama.
Selanjutnya terdapat tradisi adat laki-laki yang sudah menikah akan tinggal di rumah istrinya yang disebut sistem matrilokal. Sebutan laki-laki di rumah istrinya adalah sumando, dia dianggap dalam lingkungan keluarga istrinya sebagai tamu terhormat dan dianggap juga sebagai pendatang. Sebagai pendatang dia berada pada kedudukan abu di atas tunggul, jika ada angin kencang abu akan melayang (Nofiardi, 2018).
Posisi sumando dan kerabatnya lebih tinggi dari pihak perempuan beserta keluarganya, oleh sebab itu pelayanan terhadap sumando bagaikan manitiang minyak panuah. Artinya orang sumando itu harus dijaga perasaannya agar tidak tersinggung seperti orang membawa minyak dalam talam, bila tergoyang sedikit saja, maka minyak akan tumpah. Ibarat menjaga hati seorang tamu yang sangat dimuliakan dan dipandang sebagai tamu, bukan sebagai anggota kerabat (Navis, 1984).
Kedudukan seorang suami di Minangkabau dianggap sesuatu yang berharga, tetapi posisinya juga sangat rapuh. Apabila sumando merasakan ketidaknyaman dan tidak dihargai dalam rumah tangga dan atau kerabat istrinya, maka sumando pergi meninggalkan rumah istrinya.Dalam adat Minangkabau suamilah yang harus pergi dari rumah karena dia dianggap sebagai pendatang, maka dia pulalah yang harus pergi dari rumah istrinya. Secara umum suami di Minang harus bisa menjaga harga dirinya dalam rumah tangga supaya tidak mendapatkan malu.
Masalah timbul jika perempuan yang tinggal baganyi oleh suami dan tidak pulang-pulang ke rumah istrinya akan berdampak kepada ketidakjelasan status pernikahan.Tujuan pernikahan menurut Undang-Undang Tentang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mewujudkan tujuan dari pernikahan tersebut dikeluarkan berbagai aturan hukum, termasuk perjanjian yang diucapkan oleh suami setelah ijab kabul. Perjanjian ini disebut sighat taklik talak, yaitu:
- Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut.
- Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya,
- Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu,
- Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya,Kemudian istri saya tidak ridho dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduan dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya (Muthiah, 2017).
Bacaan tentang Perkawinan lihat di artikel maantaan nasi lamak
Dilema Urang Sumando: Hanya menjadi orang asing
Hadler, mungkin agak berlebihan, dengan bukunya Sengketa Tiada Putus (2010) tulisannya ini relatif masih baru dan menarik untuk dibaca. Budaya minang yang seperti ini muncul karena tradisi yang orang hanya mementingkan "sukunya", "kaumnya", orang luar suku seperti menantu (urang sumando) adalah "bukan kaumnya, sukunya" bisanya "hanya jadi penonton" dalam sebuah "musyawarah-mufakat", hal semacam ini bisa menjalar ke "perguruan tinggi"
Ketidakberanian orang minang berdebat itu menjalar bagai gurita ke perguruan tinggi seperti yang penulis lihat di Padang. Debat ilmiah yang seru di PT sangat jarang ada, yang ada hanya hanya musyawarah dan mufakat (seminar) untuk pengukuhan statusquo, dan gunjingan di belakang.
Dari pengalaman penulis "musyawarah mufakat" itu dari sisi psikologi sosial hanyalah semacam "diskriminasi sosial" sebab dalam praktiknya bisa saja adalah usaha untuk mengasingkan "orang yang tidak sependapat", sebaiknya orang yang tidak sependapat tidak diasingkan, mungkin saja dia benar.
Laki-laki ini bekerja di tanah "mertuanya", tanah di Minangkabau adalah milik suku atau pihak perempuan. Hasil tani bukan untuk dia, tetapi pihak istri. Uang belanja atau keperluan pribadi, diminta kepada pihak istri. Jika ingin memberi uang kepada orang tua sendiri atau keponakan (anak adik), dicari dari upah "bertukang", memburuh tani dan atau kerja serabutan.
Laki-laki umumnya wajib membuatkan rumah untuk istrinya, dan rumah itu dibangun di tanah pihak perempuan. Jika terjadi konflik laki-laki akan pergi dengan hanya membawa baju di badan, harta pencarian tinggal di rumah "istri".
Hal ini juga penyebab tingkat perceraian yang tinggi. Pekerjaan yang aman secara psikologis bagi laki-laki Minang adalah jadi pegawai negeri, "aparat" (polisi, tentara), dokter, dan pekerjaan profesional lainnya seperti pekerjaan tukang yang diperoleh dari pendidikan khusus. Atau merantau untuk "meninggalkan" adat tradisi yang membebani mereka (kaum laki-laki). Tradisi ini yang mungkin disebut oleh Hadler dengan "penindasan"
4). Dilema Keturunan Suku Minang
Bagi sebuah suku di Minangkabau, kelahiran anak perempuan adalah sebuah berkah, karena hanya dia yang akan mewarisi dan meneruskan warisan suku itu di kemudian hari. Disamping itu, jika dia kawin beberapa kalipun dia tetap tinggal di habitat aslinya dan meneruskan apa-apa yang telah diperjuangkannya selama ini dalam sukunya.
Bagaimana bentuk pewarisan suku ini yang sifatnya matrilineal dapat dilihat pada bagan di bawah ini. (dari hasil wawancara tgl. 10 Juni 2014) di daerah pinggiran kota Padang
Dari bagan ini diperlihatkan bahwa Ibu Naziar (“Mak” jun) yang bersuku Bodi Chaniago, dengan Suaminya Timo (bersuku Jambak), memiliki 7 orang anak. Anak Perempuannya 3 orang (no.1,2,4) dengan suaminya pula memiliki anak. Hanya anak perempuan ini yang disebut cucu dan yang mewarisi suku Bodi Chaniago.
Sedangkan anak laki-lakinya 4 orang (no 3,5,6,7) dengan istrinya masing-masing juga memiliki anak, tetapi anak ini tidak mewarisi suku Bodi Chaniago, nama suku dari cucu pihak laki-laki ini mewarisi suku dari pihak istrinya yang berbeda-beda. Anak dari pihak anak laki-laki inilah yang disebut dengan anak pisang (Lihat bagan di atas).
Disamping sistem keturuman suku di atas. Juga terdapat peringkat menggolongkan masyarakat Minang dan mengatur jalannya pernikahan, adapun golongannya yaitu :
- Kamanakan Tali pariuk yang merupakan golongan bangsawan dan bergelar bangsawan, serta dianggap mempunyai keturunan langsung dari urang asa.
