Oleh
Anggun Gunawan
Masyarakat Minangkabau adalah sebutan
untuk sebuah kelompok masyarakat yang mendiami sebahagian besar daerah Propinsi
Sumatra Barat yang meliputi kawasan seluas 18.000 meter persegi yang memanjang
dari utara ke selatan di antara Samudera Indonesia dan gugusan Bukit Barisan.
Secara jelas batas daerah etnis Minangkabau ini sulit diketahui, bahkan apabila
dikaji secara linguistik sama dengan “antah-berantah” (Navis, 1984). Hal ini
disebabkan karena masyarakat Minangkabau lebih banyak melukiskan kondisi dan
situasi daerahnya melalui sastra lisan (kaba dan tambo)
Salah satu ciri yang melekat pada
masyarakat Minangkabau ini adanya masih kuatnya masyarakat memegang dan
menerapkan adat (adaik) yang mereka miliki. Salah satu bentuk ajaran adat
tersebut tertuang dalam adat lareh, berupa seperangkat nilai-nilai, norma-norma
dan aturan-aturan yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar yang mengatur
aktifitas dan kehidupan sosial politik masyarakatnya. Lareh sebagai “sistem
politik”, sering dipakai untuk menyebut aliran pemikiran dua datuak nenek
moyang pendahulu masyarakat Minangkabau yaitu Datuak Katamenggungan yang
mengembangkan lareh Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang
Berangkat dari tambo yang berkembang
dalam masyarakat Minangkabau, Datuak Katamenggungan mengembangan sistem politik
(lareh) Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang mengembangkan lareh
Bodi Caniago. Lareh Koto Piliang lebih bercirikan “aristokratis”, dimana
kekuasaan tersusun pada strata-strata secara bertingkat dengan wewenangnya
bersifat vertikal, sesuai dengan pepatahnya manitiak dari ateh (menetes adri
atas). Sementara lareh Bodi Caniago bercirikan “demokratis” dimana kekuasaan
tersusun berdasarkan prinsip egaliter dengan wewenang bersifat horizontal,
sesuai dengan pepatahnya mambusek dari bumi (muncul dari bawah) Secara
struktural, ajaran kedua lareh ini lah yang akhirnya mempengaruhi (constrains)
pola kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau di kemudian hari.
Sumber gambar: Hasil penelitian Nasbahry Couto (1996)
Perbedaan antara dua lareh ini disatu
sisi telah memunculkan persaingan satu sama lain, bahkan menurut Christine
Dobbin, persaingan tersebut telah terjadi sejak dua Datuak-Datuak
Katamenggungan dan Datuak Prapatiah nan Sabatang — mencetuskan adat lareh itu
sendiri. Ini ditandai dengan persaingan antara desa Lima Kaum yang menganut
adat lareh Bodi Caniago dengan desa Sungai Tarab yang menganut adat lareh Koto
Piliang, yang digambarkan Dobbin sampai terjadi “perang batu” dan “perang
bedil”.Menurut Syafi’I Maarif, sampai sekarang pun, pola yang selalu bersaing
antara dua lareh ini tetap bertahan dalam memperebutkan supremasi politik di
seluruh Minangkabau, bahkan dicurigai juga terjadi di daerah-daerah rantau
Minangkabau. Hal ini dilihat oleh Maarif dari pepatah-petitih Minangkabau yang
lebih banyak bermuatan demokratis, yang dicurigainya sebagai bentuk pengaruh
yang diciptakan orang Minangkabau penganut Bodi Caniago dalam memenangkan
“persaingan” tersebut.
Ada kecenderungan “dualisme” dalam
masyarakat Minangkabau. Ini misalnya terungkap dengan berbagai istilah yang
digunakan, seperti “dualisme” (Saanin, 1989), “aturannya yang dipakai
berubah-ubah” (Benda-Backmann, 2001), “aturan yang dipakai tidak jelas”
(Biezeveld, 2001), “sulit diterka” (Wahid, 1996), “ambiguous” (Sairin, 2002),
dispute (Tanner, 1971). Konsep “dualisme” ini cenderung dikonotasikan secara
negatif. Dalam pergaulan lintas budaya stereotip ini juga berkembang. Orang
Minang sering dibilang bengkok hatinya (munafik, mendua). Hal tersirat dalam
ungkapan “Padang Bengkok”. Dalam pepatah Minang juga ada yang mencerminkan
perilaku ini: “Taimpik nak diateh, Takurung nak di lua” (Terhimpit mau di atas,
Terkurung maunya di luar). Sikap ini mengindikasikan sifat oportunis orang
Minang yang mau enak saja.
Tulisan Saanin Datuak Tan Pariaman,
“Kepribadian Orang Minangkabau dan Psikopatologinya” secara tegas menyebutkan
“masyarakat minangkabau memiliki pola dualisme” yang melihat bahwa masyarakat
Minangkabau cenderung memiliki psikologi yang terbelah dua (dualisme). Menurut
Saanin, ketika seseorang mempelajari Minangkabau, akan selalu dihadapkan pada
masalah “dualisme” tersebut. Sifat dualisme seperti ini, misalnya terlihat
jelas pada : (1) Penerapan aturan antara cara adat (matrilineal) dengan cara
agama (patrilineal). (2) sistem politik (lareh) antara aristokratis dengan
demokratis. (3) pola pengasuhan anak antara pengasuhan oleh mamak dengan
pengasuhan oleh bapak. (4) sistem pewarisan (harta dan gelar) antara pewarisan
ke kemenakan dengan pewarisan ke anak. Ini hanya beberapa contoh bentuk
dualisme dalam masyarakat Minangkabau tersebut.
Sifat dasar masyarakatnya yang terbelah
(dualisme) ini, tidaklah terbentuk begitu saja, tetapi secara struktural telah
terbentuk sejak lama, yaitu sejak duo datuak pendiri adat Minangkabau
menciptakan dua landasan adat (lareh) dalam masyarakatnya. Dalam tambo
digambarkan, dua datuak ini yaitu Datuak Katamenggungan akhirnya menciptakan
lareh Koto Piliang yang aristokratis (manitiak dari ateh), dan Datuak Prapatiah
Nan Sabatang akhirnya menciptakan lareh Bodi Caniago yang demokratis (mambusek
dari bumi). Sebagai dua tokoh penting, maka terbelahnya landasan adat
masyarakat Minangkabau menjadi dua (dualisme) ini bisa dimaklumi, karena kedua
tokoh ini digambarkan memang memiliki asal usul, kepribadian dan pola pikir
yang berbeda. Datuak Katamenggungan digambarkan sebagai “putra makhkota” yang
akan mewarisi “kerajaan” ayahnya yang berpola patrilineal, berwatak keras, dan
memiliki pola pikir yang tegas sebagaimana layaknya seorang “raja”. Berbeda
dengan Datuak Prapatiah Nan Sabatang yang justru terlahir dari rakyat biasa,
suka merantau dan berwatak kerakyatan, serta memiliki pola pikir yang lembut
dan egaliter.
Perbedan-perbedaan ini lah yang sering
menjadi pemicu munculnya persaingan dan pertentangan diantara duo datuak ini
dalam memimpin Minangkabau pada waktu itu. Puncaknya, terjadi setelah ayah dan
ibu mereka (Cati Bilang Pandai dan Indo Jalito) meninggal dunia, yaitu dengan
terjadinya “perang“ di Limo Kaum (Dobbin, 1983; Djamaris, 1991). Pada
perkembangan kemudian, akhirnya kedua datuak ini lalu membentuk dua sistem
politik (lareh) yang berbeda dan masing-masing nya saling berebut pengaruh
dalam masyarakatnya. Masyarakat Minangkabau akhirnya terbelah dalam dua sistem
politik (phratry dualism), dan disisi lain juga akhirnya membelah wilayah
Minangkabau kedalam dua aliran tersebut, yang dikenal dengan istilah luhak
(Batuah, 1966). Secara struktural, dua lareh yang diciptakan duo datuak ini lah
yang kemudian menjadi landasan dasar kehidupan sosial-politik masyarakat
Minangkabau, sampai sekarang ini (Maarif, 1996).
Dalam kasus yang lebih modern, kita
menemukan pertentangan antara beberapa anak Minang yang berjasa dalam revolusi
kemerdekaan Indonesia, yakni antara Syahrir, Hatta, dan Tan Malaka. Dalam
Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan 11-17 Agustus 2008 dimuat artikel
pertentangan Tan Malaka dengan Mohammad Hatta. Mereka berselisih paham tentang
bagaimana memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Sama-sama egois. Hatta
sangat menentang komunisme. Ia menganjurkan koperasi dalam menegakkan ekonomi
Indonesia. Sebaliknya, Tan Malaka percaya jika digabung antara Pan-Islamisme
dan Komunisme, Indonesia bisa menjadi digdaya.
Pertanyaan penting yang mesti dijawab
adalah apakah Pertentangan dan persaingan sebagaimana yang disebutkan di atas
menimbulkan silang sengketa yang berkepanjangan dan tak berkesudahan di Minang?
Banyak ahli mengatakan sifat terbelah dua (dualisme) ini selalu membayangi
kehidupan masyarakatnya, justru hal tidak menimbulkan kondisi disharmoni dalam
masyarakatnya. Banyak ahli bahkan melihat bahwa Minangkabau memiliki kehidupan
yang sangat dinamis. Ini menunjukkan bahwa di dalam sifat yang terbelah itu,
terselip juga nilai-nilai budaya yang mampu mensintesiskannya, sehingga
dualisme ini justru menjadi sebuah kesatuan yang saling mendukung satu sama
lain. Dalam tambo, menurut Navis (1984) dan juga Djamaris (1991), sintesis yang
mengakhiri pertentangan antara duo datuak pendiri Minangkabau tersebut
dilakukan melalui kehadiran tokoh Datuak Sakalok Dunia dan Banego-nego. Ini
akhirnya melahirkan lareh baru yang disebut Lareh Nan Panjang, dimana sifat lareh
ini sering dikatakan Koto Piliang bukan, Bodi Caniago antah (Koto Piliang
bukan, tetapi dikatakan Bodi Caniago juga bukan).
Sumber gambar: Hasil penelitian Nasbahry Couto (1996)
Pada perkembangan kemudian, pola
menyelesaikan pertentangan (sintesis dualisme) gaya duo datuak tersebut,
misalnya terlihat dengan hadirnya filosofi yang mendasari kehidupan
masyarakatnya yaitu adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Menurut
Syarifuddin (1984), filosofi lebih sebagai bentuk sintesis yang dilakukan oelh
masyarakatnya dengan masuknya Islam menjadi agama baru dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau. Begitu juga pola pengasuhan anak disentesiskan menjadi
anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku kemenakan dibimbing),
sedangkan sintesis dualisme dalam sistem pewarisan dilakukan melalui pewarisan
harto pusako (harta komunal) kepada kemenakan (khususnya perempuan) dan harta
pancarian (harta individual) diwariskan kepada anak.
Dalam adat terdapat juga perimbangan
pertentangan. Sebagaimana adat dikatakan sebagai:
“Dibalun sabalun kuku, Dikambang seleba alam”
(Digumpal sekecil kuku, dikembang sebesar alam)
Dalam perhubungan Mamak/Paman dengan
kemenakanpun terdapat perseimbangan pertentangan. Sebagaimana pepatah adat:
“Kamanakan manyambah lahia, Mamak manyambah batin”
“Kamanakan bapisau tajam, Mamak badagiang taba”
(Kemenakan menyembah secara lahir, mamak menyembah secara batin)
(Kemenakan mempunyai pisau tajam, mamak mempunyai daging yang tebal)
“Sayang di anak dilacuiti, sayang di kampuang ditinggakan
(Sayang pada anak dipukuli, sayang pada kampung ditinggalkan)
Pada sifat kerbau (yang merupakan simbol
Minangkabau) menurut M. Nasroen terdapat juga hal perimbangan pertentangan ini.
Kerbau ketika tunduk dan merendahkan kepala bukanlah ia tunduk sebenarnya dan
takut. Tetapi isyarat ia akan menyerang.
Perimbangan pertentangan juga dapat kita
lihat dalam sistem matrilineal Minangkabau yang memberikan kedudukan istimewa
kepada kaum ibu. Kaum ibulah berpusat sistem keturunan orang Minangkabau.
Sehingga persekutuan hidup Minangkabau mempunyai jaminan hidup dan kesejahteraan
dari harta pusaka dan dana milik kaum/suku. Kaum ibulah yang berkuasa atas
harta benda kaum seperti sawah, ladang, rumah dsb. Kaum ibu memilihara harta
benda itu dengan sebaik-baiknya, sebab harta benda itu adalah jaminan bagi
hidup dan keselamatan anak-anaknya sendiri.
Namun, kekuasaan kaum ibu terhadap harta
benda itu tidak mengindikasi kesewenang-wenangan terhadap harta tersebut. Kaum
laki-laki yaitu mamak/paman dalam kaum itu (saudara laki-laki ibu) mempunyai
hak pengawasan atas harta benda itu. Tindakan atas harta milik kaum baik
hubungan ke dalam dan yang berhubungan keluar (dengan orang lain) seperti
mengadai, hanya bisa dilakukan dengan seizin mamak
Dalam prinsip ini,
pertentangan-pertentangan yang ada tetap ada, tidak akan lenyap. Namun antara pertentang-pertentangan
terdapat perimbangan. Perumpamaan yang mudah untuk memahami pernyataan ini
adalah contoh sebagai berikut:
Ketika memasak gulai bahan yang dipakai
diantaranya garam, lada, bawang, asam, dsb. Setelah dimasak dalam gulai itu,
garam tetap asin, pedas lada tetap terasa, maung bawang dan asamnya asam juga
tetap terasa. Yang kita temui dari gulai adalah harmoni/keseimbangan antara
bahan-bahan dimana sifat yang satu dengan yang lain bertentangan. Kalau salah
satu bahan-bahan itu tidak ada atau kurang, maka gulai sebagai satu kesatuan,
tidak lagi enak.
Keadaan masyarakat Minangkabau yang
membuktikan adanya dasar perimbangan pertentangan ini adalah mengenai adat
Minangkabau itu sendiri yang berlaku prinsip perimbangan antara yang kekal dan
yang berubah. Adat Minangkabau adalah kekal tetapi berubah-ubah. Demikian pula
alam yang nyata ini. Alam kekal sampai kiamat, tetapi dibalik alam itu
mengalami perubahan pula.
Kemampuan masyarakat Minangkabau dalam
memecahkan dualisme agar tidak menjadi disharmoni inilah, dalam literatur
sering digambarkan sebagai “kesatuan dalam keragaman” (Nasroen, 1954),
“permusuhan dalam persahabatan (hostile in friendship)” (de Jong, 1960),
dispute in harmony (Abdullah, 1966; Tanner, 1971), “dari dualisme menuju
keesaan” (Saanin, 1989). Oleh sebab itu, menurut Saanin (1989), “dualisme
menuju keesaan” ini adalah sesuatu yang khas mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan Minangkabau, suku-bangsa Minangkabau maupun jiwa atau
psikologis orang Minangkabau itu sendiri.
Sumber Referensi
- Ariffin, Zainal. “PERMUSUHAN DALAM PERSAHABATAN”: Budaya Politik Masyarakat Minangkabau. Workin Paper di Universitas Malaya Kuala Lumpur Malaysia. Tanggal Download, 17 November 2008.http://ccm.um.edu.my/umweb/fsss/images/persidangan/Kertas%20Kerja/Drs.%20Zainal%20Ariffin.pdf
- Editor. Trio Minang Bersimpang Jalan. Dalam Kompas Edisi Khusus Hari Kemerdekaan 11-17 Agustus 2008. Penerbit PT Tempo Inti Media Tbk: Jakarta.
- Nasroen, M. 1957. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Penerbit Pasaman: Jakarta.
Sumber asli artikel ini:http://grelovejogja.wordpress.com/2008/11/26/dinamika-pertentangan-kesatuan-dan-pertentangan-masyarakat-minangkabau/
Biodata Penulis
Alumni Filsafat UGM - Direktur Gre Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar