Penggunaan Blog

Minggu, 30 November 2014

Mengantar Nasi lamak pada acara Perkawinan di Daerah Pinggiran Kota Padang

Oleh Nasbahry Couto


Pada suatu ketika, sekitar tahun 2007, penulis dan sekeluarga menerima “Nasi lamak” oleh penduduk kampung dimana penulis tinggal. Kami memang penduduk baru di sebuah komplek perumahan, di mana lokasi rumah kami dekat sekali dengan lokasi rumah penduduk asli di sini. Untuk pertama kali kami heran, maklumlah istri penulis adalah orang Jawa Barat, asal Cimahi, yang baru datang merantau ke Sumatera Barat sejak tahun 2000-an. Sesudah menerima “nasi lamak” itu, rupanya kami harus mengembalikan piring nasi lamak itu dengan sepotong kain batik. Rupanya kami sudah dianggap atau masuk sebagai pihak keluarga pula oleh yang mengantarkan nasi lamak itu, dan harus mengikuti adat istiadat yang berlangsung di sekitar tempat tinggal kami.
Kebudayaan asli di Bandung memang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan yang ada di tempat ini. Sampai saat ini (2014) penulis dapat melihat sendiri bagaimana terjadi transformasi budaya, dan sekaligus transformasi berpikir antar budaya yang di alami oleh istri penulis. Menurut istri penulis banyak yang baik dan dapat dicontoh dari tradisi minang misalnya sifat hemat (menyimpan uang dengan emas), wanitanya tidak tergantung sama suami (mandiri), cerdik dan pandai hidup. Walaupun banyak juga yang jelek yang tidak bisa dicontoh, misalnya tidak pernah akur dengan saudara sesuku dan sebagainya. Sejak tinggal di lokasi ini, kami memang banyak bertanya-tanya, dan ingin pula mengetahui bagaimana sebenarnya adat istiadat yang rumit di lakukan yang berbeda dengan yang kami alami di Cimahi, Bandung, Jawa barat. Dan lagi pula, adat istiadat penulis yang berasal dari kota Bukittinggi berbeda dengan di tempat tinggal kami ini.

Selama ini memang sudah ada beberapa catatan, tetapi baru tahun ini ada kesempatan untuk penulis menuliskan hal ini. Untuk memahami lebih dalam penulis mencoba” mencari beberapa literatur tentang ini baik dalam buku maupun sumber di internet. Namun dapat dikatakan istilah “nasi lamak” ini tidak pernah ada ditemukan.[1] Ada istilah “Nasi Lemak”,   hanya ada pada budaya Melayu seperti yang di gambarkan di bawah ini yang merupakan masakan tradisi yang populer di Malaysia.

 

Nasi Lemak yang khas tradisi Malaysia, 


Nasi lamak, apakah itu? 
Istilah nasi lamak ini, adalah bagian dari prosesi perkawinan di Padang, khusus di daerah Kuranji kota Padang. Lamak dalam bahasa Padang artinya enak, mungkin sama artinya dengan “Nasi Lemak” (bahasa Malaysia) seperti contoh di atas. Tetapi Lemak dalam bahasa Indonesia artinya memiliki minyak, misalnya “berlemak”

Di daerah lain mungkin istilahnya “nasi kunyit” atau nasi yang dicampur dengan kunyit berwarna kuning, tetapi nasi lamak bukan berwarna kuning tetapi putih. Terdiri dari nasi ketan yang direbus dengan santan, kemudian lauknya adalah potongan ayam yang di masak dengan bumbu kuning, dan potongan ayam ini warnanya kuning, selain itu ada lauk lain yang khas yaitu “Luo” yang terdiri dari parutan kelapa yang dimasak dengan gula aren atau gula tebu lokal yang disebut "Saka", sehingga warna Luo itu coklat seperti gambar di bawah ini. “Luo” ini rasanya manis. Jadi ketan putih bersantan itu dimakan dengan “Luo manis” dan juga potongan gulai ayam.

 
 Luo, yang belum di bungkus plastik
 
Nasi lamak Baluo, yang di sajikan pada piring kecil 
bentuknya lonjong setengah lingkaran. Luonya sudah di bungkus plastik.

Potongan ayam dan kuahnya di masukkan ke dalam plastik, demikian juga Luo dalam plastik tersendiri, kedua lauk ini di selipkan pada piring “nasi lamak” dengan 3 ukuran ( piring kecil, piring menengah, dan piring besar). Untuk perbandingan Satu piring besar Nasi lamak” isinya terdiri dari 4 (empat) gantang beras pulut ketan. Cara memakannya bebas, tetapi biasanya dengan tangan. Ambil sejumput jari ketan putih dikepal kemudian masukkan luo, dan dimakan dengan ayam, Jadi ada dua rasa.

Di mana posisi Acara Mengantar Nasi lamak ?
Acara ini nampaknya hanya khas tradisi daerah pinggiran kota Padang. Daerah yang dimaksud sudah penulis jelaskan pada situs ini. Yaitu daerah Kuranji kota Padang.

Untuk dapat memahami di mana letaknya/posisi acara antaran nasi lamak ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Penulis sengaja untuk membandingkan acara perkawinan kota padang ini dengan acara perkawinan di daerah Painan, yang juga merupakan daerah pesisir propinsi Sumatera Barat. Sebagai berikut ini.


No
Tindakan dalam
Acara Perkawinan

Di daerah Pesisir Sumatera Barat

A
Sebelum Upacara
Perkawinan
Istilah lokal
Dilakukan dan oleh dan  di lokasi
Istilah umum di lokasi
1
Meninjau calon Menantu

Maresek [2]

Pihak Perempuan

Padang


2
Meminang + Tukar Tanda + pemberitahuan



Minta izin perkawinan dan menentukan hari pernikahan
Maantaan nasi lamak
Pihak perempuan ke pihak bako sekalian ke pihak laki-laki untuk meminang
Padang

Manapiak Bandua [3]
Oleh pihak perempuan ke pihak  laki-laki untuk meminang
Painan

3

Memberitahu sanak keluarga tentang persetujuan pernikahan
Mahanta
Pihak laki-laki ke ninik mamak dan keluarganya
Padang
Minum kopi
Pihak laki-laki dan perempuan
Painan
4
Menerima pemberian pihak bako
Babako/Babaki
Pihak bako laki-laki maupun perempuan
Padang/ Painan
5
Tanda pihak wanita
siap untuk nikah
Bainai
Pihak perempuan sehari sebelum akad nikah
Padang dan Painan

B

Pada Upacara Perkawinan
1
Mengantarkan
Sirih: menandakan niat baik laki-laki
Maantakan Siriah
Oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan mengantarkan bawaan
Hanya di Painan
2
Menjemput pengantin pria
Manjapuik marapulai
Oleh Pihak perempuan ke pihak laki-laki
Padang dan Painan

3

Akad Nikah

Badampiang
Pada pihak perempuan sekaligus akad nikah
Painan
Akad Nikah
Di rumah pengantin wanita
Padang

C

Sesudah Upacara Perkawinan

1
Menemui mertua pihak laki-laki
Manikam jajak
Di rumah Pengantin Pria
Padang
Manjalang Mintuo
Di Rumah Pengantin pria
Painan


Dari tabel ini terlihat bahwa acara mantakan nasi lamak di adakan pada saat meminang pihak laki-laki oleh pihak perempuan. Pada saat yang sama nasi lemak juga di kirim ke pihak Bako, dari calon mempelai wanita sesuai dengan tradisi yang penulis amati di lapangan. Sekarang penulis ingin memperlihatkan pihak-pihak yang diberikan nasi lamak itu, yaitu keluarga bako, yang disebut bako adalah keluarga dari pihak ayah, seperti bagan di bawah ini.


Gambar bagan yang memperlihatkan keluarga bako perempuan dan keluarga bako pihak laki-laki yang berasal dari pihak ayah mempelai wanita. Pihak calon pengantin laki-laki disebut “pihak lawan”. Pada bagan ini diperlihatkan jumlah pemberian nasi lamak itu. Jumlah piring hantaran ini, relatif, sebab tergantung permintaan, baik dari pihak bako, maupun pihak calon mempelai laki-laki. Dalam acara adat perkawinan ini, seperti yang terlihat pada bagan yang akan kawin adalah Emi (suku Caniago) dan Goni (suku Jambak). Emi atau pihak perempuan adalah anak Icap (semua nama ini adalah samaran). Icap adalah suku Balaimansiang. Jumlah piring yang akan diantarkan kepada semua pihak cukup besar (104 piring), yang terdiri dari 5 piring menengah + 25 piring kecil untuk pihak bako laki-laki (lihat bagan), 20 piring kecil dan 3 piring menengah untuk bako perempuan. 45 piring kecil 3 piring menengah + 3 piring besar yang ditujukan kepada pihak calon mempelai wanita untuk meminang. Hantaran ini di antarkan pada sianghari sebelum meminang yang dilakukan pada malam hari tanggal (30-10-2014).Hantaran ini di tambah lagi dengan hantaran lain seperti kue bolu (kukus), agar-agar, pisang dan lainnya. Tentu saja dengan biaya yang cukup besar pula, menurut informasi sekitar 3 juta rupiah untuk acara nasi lamak ini.
Bisa di bayangkan untuk seratus piring nasi lamak itu diperlukan sekitar  60 ekor ayam, lebih 300 buah kelapa. Menurut informasi dalam acara meminang ini, adalah untuk menentukan jumlah uang dapur (jemputan) dan uang ninik mamak pihak laki-laki. Menurut informasi, pihak perempuan  diminta 5 juta rupiah untuk uang dapur, dan 2 juta rupiah uang untuk ninik mamak. Tetapi karena ayah pihak perempuan kerjanya hanya tukang ojek, diminta agar tidak memberatkan, dan akhirnya diminta hanya setengahnya oleh pihak laki-laki. Pada hal pihak laki-laki walaupun bekerja di PLN hanya sebagai pegawai kontrakan sebagai cleaning service, (tidak pegawai negeri). Catatan bulan Oktober 2015 sekarang pengangguran, dan kerjanya kurang jelas.

Bagaimanakah  Tradisi Perkawinan Daerah Pesisir Minangkabau Itu? 

(Perbandingan antara Padang dan Painan)

Untuk mengenal  istilah-istilah yang di uraikan pada tabel di atas, maka perlu dijelaskan pula adat dan tradisi  pesisir baik kota Padang (umumnya) dan daerah Painan sebagai berikut ini, maupun tradisi yang berlaku di Sumatera  Barat (secara teoritis), sebab yang penulis amati di lapangan, dan dicatat pada uraian sebelumnya  adalah kenyataan yang sebenarnya.[4]
Tradisi Pernikahan Adat Minang (Padang)
Pernikahan dalam adat Minangkabau, pernikahan merupakan salah satu masa peralihan yang sangat berarti karena merupakan permulaan masa seseorang melepaskan diri dari kelompok keluarganya untuk membentuk kelompok kecil milik mereka sendiri. Karena itu peristiwa pernikahan sangatlah penting bagi siklus kehidupan seseorang.

Hari tersebut merupakan hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh kedua calon mempelai dan keluarga dari kedua belah pihak. Ditandai dengan prosesi upacara adat dan keagamaan yang sesuai dengan pepatah minang “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Seluruh rangkaian upacara pernikahan adat, perlengkapan, tata rias membutuhkan persiapan yang lama dan sangat terperinci. tradisi dan upacara adat yang biasa dilakukan baik sebelum maupun setelah acara pernikahan: 

1. Maresek
Maresek, yaitu masa penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian tatacara pelaksanaan pernikahan. Sesuai dengan sistem kekerabatan di Minangkabau, pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga yang datang membawa buah tangan berupa kue atau buah-buahan sesuai dengan sopan santun budaya timur. Pada awalnya beberapa wanita yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu apakah pemuda yang dituju berminat untuk menikah dan cocok dengan si gadis. Upacara adat bisa berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga.

2. Meminang dan Bertukar Tanda
Meminang dan Bertukar Tanda. Keluarga calon mempelai wanita mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk meminang. Bila tunangan diterima, berlanjut dengan bertukar tanda sebagai simbol pengikat perjanjian dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara melibatkan orang tua atau ninik mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak. Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang dengan membawa sirih pinang lengkap disusun dalam carano  atau kampia yaitu tas yang terbuat dari daun pandan.

Menyuguhkan sirih diawal pertemuan disertai dengan harapan apabila ada kekurangan atau kejanggalan tidak akan menjadi gunjingan. Sebaliknya, hal-hal yang manis dalam pertemuan akan melekat dan diingat selamanya. Selain itu juga disertakan oleh-oleh kue-kue dan buah-buahan.
Benda-benda yang dipertukarkan biasanya benda-benda pusaka seperti keris, kain adat atau benda lain yang bernilai sejarah bagi keluarga. Benda-benda ini akan dikembalikan dalam suatu acara resmi setelah berlangsung akad nikah.

Tata caranya diawali dengan juru bicara keluarga wanita yang menyuguhkan sirih lengkap untuk dicicipi oleh keluarga pihak laki-laki sebagai tanda persembahan. Juru bicara menyampaikan lamaran resmi. Jika diterima berlanjut dengan bertukar tanda ikatan masing-masing. Selanjutnya berembug soal tata cara penjemputan calon mempelai pria. Catatan penulis:  di lokasi yang penulis lihat meminang dilakukan setelah mengantarkan nasi lamak

3. Mahanta / Minta Izin
Mahanta atinya mengantar. Calon mempelai pria mengabarkan dan mohon doa restu rencana pernikahan kepada mamak-mamaknya, saudara-saudara ayahnya, kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan para sesepuh yang dihormati. Hal yang sama dilakukan oleh calon mempelai wanita, diwakili oleh kerabat wanita yang sudah berkeluarga dengan cara mengantar sirih.

Bagi calon mempelai pria membawa selapah yang berisi daun nipah dan tembakau (namun saat ini sedah digantikan dengan rokok). Sementara bagi keluarga calon mempelai wanita ritual ini menyertakan sirih lengkap. Ritual ini ditujukan untuk memberitahukan dan mohon doa rencana pernikahannya. Biasanya keluarga yang didatangi akan memberikan bantuan untuk ikut memikul beban dan biaya pernikahan sesuai kemampuan.

4. Babako – Babaki
Bako artinya adalah keluarga dari pihak ayah. Babako artinya ber-bako. Acara Babako, dimana pihak keluarga dari ayah calon mempelai wanita (disebut bako) ingin memperlihatkan kasih sayangnya dengan ikut memikul biaya sesuai kemampuan. Acara berlangsung beberapa hari sebelum acara akad nikah.

Perlengkapan yang disertakan biasanya berupa sirih lengkap (sebagai kepala adat), nasi kuning singgang ayam (makanan adat), antaran barang yang diperlukan calon mempelai wanita seperti seperangkat busana, perhiasan emas, lauk pauk baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah, kue-kue dan sebagainya.
Catatan : bagi yang kaya tidak jarang Babako ini memberikan lembu/ sapi. Lihat situs ini.

