Catatan Indra J Piliang
Saya merasa berutang untuk menulis soal harimau ini. Sekalipun di akun
twitter @IndraJPiliang sudah beberapa hari saya coba tweet, tetap saja
diperlukan tulisan yang lebih panjang. Cerita harimau ini muncul lewat akun
saya, ketika menghadiri Mubes V Gebu Minang di Padang Panjang pada tanggal 9-10
Juli 2011 lalu. Di perjalanan, saya membaca berita bahwa seekor harimau
Sumatera (Panthera tigris sumatrae) ditangkap warga Kenagarian Kapalo Hilalang
dengan menggunakan kandang yang terbuat dari kayu. Saya berpikir, harimau itu
pasti diselamatkan oleh warga setelah ditangkap.
Tanggal 10 Juli, seusai acara penutupan Mubes V Gebu Minang, ternyata
harimau itu masih ada di Kenagarian Kapalo Hilalang (Kepala Ilalang). Saya memutuskan
untuk melihat harimau itu, karena pasti jadi perhatian warga. Benar saja,
sekalipun menaiki ojek, mobil dan berjalan kaki, ternyata warga sudah terlihat
pergi dan pulang dari lokasi. Mayoritas anak-anak kecil yang ditemani oleh
orang tuanya.
Harimau memang binatang yang “magis” bagi masyarakat Sumatera Barat.
Budaya Minangkabau menempatkan harimau sebagai binatang yang terhormat.
Panggilannyapun khas: inyiak (nenek). Sebagian masyarakat masih menganggap
bahwa harimau adalah wujud dari binatang mitologis, karena bisa juga merupakan
jelmaan manusia (harimau jadi-jadian). Karena itu, ketika harimau benar-benar
ada dan berhasil ditangkap, adalah kejadian yang luar biasa dalam hidup.
Saya tiba di lokasi, setelah berjalan kaki. Kondisi jalanan ke lokasi selalu
mendaki dan mendaki. Saya sendiri terkejut, ada daerah yang seperti Kenagarian
Kapalo Hilalang itu di Kabupaten Padang Pariaman. Pohon karet, kelapa sawit dan
tanaman keras lainnya tumbuh di kiri dan kanan jalan. Rumah-rumah dan
gubuk-gubuk petani berada di dalam area kebun rakyat itu. Biasanya, pemandangan
seperti itu hanya ada di daerah Pasaman, Dharmasraya atau Pasaman Barat.
Letak lokasi tertangkapnya harimau itu ada di bawah Gunung Tandikat,
berdekatan dengan lokasi cagar alam Lembah Anai. Dalam kisah-kisah tambo,
wilayah Lembah Anai ini merupakan tempat yang dihuni oleh para pendekar yang
dikenal dengan sebutan parewa. Untuk melaluinya, terdapat jalan raya antara
Padang Pariaman dan Padang Panjang yang bernama Silaing. Sebuah air terjun indah menjadi lokasi
favorit bagi siapapun yang ingin mengambil foto diri.
Di Lembah Anai ini juga terdapat sebuah bukit yang dikenal dengan
sebutan Bukit Tambun Tulang (Bukit Timbunan Tulang). Konon, bukit itu terbentuk
dari tulang-belulang manusia yang menjadi korban dari parewa (penyamun dan
perampok) yang melalui jalur berbahaya itu. Kini, musuh wilayah itu adalah
longsoran tebing. Di sungai bening yang berada di sepanjang Lembah Anai, sudah
dibangun tempat-tempat pemandian oleh penduduk.
***
Auman harimau itu menyambut saya, ketika pertama kali melihat
kandangnya dari kejauhan. Kandang itu terbuat dari kayu, tanpa paku. Kandang
pasak, namanya. Warga mengerumuni kandang yang kokoh itu. Sekali lagi harimau
itu mengaum. Warga terlihat tersibak, sekalipun harimaunya berada di dalam
kandang. Beberapa orang menyalami saya. Pelan, saya melihat ke dalam kandang,
lalu menggunakan dua buah blackberry untuk memotret harimau itu.
Dan setiap momen dalam potret saya menunjukkan kelelahan harimau itu.
Kepalanya menyandar kepada kambing yang sudah mati, umpan yang digunakan untuk
memerangkapnya. Tubuh kambing itu dijadikan bantal oleh kepala harimau. Kepala
itu memejamkan mata, seolah sedang menyampaikan sesuatu. Sempat matanya
terbuka, kepalanya terangkat, lalu rebah lagi dengan mata lelah yang tetap
waspada. Inyiak itu kelihatan lelah.
Lalu warga mengajak saya untuk berbicara. Yang memimpin bernama
Pangeran, kepala pemuda di kenagarian itu. Ada beberapa juga sosok yang lebih
senior, namun mereka lebih terkonsentrasi ke arah kandang harimau,
berjaga-jaga. Merekalah anak buah tunganai, sang pawang harimau. Pangeran
menceritakan bahwa perburuan harimau itu dilakukan sejak enam bulan lalu, lewat
permufakatan warga. Kandang dibuat bersama. Hal itu dilakukan karena warga
kehilangan ternak, dimangsa harimau.
“Ini umpan keempat yang berhasil menangkap harimau. Tiga sebelumnya
hilang, karena perangkapnya gagal bekerja,” ujar Pangeran.
Warga menceritakan bahwa mereka mau menyerahkan harimau itu kepada
petugas Badan Konservasi Sumber Daya
Alam (BKSDA). Pihak BKSDA sendiri sudah datang, namun mereka hanya menembak ke
atas, mengusir harimau lain yang dianggap masih berkeliaran. Menurut pihak
BKSDA sendiri, itu memang prosedur standar.
Masalahnya, warga meminta ganti rugi atau kompensasi. Dana itu akan
digunakan untuk mengadakan upacara adat, seperti main randai dan bersilat. Saya
memaklumi permintaan itu. Bagi saya, jarang sekali ada penagkapan harimau dalam
keadaan hidup. Ketika bertanya kapan terakhir kali kejadian penangkapan harimau,
warga menjawab beragam. Tetapi umumnya menjawab tidak pasti.
Saya berjanji kepada warga untuk mengurus permintaan warga itu, dengan
menghubungi pihak terkait. “Kalau perlu, saya hubungi Menteri Kehutanan, Bang
Zulkiefli Hasan,” kata saya. Kebetulan, saya memang mengenal Bang Zul ini sejak
lama. Selain itu, masalah harimau terkait dengan perambahan hutan yang
dilakukan di Padang Pariaman, khususnya, dan Sumatera Barat, umumnya. Kebutuhan
kayu pasca gempa bumi naik secara signifikan. Di Padang Pariaman, hampir 80%
bangunan rubuh disapu gempa bumi tanggal 30 September 2009.
***
Sepulang dari lokasi, saya meminta teman seperjalanan menghubungi
bupati. Kebetulan, ponsel saya tidak dapat sinyal. Bupati berjanji untuk
mendatangi lokasi keesokan harinya. Namun, setelah saya pulang pada tanggal 11
Juli 2011, ternyata Bupati Padang Pariaman tidak jadi datang, hanya mengirimkan
camat Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam.
Sesampai di Jakarta, saya mulai melakukan soft campaign di akun
twitter. Tidak lupa saya mention akun milik Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan
RI (@Zul_Hasan). Dengan hashtag #harimau dan #saveharimau, saya kirimkan lagi
foto-foto keadaan harimau di kandang Nagari Kapalo Hilalang. Reaksi muncul dari
Bang Zul. Dia mengatakan akan mengirimkan tim ke Padang Pariaman pada hari
Selasa, 12 Juli 2011. Sementara lewat komunikasi dengan warga, mereka
mengatakan bahwa kondisi harimau sudah lelah.
Malam harinya, saya dapat telepon dari Bupati Padang Pariaman, Drs Ali
Mukhni. Lama kami berbincang. Tak lupa, saya sebutkan soal harimau itu. Bupati
mengatakan bahwa warga masih bertahan. Saya juga menghubungi warga, ternyata
harimau sudah diserahkan kepada pihak BKSDA. Muhardi, teman saya, mengatakan
bahwa harimau itu “dilepas” dengan kompensasi Rp. 15 Juta, jauh di atas
permintaan awal yang hanya Rp 8 Juta. Rupanya, ketidak-seriusan dari pihak Pemda
dan adanya janji saya untuk menyampaikan soal ini ke Menteri Kehutanan
menyebabkan warga mengambil “jalan perang”, dengan cara menaikkan jumlah dana
kompensasi.
Sore tanggal 12 Juli 2011, harimau betina itu diserahkan warga ke pihak
BKSDA. Tunganai sendiri pingsan, ketika melakukan prosesi pemindahan itu. Pihak
BKSDA ingin membius harimau itu dengan tembakan suntikan, tetapi warga tidak
mau dan bersikeras memindahkan harimau itu dari kandang kayu ke kandang besi di
mobil BKSDA dengan cara tradisional: menghalaunya. Untunglah, prosesi itu
berjalan lancar.
Media melaporkan bahwa harimau itu terlihat mengucurkan air mata,
ketika berhasil pindah ke kandang besi. Entah terharu atau sedih meninggalkan
habitat dan kampung halamannya. Atau, barangkali mengingat dua ekor anaknya
yang baru berusia 1 bulan, menurut ahli dari pihak BKSDA. Apapun, harimau itu
sudah selamat, kini di tangan pihak yang tepat. Saya hanya berdoa, hutan-hutan
tak ditebangi, dua ekor anak harimau selamat sampai dewasa, lalu induknya yang berusia
5 tahun ini segera kembali ke habitat aslinya.
Andaipun nanti akan mengalami “perjuangan” yang keras di habitatnya,
mengingat sudah bersentuhan dengan dunia manusia, sungguh mengharukan
membayangkan harimau ini pulang ke keluarganya dan rumahnya, di sekitar Bukit
Tambun Tulang dan Gunung Tandikat…
Sumber: http://www.pariamantoday.com/2012/09/kisah-harimau-kapalo-hilalang.html