Staf Pengajar FBSS UNP Padang. Cuplikan buku dan hasil penelitian. Dibukukan tahun 2010.
Pantun merupakan bentuk sastra lisan yang paling sering digunakan. Apakah yang dimaksud dengan pantun? Jawaban petanyaan tersebut telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Secara umum mereka beranggapan bahwa pantun merupakan bentuk puisi tradisional Indonesia yang paling tua. Tiap bait (kuplet) pantun biasanya terdiri dari empat baris yang bersajak ab-ab. Umumnya tiap baris terdiri dari 4-8 kata. Baris pertama dan kedua disebut sampiran dan baris ketiga dan keempat disebut isi pantun.Dari segi pemakai atau pengguna, pantun merupakan milik seluruh masyarakat. Artinya, ia digunakan oleh kalangan yang tidak terbatas, Ia dapat dipakai oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Hal ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan jenis sastra lisan lainnya seperti mantra, pepatah, persembahan, dan kaba. Sungguhpun demikian, jenis sastra lisan yang lain tersebut hampir selalu dihiasi oleh pantun, terutama kaba. Tidak hanya itu, dalam pituah-pituah adat dan tradisi yang lain pun masyarakat Minangkabau banyak menggunakan bentuk pantun.
In terms of the user or users, the poem belongs to the whole community. That is, heused the circles are not limited to, It can be used by anyone, anytime, and anywhere.This is very different when compared with other oral literary genres like a mantra,pepatah, offerings, and kaba. Nevertheless, other types of oral literature that is almostalways adorned by a poem, especially the tale. Not only that, in pituah-pituah othercustoms and traditions of the Minangkabau people too much use of rhyme.
Hakikat Pantun sebagai Sastra Lisan
Uraian tentang hakikat pantun berikut ini adalah uraian tentang pantun secara umum, belum mengacu kepada hakikat pantun Minangkabau. Jika pun di dalam uraian tentang pantun secara umum tersebut dikemukakan contoh-contoh pantun Minangkabau, hal dilakukan sebagai contoh belaka, dalam rangka memahami aneka teori yang dikemukakan. Pembatasan ini dilakukan agar dapat dilihat dengan jelas perbedaan pembahasan tentang pantun secara umum dan secara khusus, yaitu pantun Minangkabau.
Di dalam kajian-kajian kebudayaan dikenal istilah tradisi lisan. Tradisi lisan ini merupakan suatu kebiasaan yang mengakar dengan kuat pada suatu kelompok masyarakat. Pada tradisi yang demikian, pola komunikasi yang dibangun adalah komunikasi lisan, yaitu suatu perilaku komunikasi yang mengandalkan kemampuan berbicara dan menyimak atau mendengarkan. Pada umumnya, tradisi lisan tersebut dianggap sebagai milik kolektif suatu kelompok masyarakat. Dikatakan milik kolektif karena tradisi tersebut tidak jelas siapa yang menciptakannya (anonim) sehingga timbul anggapan bahwa tradisi tersebut dihasilkan secara kolektif oleh masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, dinamika tradisi tersebut lahir, hidup dan berkembang mengikuti dinamika kolektif masyarakat yang bersangkutan.
Salah satu hasil dari tradisi lisan adalah sastra lisan. Sastra lisan tersebut dapat berupa cerita rakyat, ungkapan-ungkapan tradisional, dan lain-lain. Penyampaian cerita pada sastra lisan biasanya dilakukan dengan cara berdendang (berkesenian, seni suara) dan diiringi oleh musik tradisional seperti rebab, kecapi, puput, bansi, talempong, dan lain-lain. selain dengan cara berdendang, sastra lisan ini juga dapat disampaikan dalam bentuk seni teater (randai). Penataan dan penggunaan bahasa dengan sedemikian rupa merupakan salah satu kunci utama keberhasilan bersastra lisan tersebut, misalnya dengan cara berpantun, berperibahasa, bermantera, berpepatah petitih, dan lain-lain.
Pantun merupakan bentuk sastra lisan yang paling sering digunakan. Apakah yang dimaksud dengan pantun? Jawaban petanyaan tersebut telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Secara umum mereka beranggapan bahwa pantun merupakan bentuk puisi tradisional Indonesia yang paling tua. Tiap bait (kuplet) pantun biasanya terdiri dari empat baris yang bersajak ab-ab. Umumnya tiap baris terdiri dari 4-8 kata. Baris pertama dan kedua disebut sampiran dan baris ketiga dan keempat disebut isi pantun.
Di dalam eksiklopedia Indonesia di jelaskan bahwa pantun adalah puisi rakyat yang paling tua dan paling umum di Indonesia. Pantun merupakan bentuk sastra rakyat yang tidak tertulis. Isi pantun biasanya berkaitan dengan perasaan rindu dendam, kesedihan, gurauan, pengajaran, norma-norma, dan lain-lain. Pantun mempunyai bait yang terdiri dari empat baris atau lebih (sampai dua belas baris) dengan delapan sampai dua belas suku kata pada tiap-tiap barisnya. Baris pertama bersajak dengan baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat. Bagian pertama pantun (baris pertama dan kedua) disebut dengan sampiran dan bagian kedua (baris ketiga dan keempat) disebut dengan bagian isi. Untuk jelasnya, perhatikan contoh pantun berikut ini.
Asam kandis asam gelugur
Ketiga asam si riang-riang
Menangis mayat di pintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang
Baris pertama dan kedua pantun di atas (Asam kandis asam gelugur dan ketiga asam si riang-riang) disebut dengan bagian sampiran, dan baris ketiga serta keempat (Menangis mayat di pintu kubur dan Teringat badan tidak sembahyang) disebut dengan bagian isi. Bagian sampiran bersifat sebagai pengantar dari materi yang hendak disampaikan, yaitu penyesalan-penyesalan mayat atas perbuatannya selama ini yang tidak mendirikan shalat atau selalu meninggalkan sembahyang. Ujung atau akhir baris pertama dan ketiga punya sajak yang sama, yaitu “ur” dan ujung baris ketiga dan keempat juga memiliki persajakan yang sama, yaitu “ang”.
Bentuk puisi lama pantun terdapat dihampir setiap suku bangsa di Indonesia. Suku bangsa Melayu merupakan suku bangsa yang paling gemar menggunakan pantun. Orang Aceh dan Ambon menyebut pantun dengan panton, orang Batak menyebutnya dengan ende-ende atau umpama, orang Bengkulu dengan menyebutnya dengan rejong, orang Sunda menyebutnya dengan dengan lagu dogar-doger atau sesindiran atau sesuwalan, orang Jawa Tengah menyebutnya dengan parikan, orang Jawa Timur menyebutnya dengan parikan atau lagu ludrug. dan orang Minangkabau menyebutnya dengan pantun. Selain di Indonesia, di luar negeri pun terdapat bentuk puisi lama yang besajak dan terdiri dari empat baris sebagaimana halnya pantun, misalnya di Tiongkok, Indo Cina, dan Tibet. Di Eropa, seperti Spanyol, pantun disebut dengan copla, di Bayern (Jerman) disebut dengan schnadahupfle, di Itali disebut dengan ritornello, dan di Latvia disebut dengan daina.
Menurut Winstedt (dalam Usman, 1961) kata pantun boleh jadi diambil dari bentuk krama bahasa Jawa, yaitu pari. Bentuk ini sama dengan kata pari dalam bahasa Sanskerta, yaitu paribhasya (pribahasa) yang berarti susunan atau aturan. Bransdtetter (dalam Semi, 1984) mengurai kata pantun atas akar kata tun yang kemudian menjadi tuntun. Arti kata tersebut adalah menyusun atau teratur. Dalam bahasa Tagalok dikenal kata tonton yang berarti berbicara menurut aturan tertentu.
Di antara beberapa bentuk puisi Indonesia yang ada, pantun merupakan puisi asli Indonesia. Pantun merupakan bentuk sastra lisan Indonesia sejati. Selebihnya, adalah bentuk puisi yang mendapat pengaruh luar seperti pengaruh Hindu dan Arab atau Eropa. Pantun digunakan dalam berbagai situasi kehidupan, ketika gembira orang berpantun, ketika sedih pun orang berpantun, anak-anak berpantun, orang tua pun berpantun, untuk kegiatan adat orang berpantun, untuk kegiatan muda-mudi pun orang berpantun. Itulah sebabnya kita mengenal berbagai macam pantun.
Pada umumnya setiap bait (untai atau kuplet) pantun memiliki beberapa baris dalam jumlah yang genap, biasanya empat baris. Akan tetapi, sebuah pantun dapat pula terdiri dari dua, enam, delapan, sepuluh, dan lebih dari sepuluh baris. Setiap baris terdiri atas empat sampai sepuluh kata. Baris pertama dan kedua (kalau pantun terdiri dari empat baris) disebut bagian sampiran pantun. Baris ketiga dan keempatnya disebut bagian isi pantun. Jika pantun terdiri dari enam baris,baris pertama, kedua dan ketiga disebut bagian sampiran pantun, dan baris keempat, kelima, dan keenam disebut bagian isi pantun demikian seterusnya. Jadi, pada intinya, pantun terdiri dari dua bagian, yaitu bagian sampiran dan bagian isi.
Terhadap bagian sampiran dan isi pantun terdapat beberapa pendapat. Pijnapel (dalam Semi, 1984) mengemukakan bahwa baris pertama dan kedua sebuah pantun berfungsi untuk menyamakan bunyi dengan dua baris berikutnya (baris ketiga dan keempat). Ada pula yang beranggapan (misalnya Amir Hamzah) bahwa dua baris pertama sebuah pantun telah mengandung pikiran dan perasaan (mempunyai makna) dan kemudian dikaitkan dengan makna kedua baris berikutnya. Keduanya ditalikan dengan tali perasaan yang dapat dirasakan walaupun sukar untuk dikatakan atau diuraikan. Jadi, jelaslah bahwa baris pertama dan kedua tidak hanya menjadi sampiran pantun. Tidak hanya sebagai pembentuk bunyi semata-mata yang akan diikuti oleh dua baris berikutnya sebagai isi pantun, keduanya diciptakan dalam suatu kesatuan berpikir, sehingga keduanya dipertalikan oleh suatu tali perasaan yang halus.
Menurut pandangan yang umum, bagian sampiran pantun adalah bagian yang berfungsi sebagai pengantar isi pantun. Dengan membaca bagian ini orang sudah bisa menerka isi atau kelanjutan dari sebuah pantun. Hal ini disebabkan bagian sampiran dan isi mempunyai rima ab-ab (untuk pantun yang terdiri atas empat baris), atau abc- abc (untuk pantun yang terdiri atas enam baris), demikian seterusnya. Sebuah pantun ada kalanya memiliki rima aa-aa, atau aaa- aaa dan seterusnya.
Umumnya, setiap baris pantun terdiri dari empat kata dengan rima akhir yang sama. Separuh jumlah baris permulaan disebut sampiran. Separuh berikutnya adalah isi pantun yang sesungguhnya. Sampiran biasanya melukiskan keadaan alam atau peristiwa yang terjadi, sedangkan isi mengandung maksud yang diharapkan fungsi sampiran ialah sebagai pengantar dari isi, bunyi, dan irama. Pantun yang sempurna adalah pantun yang sampirannya mengandung ketiga unsur itu (isi, bunyi, dan irama). Untuk jelasnya, perhatikan contoh pantun berikut.
Tinggi malanjuiklah kau batuang Tinggi melanjutlah kau betung
Indak ka den tabang-tabang lai Takkan ditebang-tebang lagi
Tingga mancaguiklah kau kampuang Tinggal mencagutlah kau kampung
Indak ka den jalang-jalang lai. Takkan kujelang-jelang lagi.
Oi, upiak rambahlah paku Oi, upik rambahlah paku
Nak tarang jalan ka parak Biar terang jalan ke parak
Oi, upiak ubahlah laku Oi, upik ubalah laku,
Nak sayang urang ka awak. Agar sayang orang ke awak.
Di atas telah dijelaskan bahwa pantun yang sempurna adalah pantun yang sampirannya mengandung unsur isi, bunyi, dan irama. Untuk melahirkan pantun yang demikian tidaklah mudah. Sering ditemui kesulitan dalam menyusun atau memilih sampiran yang dapat memberi kiasan yang tepat serta didukung oleh bunyi dan irama kata demi kata yang tepat pula, selain itu kondisi alam yang dijadikan sampiran juga disampaikan seperti apa adanya. Sebagai contoh, perhatikan pantun berikut.
Maninjau padinyo masak Maninjau padinya masak
Batang kapeh batimbo jalan Batang kapas bertimbal jalan
Hati risau dibao galak Hati risau dibawa gelak
Bak paneh menganduang hujan. Bagai panas mengandung hujan.
Sampiran pantun di atas memang seperti gambaran alam yang sebenarnya. Sebab, sawah di Maninjau memang banyak dan sering padinya menguning. Di kedua sisi jalan di desa Maninjau memang terdapat banyak pohon kapas. Gambaran isi pantun pun sangat tepat. Bagaimanapun senyum atau tertawanya seseorang, wajah orang tersebut tetap tidak berseri jika hati atau batinnya sedang berduka atau bermuram durja. Pantun mengatakan Bak paneh menganduang hujan. Contoh lain, dapat dilihat pantun yang baik berikut.
Pulau Pandan jauah di tangah Pulau Pandan jauh di tengah,
Di baliak pulau angso duo Di balik pulau si Angsa Dua.
Hancua badan dikanduang tanah Hancur badan dikandung tanah
Budi baiak takana juo Budi baik terkenang jua
Kenyataan memperlihatkan bahwa makna baris-baris pantun di atas memang seperti apa adanya. Jika kita berada di Pantai Padang, Letak Pulau Pandan memang agak ketengah, yaitu di balik Pulau Angsa Dua. Persoalan budi bukanlah persoalan yang sederhana. Sangatalah sukar membalasnya. Itulah sebabnya hutang budi ini sukar dilupakan sekalipun seseorang telah meninggal dan sudah hancur badannya di dalam kubur.
Menurut Navis (1984) pantun yang sempurna tidaklah banyak. Persoalannya adalah ia harus menyampaikan sesuatu seperti apa adanya. Hal banyak dijumpai ialah pantun yang sampirannya hanya sekenanya saja. Pantun yang seperti ini hanya memperhatikan persoalan irama atau persajakannya (ab-ab atau abc-abc), sehinga isi dan kondisi ril alam yang digambarkan dan kaitan ketiga unsur (isi, bunyi, dan irama) pantun kurang diperhatikan. Untuk jelasnya perhatikan contoh pantun berikut.
Kaluak paku kacang balimbiang Kelok paku kacang belimbing
Tampuruang lenggang-lenggangkan Tempurung lenggang-lenggangkan
Lenggang dibao ka Saruaso Lenggang dibawa ke Saruaso
Tanam sarai jo ureknyo Tanam serai dengan uratnya
Anak dipangku kamanakan dibimbiang Anak dipangku kemenakan dibimbing
urang kampuang dipatenggangkan Orang kampung dipertenggangkan
Tenggang nagari jan binaso Tenggang nagari jangan binasa.
Tenggang sarato jo adaiknyo Tenggang beserta dengan adatnya.
Dari segi pemakai atau pengguna, pantun merupakan milik seluruh masyarakat. Artinya, ia digunakan oleh kalangan yang tidak terbatas, Ia dapat dipakai oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Hal ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan jenis sastra lisan lainnya seperti mantra, pepatah, persembahan, dan kaba. Sungguhpun demikian, jenis sastra lisan yang lain tersebut hampir selalu dihiasi oleh pantun, terutama kaba. Tidak hanya itu, dalam pituah-pituah adat dan tradisi yang lain pun masyarakat Minangkabau banyak menggunakan bentuk pantun.
Di dalam pantun banyak ditemui aspek kehidupan masyarakat. Untuk hal dan peristiwa tertentu diperlukan pantun tertentu pula. Itulah sebabnya dikenal berbagai jenis pantun, misalnya pantun yang menyangkut persoalan adat-istiadat, agama, orang tua, generasi muda, dan kanak-kanak, dan lain-lain. Di samping itu, ada pula pantun yang menyangkut masalah sosial ekonomi dan perjuangan. Untuk jelasnya perhatikan contoh pantun yang sudah sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Minangkabau berikut.
Gadang aia Banda Baru Besar air Bandar Baru
Tampak nan dari Mandiangin Tampaklah dari Mandiangin
Elok nan usang dipabaru Baik yang usang diperbaru
Pado mancari ka nan lain. daripada mancari yang lain
Baburu ka padang data Berburu ke padang datar
Dapek ruso balang kaki Dapat rusa belang kaki
Baguru kapalang aja Berguru kepalang ajar
Bak bungo kambang tak jad. Bagai bunga kembang tak jadi.
Baris pertama dan kedua pada masing-masing pantun di atas disebut bagian sampiran atau bagian pengantar. Baris ketiga dan keempat disebut bagian isi atau bagian pokok dari sebuah pantun.
Pantun dapat digunakan dalam berbagai keadaan atau untuk berbagai keperluan. Siapa, bila, dan dimana pun pantun tersebut digunakan tidaklah dipersoalkan, yang penting diperhatikan dalam penggunaan pantun adalah kesesuaian pantun dengan konteks berpantun. Artinya, pemakaian pantun atau kegiatan berpantun harus disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan jenis pantun. Jika hal ini tidak diperhatikan, pantun itu akan kehilangan rohnya. Misalnya, pantun anak muda digunakan untuk acara adat adat, atau pantun anak-anak digunakan oleh orang dewasa, demikian seterusnya.
Sekaitan dengan hal di atas,keberadaan sebuah pantun dapat dikelompokkan atas beberapa hal. Konsekuensi logis dari pengelompokan itu adalah munculnya berbagai macam jenis pantun, misalnya jenis pantun berdasarkan jumlah baris, jenis pantun berdasarkan bentuknya, dan jenis pantun berdasarkan sifat isi.
Dari sisi jumlah baris, pada umumnya setiap bait, untai, atau setiap kuplet pantun terdiri dari empat baris. Setiap baris biasanya terdiri dari empat sampai delapan kata. Dalam kenyataannya banyak pula ditemui pantun yang kurang dari empat baris (dua baris), atau lebih dari empat baris (enam sampai dua belas baris atau lebih). Sekaitan dengan itu, Navis (1984) mengemukakan bahwa berdasarkan jumlah barisnya sebuah pantun dapat dibedakan atas pantun dua baris, empat baris, enam baris, delapan baris, sepuluh baris, dan dua belas baris. Bisa saja sebuah pantun memiliki baris lebih dari dua belas. Berapapun jumlahnya, yang pasti baris sebuah pantun adalah genap. Bagian pertama berfungsi sebagai sampiran, dan bagian kedua berfungsi sebagai isi, dan memiliki persajakan ab-ab.
Dari sisi bentuknya, jenis pantun dapat dibedakan atas pantun biasa, pantun berkait, talibun, dan karmina atau pantun kilat (Hasanuddin, 2004). Dari sisi sifat isi, sebuah pantun menurut Navis (1984) dapat dibedakan atas lima jenis pantun, yaitu: pantun adat, pantun tua, pantun muda, pantun duka, dan pantun suka. Sebagian ahli yang lain menambahkannya dengan pantun agama, pantun kanak-kanak, pantun orang muda, pantun orang tua, pantun jenaka, dan pantun teka-teki.
Dari sisi bentuknya, jenis pantun dapat dibedakan atas pantun biasa, pantun berkait, talibun, dan karmina atau pantun kilat (Hasanuddin, 2004). Dari sisi sifat isi, sebuah pantun menurut Navis (1984) dapat dibedakan atas lima jenis pantun, yaitu: pantun adat, pantun tua, pantun muda, pantun duka, dan pantun suka. Sebagian ahli yang lain menambahkannya dengan pantun agama, pantun kanak-kanak, pantun orang muda, pantun orang tua, pantun jenaka, dan pantun teka-teki.
Apakah yang dimaksud dengan pantun Minangkabau? Samakah pantun Minangkabau dengan pantun-pantun yang dikenal secara umum? Beberapa pertanyaan senada lainnya dapat saja dimunculkan apabila seseorang ingin melihat secara lebih dalam tentang pantun Minangkabau.
Pada hematnya, hakikat pantun Minangkabau sama dengan hakikat pantun secara umum seperti yang telah dijelaskan pada A bab 4 ini, yaitu pantun adalah puisi rakyat yang paling tua dan paling umum di Indonesia. Pantun merupakan bentuk sastra rakyat yang tidak tertulis. Isi pantun biasanya berkaitan dengan perasaan rindu, dendam, kesedihan, gurauan, pengajaran, norma-norma, hiburan dan lain-lain. Pantun mempunyai bait yang terdiri dari empat baris atau lebih (sampai dua belas baris) dengan empat sampai dua belas suku kata pada tiap-tiap barisnya. Baris pertama bersajak dengan baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat (ab-ab). Bagian pertama pantun (baris pertama dan kedua) disebut dengan sampiran dan bagian kedua (baris ketiga dan keempat) disebut dengan bagian isi.
Sejauh yang penulis ketahui, tulisan yang khusus membicarakan tentang pantun Minangkabau secara lebih mendalam tidaklah banyak. Beberapa literatur (baik buku maupun laporan penelitian) memang ada memuat tentang pantun Minangkabau seperti yang dilakukan oleh Hakimi, (1996), Udin, (1984), Krisna, (2001), Madjolelo, (1981), Iskandar dan Indo, (2000), Rizal (1996), Nafis (1996), Aslinda (2000), Yusriwal (2000). Oktavinus (2005), Syafruddin (2003), Harmsen, (1875), dan Rangkoto (1982). Tulisan tersebut hanya memuat atau lebih menitikberatkan pada iventarisasi pantun yang berbahasa Minangkabau dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Pembahasan yang relatif mendalam pernah dilakukan oleh Bakar dkk.(1981), Darwis (2005), dan Navis (1984). Bakar dkk. Pernah melakukan penelitian tentang pantun Minangkabau kemudian mengklasifikasikan pantun tersebut sesuai dengan jenis pantun. Darwis (2005) tidak hanya sekedar melakukan iventarisasi terhadap pantun Minangkabau dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, akan tetapi, juga memberi penafsiran terhadap pantun Minangkabau tersebut, selain itu Navis (1984) juga telah membicarakan pantun Minangkabau secara agak mendalam.
Akibat sedikitnya tulisan yang mendalam tentang pantun Minangkabau, batasan terhadap pantun tersebut tidaklah jelas. Sunguhpun demikian bukan berarti tidak bisa diperoleh batasan yang lebih spesifik. Berdasarkan jawaban responden terhadap instrumen penelitian yang disebarkan, pengamatan yang dilakukan secara berulang-ulang, dan beberapa sumber tertulis yang dibaca, diperoleh informasi bahwa batasan tentang pantun Minangkabau berkaitan dengan pandangan umum tentang pantun seperti yang dijelaskan pada uraian tentang kajian umum tentang pantun. Artinya, pandangan umum tersebut dapat dijadikan landasan untuk melihat secara lebih spesifik tentang pantun Minangkabau, sehingga diperoleh batasan yang agak lebih mengacu kepada pantun Minangkabau.
Bila disimak secara lebih mendalam, paling tidak ada beberapa hal yang dapat dianggap sebagai penanda pantun Minangkabau. Penanda-penanda tersebut sekaligus dapat dijadikan indikator sebagai pembeda antara pantun Minangkabau dengan pantun dalam pandangan yang umum. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut. Indikator pembeda tersebut pada hematnya dapat dibedakan dalam bentuk lahirian dan batiniah pantun. Bentuk lairiah mengacu kepada penampakan sebuah pantun Minangkabau. Dari sisi lahiriah ini, indikator pantun Minangkabau adalah sebagai berikut.
Pertama, sebuah pantun dapat dikatakan sebagai pantun Minangkabau jika pantun tersebut lahir dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Keberadaan pantun tersebut terletak dalam koridor dari, oleh, dan untuk masyarakat Minangkabau. Dengan pantun tersebut, masyarakat Minangkabau menyatakan pikiran dan perasaannya, serta membangun komunikasi antara sesamanya. Dengan cara tersebut pula, seseorang akan pengetahui maksud dan kehendak lawan bicaranya, sehigga terjadilah perilaku komunikasi yang diinginkan.
Sekaitan dengan hal di atas, Navis (1984) mengemukakan bahwa pantun merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang terpenting bagi masyarakat Minangkabau. Pantun sering menjadi buah bibir, bunga kabar, dan hiasan dalam berpidato (pasambahan). Sastra lisan pantun sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Minangkabau. Pada umumnya masyarakat Minangkabau mengenal dan dapat berpantun, terutama masyarakat yang belum kuat pengaruh budaya lain, atau masyarakat yang kuat mempertahankan adat istiadatnya. Bagi masyarakat yang seperti itu, pantun merupakan bagian dari hidup mereka. Pantun telah mendarah daging bagi mereka. Akan terasa aneh atau cando (janggal) apabila mereka tidak mengenal dan memahami pesan yang terdapat dalam sebuah pantun. Pantun berikut merupakan ungkapan keprihatinan orang Minangkabau terhadap warganya yang tidak mengenal pantun.
Ka suok jalan ka Sungayang Ke kanan jalan ke Sungayang
Manurun jalan ka Sumaniek Menurun jalan ke Sumanik
Kok iyo awak urang Minang Kalau benar Anda orang Minang
Bapantun malah agak ciek. Berpantun malah agak sebuah.
Pantun lain yang cocok untuk melukiskan betapa pentingnya pantun bagi masyarakat Minangkabau adalah sebagai berikut.
Sarancak saelok ikolah parak Secantik seelok inilah parak
Indak badasun agak sebuah Tidak berdasun barang sebuah
Sarancak saelok ikolah awak Secantik seelok inilah Anda
Ancak bapantun agak sabuah. Bagus berpantun barang sebuah.
Kedua, sebuah pantun dapat dikatakan sebagai pantun Minangkabau jika benda-benda, peristiwa-peristiwa, lokasi, dan lain-lain yang dikemukakan dalam bagian sampiran atau bagian isi pantun diambil atau berasal dari alam Minangkabau, atau sesuatu yang bernuansa Minangkabau. Metafor-metafor yang dipakai tersebut pada umumnya sudah dikenal dengan baik dan sangat familiar dengan orang Minangkabau. Mereka tidak akan mengambil sesuatu perlambang yang tidak mereka ketahui atau yang bukan berasal dari alam mereka. Pengambilan metafor yang demikian akan memudahkan mereka memahami kandungan isi pantun. Melalui pemahaman tersebut, akan dapat diketahui maksud dan tujuan sebuah pantun, sehingga komunikasi yang diinginkan dapat diwujudkan. Sebagai contoh dari penggunaan matafor yanag bernuansa Minangkabau tersebut dapat dicermati pantun berikut ini.
Janieh aienyo Sungai Tanang Jernih airnya Sungai Tanang
Minuman urang Bukik Tinggi Minuman orang Bukittinggi
Tuan kanduang tadanga sanang Tuan kandung terdengar senang
Baolah tompang badan kami. Bawalah tumpang badan kami.
Alam (nama daerah) yang dipakai pada pantun di atas sangat bernuansa Minangkabau. Pada bagian sampiran dimunculkan Sungai Tanang yang berair jernih dan kota Bukittinggi, dan pada bagian isi dimunculkan suasana emosi orang Minangkabau terhadap saudaranya yang telah berhasil di rantau.
Bagian sampiran pantun didahului dengan Janieh aienyo Sungai Tanang. Sungai Tanang adalah sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Singgalang, tidak jauh dari Kota Bukittinggi. Di pinggir desa itu terdapat sebuah mata air yang cukup jernih dan besar. Volume air yang banyak ini mengalir dengan tenang dalam bentuk sebuah sungai. Keadaan sungai yang mengalir dengan tenang ini kelak diambil sebagai nama desa, yaitu Sungai Tanang. Oleh pemerintah Hindia Belanda, mata air yang cukup besar tersebut dijadikan sumber air minum untuk penduduk Kota Bukittinggi dan sekitarnya. Di sekitar mata air itu dibuat bak penampungan dan airnya dialirkan ke Benteng melalui pipa yang cukup besar sebelum ke rumah-rumah penduduk. Benteng adalah sebuah tempat yang terletak di salah satu bukit dalam Kota Bukittinggi. Pada zaman penjajahan Belanda, tempat ini di dijadikan daerah pertahanan oleh Ford de Cock dari serangan pasukan Paderi. Oleh karena Benteng berada di lokasi yang tinggi, air dari Sungai Tanang mengalir secara gravitasi ke rumah-rumah penduduk melalui pipa-pipa pembagi.
Air Sungai Tanang sangat jernih dan sangat besar jumlah volumenya. Kelebihan air tersebut ditampung di sebuah danau kecil dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dan Bukittinggi sebagai kolam renang alamiah, selain itu juga digunakan untuk berternak ikan. Pada hari Minggu dan hari libur lainnya daerah ini sangat ramai dikunjungi wisatawan domistik dan kadang-kadang mancanegara, sehingga Sungai Tanang juga dikenal sebagai salah satu tempat wisata di Bukittinggi.
Bagian isi pantun dimulai dengan Tuan kanduang tadanga sanang. Tuan adalah sapaan akrab kekerabatan terhadap saudara (kakak) laki-laki, terutama saudara seibu dan sebapak di daerah Bukittinggi. Dalam bahasa Minangkabau umum, kata tuan ini bersepadaan dengan uda dan ajo di Pariaman. Di Minangkabau, keberadaan dan peran saudara laki-laki ini sangat penting, sebab ia yang akan menjadi mamak atau penghulu di kaumnya, mengelola harta pusaka kaum, pembangkit batang terandam, pembela kaum dan negeri, dan lain-lain.
Pada umumnya laki-laki Minangkabau adalah perantau. Terhadap pola merantau ini, ujung pantun mengatakan Marantau bujang dahulu, Dirumah paguno balun (Merantau bujang dahulu/dirumah berguna belum). Biasanya daerah rantau yang mereka tuju adalah pulau Jawa (tanah Jao), khususnya Jakarta. Pada umumnya mereka adalah perantau yang berhasil atau sukses. Keberhasilan itu biasanya mereka tunjukan dengan membangun rumah mewah di kampung halaman, pulang kampung dengan mobil baru, memberikan sumbangan untuk pembangunan nagari, dan lain-lain. Apabila gagal di rantau, mereka akan sangat malu. Biasanya, kopensasai dari kegagalan tersebut adalah tidak pulang kampung dan tidak memberi kabar berita. Prinsip ini pada akhirnya memunculkan istilah marantau Cino (merantau Cina).
Orang (laki-laki) Minang memang gemar dan terkenal sebagai perantau ulung. Mereka juga terkenal sebagai orang yang peduli dengan sanak saudara dan kampung halamannya, mereka tidak pernah melupakan kampung halaman apalagi sanak saudaranya. Sebab, mereka takut dengan istilah lupo kacang jo kuliknyo (lupa kacang pada kulitnya). Mereka pergi merantau untuk mencari pengalaman, ilmu, uang, dan penghidupan yang lebih baik. Hasil pencaharian di rantau ini sebagian dikirimkan kepada orang tua dan sanak saudaranya di kampung halaman. Semua ini mereka lakukan sebagai bekal di hari tua nanti. Sebab, sajauh-jauh tabang bangau, pulangnyo ka kubangan juo (sejauh-jauh terbang bangau, pulangnya ke kubangan juga).
Sudah menjadi tabiat orang Minangkabau untuk berguru atau mengikuti orang yang sukses. Sangat banyak hal yang dapat dipelajari dari mereka. Hal ini sering juga disebut dengan ambiak tuah ka nan manang, ambiak contoh kak nan sudah (ambil tuah kepada yang menang dan ambil contoh kepada yang sudah). Berguru kepada orang yang sukses sangatlah diajurkan. Proses berguru tersebut dimulai dengan cara menumpang dan bekerja (sistem magang) pada induk semang. Jika magang tersebut dilakukan di rumah–rumah makan Padang, tepatnya pada bagian dapur, proses magang tersebut dimulai dari menjadi pembantu umum kemudian tukang rajang seterusnya penggiling bumbu, tukang racik, asisten juru masak, wakil juru masak, dan terakhir menjadi kepala juru masak (Darwis, 2004). Proses pemagangan dengan cara yang sama juga berlaku pada bagian-bagian yang lain pada usaha rumah makan tersebut. Seluruhnya dimulai dari nol sampai dengan pandai mengelola usaha rumah makan sendiri. Pada akhirnya, orang yang magang tadi akan menjadi pengusaha rumah makan Padang dan menjadi induk semang bagi generasi muda Minangkabau selanjutnya yang magang dengannya. Dalam kaitan inilah muncul baris keempat pantun di atas, yaitu Baolah tompang badan kami (Bawalah tumpang badan kami), menumpang untuk belajar dan mencari kehidupan yang lebih baik.
Pantun lain yang juga sangat bernuansa Minangkabau adalah pantun berikut ini.
Bukik Tinggi Koto rang Agam Bukittinggi kota orang Agam
Mandaki janjang ampek puluah Mendaki jenjang empat puluh
Basimpang jalan ka Malalak Bersimpang jalan ke Malalak
Sakik sagadang bijo bayam Sakit sebesar biji bayam
Tapi bak raso ka mambunuah Tetapi serasa akan membunuh
Diubek indak namuah cegak. Diobat tidak mau sembuh.
Sampiran pantun di atas terdiri atas tiga baris yang nuansa Minangkabaunya sangat kental. Pada baris pertama, diinformasikan kota Bukittinggi sebagai kota orang agam. Agam atau Luhak Agam adalah salah satu luhak Minangkabau, luhak yang lain adalah Tanah Datar dan Limapuluh Kota. Ketiga luhak ini merupakan daerah asli Minangkabau. Kota Bukitinggi yang terletak dijantung luhak Agam, merupakan kota terbesar dan sekaligus ibu kota Kabupaten Agam. Itulah sebabnya kota Bukittinggi disebut dengan kota orang Agam (dari sisi administrasi ketatanegaraan, saat ini Bukittinggi merupakan daerah TK II tersendiri dan Ibu kabupaten agam adalah Lubuk Basung).
Bukittinggi merupakan kota wisata. Hal ini dimungkinkan karena selain alamnya yang indah, ada beberapa tempat yang bersejarah di kota Bukittinggi, antara lain: Benteng Ford de Cock, Ngarai Sianok, Pasar Atas, Pasar Bawah, Jam Gadang, Panorama, Lubang Jepang, dan Kebun Binatang. Pasar Bawah dan Pasar Atas merupakan dua lokasi yang menarik di Bukittinggi. Kedua daerah ini dihubungkan oleh jalan yang berkelok dan jenjang (tangga) yang lebar dengan jumlah anak tangga empat puluh buah. Jenjang ini dikenal dengan nama Janjang Ampek puluah. Mendaki Janjang Ampek puluah ini merupakan salah satu cara yag dapat ditempuh jika seseorang hendak ke pasar atas. Jika hari sudah sore atau malam Janjang Ampek puluah ini diramaikan oleh acara kesenian tradisional Minangkabau yaitu saluang (seruling) yang terkadang berlangsung sampai subuh tiba.
Kota Bukittinggi dikelilingi oleh desa-desa kecil, salah satu di antaranya adala desa Malalak. Jika hendak ke Malalak, seseorang harus melalui suatu persimpangan. Dalam kerangka inilah lahir baris ketiga sampiran pantun, yaitu Basimpang jalan ka Malalak (Bersimpang jalan ke Malalak).
Bagian isi pantun dimulai dengan Sakik sagadang bijo bayam. Dalam pantun ini, yang dimaksud dengan sakit bukanlah penyakit fisik yang ringan seperti luka, demam, dan sebagainya, akan tetapi adalah penyakit psikis, yaitu perasaan. Sakit fisik, apalagi ringan, tentu tidak akan sampai membunuh, tetapi sakit psikis ini sangatlah menyiksa karena ia bisa seperti akan membunuh. Sebesar apapun (bijo bayam) penyakit psikis ini, yang jelas ia tetap akan menyiksa.
Penyebab sakit psikis bisa saja karena putus cinta yang kemudian berlanjut dengan patah hati. Seseorang yang kehilangan kekasih karena meninggal dunia atau direbut orang lain, apalagi sahabat karib, akan dapat menimbulkan kekecewaan yang sangat dalam. Apabila tidak dapat mengatasinya, maka rasa sakit dan kecewa ini dapat menyebabkan orang bunuh diri.
Sakit hati atau sakit psikis juga dapat disebabkan oleh sindiran orang lain, apalagi jika mereka membuka atau menyebarkan aib kita. Apabila ini terjadi, tentu akan menimbulkan malu dan sakit hati yang luar biasa, sehingga seseorang tidak sanggup melihat atau bertemu dengan orang lain, walaupun hal itu hanya sepintas. Tidak jarang rasa sakit karena malu ini serasa akan membunuh.
Sakit perasaan ini juga dapat ditimbulkan karena mendapat cacian, amarah, dan perlakuan kasar lainnya yang sangat menusuk hati. Meskipun tidak mempengaruhi fisik, tetapi perlakuan itu membuat seseorang sangat menderita, sakitnya seakan dapat membunuh (bak raso kamambunuah). Dampak dari sakit itu bisa saja membuat seseorang menjadi merana, nekad, dan berupaya untuk balas dendam. Hal itu disebabkan rasa sakit tersebut tidak bisa diobati (Diubek indak namuah cegak, Diobat tidak mau sembuh). Bagi orang Minang, kiasan dan sindiran lebih tajam dari senjata atau apa pun. Ditikam dengan kata-kata terasa lebih sakit dibanding ditikam dengan pisau.
Ketiga, sebuah pantun dapat dikatakan sebagai pantun Minangkabau jika bahasa yang digunakan adalah bahasa Minangkabau, baik bahasa Minangkabau umum ataupun khusus. Bahasa Minangkabau umum adalah bahasa Minangkabau yang tidak dipengaruhi oleh aneka dialek daerah, misalnya dialek Pariaman, Solok, Bukittinggi, Batusangkar (Lintau), Muara Labuah, Sawah Lunto, Sijunjung, Pasaman, dan lain-lain. Bahasa Minangkabau umum ini atau sering juga disebut dengan bahasa Minangkabau standar lebih banyak digunakan oleh masyarakat yang tinggal dan terbiasa hidup di daerah-daerah perkotaan.
Bahasa Minangkabau khusus adalah bahasa Minangkabau yang dipengaruhi oleh ciri-ciri kedaerahan atau unsur-unsur kelompok tertentu. Bahasa yang seperti ini lebih populer dengan sebutan dialek atau idiolek. Dialek atau idiolek ini lebih banyak digunakan oleh masyarakat yang tinggal dan terbiasa hidup di daerah-daerah pedesaaan, atau oleh masyarakat yang perilaku berbahasanya tidak begitu terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain. Sebagai contoh, kata pepaya (Indonesia) secara umum disebut dengan kalikih (bahasa Minangkabau umum). Pada daerah-daerah tertentu, pepaya disebut dengan batiak, situka, sampelo, dan lain-lian. selain perbedaan kata-kata atau istilah yang mereka gunakan, unsur kedaerahan ini juga dapat dicermati dalam bentuk intonasi ketika mereka berbicara. Misalnya karambia (bahasa Minangkabau umum) diucapkan dengan ka-Rambia oleh masyarakat Padang Pariaman (bahasa Minangkabau dialek Padang Pariaman).
Menurut Oktavianus (2005) setiap daerah di Minangkabau memiliki dialek yang berbeda-beda. Dialek di daerah Pariaman tidak sama dengan dialek di daerah Agam dan Lima Puluh Kota. Masing-masing dialek tersebut juga tidak sama dengan dialek Minangkabau di daerah Solok dan Pesisir Selatan. Di daerah Pariaman hunyi [r] diucapkan dengan [R] uvular. Demikian juga pengucapan kata-kata tertentu, Di daerah Lima Puluh Kota, sebentar diucapkan dengan sabonta, padahal secara umum diucapkan dengan sabanta. Di daerah lainnya di Minangkabau ada yang diucapkan dengan sabonteau (Lintau).
Di daerah Pariaman, kata ruponyo diucapkan menjadi Rupo we e. Di daerah lainnya, seperti Agam, kata tersebut diucapkan menjadi rupono. Di daerah Agam, kalimat mana orangnya? diucapkan maa urangno goe? Di daerah Pariaman kalimat ini akan diucapkan menjadi maa urang-ee goe? Jadi, bahasa Minangkabau di da.erah Pariaman dan Bukittinggi dibedakan oleh pemakaian-no dan-ee yang setara dengan-nya dalam bahasa Indonesia. Salah satu pembeda bahasa Minangkabau di daerah Lima Puluh Kota dengan daerah lainnya adalah pergeseran bunyi [a] ke [o]. Dengan berpedoman kepada kenyataan iui, apabila kita bertemu dan berbicara dengan penutur bahasa Minangkabau, kita akan dapat memprediksi asal daerahnya.
Ciri-ciri khusus (dialek dan idiolek) dalam berbahasa (berbicara) terjadi karena lidah pengguna bahasa tersebut telah terbiasa dengan pola-pola berbicara yang selama ini mereka lakukan dan sudah sangat sukar untuk diperbaiki. Dalam kajian analisis kesalahan berbahasa hal ini disebut dengan kesalahan berbahasa yang menfosil, yaitu suatu kesalahan yang telah permanen dan sukar diubah.
Munculnya ragam bahasa Minangkabau umum dan khusus diakibatkan oleh berbagai hal, misalnya kondisi geografi dan persoalan-persoalan kependudukan (demografi) lainnya. Penyebaran orang Minangkabau dari daerah asal atau inti (Luhak) ke daerah lain (rantau) misalnya, berimplikasi kepada keberagaman istilah dan dialek yang mereka gunakan ketika berbahasa. Istilah dan dialek bahasa Minangkabau di daerah inti tidak selalu sama dengan istilah dan dialek yang digunakan pada daerah lainnya. Masing-masing daerah mempunyai istilah dan dialek sendiri-sendiri. Pada daerah yang bertetangga pun sering terjadi perbedaan tersebut.
Perbedaan wilayah tempat tinggal penutur bahasa Minangkabau tidak saja berimplikasi kepada perbedaan dialek tetapi juga berimplikasi kepada perbedaan bentuk-bentuk ungkapan pada masing-masing daerah. Di daerah Pasaman, penutur bahasa Minangkabau lebih cenderung memakai ungkapan, manunggu batang durian condong (menunggu pohon durian condong). Di daerah lainnya seperti Pariaman penutur bahasa Minangkabau lebih cenderung memakai ungkapan mamaga karambia condong (memagar kelapa condong). Kedua ungkapan ini memiliki arti yang sama yaitu untuk menyatakan kekecewaan. Kecewa karena sesuatu yang selama ini dipelihara dan diharapkan tidak bisa diraih, sebab hasil yang diharapkan tersebut dinikmati oleh pihak lain. Pada ungkapan di atas, penutur bahasa Minangkabau di daerah Pasaman memakai durian, karena durian banyak terdapat di sana dan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Penutur bahasa Minangkabau di daerah Pariaman lebih terbiasa memakai karambia (kelapa) karena daerah Pariaman terletak di pesisir dan banyak ditumbuhi oleh kelapa.
Persoalan–persoalan variasi penggunanan bahasa di kalangan masyarakat Minangkabau juga terlihat pada pantun yang mereka gunakan. Bahasa Minangkabau pada pantun tersebut adakalanya memiliki warna lokal, sebagai ciri dari suatu daerah. Sebagai contoh, dapat dicermati pantun yang menggunakan bahasa Minangkabau umum berikut ini.
Sitawa di tetapi aia Sitawar di tepi air
Cikaraw tumbuah di alaman Cikarau tumbuh di halaman
Dek urang kapa nan balayia Bagi orang kapal yang berlayar
Dek inyo pulau nan bajalan. Bagi dia pulau yang berjalan.
Pantun di atas apabila diucapkan oleh penutur bahasa Minangkabau dari daerah Solok Selatan (misalnya Sangir, Padang Aro, Lubuak Gadang, dan Lubuak Malako) akan terjadi beberapa perubahan lafal atau intonasi, misalnya pada kata nan yang berubah menjadi nun dan pada kata balayia yang berubah menjadi buluyiu. Secara lengkap pantun tersebut akan diucapkan oleh masyarakat Solok Selatan sebagai berikut.
Sitawa di tetapi aia Sitawar di tepi air
Cikaraw tumbuah di laman Cikarau tumbuh di halaman
Dek urang kapa nun buluyiu Bagi orang kapal yang berlayar
Dek inyo pulau nun bajulun. Bagi dia pulau yang berjalan'.
Apabila pantun di atas diucapkan oleh penutur bahasa Minangkabau yang berasal dari daerah Padang-Pariaman dan Bonjol (Pasaman), akan terjadi beberapa perubahan lafal atau intonasi, misalnya pada kata cikaraw yang berubah menjadi cikaRaw, urang yang berubah menjadi uRang, dan awak yang berubah menjadi we-e. Secara lengkap pantun tersebut akan diucapkan oleh masyarakat Padang-Pariaman dan Bonjol dengan ucapan sebagai berikut.
Sitawa di tetapi aia Sitawar di tepi air
CikaRaw tumbuah di laman Cekarau tumbuh di halaman
Dek uRang kapa nan balayia Bagi orang kapal yang berlayar
Dek we-e pulau nan bajalan. Bagi dia pulau yang berjalan.'
Bunyi [r] pada kata urang diucapkan sebagai bunyi [R] uvular sehingga bunyi itu terasa berbeda dari bunyi [r] dari daerah lainnya di Minangkabau selain itu, kata ganti orang ketiga di daerah Bonjol dan Pariaman adalah we-e,
Apabila pantun di atas diucapkan oleh penutur bahasa Minangkabau yang berasal dari Bukittinggi, akan terjadi beberapa perubahan lafal atau intonasi, misalnya pada kata inyo yang berubah menjadi ino, ano, atau no maka intonasinya akan berubah. Secara lengkap pantun tersebut akan diucapkan oleh masyarakat Bukittinggi dengan ucapan sebagai berikut.
Sitawa di tetapi aia Sitawar di tepi air
Sikaraw tumbuah di laman Cekarau tumbuh di halaman
Dek urang kapa nan balayia Bagi orang kapal yang berlayar
Dek ano pulau nan bajalan. Bagi dia pulau yang berjalan.
Keempat, Pantun Minangkabau diyakini oleh masyarakat Minangkabau sebagai miliknya, milik bersama sebagai bagian dari kebudayaan mereka. Rasa kepemilikan ini disebabkan oleh karena pantun dan berpantun merupakan sesuatu yang telah mentadisi bagi mereka (tradisi lisan). Tradisi lisan tersebut selalu mereka pertahankan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nilai-nilai tradisi tersebut akan terasa kehilangan makna apabila disampaikan dengan cara yang lain, misalnya tulis.
Pantun Minangkabau bukan milik orang per orang, akan tetapi merupakan milik kolektif masyarakat Minangkabau. Oleh karena merupakan milik bersama, pantun terdapat pada hampir setiap perilaku berbahasa, baik pada penggunaan bahasa dalam hal berkesenian (rabab, randai, selawat dulang, saluang, dan lain-lain), pidato adat (pasambahan), mupun dalam perilaku berbahsa sehari-hari.
Uraian-uraian di atas menginformasikan beberapa indikator yang dapat dipakai sebagai penanda pantun Minangkabau dari aspek lariah atau bentuk fisik sebuah pantun. Aspek ini menekankan kepada hal-hal terinderai, yaitu hal yang teramati secara kasat mata.
selain aspek lahirian atau bentuk fisik tersebut, penanda pantun Minangkabau juga dapat dilihat dari aspek nonfisiknya. Aspek ini mengacu kepada batiniah dari sebuah pantun. Secara batiniah, pantun Minangkabau adalah manifestasi dari pola berpikir dan pola merasa masyarakat Minangkabau terhadap segenap dinamika hidup dan kehidupannya. Pergulatan pemikiran dan perenungan yang terjelma dalam bentuk pantun yang dihasilkannya sangat kental dengan nuasa keminangkabauannya. Hasil pemikiran dan perenungan tersebut muncul dalam bentuk tata aturan, kaidah-kaidah, norma-norma, dan lain-lain yang menjadi acuan atau pedoman dalam menjalani kehidupan ini. Pantun Minangkabau merupakan wadah atau sarana untuk menginformasikan segala pandangan, persepsi, perasaan, dan ketentuan yang dianut masyarakat Minangkabau. Singkatnya, pantun Minangkabau adalah pantun yang mengkomunikasikan segala sesuatu atau manifestasi dari segala sesuatu yang bersifat Minangkabau. Sesuatu itu bisa berupa pemikiran, perasaan, sikap, dan perilaku.
Sebagai contoh, dapat dikemukakan pandangan, persepsi, perasaan, dan ketentuan yang dianut masyarakat Minangkabau tentang budi jo baso (budi dan bahasa). Bagi masyarakat dan adat Minangkabau, budi bahasa merupakan suatu hal yang harus selalu dipelihara dan dipertinggi karena bagi masyarakat di Minangkabau budi bahasa merupakan dasar dalam bersosialisasi. Jika budi bahasa telah lenyap dari diri seseorang, maka yang akan mendapat malu bukan saja orang yang bersangkutan, melainkan seluruh kaum kerabat orang tersebut. Hal ini lebih dikenal dengan perasaan sahino-samalu (sehina-semalu). Oleh sebab itu, budi bahasa merupakan wadah bagi masyarakat Minangkabau untuk diterima di lingkungannya. Budi bahasa merupakan bagian budaya yang dituangkan dalam adat Minangkabau untuk diresapi dalam pergaulan hidup masyarakatnya. Jika budi bahasa telah lenyap dari seseorang, yang bersangkutan bukan lagi dianggap sebagai manusia, akan tetapi hewan yang berbentuk manusia.
Sekaitan dengan hal di atas, masyarakat Minangkabau mengeksplisit-kan persoalan budi bahasa tersebut dengan pantun berikut ini.
Nan sirah iyolah sago Yang merah adalah saga
Nan kuriak iyolah kundi Yang kurik adalah kundi
Nan indah iyolah baso Yang indah adalah basa
Nan baiak iyolah budi. Yang baik adalah budi.
Dengan menempatkan budi dan bahasa pada tingkat yang tinggi dan memberi nilai yang besar padanya, maka pertentangan dalam kehidupan bermasyarakat akan berkurang. Hidup akan penuh dengan nilai-nilai pergaulan yang baik. Masyarakat menjalani aktivitasnya dengan saling toleransi, dan gemar tolong menolong. Dinamika kehidupan yang seperti ini tentu saja sangat diinginkan oleh setiap masyarakat Minangkabau.
Adat Minangkabau, persepsi, dan pandangan masyarakat Minangkabau terhadap budi sangat kuat dan mendalam. Bagi mereka, budi dan bahasa merupakan sesuatu yang bernilai tinggi dan sangat luhur, melebihi hal-hal yang berkaitan dengan material. Persoalan hutang piutang dalam hal materi tidaklah seberapa nilainnya apabila dibandingkan dengan hutang piutang dalam hal budi bahasa. Hutang materi (emas misalnya) seorang mamak masih bisa dilunasi oleh para kemenakannya. Akan tetapi, hutang budi tidak mudah melunasinya, bahkan bisa dibawa sampai mati. Hal itu dapat dilihat pada pantun berikut.
Pulau pandan jauah di tangah Pulau pandan jauh di tengah
Di baliak pulau angso duo Dibalik pulau angsa dua
Hancua badan di kanduang tanah Hancur badan di kandung tanah
Budi baiak takana juo. Budi baik terkenang juga.
Pisang ameh bao belaia Pisang emas bawa berlayar
Masak sabuah di dalam peti Masak sebuah di dalam peti
Utang ameh dapek dibaia Hutang emas dapat dibayar
Utang budi dibaok mati. Hutang budi dibawa mati.
Persoalan budi dan bahasa merupakan persoalan yang sangat mendasar bagi masyarakat Minangkabau. Dalam pergaulan hidup, orang harus dapat mengamalkan budi yang baik serta basa basi yang halus. Budi dan bahasa adalah jalan keselamatan, wadah untuk menjauhi silang sengketa dalam kehidupan bermasyarakat, sarana untuk dapat diterima dalam kelompok masyarakat. Sangat banyak perselisihan dalam kehidupan bermasyarakat yang dapat memicu terjadinya persengketaan, pertikaian, dan perkelahian antarsuku. Semua itu dapat diredam oleh budi dan bahasa. Kejernihan hati dan pikiran yang terpancar dari budi dan bahasa dalam menyelesaikan perselisihan tersebut akan dapat meredam hal-hal yang lebih parah. Hal ini memperlihatkan betapa dalamnya pengaruh budi dan bahasa tersebut bagi masyarakat Minangkabau. Budi dan bahasa memang dapat menghidarkan masyarakat dari silang sengketa. Pantun Minangkabau berikut mengeksplisitkan hal-hal tersebut.
Pucuak pauah sadang tajelo Pucuk pauh sedang terjela
Panjuluak bungo galundi Penjuluk bunga galundi
Nak jauah silang sangketo Agar jauh silang sengketa
Pahaluih baso jo basi. Perhalus basa dan basi.
Ajaran-ajaran adat Minangkabau selalu bertujuan untuk mendidik dan mengarahkan masyarakatnya dalam berbagai hal agar mereka mampu mencapai kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kehidupan yang demikian selalu mengutamakan perhatian dan penghayatan terhadap budi pekerti dan bahasa basi yang baik. Menurut Hakimy (1988) ajaran adat Minangkabau tentang budi pekerti yang baik itu menjelma melalui empat hal, yang di dalam adat disebut raso, pareso, malu, dan sopan.
Raso (rasa) menurut ajaran adat Minangkabau adalah segala sesuatu yang dapat dirasakan oleh diri seseorang. Hal dapat merasakan sesuatu tersebut adalah indera yang lima, yaitu mata, lidah, telinga, hidung, dan kulit. Mata adalah indra manusia yang digunakan untuk melihat alam yang sangat luas ini, lidah digunakan untuk mencicipi rasa pahit, manis, asin, dan lain-lain, telingga digunakan untuk mendegarkan, hidung digunakan untuk membaui sesuatu, dan kulit digunakan untuk merasakan cuaca seperti dingin, panas, dan lain-lain. Pariso (periksa) menurut ajaran adat Minangkabau adalah segala sesuatu yang dirasakan oleh hati dan pikiran manusia. Ia lebih bersifat ke dalam diri (kedirian) manusia. Malu adalah suatu sifat yang merupakan tanggungan bagi hati setiap manusia. Sopan adalah tingkah laku, gerak-gerik dalam perbuatan sehari-hari, dalam pergaulan (sopan-santun).
Malu adalah dinamika budi pekerti yang paling baik dari keempat hal yang diuraikan di atas. Dalam agama Islam, malu adalah suatu sifat yang sangat menentukan nilai-nilai kemanusiaan sejati dan nilai keimanan seorang yang muslim. Dalam kaitan ini, sabda nabi Muhammad saw dalam sebuah hadist menyebutkan bahwa malu adalah sebagian dari keimanan. Malu dan iman menurut ajaran adat dan agama saling berkaitan erat. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain.
Keempat hal yang telah diuraikan di atas (raso, pariso, malu, dan sopan) tidak boleh hilang dari diri seorang warga Minangkabau. Ia harus selalu dipelihara dan ditingkatkan. Jika keempat sifat tersebut hilang, jatuhlah martabat orang tersebut kepada martabat hewani. Dalam adat, orang yang demikian disebut dengan orang yang "Indak tahu di ampek" (tidak tahu pada yang empat). Artinya, orang tersebut tidak memiliki berbudi pekerti yang baik, karena tidak ada dalam dirinya raso, pariso, malu, dan sopan. Kehancuran berbudi pekerti (akhlak) dalam suatu masyarakat dapat mengakibatkan kehancuran dalam segala bidang, keadilan sukar ditegakkan, kebenaran sulit ditemui, apalagi untuk mencapai kemakmuran dan kebahagiaan. Dengan sangat indah, pantun Minangkabau mengungkapkan kondisi ini sebagai berikut.
Kuek rumah karano sandi Kuat rumah karena sandi
Rusak sandi rumah binaso Rusak sandi rumah binasa
Kuek bangso karano budi Kuat bangsa karena budi
Rusak budi hancualah bangso. Rusak budi hancurlah bangsa.
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas terlihat bahwa sebuah pantun dapat dikategorikan sebagai pantun Minangkabau apabila ia mampu memenuhi dua aspek sekali gus, yaitu aspek lahiriah dan aspek batiniah. Aspek lahiriah berkenaan dengan bangun sebuah pantun, misalnya bahasa yang digunakan, keberadaannya di tengah-masyarakat pengguna pantun, dan perlambangan yang dipakai. Aspek lahiriah ini dapat diamati secara langsung. Aspek batiniah menyangkut persoalan-persoalan yang sangat mendasar dalam adat. Dalam hal ini, pantun merupakan salah satu bentuk pilihan kegiatan berkomunikasi dalam rangka mensosialisasikan ajaran-ajaran dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam adat. Pantun Minangkabau adalah penjelmaan dari pola berpikir, pola merasa, pola berperilaku, dan pola-pola lainnya yang dianut masyarakat Minangkabau. Pantun Minangkabau tidak hanya berfungsi sebagai sastra lisan yang mentradisi atau alat untuk berkomunikasi saja, akan tetapi juga berfungsi sebagai salah satu simbol kebudayaan dan simbol kearifan lokal, yaitu Minangkabau.
Tentang Penulis dan Peneliti
Erizal Gani, lahir di Batusangkar tanggal 07 September 1962. Merupakan putra keenam dari tiga belas orang bersaudara [saat ini yang hidup hanya enam orang, tiga laki-laki, tiga perempuan (tiga pasang)]. Anak dari pasangan Abdul Gani (almarhum) dengan Nurana (almarhumah) ini menjalani masa kanak dan remajanya di desa Air Mati dan Tanah Garam Solok.
Erizal Gani menyelesaikan pendidikannya di SDN 6 Solok tahun 1975, SMPN 1 Solok tahun 1979, SMA Negeri Solok tahun 1982, S1 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah FPBS IKIP Padang tahun 1986, dan S2 Program Pengajaran Bahasa Indonesia Fakultas Pascasarjana (FPS) IKIP Bandung tahun 1992. Tanggal 09 September 2009 (09 – 09-09) menamatkan program doktornya (S3) di Program Studi Ilmu Pendidikan Program Pascasarjana (PPs) Universitas Negeri Padang (UNP).
Selama menempuh pendidikan di sekolah (SMP dan SMA) dan di perguruan tinggi (S1) aktif dalam kepengurusan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), dan himpunan mahasiswa (Hima) dan senat mahasiswa (Sema).
Setelah menamatkan pendidikan S1 tahun 1986 sampai sekarang, Erizal Gani mengabdikan dirinya sebagai dosen di almamaternya, selain itu ia juga mengabdikan dirinya sebagai dosen luar biasa di beberapa perguruan tinggi di Sumatera Barat (UMYY Solok, UMSB Sumatera Barat, UPI YPTK Padang, STKIP Ahlulsunah Bukittinggi, STKIP YDB Lubuk Alung, Akper Pemda Pariaman, Akper Aisyah Padang, Apikes Dharma Landbow Padang, dan Akpar Bunda Padang).
Erizal Gani aktif menjadi pemakalah dalam seminar internasional dan nasional yang diselenggarakan oleh beberapa organisasi profesi yang relevan, seperti Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI), Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (HISKI), Asosiasi Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (APBIPA), Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia (ATLI). Erizal Gani juga atif sebagai pemakalah dalam seminar berskala regional dan lokal. Selain sebagai pemakalah, ia juga aktif sebagai instruktur dalam berbagai penataran dan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, organisasi MGMP, dan organisasi mahasiswa.
Erizal Gani telah menulis beberapa hasil penelitian dan buku ilmiah. Hasil penelitian tersebut adalah Kamus Dwibahasa Indonesia– Mentawai (1994), Studi Deskriptif tentang Pemahaman Guru-guru Bahasa Indonesia SD di Sumbar terhadap Konsep Penerapan Pendekatan Komunikatif (1995), Tatabahasa Melayu Jambi (1997), Cerita Rakyat Minangkabau: Batu Batindih (2000), Karakteristik Kebahasaan Warga Transmigrasi di Sitiung Provinsi Sumatera Barat: Suatu Kaijan Sosiolinguistik (200), Kamus Bahasa Indonesia–Mentawai (1998), dan Kajian Semiotik dan Mitologis terhadap Tato Masyarakat Tradisional Kepulauan Mentawai (2001). Buku Ilmiah yang sudah dihasilkan adalah: Tangan-tangan terampil: Beberapa Catatan (1987), Bina Kreativitas Siswa: Beberapa Catatan (1987), Pedoman Menata Kliping: Sebuah Pengantar (1987), Seni Pembacaan Karya Sastra: Beberapa Catatan (1988), Menulis Proposal Penelitian: Teori dan Terapan (1995), Pembinaan Keterampilan Berbahasa Indonesia di Perguruan Tinggi (1995), Pembinaan Keterampilan Menulis di Perguruan Tinggi (1997), Menulis Karya Ilmiah: Teori dan Terapan (1997), Dasar-dasar Komposisi (2000), dan Evaluasi Pengajaran Bahasa Indonesia (2009).
Akibat kesungguhan Erizal Gani dalam menulis, dalam masa delapan belas tahun satu bulan pengabdiannya sebagai dosen, ia mampu meraih jabatan fungsional Lektor Kepala dengan pangkat Pembina Utama Muda golongan IV/c.
Erizal Gani menikah dengan Dra. Yurniwati, guru SMA Negeri 1 Padang tahun 1987 dan dikaruniai satu orang anak (Yossy). Saat ini tinggal di Perumahan Singgalang Blok B 5 nomor 23 Kel. Batang Kabung-Ganting Padang.