Oleh Nasbahry Couto
Cuplikan Penelitian: Syafwandi, Zubaidah Agus,
Ariusmedi
di revisi (29-4-2018)
di revisi (29-4-2018)
Sebetulnya penulis sudah lama ingin membahas hasil penelitian tiga orang peneliti ini tentang kebudayaan purba di Minangkabau yaitu: Kajian bahasa rupa motif hias menhir di Kabupaten Limapuluh
Kota dan kesinambungannya dengan ragam hias tradisional Minangkabau Sumatera
Barat: laporan penelitian (2006), yang terdafar pada Fakultas Bahasa, Sastra, dan Seni, Jurusan Seni Rupa,
Universitas Negeri Padang, 2006 (240 hal).
Pada penelitian benda prasejarah oleh para peneliti ini, terlihat nomenklatur (tatanama) yang dipakai seperti "batu raja atau batu permaisuri" adalah istilah hasil budaya feodal, bukan nomenklatur budaya megalitik (lihat uraian di bawah). Ikon-ikon motif tumpal yang disebutnya istilah pucuak rabuang dan spiral yang disebutnya kaluak paku, adalah istilah baru. Motif tumpal umumnya sah diakui berasal dari era megalitik (lihat disini), seperti laporan Th.van der Hoop, dalam bukunya Ornaments; - Indonesische siermotieven – 1949, Ragam-ragam perhiasan Indonesia ini adalah sah motif hias yang berasal dari era prasejarah. Demikian juga keterangan dari banyak buku lainnya seperti karangan Soekmono, Tetapi mamangan pucuak rabuang dan kaluak paku adalah hasil budaya minangkabau jauh dikemudian hari, bukan budaya prasejarah.(Untuk mamangan adat itu lihat di sini).
Diantara mamangan itu adalah "pucuak rabuang kacang balimbiang, anak dipangku kamanakan dibimbiang" lengkapnya adalah "Kaluak paku kacang balimbiang, Tampuruang lenggang lenggokkan, Bawo manurun ka Saruaso, Anak dipangku kamanakan dibimbiang, Urang kampuang dipatenggangkan, Tenggang nagari jan binaso. Demikian juga mamangan adat tentang pucuak rabuang. Siapa yang mengatakan mamangan adat ini hasil budaya megalitik? Dalam kebudayaan megalitik belum ada nomenklatur seperti nagari, kamanakan, kampuang dsb. yang hanya ada pada budaya Minang di kemudian hari. Untuk memahami motif hias prasejarah lebih dalam lihat laporan penelitian Prof. Dr. Agus Aris Munandar (Departemen Arkeologi FIB UI).
Oleh karena itu tulisan ini sengaja membahas hanya pemaparan temuan para peneliti di lapangan yang di teliti, dan tidak membahas tentang interpretasi maknanya. Sebab interpretasi makna artefak budaya prasejarah Sumatera Barat ini riskan dengan kekeliruan makna (diskrepansi makna), hal ini lebih jelas pada bagian pembahasan tulisan ini. Apapun kebenaran hasil penafsiran makna dari ketiga peneliti ini kurang penting, dibandingkan dengan rekaman deskriptif di lapangan untuk kemudian dapat dikaji lagi dengan cara lain, untuk menghasilkan interpretasi makna lain yang mungkin bisa mendekati kebenaran. Untuk pembanding juga diikut sertakan tulisan Sunarno Sastroatmojo, (Asdep Konservasi & Pemeliharaan/Proyek Pengembangan Kebijakan Kebudayaan/west-sumatra.com/pelita.or.id).
Pada penelitian benda prasejarah oleh para peneliti ini, terlihat nomenklatur (tatanama) yang dipakai seperti "batu raja atau batu permaisuri" adalah istilah hasil budaya feodal, bukan nomenklatur budaya megalitik (lihat uraian di bawah). Ikon-ikon motif tumpal yang disebutnya istilah pucuak rabuang dan spiral yang disebutnya kaluak paku, adalah istilah baru. Motif tumpal umumnya sah diakui berasal dari era megalitik (lihat disini), seperti laporan Th.van der Hoop, dalam bukunya Ornaments; - Indonesische siermotieven – 1949, Ragam-ragam perhiasan Indonesia ini adalah sah motif hias yang berasal dari era prasejarah. Demikian juga keterangan dari banyak buku lainnya seperti karangan Soekmono, Tetapi mamangan pucuak rabuang dan kaluak paku adalah hasil budaya minangkabau jauh dikemudian hari, bukan budaya prasejarah.(Untuk mamangan adat itu lihat di sini).
Diantara mamangan itu adalah "pucuak rabuang kacang balimbiang, anak dipangku kamanakan dibimbiang" lengkapnya adalah "Kaluak paku kacang balimbiang, Tampuruang lenggang lenggokkan, Bawo manurun ka Saruaso, Anak dipangku kamanakan dibimbiang, Urang kampuang dipatenggangkan, Tenggang nagari jan binaso. Demikian juga mamangan adat tentang pucuak rabuang. Siapa yang mengatakan mamangan adat ini hasil budaya megalitik? Dalam kebudayaan megalitik belum ada nomenklatur seperti nagari, kamanakan, kampuang dsb. yang hanya ada pada budaya Minang di kemudian hari. Untuk memahami motif hias prasejarah lebih dalam lihat laporan penelitian Prof. Dr. Agus Aris Munandar (Departemen Arkeologi FIB UI).
Oleh karena itu tulisan ini sengaja membahas hanya pemaparan temuan para peneliti di lapangan yang di teliti, dan tidak membahas tentang interpretasi maknanya. Sebab interpretasi makna artefak budaya prasejarah Sumatera Barat ini riskan dengan kekeliruan makna (diskrepansi makna), hal ini lebih jelas pada bagian pembahasan tulisan ini. Apapun kebenaran hasil penafsiran makna dari ketiga peneliti ini kurang penting, dibandingkan dengan rekaman deskriptif di lapangan untuk kemudian dapat dikaji lagi dengan cara lain, untuk menghasilkan interpretasi makna lain yang mungkin bisa mendekati kebenaran. Untuk pembanding juga diikut sertakan tulisan Sunarno Sastroatmojo, (Asdep Konservasi & Pemeliharaan/Proyek Pengembangan Kebijakan Kebudayaan/west-sumatra.com/pelita.or.id).
Pendahuluan
Untuk
tidak salah tafsir terhadap tulisan ini maka harus ada beberapa pengertian dan kesepakatan terlebih
dahulu sebagai berikut ini.
Menhir:
adalah batu tunggal (monolith) yang berasal dari periode Neolitikum (6000/4000
SM-2000 SM) yang berdiri tegak di atas tanah. Istilah menhir diambil dari
bahasa Keltik dari kata men (batu) dan hir (panjang). Menhir biasanya didirikan
secara tunggal atau berkelompok sejajar di atas tanah.Diperkirakan benda
prasejarah ini didirikan oleh manusia prasejarah untuk melambangkan phallus,
yakni simbol kesuburan untuk bumi. Menhir
adalah batu yang serupa dengan dolmen dan cromlech, merupakan batuan dari
periode Neolitikum yang umum ditemukan di Perancis, Inggris, Irlandia, Spanyol
dan Italia. Batu-batu ini dinamakan juga megalith (batu besar) dikarenakan
ukurannya. Mega dalam bahasa Yunani artinya besar dan lith berarti batu. Para
arkeolog mempercayai bahwa situs ini digunakan untuk tujuan religius dan
memiliki makna simbolis sebagai sarana penyembahan arwah nenek moyang.
Sedangkan menhir yang dimaksud peneliti ini juga adalah "batu mejan", bukan menhir seperti konsep paragraf di atas sebagai lambang "phalus". Namun karena sebutan ini telah terlanjur di tulis, untuk selanjutnya di sebut saja menhir. Batu mejan ini dianggap peninggalan jaman megalitik = batu besar, untuk itu kita periksa kronologi waktunya.
Sedangkan menhir yang dimaksud peneliti ini juga adalah "batu mejan", bukan menhir seperti konsep paragraf di atas sebagai lambang "phalus". Namun karena sebutan ini telah terlanjur di tulis, untuk selanjutnya di sebut saja menhir. Batu mejan ini dianggap peninggalan jaman megalitik = batu besar, untuk itu kita periksa kronologi waktunya.
Kronologi Waktu
Tabel Kronologis (Urutan
Waktu) Prasejarah Indonesia menurut Soekmono (Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid. 1, (1973,1990)
Ringkasan Prasejarah Indonesia
|
|||
Jaman
|
Hasil-hasil
kebudayaan
|
Jenis
bangsa
|
|
Logam
(s.d 500 SM
Megalitikum
Neolitikum
|
Perhiasan
Manik-manik
Bejana
Cendrasa
Nekara
Kapak corong
Perhiasan
Tembikar
Kapak persegi
Kapak lonjong
|
Menhir
Dolmen
Keranda batu
Punden berundak
Arca-arca batu
|
Austronesia
(Indonesia)
Papua-Melanesoide
|
Mesolitikum
< 4000 SM
Paleolitikum
< 600.000 SM
|
Lukisan dinding gua, penghuni
gua batu
Flakes
Alat dan tulang
Kapak pendek
Kapak Sumatra
Alat-alat tulang dan tandung
rusa
Flakes
Choppers
|
Papua-Melanesoide
Homo Wajakensis
Homo Soloensis
Pithecantropus
|
|
Zaman Megalitik umumnya dapat di bagi lagi atas
(1) Megalitik Tua, yang berkembang sekitar 2500 SM – 1500
SM, dengan peninggalan berupa dolmen, punden berundak, batu pelingih, tembok
batu, jalanan batu, batu-batu pengairan;
(2) Megalitik Muda, yang berkembang sekitar 1500 SM sampai
abad-abad permulaan setelah Masehi, dengan peninggalan berupa kubur batu,
dolmen, sarkopagus, bejana batu, yang dikerjakan dengan alat-alat yang terbuat
dari logam. (pendapat dari Sunarno Sastroatmojo, (Asdep Konservasi & Pemeliharaan/Proyek Pengembangan Kebijakan Kebudayaan/west-sumatra.com/pelita.or.id).
Kronologi waktu prasejarah yang lebih detail (lihat disini)
Kebudayaan Minangkabau asli dan unsur Pembentuknya
Kebudayaan
Minangkabau adalah kebudayaan yang terbentuk semasa pembentukan sistem adat
oleh Datuk Ketumanggungan dan datuk Perpatih Nan Sabatang. Ciri dari kebudayaan
ini adalah terbentuknya sistem sosial, sistem ekonomi yang berbasis pertanian
padi, sistem kepercayaan yang berbasis animisme, dinamisme dan percampurannya
dengan Hindu Budha, pusat perkembangan kebudayaan Minangkabau ini diperkirakan
di lereng gunung Merapi. Pembentukan budaya minangkabau itu sejalan dengan awal terbentuknya sistem sosial feodal
agraris masa itu, yaitu terbentuknya kerajaan-kerajaan tua di Minangkabau. (Lihat di sini) dan (disini).
Banyak pendapat yang menjelaskan Budaya Minangkabau asli itu terhubung dengan kebudayaan etnik yang ada di India. Hal ini mungkin sejalan dengan pengaruh agama Hindu dan Budha, di era Hindu-Indonesia dan ada juga yang mengatakan dari Cina (daerah Yunnan) (lihat disini), yang jelas kebudayaan purba (megalitik) Payakumbuh itu bukanlah kebudayaan minangkabau yang sering dibicarakan orang. Berbagai penelitian lain membuktikan bahwa Minangkabau itu bukan berasal dari satu etnis, tetapi beragam etnis. Bagaimanapun etnis Tamil (orang “kaliang”) bhs.Minang (Keling: Indonesia), dan atau rumpun Dravida dari India Selatan, adalah salah satu pembentuk budaya Minang (lih.Novelia Musda: 2011) yang juga membandingkan budaya dan bahasa tiga rumpun besar orang Tamil yaitu:Tulu, Malayalam, dan Tamil. Dapat dibandingkan tata adat marumakkatayam (Tamil) dengan sistem matrilineal Minangkabau sangat banyak persamaannya.Demikian juga dengan silat Karalippayat dengan silat Minang (silahkan lihat videonya di internet atau youtube). Tabuik (Tabut) Pariaman juga pengaruh Tamil yang beragama Islam lebih kemudian. Dibawa oleh tentara Inggris etnis Tamil ke kawasan ini. Kalau kita perhatikan adat meminang dengan membeli laki-laki di Piaman juga pengaruh Tamil ini, sebab adat ini tidak ada di tempat lain di Minangkabau. Bahasa Minang juga cepat berubah, bahasa minang yang terpakai sekarang dasarnya adalah bahasa pergaulan Sekolah Raja di Bukittinggi seabad yang lalu, bahasa asli Bukittinggi dulunya tidak seperti itu, dulunya mirip dengan bahasa daerah-daerah terisolir seperti luhak 50 Kota yang masih memendam bahasa lama.(Novia Musda adalah Alumnus Islamic Studies, Universitet Leiden, Belanda, (sumber: SK. Singgalang, Senin 31 Januari, 2011).
Banyak pendapat yang menjelaskan Budaya Minangkabau asli itu terhubung dengan kebudayaan etnik yang ada di India. Hal ini mungkin sejalan dengan pengaruh agama Hindu dan Budha, di era Hindu-Indonesia dan ada juga yang mengatakan dari Cina (daerah Yunnan) (lihat disini), yang jelas kebudayaan purba (megalitik) Payakumbuh itu bukanlah kebudayaan minangkabau yang sering dibicarakan orang. Berbagai penelitian lain membuktikan bahwa Minangkabau itu bukan berasal dari satu etnis, tetapi beragam etnis. Bagaimanapun etnis Tamil (orang “kaliang”) bhs.Minang (Keling: Indonesia), dan atau rumpun Dravida dari India Selatan, adalah salah satu pembentuk budaya Minang (lih.Novelia Musda: 2011) yang juga membandingkan budaya dan bahasa tiga rumpun besar orang Tamil yaitu:Tulu, Malayalam, dan Tamil. Dapat dibandingkan tata adat marumakkatayam (Tamil) dengan sistem matrilineal Minangkabau sangat banyak persamaannya.Demikian juga dengan silat Karalippayat dengan silat Minang (silahkan lihat videonya di internet atau youtube). Tabuik (Tabut) Pariaman juga pengaruh Tamil yang beragama Islam lebih kemudian. Dibawa oleh tentara Inggris etnis Tamil ke kawasan ini. Kalau kita perhatikan adat meminang dengan membeli laki-laki di Piaman juga pengaruh Tamil ini, sebab adat ini tidak ada di tempat lain di Minangkabau. Bahasa Minang juga cepat berubah, bahasa minang yang terpakai sekarang dasarnya adalah bahasa pergaulan Sekolah Raja di Bukittinggi seabad yang lalu, bahasa asli Bukittinggi dulunya tidak seperti itu, dulunya mirip dengan bahasa daerah-daerah terisolir seperti luhak 50 Kota yang masih memendam bahasa lama.(Novia Musda adalah Alumnus Islamic Studies, Universitet Leiden, Belanda, (sumber: SK. Singgalang, Senin 31 Januari, 2011).
Kebudayaan Minangkabau baru
Kebudayaan Minangkabau baru diperkirakan terbentuk sejak persentuhannya dengan sistem sosial dan ekonomi berbasis perdagangan khususnya persentuhan dengan Islam (lihat tulisan ini). Persentuhan ini menciptakan basis baru bagi kebudayaan Minangkabau yang berbasis agama Islam, yang sering disebut sebagai “ Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah”, dan menciptakan konsep kosmologi “tigo tungku sajarangan”. Adalah menarik juga membaca kebudayaan Minangkabau baru ini, seperti tulisan Jeffrey Hadler, dalam buku "Sengketa Tiada Putus: Reformisme Islam dan Kolonialisme di Minangkabau, buku elektronik ini dapat di akses (klik disini), untuk mendowload dan membacanya. Sedangkan penelitian penulis sendiri yang dibukukan adalah tentang budaya visual tradisi Minangkabau, dapat di lihat di koleksi Asia di Cornel (klik disini) banyak terkait dengan budaya asli Minangkabau. Penulis berkesimpulan jika ingin membahas budaya visual Minangkabau harus dilihat dalam dua sisi ini (dalam konteks minangkabau lama, atau baru?).
Transformasi Budaya
Kebudayaan
itu tidak statis, jadi kebudayaan
berubah sejalan dengan perubahan jaman, ada pernyataan dalam penelitian
ini bahwa kebudayaan itu tidak berubah seperti kalimat di bawah ini
Bentuk motif hias yang terdapat pada
Menhir di Kabupaten Lima Puluh Kota memiliki kesesuain dengan bentuk ragam hias
tradisional Miangkabau. Ada kemungkinan ragam hias tradisional Minangkabau
membawa tanda dari motif hias menhir zaman Megalitikum, walaupun terjadi
perobahan perilaku dan tatanan budaya,
diperkirakan sebahagian nilai-nilai luhur tidak berobah. Pengkajian fungsi dan makna motif hias yang
terdapat pada Menhir dihubungkan dengan fungsi dan makna ragam hias tradisional
Minangkabau untuk menyingkap kesinambungan budaya. Dimungkinkan motif hias
menhir sebagai bahasa rupa juga
mengungkap hubungan pandangan hidup, tatanan laku, nilai-nilai luhur dengan
masyarakat adat Minangkabau. ( Laporan
hasil penelitian, hal.4)
Dari paragraf diatas harus di luruskan bahwa yang dimaksud
kalimat-kalimat ini sebenarnya adalah artefak lama itu masih ada, sedangkan
fungsi dan maknanya harus sesuai dengan aslinya di zaman lampau (budaya
megalitik). Sedangkan pandangan hidup,
tatanan laku, nilai-nilai luhur dengan masyarakat adat Minangkabau, adalah hal yang baru, sesuai
dengan perubahan yang disebut dengan transformasi
budaya.
Yang dimaksud dengan transformasi seni dan budaya, adalah perubahan bentuk seni dan budaya, konsep transformasi ini lebih jelas pada konsep-konsep yang diutarakan oleh Wiyoso Yudosaputro (1995).
Seperti yang diperlihatkan pada bagan di bawah ini (1) seni prasejarah yang murni sudah terhenti, (2) seni prasejarah yang berlanjut menjadi seni tradisi dengan transformasi kemudian menjadi seni etnik (akar 2), tetapi kemudian seni etnik ini dipengaruhi oleh seni tradisi Hindu (akar 3).
Seperti yang diperlihatkan pada bagan di bawah ini (1) seni prasejarah yang murni sudah terhenti, (2) seni prasejarah yang berlanjut menjadi seni tradisi dengan transformasi kemudian menjadi seni etnik (akar 2), tetapi kemudian seni etnik ini dipengaruhi oleh seni tradisi Hindu (akar 3).
Pembahasan seni megalitik di Payakumbuh ini harusnya berada pada koridor (1) dan (2) ini, karena pembahasan seni prasejarah murni telah terhenti (lihat bagan di atas).
Kebudayaan Megalitik atau Purba di Sumatera Barat
Lokasi situs Cagar Budaya yang tercatat oleh departemen Kebudayaan dan Paiwisata di Sumatera Barat
Lokasi Situs cagar budaya di propinsi Sumatera Barat dapat di lihat pada situs ini (klik situs ini)
Lokasi Kawasan Penelitian (Kabupaten Lima Puluh Kota)
Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Lima Puluh Kota, kabupaten ini terdiri dari 13 kecamatan yaitu:
1. Akabiluru
2. Bukit Barisan
3. Guguk
4. Gunung Mas
5. Harau
6. Kapur IX
7. Lareh Sago Halaban
8. Luhak
9. Mungka
10. Pangkalan Koto Baru
11. Payakumbuh
12. Situjuh Lima Nagari
13. Suliki Gunung MasLokasi Penelitian di Kecamatan Guguk, Kab.Lima Puluh KotaYang diteliti oleh peneliti ini adalah yang ada di kecamatan Guguk, Kabupaten Lima Puluh Kota, tepatnya di
- Desa Guguk,
- Tiakar,
- Kuranji,
- Sei. Talang,
- Kaludan,
- Guguk Nunang,
- dan Desa Belubus.
Desa-desa yang disebutkan di atas merupakan lokasi dari situs menhir untuk kecamatan Guguk, untuk melihat lokasi ini klik Wikimapia ini
Kebudayaan Megalitik tidak bisa dilabel atau dinamakan dengan kebudayaan Megalitik-Minangkabau, sebab saat itu kebudayaan Minangkabau belum terbentuk. Label untuk ini adalah kebudayaan Megalitik di Sumatera Barat.
Lokasi Megalitik lainnya di Kabupaten Lima Puluh Kota
Lokasi Situs Megalit yang lain adalah di daerah peninggalan situs megalitik Gunung Emas (Bukit Puncak Villa), di Desa Limbanang, Kecamatan Suliki, Payakumbuh, Sumatera Barat. Untuk melihat lokasi klik Wikimapia ini
Cagar Budaya Megalitik di Kecamatan Guguk,
Payakumbuh
Kecamatan Guguk terletak di sebelah Timur ibu kota kabupaten
yaitu kota Payakumbuh kurang lebih 12 km dari pusat kota. Dalam daerah kecamatan
Guguk ditemukan menhir yang tersebar di berbagai desa, menhir tersebut ada yang
masih insitu (berdiri pada tempat
asalnya) serta ada pula yang telah tidak lagi berada pada posisi aslinya). Menhir tersebut khususnya yang masih insitu
dapat ditemukan diberbagai area seperti di belakang rumah penduduk, di dalam
area ladang dan sawah yang terdapat di desa-desa tersebut.
Menhir yang berada di dalam situs kecamatan Guguk adalah menhir yang telah di pugar oleh pemerintah melalui dinas Pendidikan dan Kebudayaan khususnya bidang kepurbakalaan daerah Sumatera Barat dan Riau yang dilaksanakan pada tahun 1988, dari hasil pemugaran tersebut, terdapat beberapa menhir yang tidak insitu. Untuk memelihara agar menhir tersebut dapat tetap terawat dengan baik, pemerintah menetapkan untuk membuatkan sebuah tempat khusus yang berada di dalam jorong dimana menhir itu ditemukan. Sedangkan menhir yang masih berstatus insitu di biarkan tetap berada di tempat aslinya dibawah pengawasan dinas kepurbakalaan provinsi Sumatera Barat dan Riau, melalui beberapa orang anggota masyarakat yang ditunjuk sebagai petugas untuk menjaga situs di tiap-tiap jorong, petugas ini berfungsi sebagai juru kunci dan memelihara situs agar tetap terawat dengan baik.
Tahun 1988 telah didirikan sebuah museum purbakala tepatnya
di Desa Belubus dalam kenagarian Sei. Talang kecamatan Guguk Kabupaten Lima
Puluh Kota, museum ini menyimpan beberapa artefak dan foto-foto tentang kepurbakalaan. Di
halaman museum terdapat beberapa menhir yang berdiri di atas tanah sekitar
museum, menurut juru kunci yaitu Bapak Yurnalis, menhir yang ada di sekitar
museum masih dalam keadaan insitu.
Pada tahun 1988, tim arkeologi melakukan penggalian pada salah satu menhir yang
terdapat di area museum, tim tersebut menemukan sebuah kerangka manusia yang
diperkirakan berusia kurang lebih 200 tahun.
Dari hasil survay yang telah dilaksanakan di kecamatan Guguk,
ditemukan menhir di beberapa Desa seperti di Sei. Talang, Kaludan, Guguk Nunang
dan Desa Belubus. Selain itu menhir juga terdapat di Desa Guguk, dan Desa
Kuranji. Selain di dalam Desa sebagaimana disebutkan di atas, juga ditemukan
batu menhir di Desa Tiakar, menurut penduduk Desa Tiakar, menhir-menhir belum
dipugar pemerintah, oleh karena itu, menhir yang terdapat di Desa Tiakar belum
dirawat dan tidak terpelihara dengan baik. Dari hasil pengamatan di lapangan,
ditemukan dua jenis menhir yaitu menhir yang memiliki motif hias dan menhir
yang tidak memiliki motif hias. Motif hias yang terdapat dibadan menhir berupa
motif dengan sistem cekung, yaitu motif yang dibuat dengan cara mencongkel atau
menoreh bagian menhir sehingga terbentuk sebuah motif.
Menurut masyarakat di kecamatan Guguk, selama ini mereka
menyebut batu-batu menhir tersebut dengan istilah batu mejan atau mejen, yaitu sebutan untuk batu yang
yang ditanam di atas kuburan. Tradisi meletakkan batu atau dalam istilah
masyarakat disebut dengan bertanam batu itu telah dilaksanakan secara turun
temurun. Tidak ada masyarakat yang mengetahui secara pasti kapan tradisi itu di
mulai, namun pada kenyataannya sampai sekarang tradisi tersebut masih berlaku.
Sehingga jika ada diantara anggota masyarakat yang meninggal dunia, maka di
atas kuburannya akan ditanam sebuah batu yang disebut batu mejen. Tradisi batanam batu
ini dilakukan dengan sebuah upacara khusus yang disebut dengan upacara adat Batanam Batu. Namun batu mejen yang yang ditanam pada saat
sekarang bukanlah batu mejen seperti mejen yang dibuat oleh nenek moyang pada
masa dahulu. Batu yang ditanam pada saat ini hanyalah batu yang besarnya kurang
lebih sebesar kepala manusia.
Batu Mejan Megalitik di Desa Guguk
Batu Mejan Megalitik di Desa Guguk
Batu menhir yang terdapat di Desa Guguk berada dalam situs
yang terletak di depan Balai Adat Desa, serta tersebar di beberapa tempat
lainnya seperti di dalam parit, dan dalam perkebunan penduduk. Menhir yang
terdapat di depan Balai Adat Guguk merupakan menhir yang tidak insitu. Menurut Bapak Rusdi, juru kunci
situs Guguk, menhir tersebut pada awalnya berada lebih kurang 30 meter ke arah
utara tempatnya sekarang. Pemindahan tersebut terjadi karena pada masa
penjajahan Jepang di tempat tersebut di bangun rel kereta api, oleh karena itu
menhir yang masih insitu pada waktu
itu harus dipindahkan tempatnya. Selanjutnya pada saat membangun Balai Adat
yang sekarang, makabatu mejan tersebut dipindahkan lagi ke depan halaman Balai
Adat.
Batu Mejan Megalitik di Desa Tiakar
Menhir yang terdapat di Desa Tiakar bertebaran di berbagai lokasi seperti di belakang dan di depan rumah penduduk, di dalam ladang, serta di dipinggir jalan Desa. Beberapa menhir terlihat masih insitu, sedangkan beberapa lainnya sudah berpindah tempat atau ada pula yang sudah rebah. Menurut penduduk setempat, menhir tersebut belum pernah dikunjungi oleh pemerintah sebagimana yang dilakukan di beberapa Desa di kecamatan Guguk. Pada umumnya batu menhir yang terdapat di dalam Desa Tiakar sekarang menjadi komplek pekuburan atau makam bagi kaum atau kelompok pesukuan masyarakat Desa tersebut.
Menhir yang terdapat di Desa Tiakar bertebaran di berbagai lokasi seperti di belakang dan di depan rumah penduduk, di dalam ladang, serta di dipinggir jalan Desa. Beberapa menhir terlihat masih insitu, sedangkan beberapa lainnya sudah berpindah tempat atau ada pula yang sudah rebah. Menurut penduduk setempat, menhir tersebut belum pernah dikunjungi oleh pemerintah sebagimana yang dilakukan di beberapa Desa di kecamatan Guguk. Pada umumnya batu menhir yang terdapat di dalam Desa Tiakar sekarang menjadi komplek pekuburan atau makam bagi kaum atau kelompok pesukuan masyarakat Desa tersebut.
Batu Mejan Megalitik di Desa Sungai Talang
Di Desa Sei. Talang juga banyak terdapat menhir yang sudah tidak terletak pada tempat semula, menhir tersebut sekarang dihimpun pada dua tempat dalam Desa Sei. Talang. Situs pertama terletak di depan Balai adat Sei. Talang, bersebelahan dengan mesjid. Sedangkan situs yang kedua terletak disebelah selatan di samping rumah penduduk. Selain menhir yang sudah dihimpun di dua tempat sebagaimana tertera di atas, juga terdapat menhir yang masih berserakan di berbagai tempat. Menhir yang bertebaran tersebut ada yang dipakai oleh penduduk sebagai pagar halaman dan juga sebagai titian (jembatan kecil di atas bandar atau parit) di depan halaman rumah mereka.
Di Desa Sei. Talang juga banyak terdapat menhir yang sudah tidak terletak pada tempat semula, menhir tersebut sekarang dihimpun pada dua tempat dalam Desa Sei. Talang. Situs pertama terletak di depan Balai adat Sei. Talang, bersebelahan dengan mesjid. Sedangkan situs yang kedua terletak disebelah selatan di samping rumah penduduk. Selain menhir yang sudah dihimpun di dua tempat sebagaimana tertera di atas, juga terdapat menhir yang masih berserakan di berbagai tempat. Menhir yang bertebaran tersebut ada yang dipakai oleh penduduk sebagai pagar halaman dan juga sebagai titian (jembatan kecil di atas bandar atau parit) di depan halaman rumah mereka.
Di Desa Sei. Talang juga masih banyak ditemukan menhir yang
masih insitu, diantaranya menhir yang
terdapat di samping dinding Balai Adat. Batu Mejan ini memiliki ukuran tinggi yang
lebih dibanding menhir lainnya yaitu sekitar tiga meter. Juga terdapat menhir yang berada di depan mesjid serta di halaman rumah penduduk, serta di atas
bukit.
Situs ini berada di pinggir perkampungan yang berdekatan dengan area persawahan penduduk. Di dalam situs ini terdapat beberapa menhir yang masih berdiri sesuai dengan aslinya, sementara menhir lainnya berada dalam keadaan rebah (tidak sebagaimana aslinya). Batu Mejan Megalitik di Desa Guguk Nunang
Selain di dalam situs tersebut masih terdapat menhir yang bertebaran di dalam Desa Guguk Nunang, menhir tersebut berdiri secara insitu di perkebunan, di pinggir jalan serta di dalam parit.
Batu Mejan Megalitik di Desa Belubus
Desa Belubus merupakan bagian dari kenagarian Sei. Talang kecamatan Guguk kabupaten Lima Puluh Kota, tempat berdirinya sebuah Museum Purbakala Sumatera Barat dan Riau yang didirikan pada tahun 1988. Pada situs Belubus banyak ditemukan menhir yang masih insitu.
Motif Hias pada Batu Mejan Megalitik desa Guguk
Di situs menhir Guguk terdapat sebuah menhir yang memiliki motif hias, menhir tersebut merupakan menhir yang telah dipindahkan dari tempat aslinya. Sekarang menhir tersebut di letakkan di depan Balai Adat Desa Guguk.
Di situs menhir Guguk terdapat sebuah menhir yang memiliki motif hias, menhir tersebut merupakan menhir yang telah dipindahkan dari tempat aslinya. Sekarang menhir tersebut di letakkan di depan Balai Adat Desa Guguk.
Pada situs menhir Tiakar ditemukan tiga buah menhir yang
memiliki motif hias, satu diantara dua menhir tersebut terdapat di halaman
rumah penduduk, sedang yang lainnya terdapat di komplek pemakaman kaum. Menhir
yang terletak di halaman rumah penduduk ini memiliki motif hias berbentuk segi
tiga sama sisi, motif tersebut berupa motif timbul.
Sedangkan dua buah menhir lainnya terletak di dalam komplek
pemakaman kaum pesukuan Picancang Desa Tiakar, kondisinya rebah dan sebagian
besar badan menhir masuk ke dalam tanah, hanya bagian sisinya saja yang
terlihat. Pada saat ditemukan motif hiasnya hampir tidak kelihatan, karena
tertimbun tanah, namun setelah dibersihkan barulah kemudian dapat dikenali
bahwa menhir ini memiliki motif hias.
Sedangkan menhir yang satunya lagi kondisinya dalam keadaan rebah dan disekeliling menhir sudah ditumbuhi semak belukar, sehingga pada awalnya tidak terlihat jika menhir tersebut memiliki motif hias. Setelah semak belukar yang tumbuh di atas badan menhir dibersihkan, barulah kemudian diketahui bahwa pada badanbatu mejan terdapat sebuah motif hias yaitu berupa garis
patah-patah yang dipahat dengan teknik timbul.
Motif Hias pada Batu Mejan Megalitik desa Sungai Talang
Pada situs menhir Sei. Talang ditemukan lebih dari 30 buah menhir, namun dari keseluruhan menhir yang terdapat di situs ini, hanya ada satu menhir yang memiliki motif hias, yaitu salah satu dari menhir yang telah di himpun di depan masjid Sei. Talang.
Pada situs menhir Sei. Talang ditemukan lebih dari 30 buah menhir, namun dari keseluruhan menhir yang terdapat di situs ini, hanya ada satu menhir yang memiliki motif hias, yaitu salah satu dari menhir yang telah di himpun di depan masjid Sei. Talang.
Motif Hias pada Batu Mejan Megalitik desa Guguk Nunang
Dari hasil survay yang dilakukan di situs Guguk Nunang, ditemukan sebuah menhir yang memiliki motif hias, menhir ini berukuran tinggi lebih kurang 60 cm dari permukaan tanah. Jika dibandingkan dengan ukuran menhir yang terdapat di kecamatan Guguk, maka menhir ini merupakan menhir yang memiliki ukuran kecil. Karena pada umumnya menhir yang terdapat di kecamatan Guguk berukuran tinggi lebih kurang 1 sampai 3 meter.
Dari hasil survay yang dilakukan di situs Guguk Nunang, ditemukan sebuah menhir yang memiliki motif hias, menhir ini berukuran tinggi lebih kurang 60 cm dari permukaan tanah. Jika dibandingkan dengan ukuran menhir yang terdapat di kecamatan Guguk, maka menhir ini merupakan menhir yang memiliki ukuran kecil. Karena pada umumnya menhir yang terdapat di kecamatan Guguk berukuran tinggi lebih kurang 1 sampai 3 meter.
Gambar : 21
Menhir situs Guguk Nunang
Bentuk dasar motif hias menhir situs Guguk Nunang ini adalah
berbentuk empat persegi panjang dengan posisi veritakal, sedangkan pada bagian
atas motif hias terdapat bentuk melengkung, motif hias seperti ini terdapat di
kedua sisi menhir.
Motif Hias pada Batu Mejan Megalitik desa Belubus
Motif Hias pada Batu Mejan Megalitik desa Belubus
Selanjutnya pada situs Belubus ditemukan empat buah menhir
yang memiliki motif hias, dua diantaranya berada di halaman museum purbakala,
sedangkan yang lainnya terdapat dusun Siborang, menhir ini berdiri di depan
sebuah Rumah Gadang. Sebuah menhir
lainnya ditemukan di daerah Sati yaitu areal persawahan masyarakat suku Caniago
Belubus. Secara geografis, menhir Siborang dan menhir Sati berada tepat di kaki
Bukit Parashi.
Menhir Raja dan Permaisuri
Menhir Raja dan Permaisuri
Menhir yang berada di depan halaman Museum Purbakala di Desa
Belubus disebut-sebut masyarakat sebagai menhir raja dan permaisuri.
Di sisi bagian utara menhir Raja, terdapat sebuah menhir seukuran kepala manusia. Sepintas menhir ini hanya merupakan batu biasa, karena ukuranya tidak sebagaimana menhir-menhir yang lain, namun sebagaimana yang dikemukakan oleh Bapak Yurnalis, bahwa batu kecil yang terdapat di samping menhir raja tersebut adalah sebuah menhir sebagai simbol anak Raja yang dikuburkan berdampingan dengan kuburan Raja. Menurut pak Yurnalis, anak raja tersebut meninggal sewaktu ia masih kecil, sehingga pada waktu raja meninggal, maka raja dikuburkan di samping kuburan anaknya. Ke empat sisi menhir Raja yang terdapat di situs Belubus memiliki motif hias, di bagian depan, belakang, samping kiri, dan di samping kanan.
Di bagian depan terdapat motif hias berupa dua buah garis
sejajar dan sebuah lingkaran di dalamnya terdapat motif seperti seperti mata
angin dengan delapan penjuru mata angin. Kedua motif ini di hubungkan oleh
sebuah garis lengkung. Sehingga terlihat seolah-olah mata angin tersebut
tergantung pada dua buah garis sejajar yang terdapat di atasnya. Pada bagian
belakang terdapat sebuah bentuk berupa garis bujur sangkar. Di dalam garis
bujur sangkar tersebut terdapat pula sebuah motif seperti mata angin, namun
hanya terdiri dari empat arah mata angin. Sedangkan pada bagian samping kiri dan
samping kanan terdapat motif garis dengan bentuk melengkung seperti ular dalam
ukuran besar (hampir sama tinggi dengan menhir tersebut). Menurut Effendi,
motif tersebut merupakan gambar dari seekor caciang
gilo yaitu sejenis cacing tanah yang berukuran lebih besar dari ukuran
cacing tanah biasa dan sangat agresif.
Menhir Kapalo Gajah
Di dalam situs tersebut jarak antara menhir Raja dengan menhir Permaisuri sekitar 40 meter. Menurut Yurnalis, dua buah menhir yang berdampingan yang terletak di area museum merupakan menhir raja dan permaisuri pula, namun menhir tersebut tidak memiliki motif hias.Menhir situs dusun Siborang disebut masyarakat Belubus sebagai mejen Kapalo Gajah, yaitu menhir Kepala Gajah, karena bentuk menhir menyerupai kepala seekor Gajah.
Di dalam situs tersebut jarak antara menhir Raja dengan menhir Permaisuri sekitar 40 meter. Menurut Yurnalis, dua buah menhir yang berdampingan yang terletak di area museum merupakan menhir raja dan permaisuri pula, namun menhir tersebut tidak memiliki motif hias.Menhir situs dusun Siborang disebut masyarakat Belubus sebagai mejen Kapalo Gajah, yaitu menhir Kepala Gajah, karena bentuk menhir menyerupai kepala seekor Gajah.
Menhir Siborang atau Menhir Kepala Gajah memiliki motif hias
dengan pola-pola garis lengkung dan garis segi tiga. Pada bagian depan menhir
terlihat motif seperti sebilah pedang, dan di bagian samping ditemukan motif
berupa garis lengkung yang terletak pada bagian atas menhir. Sedangkan pada
bagian belakang ditemukan pula motif hias berupa bidang yang tercipta dari
garis lurus dan garis lengkung.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap menhir yang terdapat di
situs kecamatan Guguk kabupaten Limapuluh Kota ditemukan 11 buah menhir yang
memiliki motif, yaitu satu buah menhir di Desa Guguk, tiga buah di Desa Tiakar,
satu buah di Desa Sei. Talang, satu buah di Desa Guguk Nunang, dan empat buah
menhir di Desa Belubus.
Secara visual motif hias yang terdapat pada badan menhir memiliki kesamaan bentuk dengan motif hias tradisional Minangkabau. Menurut Pak Efrizal, seorang pakar ukiran (ragam hias) tradisional Minangkabau, motif hias yang terdapat di badan menhir tersebut dapat dikelompokkan kedalam beberapa kategori motif hias Minangkabau yaitu: motif Pucuak Rabuang (pucuk rebung), Kaluak Paku (lengkung pakis), Sitampuak manggih (sitampuk manggis), Ula Gerang (ular gerang), Bungo Panco Matoari (bunga pancar matahari).
Menurut Pak Efrizal motif hias yang terdapat pada menhir situs Sati di Desa Belubus tersebut merupakan motif hias Pucuak Rabuang, karena pada dasarnya motif hias Pucuak Rabuang berbentuk segi tiga sama kaki. Motif hias yang terdapat di situs Sati tersebut merupakan bentuk Pucuk Rebung yang telah disederhanakan bentuknya. Walaupun bentuknya sudah disederhanakan, kita masih dapat menangkap bentuk dasar Rebung pada motif hias menhir tersebut.
Begitu pula dengan motif hias yang terdapat pada menhir situs
Siborang Desa Belubus, juga ditemukan motif Pucuak
Rabuang, motif tersebut terdapat pada sisi bagian depan dan sisi bagian
belakang menhir . Sedangkan motif hias berbentuk segi tiga sama kaki yang
terdapat di sisi kanan dan kiri bagian bawah menhir juga merupakan motif hias Pucuak Rabuang. Selain itu, menurut Pak
Efrizal, pada menhir situs Siborang ini juga terdapat motif hias Kaluak Paku yaitu pada sisi kanan dan
kiri bagian atas menhir .
Gambar : 26 Menhir situs Siborang Desa
Belubus dengan motif hias Kaluak Paku
dan Pucuak Rabuang
Pada situs Desa Tiakar terdapat tiga buah menhir yang memiliki motif hias, menurut Pak Efrizal, motif hias yang terdapat di ketiga menhir tersebut merupakan motif hias Pucuak Rabuang.Motif hias yang terdapat pada bagian atas menhir merupakan motif hias Pucuak Rabuang yang penyederhanaannya masih memperlihatkan bentuk Rebung secara umum, namun motif Pucuak Rabuang yang terdapat pada bagian sisi bawah menhir merupakan motif hias yang hanya memperlihatkan bentuk dasar segi tiga sama kaki yang dibuat secara berulang. Sedangkan salah satu menhir Tiakar terdapat pula sebuah menhir dengan motif hias segi tiga sama kaki dalam bentuk tunggal. Menurut Pak Efrizal motif dengan bentuk dasar segi tiga sama kaki ini banyak ditemukan pada ragam hias tradisional Minangkabau, baik dalam bentuk tunggal atau dalam bentuk berulang. Motif hias Pucuk Rebung bentuk tunggal, termasuk kedalam kelompok motif bintang yaitu sebuah motif yang berdiri sendiri. Sedangkan motif hias segi tiga bentuk berulang masuk kedalam kelompok motif pola Bingkai yaitu motif yang berfungsi sebagai pembingkai motif utama.
Motif hias menhir situs Tiakar, kiri adalah motif Pucuak Rabuang (Tumpal) kelompok motif bingkai sedangkan gambar sebelah kanan adalah motif hias Pucuak Rabuang Pola Bintang
Selanjutnya pada situs Belubus ditemukan motif hias Kaluak Paku (Relung Pakis). Motif hias
ini terdapat pada menhir Permaisuri yang terletak di halaman museum Purbakala.
Pada badan menhir ini ditemukan banyak sekali bentuk-bentuk melingkar seperti
pohon Pakis. Menurut Pak Efrizal, motif Kaluak
Paku merupakan sebuah motif hias Minangkabau yang dapat berdiri sendiri,
dan dapat pula menjadi elemen dari motif hias lainnya. Motif hias Kaluak Paku yang berdiri sendiri diberi
nama Kaluak Paku Kacang Balimbiang.