Sesuai tradisi, calon mempelai wanita dijemput untuk dibawa ke rumah keluarga ayahnya. Kemudian para ketua adat atau Penghulu adat memberi nasihat. Keesokan harinya, calon mempelai wanita diarak kembali ke rumahnya diiringi keluarga pihak ayah dengan membawa berbagai macam barang bantuan tadi.

5. Malam Bainai
Bainai berarti melekatkan tumbukan halus daun pacar merah atau daun inai ke kuku-kuku calon pengantin wanita. Tumbukan ini akan meninggalkan bekas warna merah cemerlang pada kuku.

Lazimnya berlangsung malam hari sebelum akad nikah. Tradisi ini sebagai ungkapan kasih sayang dan doa restu dari para sesepuh keluarga mempelai wanita. Busana khusus untuk upacara Bainai yakni baju tokoh dan bersunting rendah. Perlengkapan lain yang digunakan antara lain air yang berisi keharuman tujuh kembang, daun iani tumbuk, payung kuning, kain jajakan kuning, kain simpai dan kursi untuk calon mempelai.

Calon mempelai wanita dengan baju tokoh dan bersunting rendah dibawa keluar dari kamar diapit kawan sebayanya. Acara mandi-mandi secara simbolik dengan memercikkan air harum tujuh kembang oleh para sesepuh dan kedua orang tua. Selanjutnya, kuku-kuku calon mempelai wanita diberi inai.

6. Manjapuik marapulai
Manjapuik marapulai  adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat Minangkabau. Calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah calon pengantin wanita untuk melangsungkan akad nikah.

 Manjapuik Marapulai, diiringi Sumandan
Manjapuik Marapulai tanpa Sumandan

Upacara adat ini juga dibarengi pemberian gelar pusaka kepada calon mempelai pria sebagai tanda sudah dewasa. Lazimnya pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa sirih lengkap dalam cerana yang menandakan datangnya secara beradat, pakaian pengantin pria lengkap, nasi kuning singgang ayam, lauk pauk, kue-kue serta buah-buahan. Untuk daerah pesisir Sumatera barat biasanya juga menyertakan payung kuning, tombak, pedang serta uang jemputan atau uang hilang.
Rombongan utusan dari keluarga calon mempelai wanita menjemput calon mempelai pria sambil membawa perlengkapan. Setelah upacara adat sambah mayambah dan mengutarakan maksud kedatangan, barang-barang diserahkan. Calon pengantin pria beserta rombongan diarak menuju kediaman calon mempelai wanita.

7. Penyambutan di Rumah Anak daro
Penyambutan di Rumah Anak daro Tradisi menyambut kedatangan calon mempelai pria di rumah calon mempelai wanita lazimnya merupakan momen meriah dan besar. Diiringi bunyi musik tradisional khas Minang yakni talempong dan gandang tabuah (gendang), serta barisan gelombang adat timbal balik yang terdiri dari pemuda-pemuda berpakaian silat, serta disambut para dara berpakaian adat yang menyuguhkan sirih.

 Tarian Gelombang menyambut marapulai (pengantin pria)

Sirih dalam carano  adat lengkap, payung kuning keemasan, beras kuning, kain jajakan putih merupakan perlengkapan yang biasanya digunakan. Keluarga mempelai wanita memayungi calon mempelai pria disambut dengan tari Gelombang Adat timbal balik. Berikutnya, barisan dara menyambut rombongan dengan persembahan sirih lengkap.

Para sesepuh wanita menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning. Sebelum memasuki pintu rumah, kaki calon mempelai pria diperciki air sebagai lambang mensucikan, lalu berjalan menapaki kain putih menuju ke tempat berlangsungnya akad.

8. Akad Nikah
Tradisi sesusai akad nikah  Ada lima acara adat Minang yang lazim dilaksanakan seusai akad nikah. Yaitu :
1)Memulangkan tanda. Setelah resmi sebagai suami istri maka tanda yang diberikan sebagai ikatan janji sewaktu lamaran dikembalikan oleh kedua belah pihak.
2)Mengumumnkan gelar pengantin pria.Gelar sebagai tanda kehormatan dan kedewasaan yang disandang mempelai pria lazimnya diumumkan langsung oleh ninik mamak kaumnya.
3)Mengadu Kening. Pasangan mempelai dipimpin oleh para sesepuh wanita menyentuhkan kening mereka satu sama lain. Kedua mempelai didudukkan saling berhadapan dan diantara wajah keduanya dipisahkan dengan sebuah kipas, lalu kipas diturunkan secara perlahan. Setelah itu kening pengantin akan saling bersentuhan.
4)Mangaruak Nasi Kuning. Upacara adat ini mengisyaratkan hubungan kerjasama antara suami isri harus selalu saling menahan diri dan melengkapi. Ritual diawali dengan kedua pengantin berebut mengambil daging ayam yang tersembunyi di dalam nasi kuning.
5)Bermain Coki.Yakni semacam permainan catur yang dilakukan oleh dua orang, papan permainan menyerupai halma. Permainan ini bermakna agar kedua mempelai bisa saling meluluhkan kekakuan dan egonya masing-masing agar tercipta kemesraan.
Akad nikah yang dilaksanakan di rumah

Pelaksanaan Prosesi perkawinan menurut informan [5] 

Menurut informan, proses prosesi baralek  adat Padang yang kuat dengan adat. Mulai dari proses meminang, buek hari (menentukan hari), nikah, Babako, baralek , dan Manjapuik marapulai. Misalnya saja dalam ikatan lamaran biasanya pihak perempuan menghantarkan hantaran seperti kue, samba, lamang dan buah. Dalam proses lamaran pihak wanita mendatangi rumah pihak laki-laki tanda jadi suatu ikatan maminang. Acara melibatkan orang tua atau ninik mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak. Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang dengan membawa sirih pinang lengkap disusun dalam carano . Proses ini di jadikan sebagai tanda lamaran dalam meminang.

Dalam proses lamaran pihak laki-laki meminta hantaran 11 macam  untuk Manjalang Mintuo yaitu singgang ayam, ikan, daging, pregedel, labu hias, lobak hias, kue pengantin, kue biasa, kue hias buah, agar-agar, dan nasi lamak. Di acara nikah pihak perempuan menjemput marapulai  dengan pakaian sapatagak dan pihak laki-laki membawa mahar biasanya acara akad nikah setelah jumat dihadiri oleh semua pihak, baik pihak laki-laki dan pihak perempuan.  Penghulu Bako, ninik mamak, urang sumando, sanak dakek, sanak jauh, dan beberapa tetangga sebagai saksi dalam akad nikah.

Acara Babako, di lakukan  bako dengan ma arak anak pisang  dengan cara baarak, naik kudo, atau dengan musik pancaragam, acara ini bila bako mampu dalam ma arak anak pisang  dengan musyawarah bako sebagai keluarga pihak ayah. Dalam babako, anak pisang  memakai pakaian adat solok, dan boleh juga baju pengantin. Bako membawa nasi lamak, lauk pauk,raga-raga, kue, dan selimut, alas tempat tidur, uang, dan emas sebagai hantaran buat anak pisang. Sesuai tradisi, calon mempelai wanita dijemput untuk dibawa ke rumah keluarga ayahnya. Kemudian para tetua memberi nasihat.

Malam harinya di pihak laki-laki  marapulai  Batagak Gala yang di musyawarahkan oleh ninik mamak atas berdasarkan kesepakatan bersama.dan di sertai dengan acara malam minggu seperti musik orgen. Di pihak anak daro juga di adakan  acara pemuda-pemudi dan anak daro mengikuti prosesi malam Bainai di waktu dulu, tetapi pada saat ini malam Bainai jarang ditemukan. Di hari minggu acara baralek  dengan mengundang,sanak saudara,  para tamu untuk memberi restu kepada anak daro dan marapulaiAnak daro berhias di rumahnya, dan marapulai  di jemput oleh pihak wanita atau bundo kanduang  dan dua orang sumandan, setelah marapulai  datang di rumah anak daro disambuik dengan nasi kunyik, dan sirih dalam carano , payung kuning, dan alat musik tradisional.anak daro dan marapulai  basandiang dipelaminan. Setelah acara baralek  marapulai  di antar pulang oleh saudara ibu perempuan anak daro.  Di hari senin japuik marapulai  dengan ninik mamak dan urang sumando membawa pakaian jas, sepatu dan kain sarung dan sirih sebagai tanda menantu baru yang datang kerumah mertua.

Pula informan lain yang pernah menjadi Sumandan dalam psoses pernikahan Manjapuik marapulai  tinggal di Padang menuturkan bahwa proses adat Padang yang begitu berkesan dan anak kecil dari pihak perempuan juga ikut serta yang biasa disebut anak daro ketek. Sumandan menjemput marapulai  untuk di bawa kerumah pihak anak daro  diiringgi 2 orang Sumandan. Dengan menggunakan pakaian adat minang dan suntiang ketek sebagai simbol. Kedua Sumandan berdiri di kiri dan di kanan marapulai  saat menggiringgi marapulai  berjalan menuju rumah Anak daro.

Bahwa  marapulai  asli Padang biasanya pakai uang japuik dan uang dapur  diminta oleh pihak Marapulai. Sedangkan Anak daro  yang memakai adat Padang isi kamar atau perabot pihak wanita yang membiayai sendiri baik uang dapur, perhelatan buat baralek  dan segala macam sesuai dengan kemampuan pihak keluarga.

Adat Istiadat Perkawinan Di Pesisir Selatan, oleh Bundo kanduang Pesisir Selatan[6]

Pesisir Selatan dengan panjang daerah ± 240 Km terletak di selatan Kodya Padang, terdiri dari 11 Kecamatan dan 36 Kenagarian. Setiap Kecamatan ataupun Kenagarian mempunyai kekhususan-kekhususan dalam adat istiadat perkawinan namun demikian secara umum mempunyai banyak kesamaan terutama dalam simbol-simbol adat, ataupun maksid yang terkandung dalam setiap bagian adat istiadat dan tata cara perkawinan itu.Bundo kanduang Pesisir Selatan merangkum adat istiadat itu seperti tulisan dibawah ini.

A. Acara Pendahuluan
Pada bagian ini disebut Manapiak Bandua.Acara ini di mulai, apabila sudah ada kesepakatan adat dan tinjau meninjau yang biasanya dilakukan oleh pihak ketiga (setangkai).“Manapiak Bandua” yaitu rombongan kecil dari pihak anak daro yang biasanya terdiri dari mandeh, bapak, mamak, urang sumando, pasumandan bako yang paling dekat/ datang ke rumah keluarga calon marapulai. Rombongan kecil ini membawa buah tangan berupa kue-kue, nasi lamak baluo, pisang, dll. Di rumah calon marapulai  pun , telah menunggu pula sekelompok kecil tuan rumah, yang sama pula keadaannnya dengan rombongan yang datang.

Tujuannnya adalah pihak calon anak daro menyampaikan keinginan hati hendak menjodohkan anak kemenakan perempuan mereka dengan anak kemenakan dari pihak tuan rumah, melalui pasombahan, sisomba ataupun pepatah-petitih dari kato bajawek, gayuang basambuik yang disampaikan oleh juru bicara yaitu urang sumando kepada mamak kedua belah pihak maksud itu disampaikan.

Setelah rundingan disepakati oleh kedua belah pihak, biasanya setelah beberapa hari setelah itu pihak keluarga marapulai  mendatangi pula keluarga anak dara untuk menyatakan menerima maksud hati kedatangan anak daro beberapa hari yang lalu dan mambicarakan tentang pematangan acara pernikahan.

Sebelum urutan acara resmi pernikahan dimulai menurut adat istiadat maka masing-masing pihak mengadakan acara yang disebut “minum kopi” dikaumnya. Acara minum kopi ini bertujuan untuk memberitahukan kepada keluarga dekat ninik mamak, urang sumando, mandeh bapak, bako bahwa kemenakan yang bersangkutan dengan anak kemenakan dari kaum lain atau istilahnya “kama angkek alek ”. Perundingan menyangkut tata cara perkawinan yang diadakan, persiapan-persiapan alek  dan petugas-petugas alek , sekalian menghimpun dana bantuan/gotong royong untuk membiayai alek  yang diadakan.

B. Acara Resmi
1. Babako
Acara ini dilaksanakan oleh calon penganten ditempatnya masing-masing. Adapun tujuan acara ini sebagai pernyataan kasih sayang dan restu dari pihak bako (keluarga ayah pihak penganten) terhadap anak pisang nya yang akan menempuh hidup baru. Rombongan Induk Bako yang berkumpul dirumah salah seorang keluarga dekat ayah ma arak pisangnya yang akan menjadi penganten ditempat kediaman anak pisang  itu sendiri untuk “ diasoki (diasapi)dengan kemenyan (kumayan) dan dilimaui dengan limau harum”.

Kedua macam benda itu melambangkan do’a untuk keselamatan penganten dan melambangkan membersihkan diri lahir bathin serta dorongan untuk memperkuat mental sebelum melangsungkan pernikahan. Arakan ini dilengkapi dengan sejumlah bawaan sebagai paragiah (pemberian) dan sumbangan dari pihak keluarga ayah. Bawaan itu antara lain terdiri dari nasi kunyit, sejumlah bahan sandang kain panjang, sarung, beras, dan sebagainya. Bahkan bawaan ini dilengkapi dengan perhiasan emas, ternak sapi, kerbau, ataupun kambing, sesuai dengan kemampuan pihak bako. Arak-arakan ini diiringi pula dengan bunyi-bunyian talempong, pupuik sarunai.

2. Maanta siriah
Acara ini dilaksanakan oleh pihak keluarga marapulai  datang ke rumah anak daro dengan membawa sirih yang disusun diatas dulang dengan segala kelengkapannya disertai dengan sejumlah bawaan berupa pakaian untuk anak daro sapatagak dengan cermin alat-alat berhias, alat rumah tangga lainnya seperti sprei (alas tempat tidur) alat-alat makan. Selain itu juga membawa bahan-bahan dapur mulai dari cabe, garam,bawang, ikan, ayam, daging, sayur-sayuran dan buah-buahan yang semua bawaan ini adalah sebagai pernyataan dari “putiah mato dapek dilihat, putiah hati bakaadaan”.

Jadi tindak lanjut dari acara pinang maminang yang telah disepakati secara resmi, kalau keluarga mampuh bawaan ditambah pulah dengan perhiasan emas. Setelah acara maanta siriah, biasanya pada malam hari diadakanlah acara puncak yaitu Ijab Kabul antara kedua mempelai dirumah anak daro.
3. Manjapuik marapulai
Untuk acara nikah, marapulai  dijemput oleh pihak keluarga anak daro kerumahnya. Rombongan penjemput biasanya terdiri dari urang sumando, mamak-mamak, ibu dari bapak kira-kira 10 sampai 15 orang. Rombongan ini membawa syarat-syarat yang telah disepakati tatkala setelah berunding terjadi sambah manyambah pepatah petitih antara kedua belah pihak, maka rombongan dari anak daro ditambah dengan rombongan dari rumah marapulai  berangkat ma arak marapulai  kerumah anak daro untuk nikah.
Acara ini disebut maanta marapulai. Di Pesisir Selatan khususnya di Painan acara maanta marapulai  ini terkenal dengan istilah Badampiang.

4. Badampiang (Maanta Marapulai )
Badampiang adalah akronim kata dari ayo hampir sampai, bahasa setempat hampir (ampiang), kata ampiang ini menjadi bagian dari sorak-sorai rombongan pengantar marapulai  tadi (ampiang sampai kerumah anak daro). Pada acara ini marapulai  diantar oleh rombongan yang sudah bergabung tadi kerumah anak daro untuk nikah. Diiringi dengan bunyi-bunyian pupuik talempong yang diselingi dengan pantun-pantun yang menyatakan betapa sedih bercampur gembira keluarga marapulai  melepas anaknya masuk kekeluarga kaum lain.

Disamping itu juga diselingi dengan pantun-pantun jenaka dari urang-urang mudo yang bertujuan untuk menggoda marapulai  yang akan memasuki hidup baru. Semua pantun-pantun ini didendang bersahut-sahutan oleh rombongan. Setiap selesai satu atau dua pantun diselingi pula oleh sorak-sorai yang berbunyi “Ayo Dampiang” (hampir sampai) oleh seluruh rombongan. Sampai rombongan tiba dirumah anak daro, setelah sambah manyambah lalu dilaksanakanlah acara puncak tersebut.


5. Manjalang Mintuo
Setelah ijab kabul (nikah) maka keesokan harinya acara dilanjutkan dengan “Manjalang Mintuo”.
Manjalang Mintuo adalah acara perkenalan resmi antara anak daro dengan pihak keluarga marapulai. Acara ini juga sebagai pemberitahuan kepada orang sekampung bahwa pasangan ini sudah resmi menjadi suami isteri.

Marapulai  dan anak daro diarak pula dengan iringan talempong pupuik sarunai melalui labuah nan panjang kerumah keluarga marapulai. Pada acara ini juga dibawa sejumlah kue-kue, macam-macam sambal antaralain: rendang daging, ikan, ayam, telur, sayur-sayuran, buah-buahan yang dihiasi sedemikian rupa, demikian juga nasi kunyit dan panggang ayam. Setiba dirumah marapulai  diadakan do’a selamatan serta perkenalan dengan keluarga besar marapulai .
Kemudian setelah acara-acara resmi ini selesai masih ada lagi, rangkaian acara kecil yang harus dilakukan oleh anak daro, “Japuik Tigo Hari” (jemput tiga hari). Acara ini dilaksanakan tiga hari setelah hari perkawinan.

Anak daro dijemput oleh pihak marapulai  untuk bermalam dirumah keluarga marapulai  (mintuo anak daro) dalam rangka mengenal lebih dekat dan menjalin silaturahim dengan keluarga yang bersangkutan. Setelah itu dilanjutkan pula acara jalang manjalang mamakbako, mandeh, bapak, kedua belah pihak.

Persiapan Pembuatan dan Mengantarkan Nasi lamak

Beberapa gambar di bawah ini memperlihatkan bagaimana kesibukan persiapan untuk antaran nasi lamak itu.

.

Memarut kelapa ratusan buah itu terpaksa dilakukan dengan mesin

Meremas kelapa yang sudah di kukur /diparut dengan mesin, untuk mengeluarkan santannya

Pekerjaan Memotong dan membersihkan ayam

Ayam mentah dan kanan ayam yang sudah masak tetapi belum di bumbui

 Alat masak tradisional dandang, untuk memasak ketan

Memasak bumbu campuran untuk ayam pada kuali

Ketan pulut itu dimasak dengan dandang /dikukus dua kali, pada kukusan  
kedua di campur dengan santan

Memadatkan nasi lamak untuk di masukkan ke masing-masing piring


 Membungkus masing-masing perlengkapan nasi lamak dengan plastik

Membungkus Nasi lemak dengan plastik

Membungkus hantaran dengan kain putih

 
Mengantarkan nasi lamak dengan mobil


Mengantarkan nasi lamak dengan becak motor

Kesimpulan

  1. Upacara nasi lemak ini menurut penulis memang unik dan jarang dilakukan oleh negeri lain, namun demikian sangat terasa memberatkan pihak perempuan, karena mengeluarkan uang tidak sedikit hanya untuk memberi tahu pihak bako dan pihak keluarga laki-laki. Cara antaran nasi lamak ini menurut penulis adalah alat untuk komunikasi, yaitu memberi tahu berbagai pihak bahwa akan dilangsungkannya perkawinan. Lihat tabel, ternyata yang diberikan nasi lamak itu adalah ke berbagai suku ( suku jambak dan suku balaimansiang di pihak ayah calon mempelai perempuan, suku jambak dan suku lain di pihak di pihak calon mempelai laki-laki). Dengan adanya antaran ini adalah sebagai tanda (simbol)
  2. Piring nasi lamak ini dikembalikan lagi oleh berbagai pihak yang diberikan sehari sebelum acara pernikahan, dengan syarat pengembalian itu diisi dengan uang, emas, atau pakaian atau kain sarung  batik. Yang paling berat adalah pemberian dengan piring besar sebab pengembaliannya harus diisi emas
  3. Di daerah kota padang yang sudah maju, mangantarkan nasi lamak hanya satu buah saja ke pihak laki-laki
  4. Pada dasarnya acara perkawinan di minangkabau ada memiliki kemiripan, namun cara dan tradisi tambahan untuk acara ini berbeda-beda hal ini dapat dilihat sewaktu penulis membandingkan acara perkawinan di daerah Padang dan Painan, walaupun kedua lokasi ini sama-sama daerah pesisir.
Catatan Kaki


[1] Istilah nasi lamak ada di temukan pada acara perkawinan di daerah Solok, kemungkinan sekali tradisi ini di bawa oleh penduduk Solok, yang beremigrasi ke daerah ini pada zaman lampau. Menurut cerita  sesepuh di daerah ini, daerah Padang  merupakan daerah rawa yang tidak berpenghuni. Karena desakan pertambahan penduduk, maka mereka merantau ke daerah pesisir. Salah satu bukti kesamaan suku di daerah ini adalah nama suku yang dipakai yaitu suku  “balai mansiang” yang juga terdapat di daerah Solok.

[2] http://deriwan.blogspot.com/2012/01/budaya.html, di Malaysia disebut dengan “marisik”lihat http://ms.wikipedia.org/wiki/Perkahwinan_Diraja_Perak
[5] http://deriwan.blogspot.com/2012/01/budaya.html

Daftar Istilah
  • Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah= pepatah minang berdasarkan ajaran Islam
  • Agar-agar = sejenis makanan kecil dari rumput laut
  • Alek = helat = perhelatan (upacara perkawinan)
  • Anak daro = pengantin wanita
  • Anak pisang = keturunan dari anak-laki-laki dalam suku
  • Babako= memiliki bako, bako = pihak keluarga dari ayah
  • Badampiang= pengertiannya sama dengan mengarak, mengadakan pawai untuk mengantarkan pengantin
  • Bainai = ba=ber, berinai, inai adalah sejenis tumbuhan pacar merah untuk pewarnai kuku, sehari sebelum baralek
  • Baralek = hajatan, pesta perkawinan
  • Batagak Gala = pemberian gelar, biasanya laki-laki yang kawin di Padang Pariaman, diberi gelaran, misalnya gelar sutan, marah, atau sidi, gelaran yang lain tergantung ninik mamaknya.
  • Bundo Kanduang = Secara harfiah Bundo Kanduang berarti ibu sejati atau ibu kanduang tapi secara makna Bundo Kanduang adalah pemimpin wanita di Minangkabau, yang menggambarkan sosok seorang perempuan bijaksana yang membuat adat Minangkabau lestari semenjak zaman sejarah Minanga Tamwan hingga zaman adat Minangkabau. Gelar ini diwariskan secara turun-menurun di Minangkabau dan dipilih pada lembaga Bundo Kanduang Sumatera Barat. Istri seorang Datuk kadang-kadang juga disebut sebagai Bundo Kanduang untuk tingkat  suku. Bundo Kanduang, Kabupaten Pesisir Selatan, adalah Bundo Kanduang setingkat Kabupaten.
  • Caniago, Jambak, Balaimansiang, adalah nama-nama suku di Minangkabau
  • Carano = Cerana, piala
  • Dulang = sejenis alat masak seperti dandang
  • Kama angkek alek = kemana bentuk upacara adat di buat, kama = kemana, alek= perhelatan
  • Kato bajawek, gayuang basambuik = kata berjawab, kata-kata adat balas-membalas
  • Kue Bolu = kue yang dibuat dengan cetakan dari tepung terigu dan di kukus
  • Ma arak = mengadakan arak-arakan, pawai
 Arakan Pengantin dengan bendi (babako-babaki)
  Arakan Pengantin dengan bendi (babako-babaki)
  Arakan Pengantin dengan berjalan kaki (babako-babaki)
 Pemain musik tradisi pengiring arakan (babako-babaki)
 Pemain musik tradisi pengiring arakan

 Arakan dalam acara maanta marapulai
  • Maanta marapulai = mengantarkan pengantin pria
  • Maanta siriah = mengantarkan sirih
 Sirih sebagai tanda, sirih dimakan penerima sirih dengan sadah (kapur), buah pinang, dan gambir. Pengganti sirih adalah rokok
  • Maantaan nasi lamak = mengantarkan nasi lamak
  • Maantakan Siriah= mengantarkan sirih,sirih sejenis  daun yang mengandung obat, khasiat
  • Mahanta = mengantarkan
  • Manapiak Bandua = melihat jendela, bandua = pintu, jendela (minang),artinya melihat pintu hati orang lain
  • Manikam jajak = menikam jejak, artinya menelusuri asal muasal
  • Manjalang Mintuo = pengertiannya sama dengan menikam jejak, mengunjungi mertua
  • Manjapuik marapulai = menjemput marapulai, marapulai = pengantin pria
  • Marapulai = pengantin pria
Marapulai sudah memakai pakaian yang moderen (tidak tradisi) 
  • Maresek=  meraba-raba, memperkirakan
  • Musik orgen= alat musik elektronik yang bentuknya mirip piano
Musik orgen dengan penyanyi
  • Ninik mamak =  saudara laki-laki dari pihak ibu dalam suku, dan yang dituakan, dihargai
 Ninik mamak dalam sebuah suku (clan)
  • Penghulu Bako= pimpinan adat dari pihak bako
  • Pihak Lawan = pihak calon pengantin pria dianggap lawan (musuh)
  • Pupuik sarunai = alat musik tiup dari batang padi yang ujungnya dari daun kelapa
  • Sambah manyambah pepatah petitih= berbalas pidato adat
  • Sanak dakek = saudara dekat, sanak = saudara
  • Sapatagak = selengkapnya
  • Suku = pewarisan suku di Minangkabau berdasarkan garis keturunan ibu (matrilineal)
  • Sumandan = pendamping pengantin wanita saat pawai perkawinan (arak-arakan)
 Sumandan
  • Talempong = sejenis alat musik pukul
Talempong pacik. 
Sumber:http://www.indonesiakaya.com/kanal/video_detail/talempong-pacik. 
Lain-lain gambar/foto dari penulis
  • Tetua = yang dituakan
  • Tukang Ojek = pekerja jasa angkutan dengan sepeda motor pakai becak
  • Uang Dapur = istilah lain  dari uang jemputan,  yang  diberikan ke pihak laki-laki
  • Uang jemputan = uang yang diminta pihak laki-laki sebagai syarat pernikahan
  • Urang sumando = setiap suami yang mengawini perempuan dalam suku, urang sumando di anggap pihak lain dalam suku

Catatan Khusus 

1. Babako-babaki
Sesuai dengan judulnya, maka pelaksanaan acara ini dalam rentetan tata cara perkawinan menurut adat Minangkabau memang dilaksanakan oleh pihak bako. Yang disebut bako, ialah seluruh keluarga dari pihak ayah. Sedangkan pihak bako ini menyebut anak-anak yang dilahirkan oleh keluarga mereka yang laki-laki dengan isterinya dari suku yang lain dengan sebutan anak pusako. Tetapi ada juga beberapa nagari yang menyebutnya dengan istilah anak pisang atau ujung emas. 


Dalam sistem kekerabatan matrilinial di Minangkabau, pihak keluarga bapak tidaklah begitu banyak terlibat dan berperan dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam lingkungan keluarga anak pusako. Menurut ketentuan adat setidaknya ada empat peristiwa dalam kehidupan seorang anak pusako dimana pihak bako ikut berkewajiban untuk mengisi adat atau melaksanakan acaranya secara khusus. Empat peristiwa tersebut adalah :

  1. Waktu melaksanakan acara turun mandi atau memotong rambut anak pusako beberapa waktu setelah dilahirkan
  2. Waktu perkawinannya
  3. Waktu pengangkatannya jadi penghulu (kalau dia laki-laki)
  4. Waktu kematian

Khusus pada waktu perkawinan anak pusako, keterlibatan pihak bako ini terungkap dalam acara adat yang disebut babako-babaki. Dalam acara ini, sejumlah keluarga ayah secara khusus mengisi adat dengan datang berombongan ke rumah calon mempelai wanita dengan membawa berbagai macam antaran. Acara ini bisa besar, bisa kecil, tergantung kepada kemampuan pihak keluarga bako. 

Hakikat dari acara ini adalah bahwa pada peristiwa penting semacam ini, pihak keluarga ayah ingin memperlihatkan kasih sayangnya kepada anak pusako mereka dan mereka harus ikut memikul beban sesuai dengan kemampuan mereka. Karena itulah dalam acara ini rombongan pihak bako waktu datang kerumah anak pusakonya membawa berbagai macam antaran. Terdiri dari berbagai macam barang yang diperlukan langsung oleh anak pusako, seperti pakaian, bahan baju, perhiasan emas, lauk pauk baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah, kue-kue dan lain sebagainya. Acara ini dilaksanakan beberapa hari sebelum acara akad nikah dilangsungkan. Untuk efisiensi waktu dan biaya terutama dikota-kota besar, acara babako-babaki ini sekarang sering disetalikan pelaksanaannya dengan acara malam bainai. Sore harinya pihak bako datang dan tetap tinggal dirumah anak pusakonya itu untuk dapat mengikuti acara bainai yang akan dilangsungkan malam harinya.



Tata cara



Menurut tradisi kampung, gadis anak pusako yang akan kawin biasanya dijemput dulu oleh bakonya dan dibawa kerumah keluarga ayahnya itu. Calon anak daro ini akan bermalam semalam dirumah bakonya, dan pada kesempatan itu yang tua-tua akan memberikan petuah dan nasehat yang berguna bagi si calon pengantin sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan berumah tangga nanti. 

Besoknya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan calon pengantin wanita didandani oleh bako dan lazimnya juga dipakaikan padanya pakaian adat pusaka bako, kemudian baru diantarkan secara beramai-ramai dalam satu arak-arakan adat ke rumah ibu bapaknya. Arak-arakan bako mengantar anak pusako ini diiringkan oleh para ninik mamak dan ibu-ibu yang menjunjung berbagai macam antaran dan sering pula dimeriahkan dengan iringan pemain-pemain musik tradisional yang ditabuh sepanjang jalan. 

Keluarga ibu juga mempersiapkan penyambutan kedatangan rombongan bako ini dengan tidak kalah meriahnya. Mulai dari penyambutan di halaman dengan tari galombang sampai kepada penyediaan hidangan-hidangan diatas rumah. Setelah naik ke atas rumah, maka seluruh barang antaran sebagai tanda putih hati yang dibawa bako-bako tersebut (kecuali binatang ternak yang hidup) dijajarkan di tengah rumah untuk dapat disaksikan oleh orang banyak. Biasanya yang menjadi juru bicara dalam acara ini adalah perempuan yang dihormati dalam keluarga bako. Dialah yang dengan bahasa yang penuh papatah petitih akan menyampaikan maksud kedatangan mereka dan membilang satu persatu antaran yang mereka bawa sebagai tanda putih hati dan kasih sayang kepada anak pusakonya. Dari pihak keluarga calon anak daro biasanya yang menyambut juga perempuan yang sama mahirnya dalam berbasa-basi.



Barang-barang yang dibawa bako



  1. Sirih lengkap dalam carano (sebagai kepala adat)
  2. Nasi kuning singgang ayam (sebagai makanan adat)
  3. Perangkat busana. Bisa berupa bahan pakaian atau baju yang telah dijahit, selimut dll
  4. Perangkat perhiasan emas
  5. Perangkat bahan mentah yang diperlukan di dapur untuk persiapan perhelatan, seperti beras, kelapa, binatang-binatang ternak yang hidup, seperti ayam, kambing atau kerbau
  6. Perangkat makanan yang telah jadi, baik berupa lauk pauk maupun kue-kue besar atau kecil

 Menurut tradisi di kampung dulu, bawaan pihak bako ini juga dilengkapi dengan berbagai macam bibit tumbuh-tumbuhan yang selain mengandung arti simbolik juga dapat dipergunakan oleh calon anak daro dan suaminya sebagai modal untuk membina perekonomian rumah tangganya nanti. Misalnya bibit kelapa, bibit padi dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Lazim juga dibeberapa daerah di Minangkabau, air harum racikan dari haruman tujuh macam bunga dengan sitawa sidingin dan tumbukan daun inai yang akan dipergunakan dalam acara mandi-mandi dan bainai, langsung disiapkan dan ikut dibawa dalam arak-arakan keluarga bako ini. Semua barang bawaan keluarga bako ini ditata secara khas diatas wadahnya sesuai dengan tradisi di daerahnya masing-masing. Malah ada kalanya kerbau hidup yang dibawapun didandani dan diberi pakaian khusus agar nampak menarik dan serasi untuk tampil dalam arak-arakan itu. Dibeberapa daerah SumBar acara yang sama dengan tujuan yang sama juga dilakukan oleh pihak keluarga ayah terhadap calon mempelai pria. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)



 2.Malam Bainai
 Secara harfiah bainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita. Tumbukan halus daun inai ini kalau dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah yang cemerlang pada kuku. Lazimnya dan seharusnya acara ini dilangsungkan malam hari sebelum besok paginya calon anak daro melangsungkan akad nikah. Apa sebab demikian ? Pekerjaan mengawinkan seorang anak gadis untuk pertama kalinya di Minangkabau bukan saja dianggap sebagai suatu yang sangat sakral tetapi juga kesempatan bagi semua keluarga dan tetangga untuk saling menunjukkan partisipasi dan kasih sayangnya kepada keluarga yang akan berhelat. 

Karena itu jauh-jauh hari dan terutama malam hari sebelum akad nikah dilangsungkan semua keluarga dan tetangga terdekat tentu akan berkumpul di rumah yang punya hajat. Sesuai dengan keakraban masyarakat agraris mereka akan ikut membantu menyelesaikan berbagai macam pekerjaan, baik dalam persiapan di dapur maupun dalam menghias ruangan-ruangan dalam rumah. 

Pada kesempatan inilah acara malam bainai itu diselenggarakan, dimana seluruh keluarga dan tetangga terdekat mendapat kesempatan untuk menunjukkan kasih sayang dan memberikan doa restunya melepas dara yang besok pagi akan dinikahkan. Selain dari tujuan, menurut kepercayaan orang-orang tua dulu pekerjaan memerahkan kuku-kuku jari calon pengantin wanita ini juga mengandung arti magis.

Menurut mereka ujung-ujung jari yang dimerahkan dengan daun inai dan dibalut daun sirih, mempunyai kekuatan yang bisa melindungi si calon pengantin dari hal-hal buruk yang mungkin didatangkan manusia yang dengki kepadanya. Maka selama kuku-kukunya masih merah yang berarti juga selama ia berada dalam kesibukan menghadapi berbagai macam perhelatan perkawinannya itu ia akan tetap terlindung dari segala mara bahaya. 

Setelah selesai melakukan pesta-pesta pun warna merah pada kuku-kukunya menjadi tanda kepada orang-orang lain bahwa ia sudah berumah tangga sehingga bebas dari gunjingan kalau ia pergi berdua dengan suaminya kemana saja. Kepercayaan kuno yang tak sesuai dengan tauhid Islam ini, sekarang cuma merupakan bagian dari perawatan dan usaha untuk meningkatkan kecantikan mempelai perempuan saja. Tidak lebih dari itu. 

Memerahkan kuku jari tidak punya kekuatan menolak mara bahaya apa pun, karena semua kekuatan adalah milik Allah semata-mata. Dibeberapa nagari di Sum Bar acara malam bainai ini sering juga diawali lebih dahulu dengan acara mandi-mandi yang dilaksanakan khusus oleh wanita-wanita disiang hari atau sore harinya. Maksudnya kira-kira sama dengan acara siraman dalam tradisi Jawa. 

Calon anak daro dibawa dalam arak-arakan menuju ke tepian atau ke pincuran tempat mandi umum yang tersedia dikampungnya. Kemudian perempuan-perempuan tua yang mengiringkan termasuk ibu dan neneknya, setelah membacakan doa, secara bergantian memandikan anak gadis yang besok akan dinobatkan jadi pegantin itu. Jika kita simpulkan maka hakikat dari kedua acara ini untuk zaman kini mempunyai tujuan dan makna sbb:

  1. Untuk mengungkapkan kasih sayang keluarga kepada sang dara yang akan meninggalkan masa remajanya,
  2. Untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membina kehidupan baru berumahtangga,
  3. Untuk menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan acara yang sakral, yaitu akad nikah,
  4. Untuk membuat anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama ia berdandan sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.
  5. Bagi orang-orang Minang yang mengawinkan anak gadisnya di Jakarta, acara-acara ini juga sudah lazim dilaksanakan. Tetapi untuk efisiensi waktu dan pertimbangan-pertimbangan lain seringkali kedua acara tersebut pelaksanaannya digabung menjadi satu. Acara mandi-mandipun dibuat praktis tanpa harus benar-benar mengguyur si calon pengantin, tapi cukup dengan memercikkan saja air yang berisi haruman tujuh kembang itu di beberapa tempat ditubuhnya.
 Tata busana

Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin wanita didandani dengan busana khusus yang disebut baju tokah dan bersunting rendah. Tokah adalah semacam selendang yang dibalutkan menyilang di dada sehingga bagian-bagian bahu dan lengan nampak terbuka. Untuk serasi dengan suasana, maka orang-orang yang hadir biasanya juga mengenakan baju-baju khusus. Teluk belanga bagi pria dan baju kurung ringan bagi wanita, begitu juga ayah bunda dari calon anak daro. Disamping itu biasanya juga disiapkan beberapa orang teman-teman sebaya anak daro yang sengaja diberi berpakaian adat Minang untuk lebih menyemarakkan suasana.

Tata cara

Jika acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolis maka di salah satu ruangan di atas rumah ditempatkan sebuah kursi dengan payung kuning terkembang melindunginya. Sesudah sembahyang Magrib kalau tamu-tamu sudah cukup hadir, maka calon anak daro yang telah didandani dibawa keluar dari kamarnya, diapit oleh gadis-gadis kawan sebayanya yang berpakaian adat. 

Untuk memberikan warna Islami, keluarnya calon anak daro dari kamarnya ini disambut oleh kelompok kesenian yang mendendangkan salawat Nabi yang mengiringkannya sampai duduk di kursi yang telah disediakan. Seorang dari saudaranya yang laki-laki, apakah kakaknya atau adiknya, berdiri dibelakangnya memegang payung kuning. Ini maknanya ialah bahwa saudara laki-laki yang kelak akan menjadi mamak bagi anak-anak yang akan dilahirkan oleh calon pengantin merupakan tungganai rumah yang bertanggung jawab untuk melindungi dan menjaga kehormatan saudara-saudaranya dan kemenakan-kemenakannya yang wanita. 
Setelah itu dua wanita saudara-saudara ibunya berdiri mengapit dikiri kanan sambil memegang kain simpai. Ini maknanya : menurut sistem kekerabatan matrilinial, saudara-saudara ibu yang wanita adalah pewaris pusako yang berkedudukan sama dengan ibu anak daro. Karena itu dia juga berkewajiban untuk melindungi anak daro dari segala aib yang bisa menimbulkan gunjingan yang dapat merusak integritas kaum seperinduan. 

Walaupun acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolik, kecuali ayah kandungnya maka orang-orang yang diminta untuk memandikan dengan cara memercikkan air haruman tujuh macam bunga kepada calon pengantin wanita ini hanya ditentukan untuk perempuan-perempuan tua dari keluarga terdekat anak daro dan dari pihak bakonya. Jumlahnya harus ganjil. Umpamanya lima, tujuh atau sembilan orang. Dan yang terakhir melakukannya adalah ayah ibunya. 

Jumlah ganjilnya ini ditetapkan sesuai dengan kepercayaan nenek moyang dahulu yang mungkin mengambil pedoman dari kekuasaan Tuhan dan peristiwa alam, atau karena angka-angka ganjil selalu berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sakral. Seperti sembahyang lima waktu, langit berlapis tujuh, sorga yang paling diidamkan oleh seorang Muslim juga sorga ketujuh. Tawaf keliling Ka’bah dan Sa’i pulang balik antara Safa dan Marwa dilaksanakan juga tujuh kali. Pada beberapa kenagarian calon anak daro yang akan dimandikan itu selain disiram dengan air yang berisi racikan tujuh kembang, maka tubuhnya juga dibaluti dengan tujuh lapis kain basahan yang berbeda-beda warnanya. 

Setiap kali satu orang tua selesai menyiramkan air ketubuhnya, maka satu balutan kain dibuka, dst.’ Jika acara mandi-mandi ini dilaksanakan secara simbolik, maka air haruman tujuh bunga itu dipercikkan ketubuh calon anak daro dengan mempergunakan daun sitawa sidingin. Tumbukan daun ini dikampung-kampung sering dipakai diluar maupun diminum, ia berkhasiat untuk menurunkan panas badan. Karena itu disebut daun sitawa sidingin. 

Acara memandikan calon anak daro ini diakhiri oleh ibu bapaknya. Setelah itu kedua orang tuanya itu akan langsung membimbing puterinya melangkah menuju ke pelaminan ditempat mana acara bainai akan dilangsungkan. Perjalanan ini akan ditempuh melewati kain jajakan kuning yang terbentang dari kursi tempat mandi-mandi ke tempat pelaminan. 

Langkah diatur sangat pelan-pelan sekali karena kedua orang tua harus menghayati betul acara itu yang mengandung nilai-nilai simbolik yang sangat berarti. Setelah sekian tahun ia membesarkan dan membimbing puterinya dengan penuh kehormatan dan kasih sayang, maka malam itu adalah kesempatan terakhir ia dapat melakukan tugasnya sebagai ibu bapa, karena besok setelah akad nikah maka yang membimbingnya lagi adalah suaminya. Kain jajakan kuning ini setelah diinjak dan ditempuh oleh calon anak daro, segera digulung oleh saudara kali-lakinya yang tadi waktu acara mandi-mandi memegang payung kuning. Tindak penggulungan kain kuning itu mengandung harapan-harapan, bahwa si calon anak daro benar-benar melakukan perkawinan itu cukuplah satu kali itu saja seumur hidupnya. Kalaupun akan berulang, maka itu karena maut yang memisahkan mereka.

Bainai

Jika acara memandikan calon anak daro hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja, maka acara melekatkan tumbuhan inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita Minang ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Dapat pula dimintakan untuk dilaksanakan oleh tamu-tamu yang dihormati malam itu, bisa oleh keluarga calon besan. Ada beberapa kenagarian di SumBar, acara bainai ini juga dapat dilakukan bersamaan dengan mengikutsertakan calon pengantin pria. Tapi duduk mereka tidak disandingkan, dan kalaupun ada yang langsung mempersandingkan maka tempat calon pengantin pria tidak di sebelah kanan, tetapi di sebelah kiri calon pengantin wanita. Kuku jari yang diinai sama juga dengan acara mandi-mandi, harus ganjil jumlahnya. Paling banyak sembilan.

 Menurut tradisi di kampung dulu, kesempatan pada acara bainai ini setiap orang tua yang diminta untuk melekatkan inai ke jari calon anak daro setelah selesai biasanya mereka berbisik ke telinga anak daro. Bisikan-bisikan itu bisa berlangsung lama, bisa sangat singkat. Maksudnya mungkin untuk memberikan nasehat-nasehat yang sangat rahasia mengenai kehidupan berumahtangga, atau bisa juga hanya sekedar seloroh untuk membuat si calon anak daro tidak cemberut saja dihadapan orang ramai. 

Pelaksanaan kedua acara ini biasanya dipimpin oleh perempuan-perempuan yang memang telah ahli mengenai pekerjaan ini yang dibeberapa daerah di Sum Bar disebut uci-uci. Seringkali juga pada malam bainai ini acara dimeriahkan dengan menampilkan kesenian-kesenian tradisional Minang. Di daerah pantai Sum Bar, hiburan yang ditampilkan lazimnya ialah musik gamat dengan irama yang hampir sama dengan lagu-lagu senandung dan joget Melayu Deli, sehingga mampu untuk mengundang orang secara spontan tegak menari menyambut selendang-selendang yang diulurkan oleh para penyanyi dan penari-penari wanita. (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)




 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar