Oleh Nasbahry Couto
No·men·kla·tur/noménklatur/n artinya :1) penamaan yang dipakai dalam bidang atau ilmu tertentu; atau tata nama;
2) pembentukan (sering kali atas dasar kesepakatan internasional) tata susunan
dan aturan pemberian nama objek studi bagi cabang ilmu pengetahuan.
Pengetahuan yang berasal dari tradisi, adalah pengetahuan yang khas yang mungkin tidak dapat ditemukan di tempat lain, tetapi pengetahuan tradisi bisa terangkat ke wilayah pengetahuan internasional, walaupun bentuk pengetahuan ini masih sederhana. Penulis memberanikan diri untuk memakai istilah nomenklatur ini hanya dalam konteks "tata nama" dengan fokus usaha penggalian kembali pengetahuan tradisi yang sudah lama "hilang" dan hanya dikenal oleh "tukang tuo" yang membangun rumah gadang di jaman lampau.
Pentingnya pengetahuan tradisi
Pentingnya pengetahuan tradisi adalah sebagai jati diri bangsa, tanpa adanya akar yang kuat tentang budaya sendiri baik dari segi penampilan maupun pemahaman tentangnya, jati diri itu akan hilang dan terbawa arus budaya global, bahkan bisa hilang secara tidak disengaja oleh komunitas tradisi sendiri.
Tata nama yang akan diuraikan di bawah telah lama menjadi "tata nama" yang asing, sebagaimana kita memandang orang asing menggunakan bahasanya. Jadi tata nama adalah masalah bahasa yang terhubung kepada pengetahuan tentang tradisi, khususnya budaya visual.
Pengetahuan yang berasal dari tradisi, adalah pengetahuan yang khas yang mungkin tidak dapat ditemukan di tempat lain, tetapi pengetahuan tradisi bisa terangkat ke wilayah pengetahuan internasional, walaupun bentuk pengetahuan ini masih sederhana. Penulis memberanikan diri untuk memakai istilah nomenklatur ini hanya dalam konteks "tata nama" dengan fokus usaha penggalian kembali pengetahuan tradisi yang sudah lama "hilang" dan hanya dikenal oleh "tukang tuo" yang membangun rumah gadang di jaman lampau.
Pentingnya pengetahuan tradisi
Pentingnya pengetahuan tradisi adalah sebagai jati diri bangsa, tanpa adanya akar yang kuat tentang budaya sendiri baik dari segi penampilan maupun pemahaman tentangnya, jati diri itu akan hilang dan terbawa arus budaya global, bahkan bisa hilang secara tidak disengaja oleh komunitas tradisi sendiri.
Tata nama yang akan diuraikan di bawah telah lama menjadi "tata nama" yang asing, sebagaimana kita memandang orang asing menggunakan bahasanya. Jadi tata nama adalah masalah bahasa yang terhubung kepada pengetahuan tentang tradisi, khususnya budaya visual.
Seperti yang dikatakan oleh Jeffry Hadler (2010) dalam bukunya "Sengketa Tiada Putus", orang minang telah menjadi asing terhadap budayanya sendiri karena merantau (karena di kampungnya sendiri selalu bersengketa?), karena di kampungnya sendiri lebih mengutamakan "bermusyawarah-mufakat" dari pada "berdebat", minangnya "hilang" tinggal "kerbau", seperti kutipan di bawah ini dalam kata pengantar bukunya (untuk mendownload buku Hadler, klik kanan ini).
Keterangan gambar: Gambaran sosial di daerah persawahan di kota Padang. Laki-laki ini bekerja di tanah "mertuanya", tanah di Minangkabau adalah milik suku atau pihak perempuan. Hasil tani bukan untuk dia, tetapi pihak istri. Uang belanja atau keperluan pribadi, diminta kepada pihak istri. Jika ingin memberi uang kepada orang tua sendiri atau keponakan (anak adik), dicari dari upah "bertukang", memburuh tani dan atau kerja serabutan. Laki-laki umumnya wajib membuatkan rumah untuk istrinya, dan rumah itu dibangun di tanah pihak perempuan. Jika terjadi konflik laki-laki akan pergi dengan hanya membawa baju di badan, harta pencarian tinggal di rumah "istri". Hal ini juga penyebab tingkat perceraian yang tinggi. Pekerjaan yang aman secara psikologis bagi laki-laki Minang adalah jadi pegawai negeri, "aparat" (polisi, tentara), dokter,d an pekerjaan profesional lainnya seperti pekerjaan tukang yang diperoleh dari pendidikan khusus. Atau merantau untuk "meninggalkan" adat tradisi yang membebani mereka (kaum laki-laki). Tradisi ini yang mungkin disebut oleh Hadler dengan "penindasan".
Tulisan Hadler tentang hakikat budaya Minangkabau sejak munculnya intelektualitas versi barat, banyak yang perlu dipelajari, terutama pengaruh cara berpikir rasional itu tidak hanya muncul dari tradisi, tetapi juga oleh filosofi Barat. Salah satunya yang menjadi polemik sampai sekarang adalah, bagaimana seharusnya budaya minangkabau itu di level propinsi, masih dipertanyakan karena konsepnya selalu bergerak mulai dari "alam takambang jadi guru", "adat basandi syarak-syarak basadi adat" (era Paderi, "ABS-SBK (Konres Kebudayaan Minangkabau, 2010). Menurut Hadler dalam kata pengantar bukunya, budaya minangkabau itu hanya ada di tataran perbincangan tingkat propinsi, sedangkan realitas budaya minangkabau tetap sebagaimana dahulu "adat hanya hidup di tingkat nagari". Artinya budaya minangkabau itu di tingkat propinsi "dipelintir-pelintir". Berbagai penelitian di perguruan tinggi juga menunjukkan kecendrungan bahwa jika meneliti satu lokus di sumatera barat cendrung mengatasnamakan minangkabau, walaupun gejala-gejala yang diteliti hanya ada di tempat itu dan tidak ada di tempat lain, ini bukti lain dari adat selingka nagari.
Budaya visual Minangkabau
Dari titik inilah penulis bisa masuk, sebab bernas-bernas budaya minangkabau yang tidak bisa "dipelintir", itu ada pada budaya visual (tangible cultural heritage), atau misalnya pada budaya kuliner, sebab dia nyata walaupun penjelasan dan interpretasi tentangnya seperti istilah Hadler "masih bisa disengketakan".
Dalam koridor budaya visual ini, kita dapat melihat "watak orang minang" yang sebenarnya yang pintar "berdiplomasi", seperti istilah teman sekuliah di Bandung dahulu: "pandai berminyak air". Semiskin-miskinnya orang minang "cara berpakaiannya" tetap seperti "orang kaya", seperti istilah yang beredar "rancak di labuah". Perhatikanlah rumah gadang, di depan berukir, di belakang hanya ada "sasak batuang" atau "sasak sisampiang". Artinya, dalam budaya visual, orang minang itu pandai membentuk persepsi, hal itu terlihat dari cara berkata, berlagak, berpakaiannya, menata ruang luar rumah, tetapi jangan ditanya bagaimana perhatian mereka terhadap kebersihan, bisa saja tetap tidak bersih.
Dari sisi inilah kita melihat kepentingan seni ukir bagi bangunan rumah dagang, seperti istilah Ibenzani Usman (1985), "rumah gadang sebagai kebesaran nagari" (maksudnya kebesaran suku atau kaum, hanyalah untuk membentuk persepsi). Ukiran bukan berfungsi sebagai estetik semata, tetapi dalam rangka membentuk persepsi tentang suku atau kaum, istilah lain (Budiwirman, 2011) adalah mendidik (pemaksaan?), melalui cara berpakaian adat. Tetapi bukan sekedar hal itu.
Menurut penulis disamping mementingkan suku atau kaum, usaha untuk membentuk persepsi itu berasal dari "budaya malu":
"malu awak dicaliak urang bansaik" (kekayaan),
"malu awak dicaliak urang samba indak lamak (kuliner),
"malu awak anak padusi lah tuo alun kawin" (perkawinan) dan malu-malu yang lain...
(artinya: malu dilihat orang seperti orang miskin, makanan tidak enak, atau ada anak perempuan tua yang belum kawin).
Menurut penulis kebudayaan malu ini, bukan karena agama atau Islam, tetapi sistem kognisi yang diturunkan dari lingkungan budaya. Seperti kehidupan "komunal" yang dibentuk dalam rumah gadang yang tidak jarang berada dalam situasi konflik batin di antara wanita-wanita yang sudah kawin yang mendiami rumah gadang, antara "urang sumando" yang kaya dan "yang miskin. Sistem pewarisan yang matrilineal, dan terusirnya laki-laki dari rumah ibunya, dan "abu diateh tunggua" pada rumah istrinya, (istilah Hadler adalah penindasan), menyebabkan mereka menjadi manusia kritis dan persepsinya terasah dan menjadi "tajam"(terutama kaum laki-laki).
Sebuah makalah Jamilus, yang berjudul “Mencari Habitat Budaya pada Silat Harimau/ Silektuo: Seni Mempertahankan Diri Orang Minangkabau”, yang diutarakan pada Seminar Internasional Bahasa dan Seni (6-7 oktober, 2013. Konsep merantau itu ternyata bukan hanya pergi ke negeri orang, sejak kecil orang minang (laki-laki) sudah "hijrah" (merantau), dari rumah orang tuanya ke "surau", dia tidak boleh tinggal di rumah orang tuanya setelah masa akil-balik (remaja), ada empat konsep "merantau" (terusir-usir), yang menyebabkan kaum laki-laki belajar silat untuk mempertahankan dirinya. Makalah ini adalah hasil penelitian Jamilus, untuk mengambil S3 di Malaysia.
Pengamatan lain oleh penulis sewaktu berada di Jawa, anak minang yang lahir di Jawa, atau kebanyakan perantau minang yang berdaptasi dengan budaya setempat, budaya malunya sudah tergerus dan tipis, dan persepsinya juga tidak tajam. Sewaktu penulis ke Bandung (2010) ada teman yang bertanya, kenapa anak-anak minang itu "pintar-pintar" (kritis maksudnya), lalu penulis jawab dengan kelakar, ya karena anak-anak anda di besarkan oleh pembantu.
Menurut penulis salah satu kelebihan orang minang yang berasal dari tradisi minang, yaitu kemampuan psikologi persepsi (istilah sekarang), menyebabkan mereka menjadi ahli diplomasi, ilmu psikologi persepsi yang khas hanya ada dalam tradisi minang seperti:
"tahu ereng jo gendeng"
"tahu nan lamak diawak, katuju di urang"
"di ma bumi dipijak di sinan langik di junjuang"
Ada pada suatu saat, apabila telah diketahui dan telah disetujui oleh pakar budaya, bahwa diantara akar budaya minangkabau adalah budaya visual dalam membentuk persepsi. Akan timbul pertanyaan, bagaimanakah perkembangan dan pembentukan persepsi orang minang dalam konteks budaya bangunan atau berpakaian atau kuliner? Maka tulisan ini akan menjadi penting, sebagai dokumentasi sejarah etnis atau budaya. Oleh karena itu kita perlu sebuah tata nama (nomenklatur), yang mungkin nanti akan dikaji lagi maknanya.
Selama awal 1960-an rakyat Minangkabau, termasuk keluarga sipangkalan saya, meninggalkan Sumatra barat menuju Jakarta dan Medan, tidak kembali lagi. inilah masa rantau cino yang permanen, ketika orang Minangkabau memberikan nama Jawa kepada anak-anak mereka dan mengeluh bahwa di kampung halaman di Sumatra “yang Minang pergi, yang tinggal Kabau”. Restoran-restoran Padang di Jakarta menjamur dan perantau-perantau dari Sumatra ini, orang seberang yang menyembunyikan etnisitas mereka, menyesuaikan diri dengan kehidupan jauh dari dataran tinggi nenek moyang dan ingatan-ingatan yang menyedihkan. di samping pengalaman-pengalaman perantauan saya sendiri di Jakarta, untuk proposal disertasi saya itu saya membaca karya-karya intelektual Kaum Muda dan novelis-novelis balai Pustaka. Lewat tulisan-tulisan itu saya pun tiba pada kesimpulan bahwa adat Minangkabau itu bersifat menindas, desa-desa Minangkabau bagaikan cangkang-cangkang kosong tradisionalisme, dari kedua-duanya orang perlu melarikan diri. (Hadler, Jeffrey,2010: xiii-ix)Hadler, mungkin agak berlebihan, tulisannya ini relatif masih baru dan menarik untuk dibaca. Namun "cangkang-cangkang " kosong di kampung yang dimaksudkannya itu tetap ada, atau mungkin ada. Ketidakberanian orang minang berdebat itu menjalar bagai gurita ke perguruan tinggi seperti yang penulis lihat di Padang. Debat ilmiah di Padang sangat jarang ada, yang ada hanya hanya musyawarah dan mufakat (seminar) untuk pengukuhan statusquo, dan gunjingan di belakang. Dari pengalaman penulis "musyawarah mufakat" itu dari sisi psikologi sosial hanyalah semacam "diskriminasi sosial" sebab dalam praktiknya bisa saja adalah usaha untuk mengasingkan "orang yang tidak sependapat", sebaiknya orang yang tidak sependapat tidak diasingkan, mungkin saja dia benar. Budaya minang yang seperti ini muncul karena tradisi yang orang hanya mementingkan "sukunya", "kaumnya", orang luar suku seperti menantu (urang sumando) adalah "bukan kaumnya, sukunya" bisanya "hanya jadi penonton" dalam sebuah "musyawarah-mufakat", hal semacam ini bisa menjalar ke "perguruan tinggi".