- Kamanakan tali budi yaitu para pendatang tetapi kedudukan ekonomi dan sosialnya sudah baik, sehingga dianggap sederajad dengan urang asa.
- Kamanakan tali ameh merupakan golongan pendatang yang merupakan orang biasa KamanakanBawah Lutuik merupakan rakyat jelata yang menghamba pada urang asa
- Kamanakan bawah lutuik adalah orang yang biasa menghamba kepada orang asa.
Suku yang Punah
Konon setiap kali saya liwat di jalan itu pada malam hari saya selalu melihat seorang bapak tunawisma yg meringkuk tidur di emperan toko. Suatu ketika pula saya tanya. Dia orang minang.Ternyata kampungnya di pasir ampek angkek kab. Agam. Dia tidur di situ karena dia tak punya saudara katanya.
Waktu sy tanya lebih dalam ternyata sudah 3 generasi keluarganya hanya memiliki satu perempuan. Ciutnya, neneknya dan ibunya samasekali tak punya saudara perempuan. Dan saudaranya samasekali juga tak ada anak perempuan. Berarti keturunan ini diang9gap punah kalau dalam sistem matrilineal minangkabau. Karena tidak punya keturuman prempuan untuk memilik tanah dan rumah dari suku itu
Itulah dilema orang minang. Kalau tak punya saudara perempuan. Berarti kalau keturunannya hanya laki-laki saja. Keturunan ini tidak berhak memakai tanah dan juga rumah dari orang tuanya, apalagi membawa istrinya ke sana. Akhirnya dia bisa. jadi gelandangan seperti yang terjadi sekarang. Sedang tanah dah rumah yg dimiliki ibunya jatuh ke tangan saudara sesuku yg lain saat ibunya mati.
Setelah di tanya lebih lanjut ternyata untuk makan sehari-hari ia jualan jengkol di pasar aur kuning bukittinggi. Dia tidur di emperan itu dan hanya dapat kita lihat pada malam hari, meringkuk pakai sarung, di tengah malam kota bukittinggi yg dingin. Saya pikir tadinya dia orang gila (ODGJ) atau tuna wisma. Ternyata tidak.
Ayah Minang ibu Jawa
Ibu itu katakanlah bernama Minem, asalnya dari jawa dan dia sering datang sama gerobak kecil jualan goreng udang dan kepiting yang katanya di datangkan oleh saudaranya dari Bengkulu.
Suaminya orang minang sudah meninggal jadi dia tetpaksa keluar dari rumah mertuanya yg orang minang artinya selama ini numpang di daerah Baso Bukittinggi di rumah mertuanya, sesuatu yg janggal terjadi di kampung suaminya yg matrilineal. Dia dahulu di bawa suaminya dari Jawa, tetapi tak bisa pulang ke Jawa karena saudara2nya juga sudah merantau.
Sekarang dia terpaksa tinggal di daerah lain di Bukittinggi dengan dua orang anak. Satu anak perempuan paling tua juga membantu dia jualan gorengan hasil laut. Kadang jualan di bawah jam gadang bukittinggi malam hari. Senang di sana banyak orang yg beli katanya. Dan seorang anak nya laki2 masih kecil di bawa Minem kemana pergi oleh karena tidak tahu mau dititip di mana.
Tapi dia jualan di bawah jam gadang juga sering terusir karena jualan di sana di batasi. Karena dari mana-mana orang datang ke sana untuk berjualan makanan.
Dilema lain dari ayah minang ibu suku lain adalah anaknya tak bersuku. Pada jaman dahulu ada tradisi yg disebut Malakok atau menempel dimana dalam situasi seperti ini anaknya di beri status suku tertentu.
Secara etimologi, Malakok adalah istilah Indonesia khususnya Minangkabau, yang berarti menempel atau melekat rapat sekali. Kamardi Rais Dt. P. Simulie dalam (Eriyanti, 2009: 9) mengemukakan bahwa Malakok merupakan suatu cara penerimaan pendatang untuk masuk dan menjadi anggota suku Minangkabau.
Ayah Batak ibu Minang: Proses menjadi Patrilineal
Kartini namanya, dia adalah orang minang asli tetapi di belakang namanya di tambah Nasution karena suaminya orang tapsel(Tapanuli Selatan) bermarga nasution. Demikian juga anak-anaknya mengikuti marga nasution (suku ayahnya)
Dulu dia kerja di Dep. Pekerjaan Umum dan sudah pensiun. Walaupun dia adalah adik ibu lain ayah, namun hubungan kami agak renggang.
Apalagi setelah etek Kartini meninggal dan rumah di kampung sudah tak ada penghuni. Hubungan kami dengan beliau adalah saudara ibu satu ayah. Artinya kakek saya kawin dengan ibu dari etek Kartini. Sedangkan nenek saya adalah istri yg lain dari kakek.
Pesaudaraan seperti ini bukanlah atas garis suku yg sama. Persaudaraan satu kakek ini tidak kuat. Seakan menghilang dan tak saling mengenal lagi. Karena kita bukan menganut patrilineal.
Sebagai sebuah hubungan saudara ibu satu ayah memang banyak kenangan mesra. Tapi itu sebagaimana perantau umumnya yg kami lihat. Semua seakan hanya kenangan.
Bayi Terbuang Masuk Suku.
Di kampung kami ada suatu kelompok suku yang asal usulnya tidak jelas. Tetapi sekarang sudah sangat berkembang dan hidup sebagaimana identitas nama suku yang sekarang.
Masalahnya di zaman dahulu ada seorang bayi perempuan ditemukan di semak-semak kemudian diangkat anak oleh persukuan itu dan dianggap anak sendiri dan juga diakui sebagai anak (suku) dari orang yg menemukan anak itu.
Akhirnya disamping diakui sebagai sukunya. Dia kemudian kawin dan beranak pula dia diberi tanah suku sebagaimana layaknya keturuman suku di minangkabau.
Keturunannya sangat berkembang di suku itu, dan menjalani kehidupan sewajarnya. Namun jadi masalah saat pengangkatan penghulu katena orang ragu tentang asal usulnya. Walapun nama sukunya sudah di akui sejak awal kelahiran nenek moyangnya.
Akibatnya ibarat seperti memakan buah makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati merupakan peribahasa yang menggambarkan situasi sulit seseorang, karena tidak ada pilihan yang enak; situasi sulit yang membuat seseorang mengambil pilihan serba salah, “dimakan ibu mati” dan sebaliknya “tidak dimakan ayah mati" sebabperihal penemuan bayi perempuan di zaman lampau sulit akan diceritakan kepada keturunan itu karena dapat melukai perasaan mereka dan keturunannya.
Kawin se Suku
Cerita kawin sesuku itu cukup banyak. Dan umumnya suku2 yg ada di Minang men tabukan kawin sesuku. Karena melanggar pantangan ini dianggap akan mendatangkan malapetaka. Misalnya pelaku akan di sambar petir dan sebagainya.
Dan itu memang kejadian sama penulis. Yg pada istri pertama sama sukunya. Entah iya atau salah. Yg jelas sudah 15 tahun perkawinan tidak memiliki keturunan akhirnya disepakati berpisah saja.
5). Konflik Internal dan Dilema Ekonomi
Pada zaman dahulu hidup tidak serumit masa sekarang. Pertama karena tanah masih luas untuk pertanian. Dan di depan rumah gadang berderet rangkiang yang berisi padi untuk dijadikan beras berbagai keperluan.
Menurut jenisnya rangkiang dibagi menjadi empat, yakni pertama rangkiang si tinjau lauik (si tinjau laut), yaitu tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk membeli barang atau keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri.
Kedua, rangkiang si bayau-bayau, yaitu tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk makan sehari-hari.
Ketiga, rangkiang si tanggung lapa (si tanggung lapar), yaitu tempat menyimpan padi cadangan yang akan digunakan pada musim paceklik.
Keempat, rangkiang kaciak (rangkiang kecil), yaitu tempat menyimpan padi abuan yang akan digunakan untuk benih dan biaya mengerjakan sawah pada musim berikutnya.
Kalau kita pahami prinsip roh filosofi rangkiang tersebut, setiap keluarga akan dihiasi rumahnya dengan peralatan yang memberi manfaat dan berguna dari sudut duniawi. Kenapa tidak, untuk membeli barang-barang tersebut, terutama barang-barang yang berupa keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri, telah ada rangkiang si tinjau lauik untuk membelinya.
Begitu juga dengan keperluan makan sehari-hari, sudah ada rangkiang si bayau-bayau. Kemudian ketika terjadi musim paceklik, maka untuk mengatasinya sudah ada rangkiang si tanggung lapa.
Namun zaman kini semuanya berubah. Orang tidak lagi tinggal di rumah komunal rumah gadang. Dan rangkiang sudah di gantikan oleh bank. Dan kehidipan sosial minang dulu sudah berubah. Dan orang sudah hidup dalam keluarga inti.
Keluarga inti (Nuclear Family) yang terdiri dari suami, istri, dan anak mereka— anak kandung, adopsi, atau keduanya, Keluarga besar (Extended Family) yang terdiri dari keluarga inti dan orang-orang yang masih memiliki hubungan darah seperti kakek/nenek, paman/bibi, dan sepupu (Friedman, 2003). inti (Nuclear Family) yang terdiri dari suami, istri, dan anak mereka— anak kandung, adopsi, atau keduanya, Keluarga besar (Extended Family) yang terdiri dari keluarga inti dan orang-orang yang masih memiliki hubungan darah seperti kakek/nenek, paman/bibi, dan sepupu (Friedman, 2003).
Akibatnya terjadi beberapa kasus di bawah yg merupakan kasus minang modern.
Ilustrasi di bawah menjelaskan hal itu.
Pitih Den, Pitih Kau (Uang kamu dan uang saya)
Kami pernah akrab dengan satu keluarga petani di Kurao Kapalo banda di kelurahan gunung sarik kecamatan Kuranji kota Padang.
Kami lihat keluarga ini cukup maju pendidikan anak2nya. Yang paling besar sampai kuliah S3 di malaysia memperdalam bifang fisika nuklir. Namun sayang sampai dengan saat sy ketemu terakhiir dengannya tidak juga di angkat jadi pegawai negeri. Karena mungkin kesulitan penyesuaian ijazah malaysia dengan indonesia.
Salut juga atas perjuangan sang ibu mendorong pendidikan ke lima orang anaknya yg perempuan semua. Dan rata2 anaknya sekolah semua pada hal kerjanya hanya petani cabai di kampung itu. Namun kami membaca hubungan aneh yang kami anggap tidak lazim dimana penghasilan suaminya sebagai kuli bangunan jarang diberikan kepada istrinya. Sebaliknya juga begitu hasil uang tani di tanah istrinya semata disimpan oleh sang istri.
Tidak jarang pergesekan atau konflik terjadi antara suami dan istri ini terutama saat istrinya meminta suaminya membangun rumah di tanah suku untuk anak perempuannya yang tertua.
Hal ini mengakibatkan anaknya itu tidak mau pulang2 ke kampungnya dan tinggal di jakarta. Hal ini karena dia malu sebab belum juga diangkat jadi pegawai negeri walau sudah S3. Lagi pula belum punya keturunan setelah beberapa tahun kawin. Hidup di kampung tidak menjanjikan apalagi suami anak tertua itu hanya buruh pabrik susu di Jakarta. Nampaknya mereka lebih senang di jakarta dan berkumpul di sana fengan membawa saudara2nya yang lain.
Akhirnya rumah yg dibangun kosong tak berpenghuni dan an terbengkalai begitu saja.
Meminjam uang Mamak
Ada cerita seorang ibu perempuan meminjam uang 1 kg emas kepada adik laki-lakinya yang merupakan paman dari anak-anaknya. Waktu itu emas masih murah. Sehingga dirasa tidak akan berat untuk mengembalikanya.
Tetapi beberapa tahun kemudian emas naik sekali harganya kalau dinilai dengan rupiah. Dan sang mamak meminta emas yg satu kg itu dengan harga yang terkini. Sehingga kalau diuangkan harganya sangat besar sekali.
Tidak diketahui uang iti di bayar sepenuhnya sesuai dengan nilai emas. Namun pemaksaan pembayaran hutang itu menyebabkan kebangrutan keluarga peminjam. Tuntutan mamak dan istrinya itu menimbulkan dendam keponakannya terhadap istri mamak yg selalu menuntut hutang. Luka itu terus menerus berlanjut akibatnya hubungan jadi renggang.
Hubungan aneh seperti ini juga terjadi kepada adik ibu itu yg paling bungsu. Dimana istrinya selalu cemburu jika suaminya sayang kepada keponakannya. Dimana semua gaji suaminya tak boleh diberi sedikitpun kepada keponakannya.
Tapi semua keponakannya senang sekali kepada mamaknya. Dan merasakan kasih sayang serta kehangatan bergaul dengan mamaknya. Sayang sekali setelah mak cik ini meninggal. Hubungan keluarga dengan anak2 makcik ini menjadi renggang. Dan mereka sangat jarang ketemu lagi.
Bako Pelit dan Terus Meminta
Teman saya punya cerita lain bahwa ayahnya memiliki adik perempuan (etek) yg kerjanya jualan di pasar bawah Bukittinggi.
Beliau kawin dengan saudagar kaya tapi dia pemalas dan banyak anak. Mereka ini dalam bahasa minang disebut pihak bako.
Dulu mereka memang kaya dan punya toko di pasar atas bukittinggi. Tetapi kemudian bangkrut karena suami eteknya itu suka berjudi dan juga suka memelihara kuda pacuan untuk bertaruh. Setelah semua habis untuk berjudi. Tokonya terjual dan dia diam saja di rumah tanpa berusaha menafkahi anak istrinya. Akhirnya dia terpaksa juga di bantu oleh ayahnya yg juga paman dari pihak bako ini.
Sifat anak-anak bako ini suka meminta tapi pelit memberi. Bako ini beranggapan bahwa mereka sangat berhak meminta uang kepada mamaknya. Konflik terjadi saat seorang anggota keluarga meminjam uang sedikit ke bako dan telat dikembalikan. Hal ini tanpa alasan yg jelas amak bako itu marah-marah. Dan hubungan mendadak seperti ke pada orang laim dan menjadi kaku sekali.
Dan sebenarnya ibu teman saya sudah lama membenci pihak bako ini karena suami dari adik ayahnya itu pemalas. Dan juga sebab lain dimana nenek atau ibu dari ayahnya dulu mengambil toko dan semua yg dipakai oleh ayahnya dalam berjualan kepada adik tirinya (adik ayahnya tetapi ayahnya lain dengan ibu yg sama).
Ini adalah salah satu bentuk kerumitan ekonomi yg terjadi jika perempuan minang suka kawin cerai dan memiliki anak-anak dari suami yg berbeda-beda.
Jadi harta warisan dan investasi menjadi perebutan lain anak dan jika tidak adil pula pemakaiannya.
Pasar dikenal juga oleh orang Minangkabau dengan sebutan pakan, pada umumnya setiap nagari memiliki pakan sendiri karena pakan merupakan salah satu syarat berdirinya suatu nagari. Pakan biasanya didirikan di lapangan dekat balairung nagari. Nama suatu pakan dapat mengacu pada nama hari atau nagari dan waktu atau tempat penyelenggaraan pakan itu. Misalnya Pakan Kamih (pasar kamis), Pakan Sinayan (pasar senin), dan juga Pakan Kurai (pasar kurai), Pakan Baso (pasar baso). Pakan hanya satu kali dalam seminggu, hal ini dilakukan agar pasar bisa dilakukan bergiliran dengan daerah-daerah lain.
Adalah sebuah kenyataan bahwa betapa besarnya kontribusi perempuan bekerja terhadap ekonomi rumahtangga. Sebab
sebagian besar dari perempuan pedagang di pasar berasal dari keluarga ekonomi lemah yang suaminya yang tidak memiliki pekerjaan tetap yang mana hasil tersebut kurang mencukupi untuk kebutuhan makan sehari-hari.
Mereka tak hanya sebagai ibu rumah tangga yang tugasnya memasak di dapur saja, tetapi ikut andil terlibat dalam pemenuhan kebutuhan itu. Mereka datang ke pasar menjual barang-barang apa saja yang bisa di jual, pasar begitu penting bagi mereka.
Biasanya perempuan yang berdagang di pakan ini menjual hasil kerajinan tangan yang mereka buat sendiri dirumah. Usaha rumah tangga ini dilakukan dalam jumlah kecil, dengan modal kecil sehingga keuntungan yang di dapatpun juga kecil. Seperti tenunan, kain katun lokal, sarung biru dan merah dengan kotak-kotak seperti kain bugis. Selain itu, Perempuan-perempuan ini juga membawa beras dalam kantung-kantung kecil, buah-buahan, daun kopi, dan jajanan yang mereka buat sendiri.
Bagi kebanyakan orang Matur (sebuah kecamatan di kabupaten agam) generasi sesudah kemerdekaan, pekerjaan menjadi pegawai itu sebuah kemuliaan. Mereka itu mirip orang nagari Kota Gedang,Dan memandang rendah kerja orang dagang.
Bagi orang Matur sesudah kolonial, pekerjaaan menjadi pedagang itu hidupnya tidak teratur, kasar dalam perilaku dan ucapan. Sehingga jarang ditemukan orang2 Matur yg profesinya pedagang. Pekerjaan menjadi pegawau negeri itu semacam cita2 menjadi amtenar di zaman kolonial.
Di kalangan pedagang pasar juga ada sebutan sarok balai. Yaitu sampah. Orang2 hanya menjadi sampah jika tak ada gunanya ini sebuah analogi terhadap orang2 yg hanya memenuhi pasar tapi tak ada harganya. Tetapi sarok balai juga sebutan bagi orang2 yg kerjanya serabutan di pasar atau orang yg sehari-hari hidupnya di pasar dengan konotasi yg baik. Yaitu mencari kehidupannya dengan berdagang.
Berdasarkan pengalaman para perantau Minang di tanah Ambon Manise, mereka mampu bertahan di daerah kepulauan itu karena bisa menempatkan diri dan selalu berpedoman pada falsafah yang diwariskan nenek moyang Minangkabau; "Pai ka rantau mencari induak samang'.
Artinya pergi ke rantau kita terlebih dahulu harus mencari bapak angkat," ujar sesepuh masyarakat Minang di Ambon H Busmar Rasyid (71), Kamis (13/6/2014).
"Setidaknya ini merupakan satu bagian dari diplomasi dan menjadi kekuatan perantau Minang untuk bertahan. Menurut dia, meskipun hanya dengan mengandalkan "tulang delapan potong" (hanya mengandalkan apa yang ada di tubuh, red), namun kalau tekad untuk berusaha dan mengubah nasib serta selalu berpegang dengan falsafah Minang, maka pasti ada-ada saja jalan untuk menunju sukses.
Dia sudah mengalami pahit getirnya merintis kehidupan pada awal menginjakkan kaki di tanah Ambon. Tapi semuanya masih dapat dilalui sampai sekarang.
Busmar Rasyid saat sampai di Ambon pada tahun 1963, mengaku mulai belajar berdagang dengan bapak angkatnya yang keturunan China. Pada 1967 ia mulai berdagang sendiri secara kecil-kecilan di emparan-emperan toko.sampai dia berhasil.
Bacaan lebih lanjut lihat di sini.
Emas yang terkumpul selanjutnya dijadikan aset untuk masa depan. Sawah yang sebelumnya tergadaikan oleh dunsanak atau keturunan terdahulu, dengan emas itu dapat ditebus kembali. Anak pun tersekolahkan ke bangku pendidikan tinggi hingga mendapat gelar sarjana, sejatinya karena emas yang ditabung sedikit demi sedikit.
Dengan kata lain, emas memudahkan berbagai urusan dan keperluan. Hal inilah yang mendorong orang tua di kampung –kampung, tidak hentinya menasehati anak yang pergi merantau agar senantiasa berhemat. Saat pulang ke kampung, mereka sudah punya tabungan dalam bentuk uang atau berwujud logam mulia. Emas menjadikan semua yang diinginkan tampak nyata.
“Saya menabung emas sejak muda. Awalnya memang tidak banyak yang bisa ditabung namun yakinlah, pesan orang tua tak sia-sia. Dari yang sedikit itu, lama-lama bisa menjadi bukit,” kata seorang nenek tujuh cucu.
Menurutnya, emas yang dibeli tidak langsung dipakai. Dulunya tempat menyimpan emas bukan saja di tekong alias kaleng berbahan seng, namun disimpan di dalam kasur atau bantal kapuk. Tujuannya supaya aman dari incaran maling atau pencuri.
“Dulunya belum ada pegadaian atau bank di kampung-kampung kami. Kalau pun ada, lokasinya jauh di kota. Kita orang kampung tidak punya akses untuk sampai ke sana,” katanya.
Namun demikian semangat menabung emas para pendahulu tidak sirna begitu saja. Menabung emas bahkan sudah menjadi kebiasaan hidup masyarakat di Ranah Minang. Dalam setiap transaksi ekonomi, baik itu gadai menggadai atau hutang piutang, alat pembayaran yang digunakan tentunya dalam bentuk emas.
Kenangan akan emas yang disimpan di dalam tekong atau kasur kapuk menyisakan sepenggal kisah unik bagi Asernawati. Karena rajinnya ia menabung, investasinya pun setara dengan apa yang sudah diperjuangkan.
Ratusan emas berhasil ia kumpulkan dari usahanya berjualan barang kebutuhan harian, ditambah uang penjualan hasil tani saat musim panen tiba, Saking banyaknya emas yang terkumpul, timbul rasa tidak nyaman yang mengarahkan pemikirannya, menyimpan emas tersebut di kasus kapuk yang ada di biliknya. Usai memasukkan emas, ia menjahit sobekan kasur hingga terlihat utuh seperti kondisi kasur semula.
Namun suatu hari, seorang tetangga mendatanginya, memohon bantuan agar ia berkenan memberikan pinjaman emas yang nantinya digunakan sebagai jemputan atau uang adat untuk calon suami anak perempuannya.
Tanpa berpikir lama, nenek itu memberikan pinjaman emas kepada tetanggannya dengan masa pembayaran tidak ditentukan. Satu emas ketika itu setara dengan uang senilai 30 ribu rupiah.
Jika dikalkulasikan, 100 emas ketika itu totalnya bernilai tiga juta rupiah. Namun karena investasi berlangsung untuk jangka panjang dengan pembayaran sesuai jumlah emas yang dipinjamkan, asetnya terus bertambah.
“Kini saya tinggal menikmati hasil dari tabungan emas yang saya pinjamkan. Pengembalian 100 emas setara dengan nomina 200 juta lebih. Betapa hebatnya pola pikir nenek moyang kita dulunya hingga mengarahkan anak dan cucunya berhemat melalui tabungan emas,” ungkap ibu lima anak yang berharap tabungan emasnya itu mampu mewujudkan mimpinya menapaki tanah suci Mekah.
Akibat itu semua, menurut penulis , orang minang memiliki kejiwaan dan perasaan yg khas yg tidak dimiliki etnis lain yaitu "budaya malu":
"malu awak dicaliak urang bansaik" (kekayaan),
"malu awak dicaliak urang samba indak lamak (kuliner),
"malu awak anak padusi lah tuo alun kawin" (perkawinan) dan malu-malu yang lain...
(artinya: malu dilihat orang seperti orang miskin, makanan tidak enak, atau ada anak perempuan tua yang belum kawin).
Menurut penulis kebudayaan malu ini, bukan karena agama atau Islam, tetapi sistem kognisi yang diturunkan dari lingkungan budaya yg didominasi oleh gender.
Seperti kehidupan "komunal" yang dibentuk dalam rumah gadang yang tidak jarang berada dalam situasi konflik batin di antara wanita-wanita yang sudah kawin yang mendiami rumah gadang, antara "urang sumando" yang kaya dan "yang miskin.
Sistem pewarisan yang matrilineal, dan terusirnya laki-laki dari rumah ibunya, dan "abu diateh tunggua" pada rumah istrinya, (istilah Hadler adalah penindasan), menyebabkan mereka menjadi manusia kritis dan persepsinya terasah dan menjadi "tajam"(terutama kaum laki-laki).
Pengamatan lain oleh penulis sewaktu berada di Jawa, anak minang yang lahir di Jawa, atau kebanyakan perantau minang yang berdaptasi dengan budaya setempat, budaya malunya sudah tergerus dan tipis, dan persepsinya juga tidak tajam. Dan mereka juga tidak lagi seperti orang padang yg pintar berusaha dan sukanya hanya cari kerja jadi pegawai .
Mudah Tersinggung
Menurut penulis salah satu kelebihan orang minang yang berasal dari tradisi minang, yaitu mudah tetsinggung karena malu dan.itu kadang penyebab orang minang itu yg sulit dimengerti oleh etnik lain. Sebuah persepsi yang khas hanya ada dalam tradisi minang seperti:
Tahu di raso jo pareso
"tahu ereng jo gendeng"
"tahu nan lamak diawak, katuju di urang"
"di ma bumi dipijak di sinan langik di junjuang"
7). Dilema Merantau
Rantau Cino
Jeffry Hadler (2010) dalam bukunya "Sengketa Tiada Putus", menjelaskan bahwa orang minang telah menjadi asing terhadap budayanya sendiri karena merantau. Karena di kampungnya sendiri selalu bersengketa. Karena di kampungnya sendiri lebih mengutamakan "bermusyawarah-mufakat" dari pada "berdebat", minangnya "hilang" tinggal "kerbau", seperti kutipan dari bukunya di bawah ini
Selama awal 1960-an rakyat Minangkabau, termasuk keluarga sipangkalan saya, meninggalkan Sumatra barat menuju Jakarta dan Medan, tidak kembali lagi. inilah masa rantau cino yang permanen, ketika orang Minangkabau memberikan nama Jawa kepada anak-anak mereka dan mengeluh bahwa di kampung halaman di Sumatra “yang Minang pergi, yang tinggal Kabau”. Restoran-restoran Padang di Jakarta menjamur dan perantau-perantau dari Sumatra ini, orang seberang yang menyembunyikan etnisitas mereka, menyesuaikan diri dengan kehidupan jauh dari dataran tinggi nenek moyang dan ingatan-ingatan yang menyedihkan8. di samping pengalaman-pengalaman perantauan saya sendiri di Jakarta, untuk proposal disertasi saya itu saya membaca karya-karya intelektual Kaum Muda dan novelis-novelis balai Pustaka. Lewat tulisan-tulisan itu saya pun tiba pada kesimpulan bahwa adat Minangkabau itu bersifat menindas, desa-desa Minangkabau bagaikan cangkang-cangkang kosong tradisionalisme, dari kedua-duanya orang perlu melarikan diri. (Hadler, Jeffrey,2010: xiii-ix)
6.2 Konflik Eksternal
Bebetapa bentuk konflik ekternal diantaranya adalah dalam hal sistem adat
1). Perpatih nan sabatang dan dt. Ketumanggungan
Salah satu ciri yang melekat pada masyarakat Minangkabau ini adanya masih kuatnya masyarakat memegang dan menerapkan adat yang mereka miliki. Salah satu bentuk ajaran adat tersebut tertuang dalam adat lareh, berupa seperangkat nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar yang mengatur aktifitas dan kehidupan sosial politik masyarakatnya. Lareh sebagai “sistem politik”, sering dipakai untuk menyebut aliran pemikiran dua datuak nenek moyang pendahulu masyarakat Minangkabau yaitu Datuak Katamenggungan yang mengembangkan lareh Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang
Berangkat dari tambo yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, Datuak Katamenggungan mengembangan sistem politik (lareh) Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang mengembangkan lareh Bodi Caniago.
Lareh Koto Piliang lebih bercirikan “aristokratis”, dimana kekuasaan tersusun pada strata-strata secara bertingkat dengan wewenangnya bersifat vertikal, sesuai dengan pepatahnya manitiak dari ateh (menetes adri atas).
Sementara lareh Bodi Caniago bercirikan “demokratis” dimana kekuasaan tersusun berdasarkan prinsip egaliter dengan wewenang bersifat horizontal, sesuai dengan pepatahnya mambusek dari bumi (muncul dari bawah) Secara struktural, ajaran kedua lareh ini lah yang akhirnya mempengaruhi (constrains) pola kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau di kemudian hari.
Lihat legenda tentang sejarah Minangkabau
Bacaan lebih lanjut lihat tentang kelarasan
Lihat juga tentang batu batikam
2). Balai Batu dan Balai Gadang (cakak nagari)
Bacaan lebih lanjut lihat di sini
3). Pembagian Tanah Sesuku (cakak sasuku)
Bacaan lebih lanjut lihat di sini
6.3 Diskusi-diskusi
Diskusi 1.
Konflik dalam Konteks Sejarah dan filsafat Minangkabau
Alam semesta diciptakan Tuhan yg Maha Esa berpasangan ada siang dan ada malam ada laki2 dan perempuan, ada bijak dan ada yg tidak bijak, ada baik dan ada buruk, ada indah dan tidak indah dan seterusnya demikian berlaku juga pada binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Syukur alhamdulillah dialektika adat minang juga diciptakan berpasangan dengan sistem politik adat Ketumanggungan dan Perpatih nan sabatang. Yaitu adanya dua faham cara pandang hidup yg abadi dan terpakai sampai sekarang yaitu otoktratik dan demokratik.
Menarik juga untuk membahasnya, sebab dalam ketidakseimbangan itu muncul berbagai cara untuk menyatakan eksistensinya. Menyatakan identitasnya dengan beragam cara, bentuk dan sistem tanda yang berbeda. Dengan dasar pemikiran di atas maka muncul ide untuk membahas budaya konflik dan politik identitas orang minang yang merupakan keunggulan dan sekaligus kelemahannya. Hal itu tergantung dari sudut mana kita memandang. Dan kita tak boleh ber pikir in the box.
Baca cara berpikir out the box
Baca juga tulisan e de Bono dan buku2 edward de Bono
Menurut Hadler dalam kata pengantar bukunya, budaya minangkabau itu hanya ada di tataran perbincangan tingkat publik sedangkan realitas budaya minangkabau tetap sebagaimana dahulu "adat hanya hidup di tingkat nagari".
Berbagai penelitian di perguruan tinggi juga menunjukkan kecendrungan bahwa jika meneliti satu lokus di sumatera barat cendrung mengatasnamakan minangkabau, walaupun gejala-gejala yang diteliti hanya ada di tempat itu dan tidak ada di tempat lain, ini bukti lain dari adat selingka nagari.
Namun di nagari2 itu hanya ada cangkang2 kosong. "Cangkang-cangkang " kosong di kampung yang dimaksudkan Hadler (2010) itu tetap ada.
Yang dimaksud dengan cangkang itu adalah rumah tanpa penghuni dan atau tak adanya fungsi penghulu sebagai sebuah jabatan. Mungkin juga yg dimaksud Hadler penguasa masa lalu seperti kerajaan-kerajaan seperti Pagaruyung yang muncul dari cerita tambo yg tidak berfungsi sebagaimana sebuah kerajaan tradisional.
Cerita2 kerajaan di minang bisa filihat di sini
Salah satunya yang menjadi polemik sampai sekarang adalah, bagaimana seharusnya budaya minangkabau itu di level propinsi, masih dipertanyakan karena konsepnya selalu bergerak mulai dari "alam takambang jadi guru", "adat basandi syarak-syarak basadi adat" (era Paderi, "ABS-SBK (Konres Kebudayaan Minangkabau, 2010).
Namun penulis bukan tak setuju, adagium "Alam Takambang Jadi Guru" yg di gadang- gadang itu sebenarnya kurang prospektus dan berorientasi ke mssa depan, serta menunjukkan konservatisme.Berpedoman ke alam atau alam jadi guru sudah ketinggalan zaman. Kenapa?
Pertama logika alam jadi guru itu berarti manusia belajar ke alam. Yaitu suatu proses imitatif (mimesiis) Suatu konsep yg sudah klise sebab sudah dibicarakan sejak zaman filsuf Plato. Tendensinya adalah metafisik. Sebab di zaman Plato orang berpikir kebenaran itu hanya di dunia illahi. Sedangkan manusia hanya mengimitasi ciptaan Tuhan.
Uraian lebih lengkap lihat di sini.
Kritik tethadap teori imitasi datang dari murid Plato. Yaitu aristoteles yg mengatakan bahwa seni itu tidak sekedar imitasi tetapi juga representasi. Jadi tugas manusia bukan sekedar meniru tapi punya tanggungjawab terhadap diri sendiri. artinya manusia punya gagasann terhadap apa yg dilihatnya. Bukan sekedar peniru seperti mesin.
Representasi adalah suatu wujud kata, gambar, sekuen, cerita dan lainnya yang mewakili ide, emosi hingga fakta. Menurut KBBI, representasi bisa diartikan sebagai perbuatan mewakili atau keadaan yang bersifat mewakili.
Bolehlah kita meniru alam misalnya untuk melukis, menggambar. Tetapi meniru perilaku alam ini hanya narasi analogi atau metafora. Bukan fakta sebenarnya. Misalnya kalau kita menru perilaku kucing tentu kita jadi kucing. Tapi ukiran kucing lalok adalah ibarat orang pemalas. Jadi hanya sekedar analogi.
Setelah kemajuan ilmu ternyata alam itu juga tidak teratur. Fakta sebenarnya alam itu khaos hal ini terbukti dari penelitian kimia molekuler dan penelitian di ruang angkasa.
Baca teori tentang alam yg khaos
Eksploirasi alam
Kedua, alam bukan untuk di tiru tetapi untuk di kuasai dan di mannfaatkan serta di pelihara sebab sejak abad ke 15 bangsa barat sudah menguasai alam. Menyusul negara Cina. Masihkah kita ingin bersilat lidah dan menghabiskan waktu waktu hanya dengan berdebat? Sementara orang lain sudah menulis berjuta kata dan mengarungi angkasa?
Penulis sangat setuju dengan pikiran wakil ketua partai Gelora Fahri Hamzah yg orang Sumbawa itu yg mengatakan bahwa
"Artefak budaya masa lampau itu harus di museumkan sehingga kita mudah melihat masa lampau itu mata kita terbuka lebar terhadap bagaimana sebenarnya nenek moyang kita. Diteliti dengan cermat sehingga kita punya sejarah bangsa yang jelas. Tetapi budaya itu tidak untuk untuk dipakai sepenuhnya lagi karena generasi masa depan punya tantangan baru yg tidak sama dengan tantangan masa lampau. Demikian kita membangun bangsa ini yang benar."
Sudah lama
Adanya konflik antara adat dan agama di minang ada yg mengatakan itu akibat adu domba Belanda namun penulis tidak meyakini sepenuhnya argumen ini. Sebab sebelum muncul agama Islam tiap nagari dulunya selalu suka bertengkar apakah dalam adu kata, adu ayam dan adu silat di gelanggang dan tiap nagari adalah polis yg merdeka.
Penulis tidak terlalu yakin bahwa konflik orang minang itu hanya dibatasi soal adat dan agama pada hal itu cerita baru abad ke 18-19. (Perang Paderi dan berakhir dg perjanjian Marapalam. Padahal orang minang itu bertengkar sudah lama, tercatat sejak munculnya sistem adat Bodi chaniago dan Koto piliang yang sering disebut sistem kelarasan orang minang sudah memiliki dua paham dan bisa dipakai untuk mulai bertengkar.
Konsep Tripatrit
Dan ada pula yg pahamnya netral seperti sistem Lareh Nan Panjang yang penganutnya ada di sehiliran batang bengkaweh. Mulai dari Priangan ke Galogandang dan terakhir di nagari Belimbing tanah datar.
Kelarasan yang netral ini diungkapkan dengan adagium
"Pisang sikalek-kalek hutan, pisang tembatu yang bergetah, Koto Piliang dia bukan, Bodi Caniago inyo antah"
Pandai Bicara dan Diplomasi
Umumnya sejak hidup di taratak (manaruko), yg berkembang jadi dusun, koto dan nagari mereka sudah bertengkar dan perlu ninik mamak menyelesaikannya.
Pertengkaran di taratak tentu soal memperebutkan tanah taruko, soal batas dan kepemilikan tanah, soal pengairan di sawah, maling ternak atau pertanian, kawin lari dan seterusnya antar anak nagari.
Tradisi bertengkar, mungkin mirip dg tradisi orang papua yg perang antar suku sampai kini itu, tanpa alasan dan mereka hanya berpikir kapan perang anak panah dan membunuh suku lain. Kalau di minang perang adu mulut pada saat upacara perkawinan
Hobi bertengkar itu lalu diteruskan di lapau (kini di partai politik). Orang seperti Karni Ilyas yang dari Balingka Agam itu yg menyelenggarakan Indonesia Lawyers Club di TV One pastilah orang padang .
Di abad digital perang mulut yg gemar bertengkar dari orang minang bisa ditonton di tik tok, youtube dan lainnya. Pandai bertengkar itu juga terlihat pada adu mulut atau pidato adat sebelum makan, yg bisa bikin kesal mak-mak dalam pesta perkawinan (ibu saya dulu begitu)."Lamo bana ka makan" katanya.
Karena suka dan pintar berbicara maka orang minang, menjadi pemikir dan egaliter, disiplin dan keras dalam hidupnya dan mengembangkan budaya malu. Tipis telinga dan mudah tersinggung. (Sulit di atur) Hal ini sangat berbeda dengan budaya Jawa dan "si Akang" (orang Sunda) yg mudah di atur.
Jika malu dan tak pandai mencari uang, bertengkar dengan saudara, atau tak bisa jadi orang alim di surau, atau pegawai pemerintah, lalu pergi merantau.
Lihat saja tulisan Jeffrey Hadler yg orang amerika itu yg menulis " Sengketa Tiada Putus" yg di translate (2010).
Tapi penulis tidak meniru pemikiran Hafler, sebab diskusi tentang budaya konflik ini sudah lama dan sering jadi pembicaraan. Misalnya diskusi penulis dengan pak Sabri Kasim (dulu pernah jadi Dekan Fak. Teknik Bung Hatta) tahun 85 an. Pada hal Hadler baru saja riset ttg budaya konflik minang ini sekitar akhir tahun 90an.
Tak banyak yg tahu jika di tiap perbatasan nagari dulu banyak balai yg digunakan untuk musyawarah jika ada konflik atau menyekesaikannya di galanggang (adu silat). Di nagari saningbakar saja ada 8 balai ( hasil penelitian) dan sampai sekarang juga mungkin masih berselisih dengan orang -orang Muaro Pingai, yaitu soal batas tanah ulayat, dan mereka sampai membakar rumah orang saning bakar, itu terjadi beberapa tahun yg lalu.
Di nagari-nagari lain kalau di selidiki juga punya balai-balai batu seperti ini yaitu tempat duduk dari batu tempat musyawarah.
Mulainya politik adu domba belanda hanya pada abad ke 19 pada perang padri, orang Batipuh dan Solok (kubung 13) pro belanda, tentu saja juga orang Koto Gadang. Orang Batipuh karena malu, lalu balik menyerang belanda. Minang terjual karena surat perjanjian, bukan hanya kalah perang. Dan itu fokus Rusli Amran menulis buku Sumateta Barat dan Plakat Panjang.
Sedikitnya budaya minang itu ada memiliki budaya konflik, tiap nagari adalah negara merdeka, polis seperti di Yunani kumo.
Akar Budaya dari india
Dan akar budaya minang adalah budaya Hindu yg melahirkan "kato nan ampek". Sebab kosmologi minang di bangun dari "hasta brata". Panjang ceritanya.
Buya Hamka pun mungkin tak mengerti dengan hasta brata dan orang jawa yg terusir-usir sampai ke lereng gunung merapi atau orang Campa yg sangat mirip dengan orang minang .
Mereka matrilineal. Orang vietnam utara yg mengusir mereka ke minang menjadi suku jambak di minang dan orang Campa yg lari ke Aceh menjadi salah satu suku di sana.
Orang india keturunan yg masuk ke pedalaman Batak itu, masih memuja sungai sebagai mana tempat suci. Dan di minang terasa juga pengaruh Tamil India itu, baik dalam kosa kata bahasa maupun ritus kematian : manigo, manujuh hari, dsb." Yang namanya "balimau" saat mau puasa itu dapat di interpretasikan sbg pengaruh Hindu. Sebagaimana acara penyucian diri di sungai gangga India.
Kaum laki2 ini menurut psikolog dan budayawan Prof. H.H.Saanin Dt. Tan Pariaman
Penelitian lebih lanjut dan apa yg tetjadi hati ini memperlihatkan bahwa dasar dari tekanan jiwa orang minang itu adalah masalah ekonomi.keluarga. atau lebih jelasnya adalah jalinan komunikasi di antara anggota keluarga. Dan tentu saja sorotan artikel ini yang khas minang.
Bagaimana ketidakstabilan psikologis orang Minang digambarkan oleh, H.H.Saanin Dt. Tan Pariaman, dalam buku M.A.W Brouwer, dkk. Kepribadian dan Peruba hannya (1989: 200)
“Adalah suatu kenyataan bahwa orang Minangkabau dalam kehidupuan sehari-hari selalu dihadapkan kepada “dualisme” dan konflik yang dipaksakan kepadanya, antara lain: petentangan antara prilineal dan matrilineal”……………… Selanjutnya Saanin (1989: 201): “Dalam dunia moderen dan menurut agama Islam yang patriarkal, seorang suami berkewajiban mencari nafkah untuk anak-anak dan isrinya. Dalam sistem matriarkal tugas seorang laki-laki adalah menciptakan anak dari istrinya, tetapi tidak bertanggungjawab dalam hal membelanjai anak dan istrinya (karena beban itu ditanggung oleh pihak istri dari hasil pertanian milik sukunya) Selanjutnya oleh Saanin (1989: 202): “Padangitis”, istilah bagian Psikiatri Universitas Indonesia, yang merupakan psikopatologi suku bangsa Minangkabau yang penting.”“Di zaman Hindia Belanda, hampir semua dokter yang baru lulus memohon kepada D.V.G ( Dep.Kesehatan zaman kolonial) supaya ditempatkan sejauh mungkin dari Minangkabau.” (Saanin, 1989: 202)
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS pada 2.368 rumah tangga tersebar di 19 kabupaten dan kota, diperoleh hasil indeks kebahagiaan warga Sumatera Barat berada pada angka 66,79 dari skala 0-100.
yaitu konflik internal dan konflik eksternal. Konflik internal adalah konflik yang terjadi
antara tokoh dengan dirinya. Sedangkan konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara satu tokoh atau lebih yang terjadi diluar dirinya.
Contoh konflik internal dan eksternal dapat terlihat pada novel Novel Nur Sutan Iskandar Hulubalang Raja (1934)
yang berlatar belakang tahun 1665-1668 ditelaah karena menawarkan wacana alternatif tentang kronik dramatis antara pedagang dan penguasa Aceh dan Minangkabau.
Representasi Rumah Gadang Pada Karya Lukis Hamzah
- Perempuan yang seksi dan baju terbuka hal ini berlawanan dg adat tradisi
- Situasi heroik dan perlawanan atau konflik
- Perjuangan
- Garis2 yg ekspresif dan tajam
- Dan sebagainya
Banyak orang kurang mengerti bahwa munculnya seni ukir minang yg penuh nasihat, munculnya budaya petatah- petitih, pituah adat, berpantun, sangat kental dalam budaya minang adalah kontra indikasi dari konflik. Lihat saja ajaran: alam takambang jadi guru.
Yaitu untuk mendamaikan jiwa yg konflik.
Ekspresi yg terkait dg tema konflik seperti ini muncul dalam kebudayaan minang dalam bentuk
- Munculnya abs-sbk
- Lukisan kaligrafi bertemakan agama
- Seni ukir dan dekorasi minang untuk menasihati
- Pesan2 moral dan etika yg muncul dalam seni rupa khas seniman minang.
- Kuliner minang yg lezat untuk melayani perut dan mendamaikan hati anak menantu
- Lagu dan musik minang yg meratapi nasib
- Tari minang dengan gerak cepat dan pengaruh gerak silat
- Silat untuk menjaga diri
- Cara bicara dan basa-basi orang minang yg menyingkat kata dan kata malereng (berkias), misalnya kemana jadi kama, kemari jadi kuri dsb. Kata malereng agar tidak langsung karena kalau langsung bisa konflik
- Perhitungan dan terlihat pelit padahal tidak pelit karena uang itu ternyata penting untuk menjaga diri
- Tidak suka kerja yg tertekan dengan orang lain dan suka kerja mandiri. Sehingga ingin mendapat kepandaian tertentu
- Politik identitas minang misalnya dalam hal penamaan, pribadi (gelar), penamaan komunitas. Misal kenapa disebut orang padang, padahal orang minang. Bagian ini di bahas di bagian ketiga tulisan ini.
- Dll. Yg muncul dlm berbagai upacara adat
Contoh ukiran
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa di antara nama ukiran yang paling khas dan terkenal serta kerap kali digunakan tidak hanya di ukiran kayu melainkan juga diterapkan pada motif kain songket khas Minang misalnya pada ukiran itik pulang patang.
Makna filosofis motif ini ialah menggambarkan tingkah laku hewan itik yang selalu berjalan beriringan ketika petang hari mereka bersiap pulang ke kandang. Tingkah laku berjalan beriringan serasi, teratur, tertib, bersahabat, kompak dan bersama-sama dipilih oleh masyarakat Minangkabau sebagai contoh dalam menjalani kehidupan. Hal inipun lalu digambarkan dan menjadi suatu corak motif untuk ukiran dan songket dengan nama yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar