FOTO BUKITTINGGI LAMA

Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Jumat, 27 Februari 2015

Pendidikan Multikultural di Indonesia


 Oleh Isnarmi Moeis



Pendidikan multikultural di setiap negara lahir dari keunikan masalah yang berkembang pada masyarakat masing-masing negara. Oleh karena itu, perlu pengkajian secara mendalam tentang landasan-landasan yang mendasari pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia. Secara teoritis ada hal-hal yang bisa dikembangkan dalam pendidikan multikultural di Indonesia yang berasal dari negara lain, tetapi secara filosofis dan praktis di Indonesia ada keunikan persoalan keragaman masyarakatnya. Pembahasan dalam laman ini merupakan perpaduan kajian teoritis yang bersifat umum dengan kajian parktis dan filosofis yang merujuk kepada kekhasan masyarakat Indonesia.

Rasional Pendidikan Multikultural di Indonesia:

Tantangan Lokal

Bagi bangsa Indonesia, pendidikan multikultural merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda. Pertama dilihat dari sudut filsafat bangsa (Pancasila) yang melandasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai fakta legal yang memberikan landasan bahwa Negara Indonesia dibangun atas dasar pengakuan terhadap hakikat kodrat manusia yang tidak tunggal, tetapi sebagai makhluk yang oleh Notonagoro (1981: 89) diistilahkan dengan mono-plural. Istilah ini diterjemahkannya sebagai makhluk tunggal yang terdiri atas berbagai aspek kodratiah: sebagai makhluk ciptaan Maha Khaliq, sekaligus sebagai makhluk individu dan sosial. Ke-pluralan hakikat kemanusiaan secara lebih luas dapat diterjemahkan sebagai ke-pluralan masyarakat Indonesia yang menganut berbagai agama, serta tumbuh dan berkembang dalam berbagai tradisi (etnik, bahasa, dan adat istiadat) yang berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan kemajemukan bagi bangsa Indonesia merupakan kodrat kemanusiaan yang mengimplikasikan pengakuan secara luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Landasan filosofis ini dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dicantumkan dalam Bab 1 mengenai ketentuan umum yang menyatakan bahwa: “Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.

Demikian juga dalam Bab III fasal 4 ayat 1 tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan, dinyatakan bahwa: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.

Selain alasan filosofis, kenyataan sosial yang ada juga merupakan kondisi nyata yang mendesak perlunya pendidikan multikultural. Berbagai peristiwa pertikaian antar kelompok atau golongan yang terjadi lima belas tahun belakangan, menunjukkan bahwa tingkat keasadaran bangsa Indonesia terhadap keragaman masyarakat baru sampai pada level pengakuan yang dangkal, sebatas wacana bahwa kita bangga sebagai masyarakat yang heterogen. Konflik-konflik sosial tersebut merupakan indikasi bahwa kebanggaan terhadap kenyataan pluralitas bangsa tidak didasarkan atas pengetahuan yang dalam tentang hakikat keragaman budaya, dan penghargaan yang tinggi terhadap keragaman budaya tersebut (Ahimsa-Putra, 2005: 5). Dengan kata lain, kesadaran multikulturalisme bagi bangsa Indonesia masih tergolong rendah, bahkan mungkin multikulturalisme belum menjadi bagian kehidupan sosial bangsa Indonesia.

Kekurangan yang sama juga terlihat dalam bidang pendidikan. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) sudah memberi peluang (walau hanya sebatas ketentuan umum) bagi pendidikan yang bersifat multikultural. Akan tetapi, dalam level kurikulum dan pembelajaran belum ada satu istilah dan bentuk pendidikan multikultural yang sistematis dan lengkap dengan landasan filosofis, psikologis dan pedagogis yang jelas: “pendidikan multikultural belum dirancang dengan disain yang jelas dalam system pendidikan kita” (Semiawan,2004: 37). Di kalangan dunia pendidikan, khususnya PIPS, wacana pendidikan multikultural ini belum banyak dibicarakan. Kalaupun ada tentang partisipasi dalam masyarakat multikultural telah disinggung dalam mata pelajaran sosiologi kelas II SLTA, atau dalam mata pelajaran PKn , hanya berupa kajian yang sangat terbatas pada konsep-konsep keragaman budaya yang superficial.

Selain sedikitnya perhatian dari segi materi, dari segi pemahaman guru juga sangat minim tentang multikultural, Sebagai contoh kecil, dalam suatu penelitian eksplorasi (Moeis cs 2011) di Padang, tentang pendapat guru mengenai pendidikan multikultural, ditemukan pendapat yang sangat beragam. Ada yang mengatakan bahwa pendidikan multikultural tercakup dalam pendidikan kewarganegaraan, khususnya topik mengenai kesadaran beragama. Ada juga yang mengatakan pendidikan multikultural dengan memperkenalkan budaya daerah kepada siswa. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang membangkitkan kesadaran siswa tentang keberagaman etnik dan perbedaan agama di Indonesia, serta meningkatkan kesempatan pendidikan yang menghargai persamaan hak. Bila dilihat dari hakikat multikultural secara luas yang sampai melihat kepada pola pikir, paham dan cara pandang, maka tampak pemahaman guru tentang multikultural tergolong superficial atau pada level permukaan dari sebuah konsep yang mendalam. Meskipun penelitian ini sangat terbatas dan bersifat eksploratif, sedikit memberikan gambaran bahwa konsep pendidikan multi budaya atau multi etnik belum menyatu dalam dunia pendidikan kita. Penelitian terkait tentang profil wacana interaksi guru dan siswa di sekolah juga menunjukan rendahnya penguasaan guru dalam mengembangkan landasan-landasan pendidikan multikultural berupa pendekatan pendidikan yang bersifat inkuiri atau transformative (Moeis dkk, 2010).

Berdasarkan tinjauan filosofis dan sosial yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan bangsa Indonesia saat ini terhadap pendidikan multikultural semakin mendesak baik dari segi kondisi internal maupun eksternal. Secara internal kehendak kodratiah kemanusiaan dari bangsa Indonesia sebagaimana tercermin dalam filsafat bangsa adalah sebuah hutang moral sekaligus politis yang harus diwujudkan untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara yang ideal.
Kondisi internal lain adalah fakta sosial yang menunjukkan tingginya tingkat keragaman dalam masyarakat Indonesia memerlukan perhatian khusus. Setelah era reformasi dan otonomi daerah tampak gejala yang mengarah kepada semakin tingginya kesadaran terhadap identitas kedaerahan dan kemajuan daerah bagi warga negara. Sebagaimana dikemukakan oleh Zawawi Ibarahim (2008) bahwa identitas dalam evolusi dan senantiasa dalam proses formasi. Uniknya, karena perubahan ini pandangan tentang penanganan keragaman identitas melalui konsep ‘grand narratives” dengan slogan e pluribus unum out of many one (dalam keragaman ada satu) menjadi problematik. Sebagai gantinya ada gerakan ke arah paham multikultural yang didasarkan kepada legitimasi keragaman inti-inti budaya dengan slogan in one, many (dalam satu ada keragaman). Oleh sebab itu pengelolaan keragaman dalam era otonomi menjadi tantangan tersendiri baik secara politik maupun dari sisi pendidikan. Perlunya pendidikan yang menumbuhkan kesadaran bahwa keragaman adalah keniscayaan dalam Negara Kesatuan Republic Indonesia.

Tantangan Global

Di samping itu dari sisi eksternal ditandai dengan kenyataan global yang membuat batas antar negara secara budaya dan ekonomi semakin kabur. Dunia seolah seperti sebuah “kampung global” dalam arus globalisasi yang terus melaju. Meskipun globalisasi banyak terkait dengan persoalan ekonomi, arus globalisasi sering dipandang sebagai gelombang besar yang membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk perubahan dalam pemahaman terhadap nilai-nilai local. Lebih dari itu, perubahan tersebut membawa krisis multidimensi seperti intelektual, moral spritual, dan sosial (Capra, 2000).



Dari semua bentuk globalisasi (ekonomi, politik, sosial, nilai budaya), globalisasi budaya merupakan sisi yang tak terbendung. Jika arus global dalam bidang politik, ekonomi masih dibatasi dalam bidang tertentu oleh Negara berdaulat, maka arus budaya global tidak mengenal batas apapun terlebih lagi karena pengaruh kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi.

Dampak budaya sebagai pengaruh globalisasi tampak lebih bernuansa negatif ketimbang positif. Dalam buku Miklethwhite & Wooldridge, (2000) The Future Perfect, diungkapkan bahwa globalisasi telah meluas keluar bidang bisnis biasa, yaitu bisnis seks dan film porno. Seks telah diangkat menjadi komodoti bisnis, yang dapat diakses melalui berbagai sarana teknologi. Dunia telekomunikasi telah mengembangkan telepon porno atau situs-situs internet porno, atau juga penciptaan film porno dari perusahaan perfilman seperti Silicon Valley, yang mudah diakses semua orang. Jelas sekali keadaan ini menghancurkan sendi-sendi moral sebuah bangsa yang beradab. Globalisasi merupakan bentuk dominasi baru, yang ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang disebar luaskan melalui berbagai program.

Meskipun demikian pengaruh negative globalisasi sulit untuk dibendung. Pergeseran budaya dan nilai serta bangkitnya budaya baru adalah dampak yang pasti terjadi. Ada bangsa yang lebur dengan budaya baru dan kehilangan identitas local sama sekali, ada bangsa yang menolak dan merevitalisasi budaya local namun diangap anti perubahan, dan ada bangsa yang bertahan di tengah perubahan global, namun menjadi minoritas di negri sendiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Triyono (1996) enam bentuk respon terhadap perubahan yaitu: penolakan (resistance), kebangkitan (revivalization), menjaga batas-batas (maintenance boundaries), pemulihan kembali (revitalization), dan penerimaan (adaption).

Dengan mengikuti tesis Capra (2000) mengenai kebangkitan budaya, pengaruh global terhadap kehidupan local merupakan proses bangkitnya budaya baru namun ancaman bagi budaya local dan kemungkinan juga kaburnya identitas nasional. Dalam hal ini ada budaya yang datang dan ada budaya yang pergi namun bagi pendidikan menjadi tantangan dalam tiga hal yaitu: 1) di satu sisi semakin tinggi keragaman budaya, di sisi lain lemahnya sendi-sendi nilai lokal, 2) keragaman informasi, yang mempercepat penyebaran nilai dari budaya lain, dan 3) kuatnya persaingan yang menuntut orang berfikir cepat (Moeis, 2010:73). Hal yang pasti bahwa tantangan ini menimbulkan kondisi ketidakstabilan dalam hubungan social kemasyarakatan.

Ketidak stabilan hubungan social atau hubungan antar kelompok yang sangat beragam, menjadikan orang mudah curiga satu sama lain. Pada akhirnya mungkin menjadi pemicu konflik dalam masyarakat, dan merugikan kepentingan bangsa Indonesia ke masa depan. Dalam hal ini dibutuhkan system politik termasuk pendidikan yang mempersiapkan masyarakat menghadapi tantangan yang berat ini. Jika ditinjau dengan tesis Samuel Huntington (2003) tentang benturan peradaban, akan lebih mudah dimengerti urgensi pendidikan multikultural dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagai upaya menghindari konflik.

Ada enam alasan dasar mengapa benturan peradaban menjadi fokus perhatian dalam penataan kehidupan politik masa depan, dua diantaranya paling relevan untuk permasalahan yang sedang dibicarakan adalah: 1) pandangan masyarakat yang berbeda akan membawa perbedaan pandangan tentang relasi baik antara manusia dengan Tuhannya, individu dan kelompok, orang tua dan anak-anak dan seterusnya; dan 2) dunia semakin mengecil, interaksi antara masyarakat semakin tinggi. Bila interaksi semakin tinggi akan semakin tinggi kesadaran peradaban sendiri dan semakin sensitif terhadap perbedaan.

Bukti dan contoh dari teori benturan peradaban yang nyata sebagaimana dianalisis lebih jauh oleh John Esposito (2002) mengenai citra kontemporer Islam di barat yang menunjukan kebencian terhadap Islam dan warga Muslim di Negara-negara barat karena ketidak fahaman barat terhadap Islam. Barat melihat Islam dalam persepektif sekuler yang memisahkan antara agama (gereja) dengan Negara. Sehingga ketika warga Muslim menerapkan nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan sebagai wujud Islam yang baik justru dimaknai oleh barat sebagai fundamentalis yang menentang yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat barat. Ketidak fahaman ini menyebabkan perbenturan budaya yang satiap saat akan melihat Islam dan warga muslim sebagai ancaman bukan sebagai teman. Ditambah dengan propaganda media yang memperkokoh tesis fundamentalis sebagai perlawanan terhadap Barat. Jika barat melihat Islam dalam pemahaman yang lebih komprehensif secara kultural dan historis maka benturan peradaban akan berubah menjadi dialog peradaban. Pada hakikatnya dari pandangan ini, benturan peradaban adalah benturan nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok yang berbeda tetapi tidak dipahami secara mendalam satu sama lain oleh kelompok tersebut. Dalam skala global disebut benturan peradaban , dalam skala lokal berwujud konflik antar golongan yang berkepanjangan.


Bila tesis ini diterapkan pada fenomena keragaman masyarakat Indonesia kekhawatiran terjadinya perbenturan antar kelompok yang dilandasi perbedaan nilai sangat mungkin terjadi, terutama dalam kondisi rendahnya interaksi lintas budaya yang berbeda. Dalam kasus konflik Ambon yang meningkat di awal reformasi menunjukan kecurigaan antar kelompok agama yang berbeda begitu tinggi karena sedikitnya ruang interaksi yang memungkinkan terjadinya pemamahan antar kelompok secara baik. Pada kebanyakan kasus pertikaian kelompok di Indonesia, hampir selalu dimulai dengan persoalan sederhana, dilanjuti dengan penyebaran isu yang tidak jelas faktanya, kemudian berkembangan menjadi tindakan massa yang destruktif tidak terkendali (Moeis, 2006). Intinya konflik yang terjadi antar kelompok yang berbeda karena masing-masing kelompok melihat kelompok lain sebagai lawan, bukan sebagai teman yang berada dalam Negara yang sama.

Sudah saatnya dikembangkan sarana pendidikan multikultural untuk mempersiapkan generasi bangsa yang memiliki kompetensi kultural (kultural competence) yang mampu untuk hidup berdampingan dalam masyarakat yang terdiri dari beragam kelompok dan system nilai. Bentuk pendidikan ini perlu dikembangkan secara sistematis dengan disain yang jelas dan mempertimbangkan karakteristik keragaman masyarakat Indonesia yang berbeda dari Negara lain.

Sebagaimana di ungkap oleh Tilaar (2004: 127-162), misalnya di di Amerika Serikat, akar pendidikan multikultural berjalan searah dengan sejarah bangsanya. Perjuangan lahir dan batin untuk kelauar dari diskriminasi rasial yang panjang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lahirnya konsep dan parktek pendidikan multikultural. Bagi orang Amerika pendidikan multikultural identik dengan perjuangan memperoleh kesetaraan, memerangi prasangka, diskriminasi rasial. Lain lagi halnya di Jerman, dari segi sejarah masyarakatnya pendidikan multikultural bagi mereka sesuatu yang asing. Namun, dengan perkembangan terbaru banyaknya imigran yang datang sebagai pekerja ke dalam negeri jerman, membuat pemerintah mersa perlu menetapkan berbagai kebijakan pendidikan yang memperhatikan kondisi golongan minoritas. Demikian seterusnya di negara maju lain seperti Kanada, Inggris, dan Australia masing-masing memiliki masalah multikultural yang unik sesuai dengan latarbelakang masyarakatnya. Pendidikan multikultural yang dikembangkan oleh setiap negara tersebut bertolak dari kekhasan permasalahan mereka.

Persoalan keragaman dalam masyarakat Indonesia juga unik dan berbeda dari negara lain. Bangsa Indonesia terbentuk dari berbagai suku bangsa, dengan masing suku bangsa memiliki karakteristik budaya, ras, dan etnik yang berbeda. Selain itu bangsa Indonesia juga terbentuk dari bangsa yang memiliki beragam keyakinan dan agama. Kemudian keragaman ini diperkaya dengan adanya imigran yang datang ke Indonesia dari berbagai belahan dunia. Semua bangsa dengan segala keragaman itu bersatu dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam bahasa Kymlicka (2000:14) NKRI adalah negara multibangsa, karena hakikat bangsa di sini adalah masyarakat atau kebudayaan. Negara Indonesia yang penduduknya lebih dari satu masyarkat atau kebudayaan, adalah lebih dari satu bangsa, maka dapat disebut multi bangsa.

Namun ada keunikan lain dalam masyarakat majemuk di Indonesia. Jika menurut Kymlicka dikatakan dalam multibangsa atau multietnik ada kelompok mayoritas yang dominan dan kelompok minoritas yang terpinggirkan, maka dalam masyarakat Indonesia semua kelompok etnik dan agama memiliki posisi yang sama dalam negara dan masyarakat seperti yang dijamin oleh konstitusi dan dasar negara. Semua kelompok memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Bahkan kesetaraan ini dijamin oleh konstitusi, sehingga memiliki kekuatan hukum disamping kekuatan historis. Bagi bangsa Indonesia persatuan dan kesatuan menjadi landasan dasar dalam membentuk negara (Pokok-Pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945)

Secara legal formal dan juga secara sosiologis kultural masyarakat Indonesia sudah mempunyai jaminan untuk hidup dalam keragaman, karena negara Indonesia dibentuk oleh masyarakat dari berbagai cirri dan keunikan. Hal ini merupakan potensi yang memberi harapan di mana semua kelompok dapat hidup berdampingan secara harmonis. Namun, ada sisi yang mengandung potensi kearah perbedaan yang tajam yaitu perbedaan karakteristik setiap kelompok, dan kuatnya interaksi internal kelompok. Setiap kelompok memiliki budaya internal yang berbeda dengan budaya internal kelompok lain. Anggota setiap kelompok memiliki keterikatan emosional yang tinggi, sehingga interaksi internal kelompok cenderung kuat sekalipun berada dalam kondisi yang heterogen. Fenomena ini terlihat di berbagai kota besar Indonesia masih banyak kelompok yang berbentuk kekerabatan berdasarkan suku atau agama.

Di satu sisi, tingginya interaksi internal kelompok mengandung potensi positif. Hubungan antar anggota kelompok dapat memperkuat identitas etnik sehingga menciptakan rasa aman dan rasa kebersamaan oleh individu di tengah-tengah masyarakat yang beragam. Selain itu, dapat mengembangkan rasa penghargaan terhadap diri sendiri sebagai modal untuk dapat menghargai orang lain, di samping sebagai sarana belajar untuk mempelajari mitos kelompok sendiri dan menemukan faktor-faktor yang membuat ketidakseimbangan dengan lingkungan (Moradian, 1996: 4).
Tetapi di sisi lain, rendahnya interaksi eksternal antar kelompok dapat menjadi sumber kecurigaan antar kelompok dan dimanfaatkan oleh kelompok yang ingin mencapai tujuan politis sesaat. Dari berbagai konflik yang pernah terjadi di Indonesia di awal tahun 2000an terdapat indikasi akar konflik adalah kecurigaan antar kelompok yang berbeda identitas yang kemudian berakumulasi menjadi kekentalan identitas. Misalnya konflik Ambon, Poso dan Sambas, berkembang dengan masing-masing kelompok yang memiliki identitas jelas apakah bersifat agama atau suku. Sehingga akumulasi konflik terus berlanjut bila ada sedikit pemicu yang mengatasnamakan kelompok. Demikian kuatnya identitas, sehingga menimbulkan trauma kelompok membuat sulitnya kelompok membangun rekonsialiasi pasca konflik. Bahkan konflik berlarut, dan sewaktu-waktu dapat muncul lagi ketika identitas kelompok dimanfaatkan oleh kelompok lain yang punya kepentingan politis (Moeis, 2009). Kesimpulannya bahwa kekuatan identitas justru bersifat destruktif ketika anggota komunitas dimobilisir dan kehilangan kemampuan kritis untuk menyaring informasi karena rendahnya interaksi lintas kelompok.

Bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan ciri yang unik dari keragaman masyarakat Indonesia adalah: pertama adalah keanekaragaman kelompok dengan identitas yang kuat dari setiap kelompok (sosiologis-kultural). Kedua adalah adanya kesepakatan bersama semua kelompok untuk bersatu dalam negara bangsa Indonesia (historis-politis). Ketiga kesepakatan bersama untuk membentuk negara bangsa yang multi suku,etnik dan budaya ditetapkan dalam konstitusi (legal-formal). Berarti bangsa Indonsia, adalah bangsa yang sejak awal berdirinya adalah bangsa yang sudah mempersiapkan diri menjadi bangsa yang majemuk, dan setara.

Tetapi timbul masalah mengapa ada pertikaian antar kelompok setelah perjalanan sejarah politik kebangsaan Indonesia berlangsung cukup panjang. Berdasarkan penelitian terhadap laporan media massa tentang kasus konflik didaerah tahun 2000an, (Moeis, 2009), pertikaian antar kelompok terjadi karena kekuatan identitas dimanfaatkan oleh pihak yang ingin mengambil keuntungan dari konflik. Oleh sebab itu, pencegahan konflik, pada hakikatnya adalah melalui proses pendidikan yang membangkitkan kesadaran anggota masyarakat untuk melihat secara kritis adanya isu dan opini yang merusak keharmonisan hidup sebagai bangsa. Kesadaran ini awal untuk melakukan perubahan terhadap sikap-sikap pribadi yang merusak kebersamaan.

Proses pendidikan diharapkan memberi efek perubahan dalam kesadaran dan sikap individu warga masyarakat, dan pada gilirannya akan memberi efek perubahan kepada masyarakat. Artinya pendidikan yang diperlukan masyarakat Indonesia saat ini adalah pendidikan yang membantu masyarakat menyadari secara kritis keadaan-keadaan dirinya yang merusak keharmonisan kehidupan bersama, dan merubah pola-pola fikir yang destruktif menjadi pola pikir yang konstruktif. Gagasan pendidikan ini disebut pendidikan bersifat transformative.

Pendidikan multikultural dengan tujuan transformatif yakni membentuk cara pandang positif masyarakat tentang dirinya dan orang lain. Dengan demikian akan tercipta hubungan yang harmonis antara satu kelompok dengan kelompok lain atas dasar saling menghargai, menghormati, toleransi, dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia. Pada akhirnya, akan terbentuk masyarakat yang beragam hidup secara harmonis, setara, inklusif, dan demokratis

Sejalan dengan itu Tilaar ( 2004) mengemukakan gasagasan tentang pendidikan multicultural yang perlu dikembangkan di Indonesia. Ada enam dimensi pendidikan multicultural yang dapat dikembangkan. Pertama hak untuk kebudayaan dan identitas budaya lokal. Akibat dari arus globalisasi yang terjadi secara merata tidak hanya mendorong pada pengakuan hak azasi saja tetapi juga hak untuk kebudayan dan identias budaya lokal. Dalam paradok globalisasi, orang dapat kehilangan identitas dirinya. Untuk menghindari akibat negative globalisasi, perllu adanya pengakuan dan pengukuhan hak untuk kebudayaan yang bertolak dari indentitas budaya lokal.

Kedua, kebudayaan Indonesia-yang-menjadi. Artinya perlunya pengembangan identitas kebudayaan bangsa yang diarahkan kepada penguatan negara bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proses ini bukan dengan penguatan pada “penunggalan budaya yang ada” melainkan pengakuan kepada keragaman budaya. Di sni ada dua kekhasan identitas yaitu identitas ke Indonesian, dengan menempatkan keragaman budaya yang ada dengan segala identitasnya sebagai unsurnya, dan pengakuan terhadap eksistensi kebudayaan yang beragam dalam negara bangsa Indonesia sebagai identitas manusia Indonesia. Keduanya terwujud melalui proses yang berkelanjutan.

Ketiga, konsep pendidikan multicultural normative bukan konsep pendidikan multicultural yang deskriptif. Dalam pendidikan multicultural deskriptif yang terjadi adalah sekedar pengetahuan dan pengakuan keragaman budaya yang ada. Dari itu, diperlukan konsep pendidikan yang normatif dengan bertolak pada hak untuk mengembangkan budaya-budaya yang ada dengan cara yang kostruktif, menghindari paksaan dalam hafalan yang menghilangkan hakikat keragaman.

Keempat, pendidikan multicultural merupakan suatu rekonstruksi social. Artinya adalah pendidikan yang berupaya melihat kembali kehidupan social yang ada dewasa ini. Satu fenomena social dalam masyarakat Indonesia selama ini yang merupakan masalah adanya penguatan identitas kelompok, daerah, yang berlebihan dan dapat menyebabkan terjadinya pegeseran horizontal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Kemungkinan pergeseran sebagai suatu proses menuju keadaan yang lebih baik. Di sini peran pendidikan multicultural sebagai upaya menghilangkan fanatisme kelompok. Ibaratnya pendidikan multicultural berada dalam proses antara perlunya penguatan identitas kelompok di satu sisi, dan perlunya pengakuan dan penghargaan keberadaan kelompok lain dengan identitasnya juga.

Kelima, perlunya pendidikan multicultural dengan pedagogic baru. Pendidikan multicultural di Indonesia menuntut pendidikan hati yaitu diarahkan kepada rasa persatuan dari bangsa yang pluralistic. Untuk itu dibutuhkan pedagogic pemberdayaan, dan pedagogic kesetaraan. Pemberdayaan ditujuan untuk mengembangkan budaya Indonesia dalam negara bangsa Indonesia, dan pendidikan kesetaraan sebagai upaya untuk mewujudkan keseteraan, dan pengakuan yang sama terhadap keragaman budaya yang ada.

Terakhir, pendidikan multicultural bertujuan untuk mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika berbangsa. Dalam hal ini perlu dihidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutam ditingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU Sisdiknan no 20 tahun 2003.

Filsafat Rekonstruksi Sosial dan Pendidikan Multikultural


Asal mula pendidikan multikultural, ditekankan kepada kelompok budaya yang khususnya mengalami prasangka dan diskriminasi ras di Amerika Serikat, dengan tujuan untuk membantu mengurangi parsangka terhadap kelompok yang menjadi target tersebut dan memberi kesempatan yang sama dalam pendidikan. Sejak awal tahun 1960an pemahaman orang tentang pendidikan multikultural mengalami evolusi (Gorski & Covert 1996). Evolusi ini mengarah kepada tujuan pendidikan yang bersifat transformasi, yang bertujuan mempengaruhi perubahan sosial, dengan bergerak dalam tiga bidang: “the transformation of self”, “the transformation of school and schooling”, dan “the transformation of society” (Gorski, 2000; Nieto, 1999; Howard, 1999). Maknanya adalah bahwa perubahan pola pikir tentang identitas dan hubungan antar kelompok dimulai dari perubahan dalam cara berfikir, merasa, dan bertindak seseorang individu dalam hubungan dengan orang atau kelompok yang berbeda dalam hal ini maksudnya perubahan cara berfikir, merasa, dan bertindak yang dimiliki guru dan juga siswa. Kemudian perubahan pada diri guru dan siswa membawa dampak kepada perubahan system di sekolah yakni dari sistem yang bersifat diskriminatif, prasangka, menjadi system yang inklusif, setara, dan demokratis. Akhirnya sistem ssekolah akan menjadi agen perubahan menuju masyarakat multikultural yang damai.

Sifat transformatif dalam pendidikan multikultural barakar dalam filsafat pendidikan rekonstruksi sosial (social reconstructionist). Gagasan ini merekomendasikan guru dan sekolah, agar berangkat dari pengkajian kritis tentang budaya di tempat mereka berada. Mereka harus berusaha mengidentifikasi bidang-bidang yang mengandung kontroversi, konflik dan inkonsistensi, kemudian mengeksplorasi dan menemukan pemecahannya (Orsntein & Levine, 1984: 206). Lebih jauh dijelaskan bahwa filsafat rekonstruksi sosial juga merupakan bagian dari filsafat pendidikan progresif, dengan tokoh terkenalnya John Dewey.

 Dewey dan para pengikutnya mengembangkan gagasan baru tentang metode pendidikan yang menjadi alternatif dari metode tradisional di akhir abad ke 19. Gagasan baru ini dapat dilihat dalam beberapa hal yakni, 1) mereka meyakini bahwa pendidikan terhadap anak dapat mengubah masyarakat, karena itu pendidikan menjadi instrumen untuk reformasi sosial; 2) keyakinan bahwa pendidikan dan pengalaman anak haruslah menyatu. Belajar yang bermakna dan efektif bila menerapkan metode ilmiah dalam pengalaman langsung siswa; dan 3) Deweayan menekankan perlu tatanan demokratis dalam otorita di sekolah. Tatanan ini akan memberikan kualitas yang lebih baik dalam menghormati kebebasan inidvidu serta memberikan akses yang lebih luas untuk mendapatkan pengalaman bagi semua pihak, serta mendorong hubungan kemanusiaan yang berkualitas dan saling bersimpati (Massaro, 1993: 25).

Dalam buku Philosophical Scaffolding for the Construction of Critical Democratic Education (Brosio, 2000: 142-143), pokok-pokok pemikiran Dewey tentang pendidikan dirangkum dalam lima hal. Pertama, proses pendidikan bersifat psikologis dan sosial. Aspek psikologis merupakan basis bagi semua pendidikan, yakni berupa power dan instinc siswa. Kedua, sekolah adalah lembaga sosial atau suatu bentuk dari kehidupan komunitas. Oleh sebab itu, sekolah dipandang sebagai pelaku yang membawa siswa mampu menggunakan sumber daya yang diwariskan oleh ras manusia untuk tujuan-tujuan sosial. Ketiga, mata pelajaran haruslah merupakan rekonstruksi progresif dari pengalaman anak. Keempat, Dewey menghubungkan metodenya dengan tahap perkembangan anak, yakni dikembangkan berdasarkan kesiapan anak. Dan kelima, Dewey meyakini bahwa pendidikan merupakan sarana terbaik untuk rekonstruksi sosial, karena pendidikan memungkinkan siswa bertindak atas dasar kesadaran sosial.

Progresivis (termasuk rekonstruksionis sosial) meyakini bahwa pendidikan sebagai sarana membuat perubahan, yaitu sebagai kekuatan raksasa untuk perubahan yang demoratis (Brameld, 1955: 155), namun antara pemikiran progresiv dan rekonstruksionis berbeda dalam sudut pandang tentang bagaimana cara perubahan itu dibuat. Bagi kalangan progresiv, proses pendidikan melalui pengembangan berfikir dan metode ilimiah untuk membentuk individu baru yang diharapkan dapat bertindak secara tegas untuk memajukan demokrasi dalam masyarakat. Namun tetap beranggapan bahwa sekolah bukan tempat membicarakan isu-isu kritis dan bersifat politis. Bagi penganut filsafat progresiv anak didik adalah ilmuwan kecil yang dilatih berfikir secara ilmiah, sebagai bekal untuk memasuki masyarakat kelak.

Kelompok rekonstruksionis melihat bahwa pendidikan adalah tempat dimulai perubahan yang harus terjadi dalam masyarakat, dengan cara guru dan siswa mengkaji secara kritis warisan budaya, menentang isu-isu yang paling kontroversial, berkomitmen terhadap perubahan, merencanakan konstruksi hipotetik, dan membuat hubungan dengan program-program yang dirancang untuk melakukan perubahan (Brosio, 2000: 145: Stanley, 2000: 66). Pemikiran rekonstruksionis banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran kritis dalam ilmu sosial, yang menegaskan bahwa sekolah perlu menantang praktek-praktek, lembaga, dan cara berfikir mapan yang menciptakan ketidakadilan, serta menawarkan pemikiran-pemikiran alternatif (Billings, 2000: 150). Dalam pandang rekonstruksionis pemikiran ilmiah belum cukup tetapi harus juga mampu mengkritisi dan mengupas ketidakadilan dalam kehidupan bersama. Kemungkinan sumber ketidak adilan ada pada diri internal setiap orang, sehingga diperlukan kesadaran, kemauan untuk membongkar cara berfikir yang keliru. Pada akhirnya jika individu berubah maka diharapkan akan merubah juga kondisi-kondisi ketidak adilan diluar diri.

Satu di antara bentuk pendidikan yang beraliran rekonstruksi sosial tampak dalam gagasan “pembebasan” dan “emansipasi” dari Paulo Freire. Freire menyebut pendidikan sebagai proses humanisasi seperti yang diungkapkannya, ”dengan kepedulian kepada humanisasi kita akan tahu dehumanisasi, tidak hanya dalam makna ontologis tetapi realita sejarah... sebagai produk dari tatanan yang tidak adil...” (Freire, 1998:45). Dengan demikian, pendidikan adalah proses menentang semua praktek-praktek dehumanisasi dan melakukan transformasi, yang dimulai oleh orang-orang menjadi korban dehumanisasi (oppressed people), kemudian oleh semua masyarakat untuk memperoleh proses pembebasan yang permanen (Freire, 1998: 54).

Lebih jauh Freire (1998: 67) mengkritik praktek pengajaran yang sifatnya satu arah yakni siswa sebagai “kotak kosong” yang diisi oleh guru. Konsep pendidikan ini disebutnya dengan “the banking concept “, yang memandang pengetahuan adalah “hadiah” dari orang-orang yang merasa dirinya lebih berpengetahuan, sebaliknya mengabaikan konsep pengetahuan dan pendidikan sebagai proses inkuiri. Ciri-ciri pendidikan yang mengabaikan aspek kemanusian ini tampak dari pemikiran sebagai berikut.
  • Guru adalah orang yang mengajar, siswa orang yang diajar
  • Guru mengetahui segala sesuatu, siswa adalah orang yang tidak tahu apa-apa
  • Guru memikirkan, siswa berfikir seperti yang ditunjukkan guru
  • Guru berbicara, siswa mendengar
  • Guru menegakkan disiplin, siswa orang yang didisiplin
  • Guru membua pilihan dan memaksakan pilihan itu kepada siswa, dan siswa orang yang mematuhi pilihan guru.
  • Guru melakukan aksi, siswa membuat ilusi berdasarkan aksi guru
  • Guru memilih isi program pengajaran, siswa melaksanakannya tanpa diberi kesempatan berkonsultasi terlebih dahulu
  • Guru mengaburkan batas otoritas keilmuan dengan otoritas profesional, yang kemudian dia jadikan sebagai pengekang kebebasan siswa.
  • Guru adalah subjek dari proses belajar sedangkan siswa adalah objek (Freire, 1998: 68-69)
Sumbangan Freire bagi pendidikan terletak dalam beberapa konsep pedagogi seperti “conscientization, problematizing, dialogue, spirit and love” (Brosio, 2000: 206-213). Dalam konsep conscientization (kesadaran) belajar adalah mempersepsi kontradiksi-kontradiksi politik dan sosioekonomi serta ketidakadilan, kemudian diambil tindakan untuk memperbaikinya sehingga diperoleh kondisi kehidupan yang lebih baik. Konsep problem posing menurut Freire berbeda dengan pemecahan masalah dalam sudut pandang pakar teknologi, tetapi dalam problem posing (pengungkapan masalah) melibatkan solidaritas dengan orang yang perlu bantuan. Untuk ini perlu hubungan dialogis antara guru dengan siswa, antara pemimpin dengan rakyat untuk “mengkodifikasi” semua permasalahan dan kemungkinan cara memecahkannya. Melalui pengungkapan masalah membawa siswa menjadi subjek pendidikan bukan sebagai objek, dan menjadikan pendidikan berdasarkan kreativitas serta mendorong refleksi dan tindakan yang realistis.
Selain itu, pendidikan merupakan hubungan dialogis yang horizontal antara guru dengan siswa. Dialog ini bersifat interkomunikatif yang diwarnai empati, kasih sayang, rendah hati, penuh harapan, dan saling mempercayai namun tetap kritis. Kemampuan dialogis yang penuh kejujuran, rasa hormat, dan mendalam dapat dikembangkan bila ada keyakinan bahwa “orang lain” dapat menjadi dirinya yang terbaik sebagaimana halnya “diri” saya.

Terakhir, bagi Freire, radikalisasi memang meningkatkan komitmen terhadap posisi dan pilihan hidup yang dipilih, tetapi yang lebih utama adalah pandangan hidup yang rendah hati, penuh kasih sayang namun tetap kritis. Solidaritas hanya dapat ditemukan dalam kasih sayang yang tulus. Sifat ini merupakan kesadaran etis yang menghasilkan prilaku pembebasan yang didasarkan atas kepedulian, pengkajian kritis, dan konstruksi pengetahuan dan hipotesis.

Sejalan dengan konsep Freire, Carl Grant & Christine Sleeter (1997: 71) menjelaskan bahwa pendidikan bersifat multikultural dan rekonstruksi sosial berkaitan secara langsung dengan tekanan-tekanan dan ketidaksetaraan struktural dan sosial yang didasarkan atas ras, kelas sosial, jender, dan cacat. Tujuan pendidikan adalah mempersiapkan warga negara masa depan yang dapat merekonstruksi masyarakat sehingga lebih baik dalam melayani semua pihak.

Bentuk pendidikan yang sejalan dengan warna rekonstruksi sosial adalah Critical Pedagogy. Antara lain gagasan ini terdapat dalam pemikiran Peter Mc Laren, Henry Giroux, dan Sonia Nieto. Pedagogi kritis lebih dari sekedar menciptakan iklim pendidikan yang mendorong transformasi tetapi secara tegas mereka melihat pendidikan (sekolah, kurikulum, buku teks, dan sejenisnya) sebagai produk politik yang mempengaruhi kehidupan siswa.

Pedagogi kritis memberikan landasan bagi guru dan juga peneliti cara pemahaman yang lebih baik mengenai peran nyata sekolah dalam masyarakat yang sudah terbagi-bagi secara ras, kelas sosial, jender. Pemahaman ini akan membantu guru membangun konsep untuk mempertanyakan proses belajar, buku teks, ideologi guru yang telah memberi peluang terciptanya ketidakadilan sosial (Mc Laren, 1998: 167) Lebih jauh McLaren menegaskan bahwa pedagogi kritis bertekad untuk menciptakan proses belajar dan pengambilan tindakan melalui solidaritas dengan kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Pendidikan dilakukan melalui proses dialectical yakni menemukan problem dari kelompok-kelompok yang dirugikan oleh struktur sosial, dan mencari akar problem dalam konteks sosial dan historis yang lebih luas (Mc Laren,1998: 171). Secara singkat dinyatakan bahwa pedagogi kritis adalah proses pendidikan yang mendorong “self-empowerment and social tranformation” (penguatan diri dan perubahan social).

Seperti halnya McLaren, Giroux juga berangkat dari kritiknya tehadap sekolah. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah memainkan peran penting dalam mereproduksi budaya positivistik, yang secara langsung atau tidak langsung sekolah beroperasi berdasarkan tuntutan budaya tersebut, dan secara historis telah menciptakan praktek ketidakadilan dalam masyarakat (Giroux, 1997: 27). Untuk mengatasi hal itu, sekolah harus membangun formasi sosial alternatif serta pandangan hidup yang akan mempengaruhi kesadaraan dan struktur vital terdalam kebutuhan siswa. Demikian juga guru harus mengembangkan teori dan praktek pedagogis yang menghubungkan atara self-reflection dengan understanding dalam satu komitmen untuk melakukan perubahan meluas dalam masyarakat.

Secara lebih spesifik, penerapan pedagogi kritis dalam pendidikan multikultural dikembangkan oleh Sonia Nieeto. Dalam bukunya Affiirming Diversity (1991), di jelaskan bahwa pendidikan multikultural berlandaskan filosofi pendidikan kritis (critical pedagogy)., yakni terfokus pada pengetahuan, refleksi, dan tindakan sebagai basis perubahan sosial, serta pengembangan prinsip-prinsip demokrasi untuk keadilan sosial (Nieto, 1991: 208) . Dalam hal ini pendidikan multikultural didefinisikan sebagai: 1) pendidikan antirasis, artinya pendidikan multikultural bersifat inklusif dan seimbang, serta menjamin akses siswa keberbagai sudut pandang dalam melihat sesuatu; 2) pendidikan multikultural merupakan pendidikan dasar sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seperti halnya membaca, menulis, berhitung, karena itu pendidikan multikultural merupakan bagian dari kurikulum inti; 3) pendidikan multikultural untuk semua siswa, bukan hanya untuk kelompok yang dirugikan oleh struktur sosial saja; 4) pendidikan multikultural bersifat menyatu dengan lingkungan kelas, kurikulum, hubungan guru dan siswa, dan dalam komunitas; 5) pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk keadilan sosial yakni belajar berfikir lebih inklusif dan ekspansif, merefleksikan apa yang dipelajari, dan mengambil tindakan untuk keadilan sosial berdasarkan refleksi tersebut; 6) pendidikan multikultural adalah sebuah proses; dan 7) pendidikan multikultural adalah pedagogi kritis, yang menegaskan keragaman budaya dan bahasa sesuatu yang harus diakui secara terbuka bukan ditekan kebawah permukaan.(Nieto,1991: 208-223).

Jayne Belkey (2005) meringkas dari berbagai pendapat ahli pendidikan kritis mengani karakteristik pendidikan ini. Inti dari pendidikan kritis adalah pengembangan kesadaran kritis yang mencakup dialog, pengungkapan masalah dan eksplorasi tema-tema yang berkembang sehubungan dengan ras, suku, gender. Dia menyimpulkan bahwa kesadaran kritis merupakan proses seseorang mencapai kesadaran mendalam tentang realitas social yang membentuk kehidupan, dan kesadaran tentang kapasitasnya untuk merubanh realitas itu. Untuk mencapai realitas itu seseorang haruslah mempersepsi secara objektif perannya dalam realitas tersebut, dan melakukan interogasi kritis terhadap realitas social yang membentuk perannya, dan sekaligus juga mengenali kemampuannya untuk merubah realita (memastikan apa realitas tersebut dan sekaligus merubahnya).

Dalam padangan penganut pendidikan kritis, diyakini bahwa orang hidup dalam realitas yang tidak seimbang, kontradiktif dalam hal kekuasaan dan pengecualian (privilege). Realitas ini dibangun oleh penghuninya dalam keadaan yang terikat dengan kekuaasaan atau pengecualian itu. Bisa saja ketidak seimbangan itu disebabkan ras, suku, jender atau status social, dan jika diikuti akan terjadi realitas yang rasialis, klasis, sexis dan seterusnya. Oleh karena itu pendidikan kritis melakukan pendektan dialektika, dengan mengenali bahwa masalah dalam masyarakat terjadi karena hubungan antara masyarakat dengan individu. Pendidikan kritis tidak mencari “korban” juga tidak ‘sistem” tetapi mengenali dirinya adalah sebagai pencipta, pelaku dan bertindak dengan pola yang ada dalam kehidupan masyarakat. Dalam pendidikan krtis dilakukan melalui komunikasi dialogis memungkinkan seseorang melakukan proses pembebasan dari pola yang ada menuju perubahan melalui berbai alternative pandangan. Dengan dialog seseorang akan mengambil keputusan dengan pandangan multiperspekif. Komunikasi dialogis membuat siswa berada dalam diskusi yang jujur, autentik mengenai isu-isu yang sensitive dalam hubungan antar golongan.

Gary Howard dalam bukunya We Can’t Teach What We Don’t Know mengembangkan perspektif rekonstruksionis dalam pendidikan multikultural dengan bentuk personal transformation and social transformation atau transfromasi pribadi dan tarnsformasi sosial (Howard, 1999:5,100). Latar belakang pemikiran Howard adalah bahwa perubahan menuju masyarakat yang antidiskriminatif adalah dimulai dari diri pribadi yang memiliki cara pandang yang keliru tentang orang lain yang berbeda. Dalam transformasi personal, dimulai dengan guru menyadari kenyataan dirinya dalam konteks hubungan antar ras, jender dan kelas sosial yang menyebabkan ketidakadilan bagi satu kelompok. Dalam hal ini kemungkinan cara pandang dan pola pikir seseorang masih bersifat fundamentalist (betul-betul menolak perbedaan) atau pertengahan yaitu integrasionis sudah mengakui perbedaan tetapi masih melihat secara diskriminatif. Kemudian mengubah cara berfikir, cara pandang, dan cara bertindak yang semula bersifat fundamentalis (tertutup, cenderung memandang diri lebih dari yang lain) atau integrasionis (mulai mengakui keberadaan orang lain tapi masih menganggap diri lebih baik), menjadi bersifat transformasionis (lebih terbuka, egaliter, dan multiperspektif). Sedang dalam konteks sosial, guru (setelah menjalani transformasi personal) melakukan perubahan tatanan sosial yang menyebabkan dirinya terkungkung oleh cara berfikir fundamentalis atau integrasionis.

Kelompok rekonstruksionis melihat transformasi dalam pendidikan multikultural merupakan keharusan. Titik tolak untuk perubahan dari kesadaran bahwa masyarakat demokrasi yang beragam akan berfungsi secara sempurna bila semua anggota meyakini bahwa mereka adalah bagian yang integral dari struktur kelembagaan dan sosial; jika ada kelompok yang merasa dipinggirkan, mengalami keterasingan, maka polarisasi etnik akan terjadi (Banks, 1991: 460). Oleh karena itu tujuan utama dari pendidikan adalah membentuk kemampuan kultural siswa sehingga dapat menantang dan menstruktur kembali masyarakat sehingga lebih inklusif, adil, dan demokrasi (Lankard, 1994).

Sejalan dengan pandangan yang melihat ke depan itu, kalangan pendidikan di AS menekankan bahwa pendidikan multikultural diperlukan karena beberapa alasan mendasar (Massaro,1993: 48-51. 

Pertama, dalam sejarah Amerika pernah terjadi pendiskriminasian warga berdasarkan ras, agama, etnisitas, dan juga jender yang membuat pemahaman tentang persoalan-persoalan keragaman ras, dan agama menjadi kabur. Misalnya, berbicara tentang etninistas hanya sebatas kelompok Black American. Demikian pula penanganan persoalan ras dan etnisitas menjadi sempit, terbatas pada dikotomi kesadaran ras dan separatisme di satu sisi, dengan buta ras dan asimilasi di sisi lain. Karena itu, perlu pendidikan multikultural untuk memperjelas konsep-konsep tersebut.

Kedua, sejalan dengan pendapat pakar pendidikan yang menyatakan pendidikan adalah mentransmisikan budaya kepada generasi muda. Untuk ini perlu diperkenalkan keanekaragaman ideologis dan budaya Amerika beserta konflik yang terjadi di dalamnya.

Ketiga, memasukkan multikultural ke dalam kurikulum merupakan keharusan yang sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusi Amerika. Bagi sejarawan konstitusi ketidaksetujuan kelompok multikultural terhadap kurikulum nasional yang seragam, merupakan perjuangan kelompok yang terpinggirkan untuk memperoleh hak yang penuh dan sama sebagai warga negara. Karena konstitusi memberikan jaminan terhadap kesamaan hak tersebut.

Keempat, pendidikan multikultural dipandang perlu untuk memperkaya pengetahuan dan pemahaman siswa tentang pahlawan dan sejarah Amerika dengan menggunakan model yang sesuai menurut ras dan etnik.

Demikian pula Geneva Gay (1994), menyimpulkan bahwa pendidikan multikultral diperlukan karena realitas sosial dan kebutuhan psikologis siswa. Dari segi realitas sosial adalah heterogenitas masyarakat yang terus meningkat dengan kedatangan imigran-imigran baru. Sementara selama ini, prasangka, stereotype antar etnik yang sudah ada di AS, tetap berlanjut di semua bidang seperti pendidikan, pekerjaan, dan pergaulan. Realitas lain berkenaan dengan keterlibatan negara dalam pergaulan global semakin tidak terhindarkan. Dari segi psikologis menyangkut dengan adanya pengaruh budaya terhadap perkembangan manusia. Jika seorang pendidik menempatkan perlakuan terhadap anak didik sebagai manusia adalah prioritas tertinggi, maka perlu adanya perhatian terhadap keragaman identitas yang dibawa siswa ke sekolah.

Untuk mencapai tujuan transformatif pendidikan multikultural dikembangkan dalam lima dimensi, (Banks, 1997: 69) Kelima dimensi itu adalah: 1) integrasi konten, merupakan cara guru mengambil contoh dari berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep-konsep kunci, prinsip, generalisasi dan teori di dalam bidang-bidang studi; 2) proses konstruksi pengetahuan, yang terdiri dari metode kegiatan, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru untuk membantu siswa memahami, menemukan, dan menentukan bagaimana bentuk tersembunyi dari asumsi-asumsi budaya, kerangka berfikir, dan bias dalam menarik kesimpulan sehingga terbentuk pengetahuan; 3) mengurangi prasangka ras, adalah perubahan sikap dan cara pandang siswa yang terbawa bias ras dengan bantuan guru sehingga menjadi sikap yang lebih demokratis; 4) pedagogi kesetaraan (equity pedagogy) adalah ketika guru mengubah cara-cara mengajar mereka agar lebih membantu pencapaian akademik siswa dari berbagai ras, budaya, etnik, dan kelompok jender (kulturally sensitive teaching strategies); dan 5) memberdayakan budaya sekolah dan struktur sosial untuk memandang sekolah sebagai sistem sosial yang kompleks, yang mencakup reformasi semua aspek pendidikan.

Sehubungan dengan dimensi tersebut ada tiga tipe pendidikan multikultural yang berkembang di Amerika Serikat (Bennet, 1998). Pertama, Content-Oriented Program (program yang berorientasi isi) dengan tujuan utama adalah untuk merangkum isi kurikulum dan materi pendidikan dengan beragam kelompok budaya untuk meningkatkan pengetahuan sisiwa tentang kelompok tersebut. Kedua, Student-Oriented Program(program yang berorientasi siswa) merupakan kegiatan ekstrakurikuler yang ditujukan memenuhi kebutuhan akademik kelompok siswa dari kalangan minoritas. Tujuan program ini adalah meningkatkan prestasi akademik kelompok siswa minoritas tersebut. Ketiga, Socially-Oriented Program (program yang beorientasi social) yang kegiatannya adalah melakukan reformasi sekolah dan konteks politik dan budaya dari sekolah dengan tujuan untuk membuat pengaruh yang lebih luas tentang toleransi budaya, ras, dan mengurangi bias budaya dan ras.

Salah satu contoh dari program pendidikan multikultural yang komprehensif adalah proyek REACH (Respecting Ethnic and Kultural Heritage) yang meraih prestasi sebagai program yang berbasis disiplin akademis (Webb, 1990). Program ini meliputi proses dan kurikulum multikultural, proses pelatihan guru, dan dikelola berdasarkan distrik atau sekolah. Program bergerak dalam empat fase: 

  1. human relations skills, siswa berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan self-awareness, self-esteem, komunikasi interpersonal, dan pemahaman dinamika kelompok; 
  2. kultural self-awareness, siswa melakukan riset tentang budaya personal, sejarah keluarga atau masyarakat; 
  3. multikultural awareness, yaitu siswa belajar dari booklet mengenai sejarah Amerika dari berbagai sudut pandang etnik yang berbeda; dan 
  4. cross kultural experience, informasi sejarah dan budaya di dalam booklet dibuat menjadi bersifat personal melalui dialog dan pertukaran antar siswa dan orang dewasa dari berbagai kelompok etnik.
Sebagai bagian dari gerakan pendidikan multikultural adalah pengembangan kurikulum yang responsif secara budaya. Pandangan yang paling umum menyatakan bahwa tujuan kurikulum ini adalah sebagai strategi untuk meningkatkan prestasi akademik dan mempertinggi self-esteem siswa yang berbeda warisan budaya, bahasa, dan ras dari penduduk keturunan Eropa (Abdal Haq, 1994). Karakteristik kurikulum yang responsif secara budaya antara lain: 1) terintegrasi dan interdisipliner; 2) autentik, terpusat pada siswa, dan terkait dengan kehidupan siswa yang sesungguhnya; 3) mengembangkan keterampilan berfikir kritis; 4) seringkali menggunakan strategi gabungan yang mencakup cooperative learning dan whole language instruction; 5) didukung oleh staff ahli dan program pelatihan; dan 6) terkordinasi dengan strategi bidang lain di sekolah.
Pendidikan multikultural dengan filsafat rekonstruksionis, lebih dari sekedar membentuk kemampuan berfikir ilmiah dan kritis siswa, tetapi mengajak siswa untuk mengambil tindakan perubahan pada diri sendiri, dan juga lingkungan. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa melalui pendidikan multikultural siswa membentuk kemampuan berfikir dan bertindak dengan mulai dari proses pembentukan kesadaran terhadap hal-hal yang kontra produktif dalam diri sendiri mengenai cara pandang terhadap orang lain yang berbeda, kemudian merubah pola pikir dan seterusnya merubah suasana lingkungan. Proses ini dilakukan secara reflektif bersama-sama antara siswa dan guru.

Daftar Bacaan

  1. Abdal Haqq, Ismat (1994) Kulturally Responsive Curriculum. ERIC Document Nu. 37096
  2. Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2005) Indonesia: Kultural Pluralism Without Multikulturalism? Paper Presented in International Seminar “Multikultural Education: Cross Kultural Understanding for Democracy and Justice. UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta, Agustus 27-28, 2005
  3. Banks, James (1991) “Multikultural Education: Its Effects on Student’s Racial and
  4. Belkey, Jayne (2005) Whose World is This? Toward Multicultural Consciousness through Community Engagement. Multicultural Education, Spring 2005. Teachers College, Ball State UInversity, Indiana
  5. Banks, James(1991) Multicultural Education: its effect on students racial and Gender role Attitudes”, dalam Shaver, James (ed) Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company.
  6. Banks, James (1997) Educating Citizens in A Multikultural Society. New York: Allyn & Bacon
  7. Bennet, Christine (1995) Comprehensive Multikultural Education: Theory and Practice. 3rd editiion New York: Allyn and Bacon
  8. Billings, Gloria (2000) “Put Up or Shut Up: The Challenge of Moving from Critical Theory to Critical Pedagogy”, dalam Hursh, David & Ross, E Wayne (eds) Democratic Social Education. New York. Falmer Press
  9. Brameld, Theodore (1955) Philosophies of Education in Kultural Perspective. NewYork: Holt, Rinehart and Winston.
  10. Brosio, Richard (2000) Philosophical Scaffolding for the Construction of Critical Democratic Education. New York: Peter Lang.
  11. Capra, Fritjof (2002) Titik Balik Peradaban.: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. (edisi terjemahan). Jogjakarta: Bentang Budaya
  12. Esposito, John (2002) Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di akhir abad 20 (edisi terjemahan). Yogjakata: Penerbit Qalam
  13. Freire, Paulo (1998) The Paulo Freire Readers. Edited by Freire, Ana Maria & Macedo, Donaldo. New York: Continuum International Publication.
  14. Giroux, Henry (1997) Pedagogy and the Politics of Hope: Theory, Culture, and Schooling. Colorado; Westview Press.
  15. Grant, Carl & Sleeter, Christine (1997) “Race, Class, Gender, and Disability in the Classroom”, dalam Banks & Banks (eds) Multikultural Education: Issues and Perspectives. Boston: Allyn and Bacon
  16. Howard, Gary (1999) We Can’t Teach What We Don’t Know: White Teachers, Multiracial Schools. New York: Teachers College, Columbia University
  17. Huntington, Samuel (2003) Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia (edisi terjemahan, M.Sadat Ismail). Yogjakarta: Penerbit Qalam
  18. Ibrahim, Zawawi (2008) Representation, Identity, and Mulitikulturalism in Serawak. Kualalumpur, Malaysia: Vinln Press Sdn Bhd
  19. Kymlicka, Will (2002) Kewargaan Multikultural (edisi terjemahan). Jakarta: LP3S
  20. Lankard, Bettina (1994) Kultural Diversity and Teamwork. ERIC Digest no 152. ED377311
  21. Massaro, Tonie (1993) Constitutional Literacy. A Core Curriculum for a Multikultural Nation. Durham and London: Duke University Press.
  22. Mc Laren, Peter (1998) Life in Schools: An Introduction to Critical Pedagogy. In the Foundation of Education. New York: Peter Lang.
  23. Mickletwhite, John & Wooldridge , Adrian (2000) A Future Perfect: The Challenge
  24. and Hidden Promise of Globalization. New York: Crown Business
  25. Moeis, Isnarmi (2010) Pendidikan Kewarganegaraan dalam Era Globalisasi. Dalam Paryoga Bestari dan Syaifullah Syam (eds) Pendidikan pancasila dan Kewarganegaraan dalam Membangun Karakter Bangsa: Refleksi, Komitmen, dan Prospek . Bandung: laboratorium PKn UPI Bandung
  26. Moeis, Isnarmi , Al Rafni, Junaidi Indrawadi (2010) Otoritas Guru dalam Konteks Pendidikan Kritis di SMA Negeri Padang, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol 16 no 4, Juli 2010 Hal: 391-399
  27. Moeis, isnarmi cs 2011 Penelitian eksplorasi tentang Developing Multikultural Awareness of Senior High Teachers in Padang: penelitian Kolaborasi UNP-Deakin Univeristy Australia Dibawah proyek AIRHID 2011-2012
  28. Mooradian, Moorad (1996) The Meaning of Ethnic Identity. The Pacific American Review. Vol 2, Winter 1996: 2-9
  29. Nieto, Sonia (1999) The Light in Their Eyes: Creating Multikultural Learning Communities. New York: Teacher College, Columbia University
  30. Nieto, Sonia (1991) Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multikultural Education. New York: Longman
  31. Notonagoro (1981) Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh
  32. Ornstein, Allan & Levine, Daniel (1984) An Introduction to Foundations of Education. New Jersey: Houghton Mifflin Company
  33. Semiawan, Cony (2004) “The Challenge of a Multikultural Education in a Pluralistic Society: The Indonesian Case”, dalam Kamanto Sunarto cs (eds) Multikultural Education in Indonesia and South East Asia. Depok, Jakarta: Jurnal Antropologi Indonesia.
  34. Stanley, William (2000) Curriculum and the Social Order. Dalam Hursh & Rush (eds) Democratic Social Education. New York: Falmer Press
  35. Trijono, Lambang (1996) Globalisasi Modernitas dan Krisis Negara-Bangsa:           Tantangan Integrasi Nasional dalam Konteks Global. Analisis CSIS. Tahun
  36. XXV, No 2, Maret-April 1996: 136-148.
  37. Webb, Michael (1990) Multikultural Education in Elementary and Secondary Schools. ERIC Digest (ED327613).

 Internet

  1. Gay, Geneva (1994) A Synthesis of Scholarship in Multikultural Education. Tersedia
  2. online dalam www.ncrl.org/sdrs/areas/issues/educators (akses 3 Maret 2004)
  3. Gorski, Paul (2000) A Working Definition of Multikultural Education. Tersedia dalamwww.edchange.org/multikultural (akses 3 Maret 2004)
  4. Gorski, Paul & Covert, Bob (1996) Defining Multikultural Education. Tersedia dalam
  5. www.edchange. org/multikultural (akses 3 Maret 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laman yang Sering Dikunjungi