Tulisan Hadler tentang hakikat budaya Minangkabau sejak munculnya intelektualitas versi barat, banyak yang perlu dipelajari, terutama pengaruh cara berpikir rasional itu tidak hanya muncul dari tradisi, tetapi juga oleh filosofi Barat. Salah satunya yang menjadi polemik sampai sekarang adalah, bagaimana seharusnya budaya minangkabau itu di level propinsi, masih dipertanyakan karena konsepnya selalu bergerak mulai dari "alam takambang jadi guru", "adat basandi syarak-syarak basadi adat" (era Paderi, "ABS-SBK (Konres Kebudayaan Minangkabau, 2010). Menurut Hadler dalam kata pengantar bukunya, budaya minangkabau itu hanya ada di tataran perbincangan tingkat propinsi, sedangkan realitas budaya minangkabau tetap sebagaimana dahulu "adat hanya hidup di tingkat nagari". Artinya budaya minangkabau itu di tingkat propinsi "dipelintir-pelintir". Berbagai penelitian di perguruan tinggi juga menunjukkan kecendrungan bahwa jika meneliti satu lokus di sumatera barat cendrung mengatasnamakan minangkabau, walaupun gejala-gejala yang diteliti hanya ada di tempat itu dan tidak ada di tempat lain, ini bukti lain dari adat selingka nagari.
Budaya visual Minangkabau
Dari titik inilah penulis bisa masuk, sebab bernas-bernas budaya minangkabau yang tidak bisa "dipelintir", itu ada pada budaya visual (tangible cultural heritage), atau misalnya pada budaya kuliner, sebab dia nyata walaupun penjelasan dan interpretasi tentangnya seperti istilah Hadler "masih bisa disengketakan".
Dalam koridor budaya visual ini, kita dapat melihat "watak orang minang" yang sebenarnya yang pintar "berdiplomasi", seperti istilah teman sekuliah di Bandung dahulu: "pandai berminyak air". Semiskin-miskinnya orang minang "cara berpakaiannya" tetap seperti "orang kaya", seperti istilah yang beredar "rancak di labuah". Perhatikanlah rumah gadang, di depan berukir, di belakang hanya ada "sasak batuang" atau "sasak sisampiang". Artinya, dalam budaya visual, orang minang itu pandai membentuk persepsi, hal itu terlihat dari cara berkata, berlagak, berpakaiannya, menata ruang luar rumah, tetapi jangan ditanya bagaimana perhatian mereka terhadap kebersihan, bisa saja tetap tidak bersih.
Dari sisi inilah kita melihat kepentingan seni ukir bagi bangunan rumah dagang, seperti istilah Ibenzani Usman (1985), "rumah gadang sebagai kebesaran nagari" (maksudnya kebesaran suku atau kaum, hanyalah untuk membentuk persepsi). Ukiran bukan berfungsi sebagai estetik semata, tetapi dalam rangka membentuk persepsi tentang suku atau kaum, istilah lain (Budiwirman, 2011) adalah mendidik (pemaksaan?), melalui cara berpakaian adat. Tetapi bukan sekedar hal itu.
Menurut penulis disamping mementingkan suku atau kaum, usaha untuk membentuk persepsi itu berasal dari "budaya malu":
"malu awak dicaliak urang bansaik" (kekayaan),
"malu awak dicaliak urang samba indak lamak (kuliner),
"malu awak anak padusi lah tuo alun kawin" (perkawinan) dan malu-malu yang lain...
(artinya: malu dilihat orang seperti orang miskin, makanan tidak enak, atau ada anak perempuan tua yang belum kawin).
Menurut penulis kebudayaan malu ini, bukan karena agama atau Islam, tetapi sistem kognisi yang diturunkan dari lingkungan budaya. Seperti kehidupan "komunal" yang dibentuk dalam rumah gadang yang tidak jarang berada dalam situasi konflik batin di antara wanita-wanita yang sudah kawin yang mendiami rumah gadang, antara "urang sumando" yang kaya dan "yang miskin. Sistem pewarisan yang matrilineal, dan terusirnya laki-laki dari rumah ibunya, dan "abu diateh tunggua" pada rumah istrinya, (istilah Hadler adalah penindasan), menyebabkan mereka menjadi manusia kritis dan persepsinya terasah dan menjadi "tajam"(terutama kaum laki-laki).
Sebuah makalah Jamilus, yang berjudul “Mencari Habitat Budaya pada Silat Harimau/ Silektuo: Seni Mempertahankan Diri Orang Minangkabau”, yang diutarakan pada Seminar Internasional Bahasa dan Seni (6-7 oktober, 2013. Konsep merantau itu ternyata bukan hanya pergi ke negeri orang, sejak kecil orang minang (laki-laki) sudah "hijrah" (merantau), dari rumah orang tuanya ke "surau", dia tidak boleh tinggal di rumah orang tuanya setelah masa akil-balik (remaja), ada empat konsep "merantau" (terusir-usir), yang menyebabkan kaum laki-laki belajar silat untuk mempertahankan dirinya. Makalah ini adalah hasil penelitian Jamilus, untuk mengambil S3 di Malaysia.
Pengamatan lain oleh penulis sewaktu berada di Jawa, anak minang yang lahir di Jawa, atau kebanyakan perantau minang yang berdaptasi dengan budaya setempat, budaya malunya sudah tergerus dan tipis, dan persepsinya juga tidak tajam. Sewaktu penulis ke Bandung (2010) ada teman yang bertanya, kenapa anak-anak minang itu "pintar-pintar" (kritis maksudnya), lalu penulis jawab dengan kelakar, ya karena anak-anak anda di besarkan oleh pembantu.
Menurut penulis salah satu kelebihan orang minang yang berasal dari tradisi minang, yaitu kemampuan psikologi persepsi (istilah sekarang), menyebabkan mereka menjadi ahli diplomasi, ilmu psikologi persepsi yang khas hanya ada dalam tradisi minang seperti:
"tahu ereng jo gendeng"
"tahu nan lamak diawak, katuju di urang"
"di ma bumi dipijak di sinan langik di junjuang"
Ada pada suatu saat, apabila telah diketahui dan telah disetujui oleh pakar budaya, bahwa diantara akar budaya minangkabau adalah budaya visual dalam membentuk persepsi. Akan timbul pertanyaan, bagaimanakah perkembangan dan pembentukan persepsi orang minang dalam konteks budaya bangunan atau berpakaian atau kuliner? Maka tulisan ini akan menjadi penting, sebagai dokumentasi sejarah etnis atau budaya. Oleh karena itu kita perlu sebuah tata nama (nomenklatur), yang mungkin nanti akan dikaji lagi maknanya.
Kembali kepada masalah nomenklatur, penulis kerap menemukan tulisan tentang budaya visual Minangkabau, khususnya tentang penempatan ukiran pada bangunan rumah gadang seperti yang akan dicontohkan dalam tabel-tabel di bawah ini. Namun tidak sekalipun pernah digambarkan dimana dan bagaimana visualisasi rupa bagian-bagian rumah gadang itu.
Beberapa buku dan tulisan ilmiah yang membahas tentang ini sudah lama penulis lihat misalnya karangan Boestami (Dkk), 1979, dalam buku Arsitektur Tradisional
Minangkabau: Rumah Gadang; Syamsidar (ed).1991 Arsitektur Tradisional
Daerah Sumatera Barat. Syamsul Asri,1996, Minangkabau (Seminar, Leiden); Capistrano, Florina H. (1997), Mardjani Martamin, & Amir Brenson . 1976; Tumbijo, H.B.Dt. 1977; Ibenzani Usman. Ibenzani, (1984), dan juga buku proyek PDK, Yosef Dt. Garang bersama Adrin Kahar tentang ukiran (lihat daftar pustaka) tidak satupun ada penjelasan tentang ini. Masalahnya mungkin muncul ketika nama-nama ini disebutkan tetapi tidak diperlihatkan penempatan yang dimaksud. Keragaman rumah gadang itu sendiri banyak menimbulkan masalah sebab ada perbedaan satu sama lain (lihat tulisan ini).
Penulis menyadari bahwa waktu yang semakin larut, dan para pakar di bidang ini banyak yang sudah tiada, apalagi tukang tuo tempat bertanya tidak ada lagi. Dahulu, orang-orang yang banyak memberi ilham dan tempat berdiskusi bagi penulis adalah pak Syamsul Asri dan pak Harmaini Darwis (dari Universitas Bung Hatta) yang sering mengajak penulis keliling kampung untuk mengamati rumah gadang. Terutama saat pak Syamsul, menyiapkan disertasinya, untuk mengambil P.Hd-nya di University Technologi Malaysia antara tahun (2000-2004). Pak Syamsul Asri adalah arsitek pertama yang berkiprah di Sumatera Barat, sedangkan pak Harmaini Darwis adalah murid pertama beliau yang menjadi "konco palangkin" penulis sampai hari tua ini. Penelitian penulis sendiri adalah dalam rangka penyelesaian S2 di ITB antara tahun 1996-1998.
Tulisan pendek di bawah ini adalah usaha untuk memperjelas nomenclatur yang dimaksud, sekaligus untuk memperlihatkan contoh nyata yang berasal dari hasil pengamatan di lapangan. Singkat kata, contoh nama ukiran dan penempatannya seperti dalam tabel di bawah ini sudah lama penulis lihat apakah dari Boestami (Dkk), Syamsidar, dan sebagainya.Tulisan yang dimaksud memperlihatkan nama-nama ukiran rumah gadang/ adat Minang dan penempatannya sebagai
berikut : (diantara sumber)
Penempatan ukiran pada anjuang rumah
Jenis atau Ragam Ukiran
|
Penempatan atau lokasi Ukiran
|
1. Saluak Laka
|
pada pereng
|
2. Labah Mangirok
|
pada papan galuang
|
3. Kalalawa Bagayuik
|
pada dinding hari
|
4. Salimpat
|
pada papan salangko
|
5. Tatandu Manyasok Bungo
|
pada papan sabalik anjuang
|
6. Itiak Pulang Patang
|
pada paso-paso
|
7. Tangguak Lamah
|
pada tarawang
|
8. Lumuik Hanyuik
|
pada lambai-lambai tagak
|
9. Pesong Aia Babuih
|
pada camin-camin**
|
10. Tupai Managun (Kupang-kupang)
|
pada petak dindiang hari (lihat gambar)
|
Jenis atau Ragam Ukiran
|
Penempatan atau lokasi Ukiran
|
1. Pisang Sasikek
|
pada papan garebeh (garebek?) kepala pintu
|
2. Aka Cino Sagagang Duo Gagang
|
pada lambai-lambai garebek
|
3. Ukir Tirai
|
pada lambai-lambai di atas garebek
|
4. Sikambang Manih
|
pada dindiang tapi/jendela
|
5. Kudo Manyipak dalam Kandang
|
pada konsen jendela
|
6. Takuak Kudo Basipak
|
pada konsen jendela
|
7. Saluak Laka
|
pada papan sakapiang di bawah pengadan jendela
|
8. Salimpat
|
pada papan sakapiang di bawah pengadan jendela
|
9. Aka Barayun
|
pada papan sakapiang di bawah pengadan jendela
|
10. Kuciang Lalok
|
camin-camin jendela**
|
11. Pesong Aia Babuih
|
|
12. Saluak Laka
|
Pada tempat-tempat yang umum lainnya
Jenis atau Ragam Ukiran
|
Penempatan atau lokasi Ukiran
|
1. Tantadu Manyasok Bungo
|
pada tepi ukiran besar
|
2. Itiak Pulang Patang
|
pada tepi ukiran besar
|
3. Aka Barayun
|
pada ukiran tengah
|
4. Aka Duo Gagang
|
pada lambai-lambai
|
5. Lapiah Batang Jarami
|
pada lambai-lambai
|
6. Tupai Managun
|
pada ujung-ujung pekayuan/balok
|
7. Kalalawa Bagayuik
|
di bawah kasau dan lain-lain
|
8. Siku Kalalawa
|
pada lambai-lambai dinding
|
9. Bada Mudiak
|
pada tepi ukiran
|
10. Buah Palo Bapatah
|
pada tepi ukiran
|
11. Bungo Mangarang Buah
|
pada papan dinding (Papan Banyak ?)
|
12. Paruah Anggang
|
ujung balok
|
13. Jalo Takaka/Taserak
|
pada hamparan
|
14. Kaluak Paku
|
pada pain dan tiang*
|
15. Aka Cino
|
pada tempel-tempel panjang
|
16. Saik Galamai
|
pada les plang
|
17. Kuciang Lalok
|
pada pangka ukiran
|
18. Lumuik Hanyuik
|
pada tiang-tiang besar*
|
19. Pucuak Rabuang
|
penutup ukiran
|
20. Tampuak Manggih
|
pada gonjong
|
21. Labah Mangirok
|
pada pemipiran
|
22. Lumuik Hanyuik/Aka Barayun
|
pada serambi / rumah gonjong
|
23. Alang Babega
|
pada tuturan atap
|
24. Itiak Pulang Patang
|
pada lesplank / les tempel
|
25. Daun Bodi
|
pada dindiang hari
|
26. Aka Cino
|
pada pintu
|
27. Sajamba Makan
|
pada dindiang
|
28. Carano Kanso
|
pada ujuang peranginan**
|
29. Siriah Gadang
|
pada ujuang peranginan**
|
Keterangan :
Warna Merah = sama dengan apa yang ditemukan di lapangan (bangunan rumah gadang umumnya)
Warna biru = tidak masalah, atau dianggap ada
* = bukan pada kulit bangunan
** = bukan pada bangunan rumah gadang umumnya ( bangunan khusus, misalnya balai adat)
Sumber: Penelitian penulis (1996)
Sumber: Penelitian penulis (1996)Kupang-kupang sama dengan tupai managun
Sumber: Penelitian penulis (1996)
Sumber: Syamsul Asri,(2004)
Sumber: Syamsul Asri,(2004)
Sumber: Penelitian penulis (1996)
Sumber: Tukang Tuo
Sumber: Penelitian penulis (1996)
Sumber: Penelitian penulis (1996)
Sumber: Syamsul Asri,(2004)
Sumber: Penelitian penulis (1996)
Sumber: Penelitian penulis (1996)
Sumber: Penelitian penulis (1996)
Sumber: Penelitian penulis (1996)
Sumber: Capistrano,
Sumber: Penelitian penulis (1996)
Sumber: Penelitian penulis (1996)
Sumber: Penelitian penulis (1996)
Sumber Gambar:http://asiantribal.blogspot.com/2012/12/rumah-adat-kampar-riau.html
Gambar: Peta daerah regen atau laras (Lareh) Minangkabau di Jaman Belanda dalam sistem pemerintahan saat itu. Kalau diperiksa pengaruh budaya Minang ke daerah Kampar, menjadi jelas sebabnya, daerah Kampar adalah bagian dari wilayah Minangkabau di jaman itu dan mungkin juga jaman sebelumnya. Sekarang timbul pertanyaan, apakah tidak mungkin justru sebaliknya ? Misalnya budaya daerah Kampar ini justru yang mempengaruhi budaya minang di daratan, sebab lebih tua ?
Sumber Rusli Amran.
Kesimpulan
Penulis akhirnya menyimpulkan :
(1) Sekurangnya nomenklatur kulit bangunan rumah gadang adalah sebagai berikut.
(2) warna merah yang ditandai di atas ada yang sama dengan pembahasan di bawahnya dan yang ditemukan di lapangan dan ada yang tidak (bangunan rumah gadang umumnya)
(3) Ada beberapa nomenklatur (warna biru) yang tidak bermasalah atau dianggap sama
(4) Beberapa penempatan bukan pada kulit bangunan
(5) Ada penempatan dan elemen kulit bangunan yang hanya untuk bangunan khusus (misalkan bangunan beranjung.
Kepustakaan
(dan untuk bacaan lebih lanjut)
- Boestami (Dkk), 1979. Arsitektur Tradisional Minangkabau: Rumah Gadang. Kanwil P& K Sumbar. Proyek Sasana Budaya Jakarta.
- Syamsidar (ed).1991 Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Dep.P & K Dirjen kebudayaan: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya.
- Asri, Syamsul ,1996, “ Minangkabau (The design Construction and the meaning of traditional house in Minangkabau , west Sumatera) “.(Seminar), Leiden 28-29 march, 1996.
- Asri ,Syamsul, Prinsip-Prinsip Pembinaan Rumah Adat Minangkabau, Tesis Ijazah Doktor Falsafah (Senibina) Universiti Teknologi Malaysia, Januari 2004 (http://eprints.utm.my/6675/1/Syamsul Asri PFAB 2004 TTT.pdf). Diakses tanggal 22 Pebruari 2009.
- Capistrano, Florina H.(1997), Reconstruction The Past: The Notion Of Tradition in West Sumatran Architecture 1791-1991, Columbia University, 1997.
- Couto,Nasbahry, 1998,”Makna dan unsur-unsur visual pada bangunan rumah gadang “, (Tesis Pasca Sarjana tidak diterbitkan) Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Bandung
- Martamin, Mardjani & Amir Brenson . 1976. Ragam Ukiran Rumah Gadang Minangkabau . Padang: Penelitian Jurusan Sejarah FKPS IKIP Padang.
- Tumbijo, H.B.Dt. 1977. “Minangkabau dalam seputar seni tradisional” (Diktat) SMSR N.Padang,
- Usman. Ibenzani, (1984), Seni Ukir Tradisional Minangkabau, Disertasi, Program pasca Sarjana, Institut Technologi Bandung.
- Waterson, Roxana.1990. The living House: An Antropology of Architecture in South-East Asia. Singapore: Oxford University Press.
- Westenenk. L.C. “ De minangkabausche Nagari” Terjemahan Mahyuddin Saleh SH. 1969. Padang; Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Andalas Padang.
- Rumah Lontik, Desa Pulau Belimbing, http://asiantribal.blogspot.com/2012/12/rumah-adat-kampar-riau.html, diakses, Maret , 2014
Daftar Responden, Tahun 1996
Responden Kawasan I (
Dusun Koto Pisang, Desa Pariangan, nagari ParianganKecamatan Pariangan ,
Kab.Tanah Datar
1) Kepala desa Pariangan, Nagari
Pariangan
Nama : Ridwan effendi
Usia : 35 Tahun
Pekerjaan : Kepala Desa
Alamat : Desa Pariangan
Suku :
2) Ketua /Wakil
Kerapatan Adat nagari (KAN)
Nama : A.Dt.Barbangso
Usia : 61
Th.
Suku : Dalimo Singkek
Pekerjaan : Tani
Alamat : Sikaladi
3) Ninik Mamak
a) Nama :Zamzami.
Dt.Bagindo Mudo
Usia : 57
Th.
Suku :
Pekerjaan : Eks.kepala Desa
Koto Pisang
Alamat : Desa Koto Pisang
b) Nama : H.Dt.Rangkayo Sati
Usia : 73
Th.
Suku : Koto
Pekerjaan : Tani
Alamat : Kepala koto
Pariangan
c) Nama : Jamaludin
Dt.Mangkuto
Usia : 63 thn
Suku : Dalimo Panjang
Pekerjaan : Tani
Alamat : Pariangan
4). Tukang Tuo
Nama : Dt.Garang
Usia : 71 Th.
Suku : Pisang
Pekerjaan : Pensiunan Tukang
Alamat : Pariangan
5) Tukang
a) Nama : M.Jali St.Sinaro
Usia : 60 Th.
Suku : Dalimo Panjang
Pekerjaan : Tukang
Alamat : Bukik Singok Limo
Kaum Pariangan
b) Nama : Dt.Marajo
Usia : 50 Th.
Suku :
Pekerjaan : Tukang Ukir
Alamat : Guguk Sikaladi
6) Pemilik rumah
a) Nama : K.Dt.Tiangso
Usia : Th.
Suku : Pisang
Pekerjaan : Tani
Alamat : Koto Pisang
b) Nama : M.Dt.Tampang
Usia : Th.
Suku : Koto
Pekerjaan : Tani
Alamat : Koto Pisang
Responden Kawasan
II . Nagari Galo Gandang Kecamatan Tigo Koto. Kab.Tanah Datar
1 ) Kepala Desa
Nama : Azwar Malin Sutan
Usia : 42 Th.
Suku :
Pekerjaan : Kades Galo Gandang
Alamat : Galo Gandang
2) Ketua KAN
Nama : Dt.Talanai Sati
Usia : 75 Th.
Suku : Piliang
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Galo Gandang
3) Pemilik Rumah
Nama : Dt.Cumano
Usia : Th.
Suku : Patai
Pekerjaan : Tani
Alamat : Galo Gandang
4 ) Tukang
Nama : Dt.Putiah
Usia : 70 Th.
Suku : Bingkuang
Pekerjaan : Tani
Alamat : Galo Gandang
5 ) Ninik Mamak
Nama : Dt. Bijo Rajo
Usia : 57 Th.
Suku : Patapang
Pekerjaan : Tani
Alamat : Galo gandang
Responden Kawasan
III( Dusun /Desa Balimbing, Tigo
Koto Rambatan, Kab.Tanah Datar
1. Kepala Desa
Nama : Syofyan .Dt.Rajo Mangkuto
Usia : 51 Th.
Suku : Simabua
Pekerjaan : Kades
Alamat : Bodi
2.Ketua KAN
Nama : Sj.Dt.Pulau
Marajo
Usia : 62 Th.
Suku : Payo Badar
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Kinawai
3) Ninik mamak
a)Nama : A.Dt.Pahlawan
Usia : 57 Th.
Suku : Bodi
Pekerjaan : Tani
Alamat : Koto Tuo
b) Nama : Dt.Asa Kayo
Usia : 52 Th.
Suku : Simabur
Pekerjaan : Tani
Alamat : Guguk Taratai
c) Nama : Dt.Gadang
Usia : 65 Th.
Suku : Kampai
Pekerjaan : Tani
Alamat : Koto tuo
4) Tukang
a) Nama : Z. Dt. Nan Garang
Usia : 65Th.
Suku : Bodi
Pekerjaan : Tani
Alamat : Dusun Koto Tuo
b) Nama : Amir Gindo Sati
Usia : 66Th.
Suku : Simabur
Pekerjaan : Tani
Alamat : Dusun Koto Tuo/ Depan kampai nan panjang
5) Pemilik Rumah
a) Nama : Dt. Cahayo Dipati
Usia : 56 Th.
Suku :
Pekerjaan : Pensiunan Depdikbud
Alamat : Padang D.
b) Nama : Dt.Indo Marajo
Usia : 37 Th.
Suku :
Pekerjaan : Tani
Alamat : Bodi
c) Nama : Dt.Garang
Usia : 57 Th.
Suku :
Pekerjaan : Pensiunan Penmas
Alamat : Dusun L.B
d) Nama : Dt.Pangulu Basa
Usia : 55 Th.
Suku :
Pekerjaan : Tani
Alamat : Kampung.D.Kinawai
d) Nama : Dt.Sati
Usia : 42Th.
Suku :
Pekerjaan : Guru Alamat : Pajik/Dusun Kp.Pialai