FOTO BUKITTINGGI LAMA

Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Rabu, 13 April 2011

Tuanku Rao: Riwayat Hidup Tokoh Paderi Di Kawasan Utara Minangkabau


Oleh: Mestika Zed
Tuanku Rao termasuk salah seorang di antara tiga tokoh utama Gerakan Paderi di bagian utara Minangkabau pada awal abad ke-19. Namanya seringkali dihubungkan dengan Islamisasi di Lembah Rao dan di Tanah Batak. 


Bersama Tuanku Imam Bonjol, mastermind dari gerakan Paderi di kawasan utara ini, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai, rekan seperjuangannya dalam melancarkan revolusi sosial dan intelektual di kawasan utara Minangkabau itu ketiganya juga dikenal sebagai ujung tombak yang paling gigih dalam menentang kehadiran kekuatan kolonial di daerah mereka. Risalah ini khususnya bertujuan untuk merekonstruksi riwayat hidup tokoh Tuanku Rao, terutama berkenaan dengan perjuangannya dalam pembaharuan sosial-intelektual di Lembah Rao dan kedudukannya di lingkaran pemimpin Paderi pada masa itu. Dengan melacak kembali perjalanan hidup dan perjuangannya dalam menegakkan keyakinan ideologisnya kita mungkin dapat memberikan penilaian yang lebih seimbang tentang tempat Tuanku Rao dalam konteks sejarah lokal [Minangkabau] khususnya dan sejarah Indonesia umumnya.

Peta Lokasi : Klik ini untuk mengetahui lokasi Rao

Siapakah Tuanku Rao?
Asal usul Tuanku Rao menjadi perdebatan yang menyita banyak perhatian peminat sejarah sejak beberapa tahun terakhir ini. Lebih-lebih sejak terbitnya buku tebal karya Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP) yang penuh kontroversial itu.[1] Menurut M.O.P., Tuanku Rao terlahir dengan nama Pongki atau Pokki Na Ngolngolan Sinambela adalah anak Batak asli, masih kerabat langsung dari Si Singamangaradja X, keturuan Raja Batak yang terkenal itu. Ayahnya bernama Gindoporang Sinambela dan setelah masuk Islam di Barus lalu memakai nama Islam Muhammad Zainal Amiruddin Sinambela. Tidak disebutkan tanggal lahirnya, tetapi menurut MOP juga, ia pernah dikirim belajar tentang strategi militer  ke luar negeri, (1812-1815) dan mengikuti latihan militer pada bagian ”cavalery tactics” dari satuan tantara Turki di Mesir dan Syria. Sesudah itu ia pulang ke Tanah Batak, dan bergabung dengan Gerakan Paderi yang tengah giat mengembangkan ajaran Wahabi di Rao dan Tanah Batak.


Buku MOP bertutur dengan lancar, amat banyak menggunakan gaya ungkapan bahasa Inggris campur Indonesia versi dirinya sendiri. Ia mengaku sudah banyak membaca buku dan sumber-sumber tertulis warisan ayahnya dan kenalannya, tetapi itu semua sudah dibakar. Katanya agar ”our family secret” tidak ketahuan oleh ”outsiders” (orang luar).  Maka bertanyalah Hamka: ”Sekarang saya bertanya kepada sekalian orang yang mencintai ilmu pengetahuan: Puaskah Tuan dengan keterangan ini ? ......”. Hamka tidak sekedar mempertanyakan kebenaran isi buku MOP. Ia juga melakukan pemeriksaan yang sangat teliti dan mendalam, melacak, membandingkan dan menguji fakta-fakta yang dikemukakan MOP dengan bersandar pada banyak sumber literatur yang tak dikenal oleh MOP. Lewat buku yang khusus ditulisnya untuk membantah ”khayalan” MOP berjudul Antara Fakta dan Khayal: Tuanku Rao (1974), Hamka akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa buku MOP itu 80% bohong dan 20% diragukan kebenarannya. Karena itu bagi Hamka Tuanku Rao versi MOP adalah Hota Gadang (hal. 268), sebuah pelesetan dalam kata Minangkabau terhadap nama sebuah tempat Hutagodang di Mandahiling, yang disebut-sebut MOP dalam Tuanku Rao versi dirinya sendiri.
Belakangan muncul buku baru karya  Basyral Hamidy Harahap (BHH), dengan judul  Greget Tuanku Rao (2007). Buku ini terdiri dari 12 (dua belas) bab, 301 halaman, tetapi sayangnya (dan mungkin juga aneh) karena tidak satu pun bab bukunya itu membahas Tuanku Rao, kecuali menyinggung sedikit dalam satu bab (IV) berjudul ”Kontroversi” (hlm. 85-92). Itu pun hanya berisi cuplikan pendapat-pendapat kontroversial versi BHH. Dalam ”Prolog” BHH menjanjikan tiga hal: (i) mengoreksi yang salah; (ii) menulis tentang hal-hal yang luput dari perhatian MOP dan (iii) menulis tentang hal-hal yang tidak diketahui oleh MOP. Anehnya lagi ketiga butir yang ditawarkan BHH tidak berhubungan sama sekali dengan risalah Tuanku Rao yang ditulis MOP. Dengan kata lain ia tidak menepati janjinya. Meskipun begitu BHH tampaknya tetap bersimpati dan sedikit banyak sependapat dengan pandangan MOP. Paling tidak dalam dua hal. Pertama, BHH dalam kata-katanya sendiri, ”menduga” bahwa Tuanku Rao ”adalah orang Madahiling asli” (hlm. 91). Tetapi selanjutnya ia pun ”menduga pula bahwa pernikahan laki-laki dari Huta Godang dengan gadis Rao yang melahirkan Pakih Muhammad Saleh gelar Tuaku Rao adalah perkawinan antar krabat.” (ibid). Apakah BHH hendak mengakui bahwa Tuanku Rao adalah putra Rao dan besar di Rao? Namun karena dari sudut adat Batak yang patrilineal tokoh ini tetaplah orang Batak ia pun tidak membuktikan apa-apa. Kedua, BHH juga mendukung interpretasi MOP yang merasa kampung halamannya dijajah (atau ”diteror”, istilah MOP) oleh kaum Paderi. Karena itu Perang Paderi bagi BHH ”benar-benar merupakan lembaran hitam dalam gerakan dakwah Islamiyah, sekaligus lembaran hitam dalam sejarah hak asasi manusia (hlm. 118).
Sejalan dengan interpretasi MOP, BHH cenderung menggeneralisir persoalan dengan membesar-besarkan perkara yang sebenarnya adalah ekses alami dari setiap peperangan mana pun juga. Dalam, hal ini ia jelas terjebak dengan anakronisme sejarah ketika menggunakan standar HAM. Akan tetapi untunglah BHH bukan sejarawan, sehingga ia merasa tak perlu peduli dengan kode etik penulisan sejarah. Dengan begitu ia membuat dirinya membenarkan interpretasi semana-mena akibat subyektivitas pribadinya yang nyaris tak terkontrol. Ia pun mengaku bahwa leluhurnya, yakni turunan Datu Bange, berada di pihak yang berseberangan dengan tentara Paderi pimpinan Tuanku Tambusai dan karena itu adalah ”korban”. Sebaliknya leluhur MOP berada pada pihak Paderi (hlm. 82). Masih dapat di sini ditambahkan perbedaan antara kedua penulis ini. Bagi MOP, kedatangan orang Paderi ke kampung halamannya tidak untuk menyebarkan Islam, melainkan melampiaskan dendam kusumat sesama krabat Si Singamangaraja Sinambela, seperti yang dilakukan oleh Tuanku Rao. Baik MOP maupun BHH dalam bukunya Greget Tuanku Rao, cenderung mendeskreditkan (meremehkan) gerakan Paderi dan kepemimpinannya sebagai ”lembaran hitam” dalam sejarah bangsa. Ini dapat dimengerti, tetapi tidak dapat dibenarkan, bila semangat otonomi daerah yang muncul di mana-mana dewasa ini, cenderung menyulut dan membangkitkankan jingoisme, nasionalisme picik berdasarkan sentimen etnik dan kedaerahan. Dalam hal ini perasaan anti-Minangkabau tampak sekali di dalamnya.[2]
* * *
Namun dengan membaca kembali secara berhati-hati bantahan Hamka terhadap ”khayalan’ MOP tentang Tuanku Rao, yang tak lagi disanggupi oleh MOP untuk memberikan tanggapan baliknya terhadap Hamka,[3] maka tidak ada alasan untuk mengada-ada, kecuali menguatkan pembuktian Hamka terhadap asal usul Tuanku Rao. ”Beliau adalah orang Padang Matinggi dan bukan orang Bakara, seperti yang dilangsir oleh MOP dan BHH. Hamka dengan tegas menyatakan ”Beliau orang Minang, dan bukan orang Batak!” (hlm. 239). Sumber-sumber Hamka tentang ini sangat kuat. Kecuali menggunakan sumber-sumber lokal (dari Rao), dan penulis-penulis Indonesia, juga sumber-sumber asing yang relatif lengkap (Arab, Belanda dan Jerman).[4]
Sumber-sumber lain yang belum sempat digunakan Hamka juga memperkuat pendapat Hamka di atas. Paling utama di antaranya ialah Naskah Tuanku Imam Bonjol (2002),[5] sebuah memoar yang ditulis oleh Tuanku Imam di tempat pembuangan mereka di Manado. Menurut naskah ini, Tuanku Rao bernama Fakih Muhammad. Ayahnya orang Huta Gadang dan ibunya orang Rao (hlm. 21).[6] Dua buah tulisan Christine Dobbin, masing-masingnya berjudul ”Tuanku Imam Bonjol” (1972) dan tentang Gerakan Paderi (1984) juga menyinggung gerakan Paderi di daerah Rao sebagai batu loncatan gerakan ini dalam mengislamkan Batak.[7] Dobbin dalam bukunya tentang Gerakan Paderi itu, tidak terlalu rinci melacak asal usul Tuanku Rao, tetapi ”apa pun asal usulnya” (wha ever his origins), menurut Dobbin, Tuanku Rao adalah aktivist Paderi di Lembah Rao dan Tapanuli. Ia menjadikan Tuanku Imam Bonjol sebagai patronnya. Ia juga membangun bentengnya sendiri di Padang Matinggi dan menjadi tokoh Paderi paling terkemuka di Rao (hal. 178).[8]

Gerakan Wahabisme Paderi
Menurut B.J.O. Schrieke (1973) dan juga Snouck Hurgronje (1887), kaum Paderi bukanlah kaum Wahabi, dalam pengertian bahwa yang terakhir ini (Wahabi) menurutnya bukanlah penganut agama Islam yang ketat. Lagi pula terdapat sejumlah perbedaan lainnya. Kaum Wahabi, misalnya, menentang keras pemujaan terhadap Nabi, dan kuburan kramat (’orang-orang suci), sesuatu yang tidak terlalu dihiraukan atau diperdiarkan saja oleh kaum Paderi. Lebih penting lagi, ide-ide pembaharuan sosial keagamaan di Minangkabau sebetulnya sudah berlangsung jauh sebelum kepulangan beberapa orang tokoh Minangkabau dari perjalanan haji mereka ke Mekkah.[9]
Tokoh utama dari gerakan pembaharu itu ialah Tuanku Nan Tuo atau Tuanku Koto Tuo (1750-1830) dari Cangkiang, Ampat Angkat. Ia adalah murid brilian di antara para tuanku yang pernah belajar pada Syiekh Ulakan.  Setelah pulang ke kampungnya perempat abad ke-18, ia lebih cenderung bergeser ke tarikat Naqsyabandiah daripada ajaran Syatariah yang dianut gurunya di Ulakan. Tarikat Naqsyabandiah lebih dekat dengan sunnah dan lebih diterima oleh Mazhab Syafei. Dalam waktu singkat beliau berhasil menjadikan suraunya sebagai pusat pengajian fiqh, yaitu kitab jurisprudensi Islam yang tidak hanya mengatur aspek peribadatan, melainkan juga bertalian dengan seluruh aspek kehidupan duniawi. Lambat laun surau ini semakin ”asing” dari otoritas agama Ulakan.[10] Meskipun tetap menjalankan tiraqat (Jawa: ’bersamedi’) sebagai bagian dari tradisi sufisme (tasauf) Ulakan, Tuanku Koto Tuo cenderung mendorong agar murid-muridnya lebih tajam membuka mata mereka untuk ketimpangan ajaran Islam dalam urusan duniawi sehari-hari. Ia prihatin dengan kegagalan orang Minangkabau mengamalkan ajaran Islam yang benar, sesuai dengan ajaran Al Quran dan Sunnah. Menurutnya banyak kebiasaan buruk yang bertentangan dengan ajaran moral agama. Selain kelalaian dalam menjalankan kewajiban agama (Rukun Islam yang lima), mereka juga melakukan perbuatan yang diangggap melanggar moral Islam, seperti kebiasaan adu ayam, korup, pemadat, termasuk mengunyah sirih, dan memakan makanan yang diharamkan oleh agama. Atas dasar itu Syeikh tua itu pada gilirannya mendorong agar murid-muridnya menyadari tentang perlunya melakukan pembaharuan sosial dalam cara bergama Islam yang benar, tetapi dengan cara-cara yang lunak dan bersifat ajakan.[11]
Suasana gerakan pembaharuan Islam tiba-tiba mengalami perubahan drastis setelah tiga tokoh haji (Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang) pulang dari Mekah pada tahun 1803. Waktu itu kaum Wahabi sedang giat-giatnya mengembangkan ajaran mereka. Tergugah dengan kemajuan dan cara-cara gerakan Wahabi dalam mensyiarkan agama Islam di sana, mereka lalu mulai melakukan pembaharuan model Wahabi. Dakwah Islamiyah harus ditunjuk-ajarkan dengan contoh dan peringatan. Dengan semangat puritan Paderi Tuanku Mansiangan menerima asas Paderi: kalau semuanya gaga l[cara dakwah lunak] kekerasan harus dipakai untuk mengubah negara menjadi Islam dan setiap desa  harus menjadi masyarakat Islam yang murni. [12]
Namun seperti dikatakan di atas, gerakan Paderi bukanlah salinan bulat-bulat dari Wahabi. Ajaran Wahabi yang berkembang di Tanah Arab sejak pertengahan abad ke-18, menganut Mazhab Hanbali, aliran mazhab paling ketat dan tanpa kenal kompromi. Mereka ingin mengembalikan ”pemurnian” ajaran Al Quran dan Sunnah seperti di zaman Rasulullah. Untuk itu mereka ingin membangun umat Islam (Islamic community) dengan menerapkan hukum Islam sebagaimana termaktub dalam al Quran dan Sunnah tanpa kompromi.  Ketiga tokoh haji yang mendapat pengaruh dari ajaran Wahabi itu juga ingin melakukan gerakan pembaruan seperti di Tanah Arab, tetapi dalam prakteknya gerakan pembaharuan mereka tidak sepenuhnya imitasi dari ajaran Wahabi. Gerakan Paderi adalah penganut Sjafei’ dan bukan Hanbali. Secara historis gerakan Paderi merupakan suatu reaksi ketat terhadap unsur-unsur non-Islami di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau. Secara ideologis gerakan Padri, meskipun mendapat pengaruh dari ajaran Wahabi, tetap menunjukkan beberapa kekhususan lokal. Jadi lebih baik kalau ideologi gerakan mereka disebut Wahabisme Paderi.[13]
Sebagai sebuah gerakan, kaum Paderi merumuskan identitas diri mereka dengan dua ciri utama berikut. Pertama ideologi gerakan dan kedua identitas kelompok beserta aspek instrumental lainnya. Keyakinan ideologis gerakan mereka, Wahabisme Paderi, menjadi dasar pandangan hidup mereka dan sekaligus menjadi daya dorong pergerakan. Ideologi itu pula yang menyatukan pengikutnya dan sekaligus menuntun mereka dalam menentukan jalan yang akan ditempuh, dan bergerak melakukan dakwah Islamiyah dan bila saatnya tiba melakukan aksi secara revolusioner. Dengan keyakinan ideologi Wahabisme Paderi itu pula para pengikutnya mengidentifikasi siapa lawan dan siapa kawan.
Identitas kelompok secara lahiriyah diperlihatkan dengan baju panjang warna putih-putih. Surau merupakan markas dan sekaligus benteng pertahanan Paderi. Surau dalam arti tertentu adalah juga medium tempat mereka menggalang kekuatan. Di sana para kader Paderi dibina dan digemblang secara mental-spritual dan latihan fisik (silat), melanjutkan tradisi surau yang lama, tetapi kini mendapat sentuhan ajaran baru gerakan. Untuk menghidupi anggotanya kaum Paderi melibatkan diri dalam perdagangan, terutama kopi, komoditi utama daerah dataran tinggi yang mulai berkembang sejak akhir abad ke-18.[14] Sebagaimana yang akan kita lihat nanti, sebagian jalur perdagangan antara pantai dan pedalaman Minangkabau dikuasai Paderi. Jaringan antar-surau kemudian membentuk titik-titik penyebaran ajaran Paderi.
Ketiga haji pembawa semangat baru Wahabisme Paderi itu datang pada waktu yang tepat. Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya sudah memulai gerakan pembaharuan lewat gerakan mereka yang relatif moderat. Gerakan pembaharuan Paderi itu mendapat sokongan dari Tuanku Koto Tuo dan pembantunya Faqih Saghir gelar Tuanku Sami’ di Ampat Angkat. Akan tetapi ”rahib tua” ini, demikian ia disebut dalam sumber,[15] kurang merestui jihad dengan cara-cara kekerasan yang ditempuh oleh murid-muridnya. Gagal berkompromi dengan guru tua ini mereka lalu meminta dukungan dan sekaligus minta keikutsertaan Tuanku Mansiangan (anak dari Syeikh Mansiangan – kolega seperguruan dengan Tuanku Nan Tuo). Sejak itu kepemimpinan Paderi mulai meninggalkan guru mereka, dan selama beberapa tahun gerakan ditujukan pada pembinaan kekuatan ke dalam anggota gerakan sendiri sebelum akhirnya membentuk kepemimpinan kolektif di bawah delapan orang tokoh terkemuka, di sebut dengan “Harimau Nan Salapan”.[16]
Setelah itu mereka mulai melancarkan gerakan mereka secara terbuka. Mula-mula via dakwah atau penerangan lewat pengajian surau dan khotbah. Meminjam konsep Geertz tentang peranan para ”kyayi” di Jawa sebagai ”cultural broker” (makelar budaya),[17] ulama-ulama Paderi dalam arti tertentu adalah kelompok yang memerankan diri mereka sebagai transmisi (penyampaian) pengetahuan baru yang dianggap lebih baik demi kebajikan bersama dan bukan sekedar kepentingan kelompok dalam arti sempit. Jadi masalah pokoknya lebih bersifat kultural, yakni penghayatan nilai-nilai ideal demi kemantapan kehidupan sosial.
Jadi, sebagaimana dilaporkan oleh seorang pengamat kolonial (1855), nilai-nilai yang dibawa oleh Paderi bukanlah anutan yang hanya memperturutkan nafsu fanatik seperti yang sering muncul dalam kebanyakan gerakan perlawanan tradisional di Indonesia zaman kolonial. Gerakan semacam ini biasanya muncul sebentar di pentas dunia, bagaikan ’cirit bintang’ yang berkilau sesaat di langit, lalu jatuh menghilang untuk selama-lamanya. Gerakan kaum Paderi, menurutnya, sama sekali tidak demikian. Ia tidak berumur sependek itu dan karena itu juga tidak  cepat membusuk. ”Gerakan itu lebih merupakan cayaha yang menyelesaikan jalan hidupnya dalam jangka panjang dan cukup lama berada dalam hati nurani pengikutnya dan di mata penyeledik” di kemudian hari.[18] Pengaruhnya jauh melampau zamannya karena ia mengandung harapan-harapan untuk tumbuh lebih subur dan menghasilkan buah yang lebih baik, sebelum dipatahkan pucuknya oleh kekuatan Belanda tahun 1833.
 Jaringan Surau, Perdagangan dan Pembaharuan Sosial-Intelektual
Bermula dari Surau Koto Nan Tuo di Ampat Angkat, Agam, gerakan Paderi lambat laun menyebar ke nagari-nagari di Lihak Nan Tigo”: Agam, Tanah Datar dan 50 Kota, sebelum akhirnya mencapai rantau. Beberapa surau segera bergabung dengan Paderi dan sejak itu mulai melancarkan gerakan mereka mulai berdakwah secara terbuka, tetapi juga siap melayani penantang mereka dengan debat dan perang di jalan Allah. Para pengikut gerakan secara bertahap mulai membentengi kampung mereka dan mengidentifikasi musuh-musuh mereka yang tidak menghiraukan seruan dakwah mereka. Aturan baru harus ditegakkan dan perangkat kepemimpinan maupun instrumentalnya sudah disiapkan.
Kehadiran kepemimpinan kolektif di bawah ”Tuanku Nan Salapan” menjadi daya dorong baru dalam perkembangan gerakan sejak 1807. Tokoh utama dari generasi pertama kepemimpinan Paderi sebenarnya berada di bawah Haji Miskin, tokoh senior paling berwibawa dan aktif dalam gerakan dakwah gerakan Paderi.[19] Sejak itu pengikutnya mulai melewakan keberadaan gerakan mereka secara terbuka di nagari asal mereka sendiri dan di nagari-nagari tetangga. Surau-surau di negeri asal para ”tuanku” itu menjadi basis pertama pergerakan.[20] Selain itu, mereka dengan cerdik meminta dukungan ulama-ulama tua yang dihormati masyarakat di luar ”Tuanku Nan Salapan” sebagai patron pelindung mereka. Nama-nama besar mereka, seperti Tuanku Mansiangan, Tuanku Nan Cadiek di Naras, Tuanku Lintau, Tuanku Malin Putih, Air Tabik, Tuanku Halaban, Tuanku Nan Gapuak, Tuanku Halaban dan sejumlah ulama besar lainnya, secara tak langsung menjadi ”benteng” dan sekaligus ’amunisi’ tambahan dalam melindungi dan melancarkan gerakan di nagari-nagari sekitar.
Reaksi-reaksi pun mulai berdatangan berbagai penjuru dan pada saatnya konflik ideologi lalu berubah menjadi konflik fisik. Inilah misalnya yang dihadapi Tuanku Nan Renceh, salah seorang tokoh gerakan paling vokal pada masa ini. Agaknya karena tidak senang dengan ajaran yang dikembangkan Tuanku Nan Renceh di nagarinya, Kamang, beberapa orang lalu menawan lima orang kemenakan Tuanku Nan Renceh. Mereka dilarikan ke Bukit Batabuah. Dalam peristiwa lain terdapat pengaduan tentang perampasan barang Tuanku Tarabi, orang Kotobaru. Ia lalu melaporkan kejadian ini kepada sidang jamaah Paderi yang dipimpin Tuanku Nan Renceh. Laporan itu membuat kaum Paderi marah besar dan secara bergerombolan menyerang nagari yang merampas barang dagang Tuanku Tarabi.[21] Kebiasaan buruk yang ditentang Paderi itu tampaknya tidak mudah  dihilangkan. Malahan semakin menonjol waktu itu. Menurut Dobbin ini berkaitan erat dengan kemakmuran yang meningkat setelah makin terbukanya hubungan dagang antara Minangkabau dengan dunia luar. Terutama sejak penggal terakhir abad ke-18, bersamaan dengan merosotnya dominasi VOC. Sejak itu persaingan dagang makin terbuka. Banyak  pedagang asing lainnya seperti Inggris dan Amerika Serikat yang mengadu nasib mereka di pelabauhan pantai. Surplus dari hasil pertanian dan perdagangan memberi banyak kesempatan kepada penduduk untuk bersenang-senang dan sebagian besar itu berlawanan dengan nilai-nilai adat dan Islam.
Ketika kompromi lewat dakwah dan perundingan gagal mencapai hasilnya, maka perang dalam dan antarnagari pun tak bisa dielakkan lagi. Musuh utama mereka adalah penganut ’agama petani’ yang mencampur-baurkan ajaran Islam dengan khurafat dan adat istiadat lama di nagar-nagari. Di sana berkuasa datuk-datuk kaum penghulu pengikutnya, para bangsawan terkemuka, termasuk keluarga kerajaan di Pagaruyung dan di rantau. Perkelahian di pasar, pembakaran surau, yang menjadi markas Paderi dan serangan antar-nagari makin sering terjadi. Di setiap nagari yang sudah ditunduk Paderi kedudukan pemerintahan tradisional dikepalai oleh para penghulu tidak dihapuskan, melainkan kini harus menjadi subordinasi (bawahan) dari otoritas pemimpin agama versi Paderi. Dua unsur kepemimpinan paling menentukan ialah imam dan kadi yang bertindak mengadili dan menghukum pelanggaran ajaran Paderi, didenda atau hukuman mati, tergantung berat-ringannya kesalahan. Di Lintau pengikut gerakan Paderi dimusuhi seperti juga di Tanah Datar umumnya. Mereka mendapat perlawanan sengit dari mayoritas masyarakat yang berpatron pada kerajaan di Pagaruyung. Tuanku Lintau tidak mau tinggal diam dan menganggap keluarga kerajaan enggan atau tak berniat menerima ajaran Paderi. Baginya sistem kerajaan adalah hambatan bagi pengembangan cita-cita gerakan di Tanah Datar. Setelah gagal dalam suatu perundingan dengan Raja Pagaruyung pada tahun 1815, semua keluarga kerajaan diserang dan banyak yang tebunuh. Beberapa di antaranya, termasuk Raja Muningsyah dan seorang cucunya (Sutan Bagagarsyah), berhasil melarikan diri ke Lubuk Jambi di Indragiri.[22]
Dalam perkembangannya kemudian, kita melihat beberapa ciri utama gerakan Paderi antara lain ialah keteguhan mereka dalam memegang ideologi Wahabisme Paderi sebagai patokan nilai, sehingga membuat mereka menyerahkan hidup mereka untuk gerakan. Erat kaitannya dengan ini, pusat gerakan berada di surau-surau tarikat yang sudah lama berperan sebagai bagian inheren dalam struktur masyarakat Minangkabau. Ciri lainnya ialah ikatan persaudaraan guru-murid, yang membentuk hubungan ”patron-client”, dalam arti terciptanya hubungan kepatuhan dan loyalitas murid terhadap guru sebagai pelindung. Ini menjadi jembatan bagi penyebaran ajaran Paderi di setiap nagari-nagari Minangkabau. Surau-surau biasanya memiliki ratusan murid dan setelah tamat mengaji mereka biasanya mendirikan surau di kampung asal mereka atau di tempat perantauan mereka. Mantan murid tidak hanya meneruskan ilmu yang dikembangkan oleh sang guru, melainkan juga berupaya menyebarkan ilmu mereka ke dalam masyarakat. Namun keliru mengatakan bahwa gerakan paderi dilancarkan untuk menyerang sistem penghulu yang ada di nagari-nagari tanpa kompromi. Hubungan baik antara Haji Miskin dan Datuk Batuah di Pandai Sikat, merupakan suatu ilustrasi yang baik dari banyak contoh yang dapat ditemukan dalam gerakan Paderi. Tuanku Imam Bonjol sendiri juga didukung oleh Datuk Bendahara, yang juga bekas murid Tuanku Nan Tuo dan orang kepercayaan dan sekaligus pelindung Tuanku Imam Bonjol di kemudian hari.
Secara historis-sosiologis, gerakan Paderi adalah gerakan sosial-intelektual, yang berupaya memperbaharui pemikiran agama dan cara beragama orang Minangkabau terlalu berbau tahyul dan khurafat serta toleran dengan adat kebiasaan yang dilarang agama. Inilah yang diperjuangkan Paderi dalam masyarakat sebelum berhadapan langsung dengan Belanda paska 1820-an. Dalam hubungan ini penting juga dicatat, bahwa kaum Paderi, mirip dengan Wahabi juga memiliki prangkat militer, pasukan terlatih secara militer dan perlengkapan senjata sendiri buatan lokal atau yang dirampas dari tangan musuh.
Ciri lain berikutnya ialah bahwa jaringan surau-surau terikat dengan pasar. Murid-murid yang umumnya tinggal di asrama surau, harus menyediakan makan dan pakaian mereka sendiri. Kecuali mendapat bekal dari kampung halaman mereka, kebanyakan terlibat dalam perdagangan kecil-kecilan. Tidak mengherankan jika Islam sering diidentikkan dengan agama ”urban”, yang dekat dengan pasar dan perdagangan. Justru salah satu ciri yang paling menonjol dalam gerakan Paderi ialah kedekatan dan perhatiannya dengan kegiatan perdagangan Minangkabau dan melawan setiap upaya untuk mengganggu atau kekuatan luar yang hendak memonopli perdagangan Minangkabau. Dalam hal ini Paderi juga bertindak ”membersihkan” penyamun yang merampok konvoi pedagang di lintasan perdagangan antara pantai Barat dan pedalaman. Mereka juga menjalin hubungan dengan kelompok pedagang di pantai barat dan timur. Pemicu konflik antara Paderi dengan Belanda juga berkaitan erat dengan intervensi-intervensi kepentingan ekonomi Belanda di Minangkabau. Sebagaimana yang akan kita lihat dalam kasus Rao berikut ini, tampak jelas bahwa selain pertalian ideologis, keterlibatan Paderi di Lembah Rao juga terkait erat dengan kepentingan perdagangan Paderi di daerah itu.
 Tuanku Rao: Tokoh Gerakan Paderi di Lembah Rao
Gerakan Paderi di utara Minangkabau terdapat di tiga lembah yang luas. Masing-masingnya ialah lembah Alahan Panjang yang berpusat di Bonjol dan Lembah Rao dan dataran rendah di hulu sungai Sungai Rokan dan Barumun yang mengalir ke pantai timur. Di sini terkenal tiga tokoh utamanya. Mastermind dari gerakan Paderi di daerah ini berada di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Di Lembah Rao ada Tuanku Rao, dan lebih ke utaranya di dataran rendah di hulu sungai-sungai kecil yang mengalir ke timur itu ada Taunku Tambusai, yang bermarkas di Dalu-dalu.
Ujung tombak gerakan Paderi ke Tanah Batak adalah Lembah Rao yang menerima asas-asas Wahabisme Padri lewat pusat gerakan di Lembah Alahan Panjang.[23] Di sini ajaran Paderi banyak pengikutnya. Rao memiliki tradisi hubungan yang lama dengan Minangkabau lainnya. Perdagangan di Bonjol dengan kawasan pantai dilakukan lewat Pasaman. Rao dalam hal ini adalah batu loncatan untuk menyalurkan hasil-hasil di pedalaman ke kawasan pantai. Selain itu Rao juga kaya dengan dengan hasil alamnya, yang pada gilirannya membuat sejarah di lembah yang luas itu menjadi penting sejak lama. Rao merupakan daerah pertambangan emas yang paling penting di Minangkabau setelah Alahan Panjang dan Saruaso di Tanah Datar. Perdagangan emas Rao sudah dikenal oleh pedagang India sejak awal abad ke-2 SM. Kira-kira pada tahun 800 SM, orang-orang India telah mendirikan pemukiman, baik di lembah maupun di bagian hulu Sungai Kampar. Daerah-daerah ini lalu berkembang menjadi pangkalan hulu sungai yang khas bagi perdagangan emas Rao selama berabad-abad. Sampai abad ke-18, tambang emas Rao masih berproduksi dan di salurkan via Malaka dan Singapura. Pada tahun 1826, Singapure Chronicle seperti dikutip dari sumber Dobbin, menetapkan nilai ekspor emas Rao antara 13.000 dan 14.000 dolar Spanyol per tahun. Pedagang lokal juga membawa emasnya ke pantai barat khususnya antara Pasaman, Natal, Air Bangis dan Barus di utara (lihat peta).
Penduduk yang mendiami punggung bukit barisan di belakang jalur pantai antara Air Bangis dan Barus dan lembah-lembah di sekitaranya bukanlah orang Minnagkabau melainkan orang Batak. Namun pelabuhan-pelabuhan kecil yang terletak d i muara-mura sungai yang mengalir ke pantai barat itu sudah berabad-abad dikuasai oleh pedagang Minangkabau. Di sana pemukiman orang Minangkabau berdampingan dengan orang Batak, seperti yang terjadi di bagian utara Pasaman, khususnya di lereng bukit dan di lembah hulu sungai-sungai  yang mengalir ke pantai timur. Kapur barus dan kemenyan, dua komoditi utama yang sangat terkenal sejak zaman kuno, berasal dari daerah sekitar ini. Pelabuhan di pantai barat itu dapat dicapai dengan mudah via Lembah Rao. Pelabuhan Natal pada akhir abad ke-19 digambarkan sebagai ”tempat berdagang yang ramai. Selain penduduk setempat, orang Minangkabau, temasuk Rao, banyak pendatang asing yang menetap di sana untuk kepentingan perdagangan, seperti Aceh dan pedagang India dan Eropa.
Tidak mengherankan jika gerakan Paderi pimpinan Imam Bonjol dan pengikutnya memalingkan matanya ke utara, ke negeri tetangganya yang kaya, setelah ia memantapkan kekuasaannya di Lembah Alahan Panjang. Lembah yang panjang dan sempit di kawasan utara Bonjol itu, masih lebih besar daripada Lembah Alahan Panjang. Kehidupan anak negeri di sana juga memperlihatkan  kemakmuran yang cukup besar. Pada tahun 1830-an, Lembah Rao diperkirakan berpenduduk sekitar 25.000 orang, terbagi dalam 20 desa besar dengan kampung-kamopung kecil di sekitarnya. Semuanya terawat baik dan dikelilingi oleh sawah-sawah luas. Kopi juga komoditi yang penting di sana. Sistem politiknya serupa dengan daerah rantau Minangkabau lainnya. Setiap desa dihuni oleh sejumlah suku, masing-masing dengan penghulunya masing-masing. Seperti halnya dengan kawasan rantau umumnya, desa-desa atau nagari di sana membentuk semacam federasi di bawah seorang raja.
Di bagian utara lembah, lokasi tambang-tambang emas utama di sekitar Nagari  Rao dan Padang Matinggi paling padat penduduknya. Di sinilah hidup Fakih Muhammad gelar Tuanku Rao. Sejak 1808 ia berguru dengan Tuanku Imam Bonjol di Bonjol  yang ahli dalam ilmu tasauf, fiqih dan ilmu falak (dan astronomi, ilmu perbintangan). Tuanku Rao terutama dikenal ahli dalam ilmu fiqih dan setelah menamatkan pengajiannya di Bonjol ia lalu mengundang pembesar Bonjol yang sudah menjadi pendukung Paderi, yaitu Tuanku Nan Barampek, ke Rao. Kehadiran Tuanku Rao di lembah Rao disambut baik oleh Yang Dipertuan Padang Nunang, pembesar Rao waktu itu. Pola pendekatan Paderi seperti di Agam juga diterapkan di sana. Melakukan dakwah dan berkompromi dengan pemuka masyarakat setempat. Dan ini berhasil dengan baik karena Yang Dipertuan menerima ajaran Paderi dengan kesediaan untuk menerapkan hukum syara’ dan sedikit merombak atau lebih baik menambah unsur pemerintahan yang lama. Dalam susunan peemrintahan yang baru ditanam unsur imam-khatib dan seorang  tuan kadhi  di Rao. Pembaharuan itu dilewakan lewat sebuah jamuan di Padang Matinggi. Faqih Muhammad diresmikan menjadi imam besar Nagari Rao dengan gelar Tuanku Rao. Ia dibantu oleh kemenakannya, Bagindo Suman sebagai kepala hulubalang, suatu unsur perangkat pemerintahan yang lama, tetapi kini diberi semangat Paderi. Begitulah sejak 1820, kawasan Mandahiling berada di bawah kontrol Tuanku Rao dan penyebaran dakwah Paderi sambil menjalankan perdagangan dengan pantai barat mulai dilakukan, khusunya pelabuhan Natal.[24]
Untuk memperkuat Rao di garis belakang, Imam Bonjol memulai proyek pembuatan jalan yang baik menuju Rao via Lubuk Sikaping di bawah pengawasan pengikutnya. Sebagai tokoh muda yang belum berpengalaman memimpin gerakan, ia masih membutuhkan dukungan Imam Bonjol untuk meningkatkan kedudukan-nya dan mempertahankan pemerintahan Padri yang ketat di Lembah Rao. Sebagai imbalan untuk pengakuan imam Paderi atas wilayah kekuasaannya di Lembah Rao, ia tetap membina hubungan baik dengan gurunya dan secara teratur memasok Bonjol dengan emas, kerbau, dan beras agar Bonjol bisa memusatkan perhatiannya untuk meningkatkan kedudukannya di wilayahnya. Tuanku Rao juga mendirikan benteng a la Bonjolnya sendiri. Wilayah itu membentangi pusatnya di Padangmatinggi sampai dekat daerah pegunungan di mana penambangan dan pendulangan emas digiatkan oleh penduduk seetmpat. Tempat pemukiman di sana terletak di atas bukit yang bisa dipertahankan dan dikelilingi oleh tembok kukuh. Selain itu, ia juga mengikuti contoh Imam Bonjol dengan menganjurkan para pemuda yang setia kepadanya untuk menetap di sana. Memang, ”ibukota” Rao yang diciptakannya lebih menyerupai garnisun militer daripada desa biasa.[25]
Konsolidasi kekuasaan Tuanku Rao atas Lembah Rao menandai permulaan suatu episode dalam sejarah gerakan Padri yang tidak banyak kita ketahui. Ini adalah penaklukkan atas daerah-daerah luas yang dihuni oleh orang-orang Batak. Penaklukan ini dilakukan oleh Tuanku Rao dengan bergerak melalui lembah-lembah sungai di sepanjang alur Bukit Barisan di bagian barat. Di sini akan bertemu dengan daerah penaklukan Tuanku Tambusai berada di punggung-opunggung bukit di hulu sungai-sungai di pantai timur.
Pada tahun 1820, tak lama setelah pengangkatan Tuanku Rao sebagai Imam Besar Rao, gerombolan Padri dari Rao menyeberangi bukit-bukit yang menghadang dan mulai menyerbu ke Lembah Mandailing Atas yang berpenduduk sedikit, di sekitar hulu Sungai Gadis. Walaupun pasti ada motivasi agama dalam jihad ini, pertimbangan ekonomi juga berperan penting. Seperti halnya dengan Rao, Mandailing Atas juga daerah penghasil emas. Selain itu, di daerah ini juga sudah ada pemukiman Minangkabau yang penting. Banyak orang-orang Minangkabau yang datang dari tempat-tempat jauh seperti Agam untuk bekerja di pertambangan atau berdagang. Tambang-tambang ini terletak di beberapa tempat antara Huta Nopan dan Pakantan. Namun, tempat yang paling penting ada di dasar lembah utara dan selatan Pakantan. Tempat ini sangat dekat dengan Rao. Selain itu, di sekitar Huta Nopan lebih ke utara lagi, juga terdapat tambang emas.
Sebelum tahun 1820, hubungan kekeluargaan dan perkawinan dengan masyarakat pedagang Minangkabau di kawasan pantai telah  meningkatkan jumlah orang-orang Batak dan keluarganya yang menjadi Islam. Jadi, penaklukkan Rao atas lembah ini memiliki logika tertentu selain didorong oleh ideologi gerakan Paderi. Penaklukan ini mempunyai keuntungan secara ekonomis, baik untuk Padri Rao maupun Padri Alahan Panjang. Imam Bonjol sendiri, sebagai pelindung Tuanku Rao, juga berkepentingan untuk membuka jaringan perdagangan ke kawasanapantai barat. Lembah Mandailing Atas dikuasai Padri juga membantu rencana Imam Bonjol untuk mengusir pedagang Eropa dari Pantai Batak itu. Jalur-jalur emas yang utama dari Rao dan Mandailing ke pantai sekarang berada di tangan Padri. Di sisi lain, perdagangan emas dialihkan ke Pasaman dan ke pelabuhan Imam Bonjol yang baru, yakni di Batahan.
Setelah itu, penaklukan Paderi di Rao terus menyusuri Sungai Gadis ke Mandailing Bawah, kemudian lebih ke utara ke lembah- lembah Sungai Angkola dan Sungai Taru yang berhulu di Danau Toba. Namun, motivasi di balik gerakan Tuanku Rao  berikutnya   lebih   problematik.  Mungkin   saja,  sementara Bonjol menyusuri pantai Batak, masalah pengawasan celah-celah gunung yang keluar dari lembah-lembah Batak makin menjadi penting. Sebab, siapa pun yang menguasai jalur keluar dan masuk di kawasan ini, ia juga akan menguasai jalan dagang darat ke pelabuhan-pelabuhan Bonjol, seperti Runkun, Tabuyung, dan Sinkuan. Perdagangan ke pelabuhan saingan juga bisa dihambat. Diketahui bahwa penguasaan Padri atas jalan-jalan tembus ini berlanjut sampai tahun 1832. Penguasaan ini bahkan menjadi bagian esensial dari pemikiran strategis Imam Bonjol. Pada tahun 1828, sebuah daerah perdagangan yang kira-kira enam jam perjalanan ke sebelah timur Natal telah dibakar oleh pasukan musuh yang turun dari Mandailing Bawah. Selain itu, dominasi Rao atas celah-celah merupakan pelengkap yang penting bagi usaha Bonjol melawan Air Bangis dan Natal pada tahun 1831. Pelabuhan Air Bangis khususnya selalu menjadi incaran kepentingan ekonomi Belanda dan sekaligus menutup hubungan perdagangan Paderi dengan kawasaan pantai.
Pada bulan januari 1830 Tuanku Imam Bonjol dengan 3000 pasukan gabungan dari Paderi Bonjol dan Rao berbaris menuju Air Bangis untuk memblokir pos Belanda di sana selama empat hari empat malam. Pasukan Paderi berhasil membunuh hampir dua pertiga personil Belanda di sana, lalu kemudian mundur ke garis pertahanan mereka. Dua bulan kemudian, Maret 1830 percobaan yang sama dilakukan dengan mengepung pos Belanda di pelabuhan Natal. Sekitar 10.000 pasukan gabungan Iambonjol dan Rao dikirim ke sana. Namun setelah Belanda mengirim bala bantuan dari Padang pasukan Paderi sekali lagi dipaksa mundur. Percobaan Belanda untuk menguasai sepenuhnya Air Bangis dan sekitarnya juga gagal dalam tahun 1832. Ini membuat mereka berpaling untuk memukul kekuatan Paderi di utara Minangkabau lewat darat hingga akhirnya membuat Bonjol jatuh tahun tahun 1833. Meskipun demikian sampai tahun 1937, perlawanan sporadis tetap berlangsung. Bagi Tuanku Rao khususnya, Air Bangis tetap merupakan ancaman, sebab jika Belanda berhasil menguasai pelabuhan itu, jalan masuk menuju daerahnya di balik bukit barisan menjadi mudah. Itulah sebabnya ia dengan gigih berupaya memperkuat bentengnya di garis depan, yakni jalan masuk dari dan ke Air Bangis sebelum akhirnya benar-benar melakukan serangan serentak menyerbu kota pelabuhan itu. Pertempuran ini pula yang mencelakai dirinya, hingga tewas dalam menjalankan tugasnya di sana.
 Syahid Melawan Belanda
Pada bulan Oktober 1832, Belanda akhirnya berhasil memasuki Rao via Bonjol yang telah lebih dulu ditundukkan. Komandan pasukan Belanda, Letnan H.J.Y. Engelberg van Vevervoorden seperti halnya dengan kasus Bonjol, mengajak berunding dengan tokoh utama di daerah itu. Tuanku Rao mula-mula diajak ”berdamai” dengan membujuk tuanku itu agar menyerah dengan jaminan – kalau mau menyerah – akan dilindungi keselamatan diri dan keluarganya. uanku Rao berdiplomasi dengan mengatakan bahwa beliau akan mundur dari politik dan ingin ke Mekkah.
Akan tetapi sebagaimana diketahui kemudian, dalam hatinya ia tak pernah surut, bahkan menyusun siasat untuk membalas invasi Belanda manakala saatnya sudah tiba.  Memang, di atas permukaan Tuanku Rao sudah menarik diri dari politik. Ia tak lagi memegang kepemimpin masyarakat Rao. Sejak itu kepemimpinan setempat – atas sepengetahuan Belanda – diserahkan ke tangan mertuanya, yaitu Yang Dipertuan Rao. Namun secara diam-diam Tuanku Rao sebenarnya terus menyusun kekuatan pasukan Paderi, kendati Rao sudah dikuasi musuh. Lebih-lebih lagi karena saat itu masih ada titik pengharapan terakhir baginya mengingat mitra lamanya, Tuanku Tambusai, dan tiga orang rekan seperjuangannya baru kembali dari Mekkah. Masing-masingnya ialah  Pakih Moehamad, kemenakan Tuanku Imam Bonjol,  Pakih Malano kemenakan Tuan  Kadi Besar Bonjol, Pakih Sialo, kemenakan Tuanku Rao sendiri dan yang lebih senior Toeankoe Tamboesai. Mereka ini dikirim ke Mekkah tahun 1820 dan setelah bertahun-tahun di sana mereka akhirnya pulang ke Minangkabau.[26]  Dengan demikian, Tuanku Rao tidak sendirian.
Tuanku Tambusai yang menguasai daerah Tambusai yang berpusat di Dalu-Dalu, daerah pemukiman Minangkabau. Di kawasan utara ini nama Tuanku Tambusai pada umumnya lebih dikenal daripada Tuanku Rao. Mungkin sekali karena namanya lebih sering disebut-sebut dalam sumber Belanda, tetapi juga penting dicatat bahwa, ”Benteng Dalu-Dalu” sebagaimana dilaporkan oleh seorang perwira Belanda adalah benteng terkuat Paderi dan merupakan ”benteng pribumi yang paling teratur yang pernah dijumpai di Sumatera”.[27] Dengan begitu Tuanku Rao masih melihat kesempatan untuk meneruskan perjuangan bersama mitranya di Dalu-Dalu itu. Lagi pula Tuanku Tambusai lama tinggal di Rao dan ia sendiri termasuk salah murid Tuanku Imam Bonjol. Dalam persembunyian setelah mundur dari politik pergerekan, Tuanku Rao lebih memilih menyelesaikan tugasnya untuk menggasak benteng Belanda di Air Bangis, di mana Belanda seeblumnya gagal menundukkan Paderi. Lagi pula semangat perlawanan rakyat Air Bangis tentu belum padam. Maka suatu ketika di tahun 1831, Tuanku Rao berserta pengikutnya diam-diam memutuskan untuk berangkat menyerang Air Bangis di barat. Gerakan pasukan Paderi ini segera diketahui oleh komandan Belanda di Rao, yaitu Letnan Poland setelah  mendapat laporan lewat seorang pengkhianat di Rao. Poland segera mengirim utusan (kurier) kepada Letnan Muda J.H.C. Schultze, komandan Belanda di Air Bangis, agar bersiap-siap menghadang pasukan Tuanku Rao yang sedang bergerak ke sana.
Begitulah di luar perkiraan, pasukan Tuan Rao mendadak dihadang oleh pasukan Belanda di Air Bangis. Diperkuat oleh balabantuan yang didatangkan dari Padang ke Air Bangis lewat kapal perang ”Circe”, pertempuran sengit tidak bisa dielakkan dalam suasana kepanikan. Walau bagaimanapun ini tidak menyurutkan perlawan-an Paderi, meskipun akhirnya dapat dipatahkan dan Tuanku Rao dapat ditangkap dalam keadaan terluka parah akibat terjangan pelor Belanda. Dalam keadaan tidak sadar ia dinaikkan ke kapal Belanda guna menyingkirkan dirinya jauh-jauh Karena tak ada kata-kata ”menyerah” dalam kamus perjuangannya, T dari pasukannya. Namun setelah sejam berada di atas kapal, Tuanku Rao dikhabarkan tewas, 29 Januari 1833. Tidak diketahui bagaimana mayatnya diperlakukan. Tetapi menurut Hamka ada kemungkinan mayatnya dilempar ke laut untuk melampiaskan kebencian Belanda terhadap tokoh patriot itu. ”Dengan ini”, lanjutnya, ”jelaslah bahwa Tuanku Rao telah syahid dalam melancarkan perjuangan melawan agresi Belanda.”[28] Sejak itu kepemimpinan paderi di rao dirangkap oleh Ruanku Tambusai yang meneruskan perjuangan dari bentengnya di Dalu-Dalu.
 Penutup
’Nasionalisme Minangkabau’ seperti diulas oleh Christine Dobbin dalam hubungannya dengan gerakan Paderi abad ke-19, bukanlah nasionalisme modern dalam ukuran Barat, yang selalu dihubungkan dengan model organisasi modern dan elit pimpinannya yang berpendidikan Barat.[29] Nasionalisme Minangkabau dalam hubungan ini tentu masih bercorak ”tradisional”, baik ideologi maupun organisasi dan kepemimpinannya.  Meskipun dermikian karya-karya pakar nasionalisme yang lebih baru belakangan menolak kategori Barat semacam itu karena tuntutan-tuntantan mereka (kaum nasionalis) sesungguhnya juga berakar dalam rumusan tradisi perlawanan masa lampau. Dalam pengertian inilah maka ’nasionalisme’ Minangkabau yang permanen dan mendasar adalah perlawanan mereka terhadap kehadiran Eropa dan sekutunya yang dipandang merusak identitas mereka sebagai kelompok yang ingin bertahan dan melindungi cita-cita mereka.
Ciri utama dari ’nasionalisme Minangkabau’, menurut Dobbin ialah kesinambungan yang jelas dalam cara pengungkapan nasionalisme mereka dengan fenomena sebelum dan sesudahnya. Terutama dari segi ideologi dan kepemimpinan mereka. Paling penting dalam hal ini ialah peranan menonjol dari hubungan guru dan murid dalam tradisi Islam. Di situ jaringan antar-surau dan dimensi intelektual yang diperkenalkannya memberi warna baru dalam pemikiran dan perubahan dalam tatanan sosial maupun ekonomi. Nasionalisme modern setelah abad ke-20 kemudian, dengan jelas juga diwarnai oleh akar tradisi Islam yang kuat dan tokoh-tokohnya tidak bisa dilepaskan dari tradisi yang pernah ditegakkan oleh pendahulu mereka. Meskipun gerakan Paderi pada akhirnya telah mengalami kekalahan yang luar biasa dan kehilangan sejumlah pemimpin terbaik mereka, termasuk Tuanku Rao, perlawanan gerakan menentang Belanda tidak pernah benar-benar berhenti. Malah sebaliknya masih tetap membara di beberapa tempat di Minangkabau. Sejarah Minangkabau abad ke-19 abad adalah sejarah perlawanan lokal menentang kolonialisme Belanda. Kendati pun akhirnya menderita kalah, dan dimasukkannya Minangkabau di Sumatera Barat sebagai bagian dari ’Hindi-Belanda’, cita-cita kaum Paderi tetap hidup di hati sanubari pengikutnya dan rakyat Sumatera Barat umumnya yang memegang ’kredo’ ”adat basandi syara’ syara’ basandi Kitabullah’. Itulah inti perjuangan Paderi di masa lalu dan itu juga yang menjadi keprihatian pemimpin Sumatera Barat dalam berhadapan dengan dampak globalisasi dewasa ini. ***
Catatan Akhir



[1] Judul bukunya ialah Pongkinangngolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak (Djakarta: Tandjung Pengharapan, 1965), 691 halaman.
[2] Ini juga tercermin lewat situs ”petisi online” Mudi Situmorang, yang menggugat status kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol agar dicabut. Bedanya, yang satu lewat situs internet dan yang lain lewat buku, seperti yang dilakukan BHH. Ini tentu berdasarkan hasil pembacaan mereka terhadap ”mitos” atau ”hota gadang” MOP tentang Tuanku Rao. Lihat BHH, Greget Tuanku Rao (hlm. 67, 103ff ).
[3]  BHH mengaku pernah diperlihatkan oleh Hamka surat pernyataan dari MOP tentang penarikan dirinya dari polemik dengan Hamka tentang buku Tuanku Rao. Alasan yang terkesan dibuat-buat menurut Hamka karena MOP kehabisan bahan untuk membantahnya. BHH (2007: 134). Lihat juga Lampiran buku Hamka tentang Tuanku Rao yang berisi koresponden dan makalah polemik antara dirinya dengan MOP yang makin kehilangan daya menangkis “serangan” Hamka. 
[4]  Untuk lebih lengkapnya pembaca dipersilakan mengeceknya ke dalam teks dan daftar kepustakan buku Hamka di bagian belakang.
[5] Naskah ini aslinya bertuliskan huruf Arab Melayu. Bagian pertama sebanyak 191 berisi tentang riwayat Tuanku Imam Bonjol sampai dibunag ke Sulawesi, halaman selanjutnya dilanjutkan oleh anaknya, Naali Sutan Tjaniago berisi tentang keadaan Bonjol paska pendudukan Belanda dan catatan-catatan mengenai peralihan tata-pemerintahan kolonial Belanda. ”Copy” nasakah aslinya ada di tangan penulis makalah ini. Dalam buku H.J.J.L. de Stuers, De Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra, 2 Jilid (Amsterdam: P\ W. van Kampen, 1849) dalam jilid II juga dilampirkan Memoria van Teoanku Imam berupa dialog antara Kolnel Elout dengan Tuanku Imam. Versi Indonesia dari pemibicaraan ini juga terdapat dalam Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838),(Djakarta: Balai Pustaka, Edisi ke-2, 1964), pp. 160-162. Versi alih-tulian (transliterasi) naskah ini sudah diterbitkan dengan editor Sjafnir Aboe Naim, Tuanku Imam Bonjol (Padang: PPIM, 2004).
[6] Tidak disebutkan apakah ayah Tuanku Rao adalah orang Batak atau Minang, yang jelas ibunya orang Padang Matinggi, Rao dan gelar ”Fakih” di awal namanya, tetapi oleh MOP diplesetkan dengan cara (ucapan) Batak sehingga jadi ”Pokki”/ ”Pobgki”. Hamka ”memuji” kemahiran MOP dalam menyusun nama-nama Arab yang banyak kelirunya, tetapi ia berhasil sehingga membuatnya kelihatan ’membatak’ atau berwarna Batak (Hamka, 1974: 236-7).
[7] Lihat Christine Dobbin, ”Tuanku Imam Bonjol (1772-1864)”, dalam Indonesia (Cornell), No. 13 (April 1972), pp. 5-35. Penulis yang sama dalam bukunya  Dobbin, Islamic Revivalism in A Changing Peasant Eonomi. Central Sumatra, 1780-1847 (Malmo and London: Curzon Press, 1984). Juga sudah tersedia edisi terjemahannya, terbitan Komunitas Bambu (2008), pp. 415, termasuk indeks. Karya Dobbin sangat intensif menggunakan sumber primer dari arsip Belanda dan tulisan-tulisan orang Belanda sezaman.
[8] Satu-satunya sandaran sumber Dobbin ialah artikel C. Gabriel (dalam bahasa Jerman) berjudul ”Kriekzug der Bonjol unter Anführung des Tuanku Rao in Bataklander ...” (”Perang Bonjol di bawah Pimpinan Tuanku Rao di Tanah Batak,” dalam Jurnal Tijdschrift van Bativaasche Genootschap (TBG), No. 1, XI (1922). Hamka juga membacanya. Sumber tulisan itu menurut pengakuan penulisnya adalah merupakan zussammensgetragen (hasil pengumpulan) dari sumber lisan yang diterima penulisnya dari seorang tokoh Batak bernama Guru Kenan Hutagalung. Akan tetapi menurut Dobbin  informasi tentang Tuanku Rao dalam tulisan ini menurut Dobbin tidak bisa dipastikan (Dobbin, 1984:178).
[9] Lihat, B.J.O. Schrieke, Pergeolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah sumbangan Bibliografi, Seri Terjemahan KITL  (Jakarta: Bhratara, 1971).  [Edisi asli dalam bahasa Belanda terbit tahun 1921].
[10]  Dobbin, “Tuanku Imam Bonjol... “  (1972: 6 ).  
[11]  Dobbin, ibid.
[12]  Dikutip dari Dobbin(1984: 131).
[13]  Asal kata “Paderi’ atau “pidari” telah banyak dibahas oleh penulis terdahulu, baik dalam buku-buku klasik berbahasa Belanda maupun Indoensia. Paling tidak ada dua penjelasan yang paling lazim dihubungkan dengan kata itu. Pertama, Paderi berasal dari “padre” (Spanyol) berarti “pendekar agama”. Kedua  Paderi berasal dari kata “pidari” (dari Pedir atau Pidi) tempat pemberangkatan atau ketibaan orang Minangkabau yang naik haji via Aceh sebelum abad ke-19.  Lihat misalnya Ph. S. van Ronkel, “Inlandsche getuigenissen aangaande den Padri-oorlog” dalam De Indische Gids, XXXVII,No. 2 (1915), p. 1103. Selain itu ada juga yang berangkat lewat pelabuhan pantai Barat (Tiku dan Pariaman) dan Indrapura di selatan atau lewat pantai timur via Sungai Siak dan Kampar dan seterusnya ke Malaka. Lihat misalnya Hamka, Sedjarah Islam di Sumatera (Medan: Pustaka Nasional, 1950) , hal. 11. Pengikut Imam Bonjol di utara (Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai) dan lain-lainnya di sekitar wilayah ini berangkat via Sungai Sosak dan terus menghilir Rokan, lalu sampai di Palalawan, dan seterusnya menyeberang ke Singapura atau Penang. Lihat L. Dt. Radjo Dihulu, Riwajat dan Perdjoeangan Toeanku Iam Bonjol sebagai Pahlawan (Medan: Boekhandel Islamiyah, 1939), hal. 20-30.
[14] Lihat Christine Dobbin, “Economic change in Minangkabau as a factor in the Rise of the Padri Movement, 1784-1830”, dalam Indonesia,  No. 23 (April, 1977).
[15]  Hamka,  Ayahku (Djakarta: Djajamurni, 1967), hal.26-27.
[16]  Kedelapan para “tuanku” itu ialah: (i) Tuanku Nan Rentjeh, Kamang (ii) Tuanku di Kubu Sanang; (iii). Tuanku Ladang Lawas; (iv). Tuanku di Padang Luar di Banuhampu; (v). Tuanku di Galung, Sungai Pua; (vi) Tuanku di Koto Ambalau; (vii). Tuanku di Lubuk Aur;  (viii). Tuanku Andaleh. Semuanya pada mulanya berada di bawah kepemimpinan Haji Miskin. Terdapat beberapa perbedaan nama kedelepan tokoh ini dalam sejumkah litaratur.
[17] Lihat Clifford Geertz, “The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker”, Comparative Studies in Society and History, Vol. II (1959-1960), pp. 228-249.
[18] Dikutip dari H.A. Stein Parve, “Kaum Padari di Padang Darat Pulau Sumatra”, terjemahan dari edisi Belanda (1855), terbit dalam Taufik Abdullah (ed). Sejarah Lokal di Indonesia (Yogyakarta: Gadjamada University Press, 1979), hal. 105-27.
 [19] Kegiatan tokoh ini telah dibentangkan secara terinci oleh Sjafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol. Sejarah Intelektual di Minangkabau (1884-1932) (Padang: Penerbit Esa, 2008), hal 34-37. [Edisi pertama 1988].
[20] Titel ”tuanku” adalah gelar kehormatan di bidang agama Islam di Minangkabau, khususnya diberikan kepada mereka yang dianggap tinggi pengusaaannya  di tiga cabang keahlian, tauhid, fiqh dan tasauf. Ketiga bidang ini hanya bisa dicapai apabila ulama itu sudah menguasai bahasa Arab, ilmu al-Quran dan Hadis. 
[21] Sjafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol ....,hal. 38.
[22] Dobbin (1984: 137).
[23]  Uraian di bagian ini hampir seepnuhnya bersandar pada bahan Dobbin (1983: 175ff) yang cukup kaya sandaran bahannya dari dokumen dan tulisan-tulisan Belanda sezaman.
[24]  Sjafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol ....,hal. 56.
 [25]  Dobbin (1983: 178).
[26] Datuk R. Diholeloe, Riwajat dan Perdjoangan ...., hal 29-30. Dikatakan bahwa keempat tokoh ini sewaktu berangkat diantarkan oleh sejumlah pengirim sampai titik pemberangkatan di pinggir Sungai Sosok dan seterusnya menghilir Rokan dan sampai ke Singapura. Setelah pulang dari Mekkah mereka mendapat nama/gelar tambahan: (i) Pakih Moehammad, gelar H. M. Amin; (ii) Pakih Malano, H. Abdullah;  (iii) Pakih Sialo, H.M. Arsjad; (iv). Toeankoe Tamboesai, H. M. Saleh. Lihat juga Dobbin (1984), hal. 186.
[27] Dikutip dari Dobbin (1983: 178).
 [28]  Hamka (1974: 266). 
[29] Dobbin (1983: 193ff).

Laman yang Sering Dikunjungi