Motif hias Kaluak Paku terdapat
hampir disetiap motif hias tradisional Minangkabau, dalam hal ini Kaluak Paku menjadi elemen dari berbagai
motif hias tersebut. Lebih jauh Pak Efrizal menjelaskan bahwa motif hias
Minangkabau memiliki sembilan elemen motif yaitu; gagang (tangkai), kaluak (lengkung),
daun, (daun), bungo (bunga), pucuak
(pucuk), buah (buah), sapiah (serpih), balabeh (ukuran), dan tali
aie (garis). Setiap motif hias Minangkabau sekurang-kurangnya memiliki
empat dari sembilan elemen utama tersebut. Yang dimaksud dengan kaluak (lengkung) pada elemen utama
sebuah motif hias Minangkabau adalah Kaluak
Paku yaitu sebuah elemen motif berbentuk garis melengkung yang menyerupai
lengkungan pohon pakis. Demikian pula halnya dengan motif hias yang terdapat
pada menhir situs Belubus tepatnya pada menhir Permaisuri. Pada badan menhir
terdapat beberapa torehan berbentuk lengkung seperti Kaluak Paku.
Selanjutnya pada menhir Rajo
atau menhir Nago terdapat empat
buah motif hias, menurut Pak Efrizal motif yang berbentuk tanda tambah (+) dan
sebuah tanda titik terdapat di tengah-tengahnya yang terdapat pada menhir
tersebut memiliki kemiripan dengan motif hias tradisional Minangkabau dengan
nama motif Sitampuk Manggih (Tampuk
Manggis). Motif hias dengan garis silang enam (☼) yang menyerupai bentuk mata
angin yang terdapat pada menhir , jika dibandingkan dengan motif hias
tradisional Minangkabau memiliki kemiripan dengan motif Bungo Panco Matoari (bunga pancar matahari).
Sedangkan motif hias dengan garis melengkung yang menyerupai
binatang cacing, atau bagi masyarakat Belubus motif tersebut dinamai dengan
sebutan Nago (ular naga), secara
bentuk tidak ditemukan bandingannya dengan motif hias tradisional Minangkabau.
Namun sebagaimana yang dikemukakan oleh Pak Efrizal, dalam tradisi Minangkabau
terdapat sebuah motif hias dengan nama Ula
Gerang (ular naga).
Dari keseluruhan motif hias yang terdapat pada badan menhir,
terdapat satu motif hias yang tidak memiliki kesamaan bentuk dengan motif hias
tradisional Minangkabau, yaitu motif hias menhir yang terdapat pada situs
Guguk. Menurut Pak Efrizal, motif hias situs Guguk tersebut terlihat seperti
gambaran seekor burung yang sedang menjatuhkan makanan ke arah bawah, sementara
di bagian bawah terdapat sebuah motif yang menyerupai bentuk bibir. Sehingga
secara keseluruhan motif tersebut menggambarkan seekor burung yang sedang
menjatuhkan atau memberikan makanan kepada sesuatu yang dilambangkan dengan gambaran
menyerupai bibir. Menurut Pak Efrizal motif hias yang menyerupai bibir tersebut
adalah gambaran alat kelamin atau vagina.
Kesimpulan penelitian
Di akhir laporannya setelah menganalisis, tim peneliti ini kemudian mencoba untuk
mengambil kesimpulan sebagai berikut di bawah ini.
- Berdasarkan uraian serta analisis data tentang kajian bahasa rupa yang terdapat pada menhir di daerah Kecamatan Guguk, terutama yang berkaitan dengan perilaku masyarakat, kesinambungan bentuk motif hias menhir dengan bentuk motif hias tradisional Minangkabau, dan makna yang terkandung dalam motif hias menhir sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- Masyarakat Minangkabau merupakan pewaris kebudayaan zaman batu atau yang lebih dikenal dengan kebudayaan Megalitikum.
- Bagi masyarakat Minangkabau fenomena alam dipandang sebagai proses pembelajaran dalam menata perilaku kehidupan, baik secara individu maupun secara berkelompok. Konsep ini kemudian dikembangkan menjadi sebuah aturan adat.
- Masuknya agama Islam ke Minangkabau membuat adat yang sudah ada sebelumnya menjadi lebih kokoh, dan adat Minang menemukan bentuknya yang sempurna dengan falsafah adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah (adat berlandaskan agama yaitu Islam dan Alquran).
- Di Kecamatan Guguk Kabupaten Limapuluh Kota ditemukan lebih kurang 300 buah menhir, sepuluh diantaranya memiliki motif hias.
- Dari sepuluh bentuk Motif Hias yang terdapat pada menhir ditemukan kesinambunggannya pada bentuk Motif Hias Tradisional Minangkabau.
- Sepuluh Motif Hias yang ditemukan padabatu mejan dapat disimpulkan menjadi lima buah motif hias; (1) Motif Hias Pucuak Rabuang, (2) Motif Hias Kaluak Paku, (3) Motif Hias Sitampuak Manggih, (4) Motif Hias Bungo Panco Matoari, dan (5) Motif Hias Ula Gerang.
- Prilaku masyarakat, motif hias tradisional Minangkabau, memperlihatkan kesinambungan dengan kebudayaan Megalitikum, dengan demikian makna motif hias menhir juga memliki kesinambungan dengan motif hias tradisional Minangkabau.
- Berdasarkan hasil analisa terhadap Makna Motif Hias Tradisional Minangkabau, dan dihubungkan dengan kesinambungan prilaku, dan bentuk motif, maka dapat disimpulkan makna motif hias menhir di kecamatan Guguk Kabupaten Limapuluh Kota berhubungan dengan makna motif hias tradisional Minangkabau. Makna tersebut adalah sebagai berikut:
- Motif Hias Pucuak Rabuang merupakan simbol kesuburan yang melambangkan kemakmuran.
- Kaluak Paku merupakan simbol pemimpin yang melambangkan sifat mengayomi.
- Sitampuak Manggih merupakan simbol kekuasaan yang melambangkan kebenaran.
- Bungo Panco Matoari merupakan simbol kebenaran yang melambangkan pencerahan.
- Ula Gerang merupakan simbol Dubalang (Hulubalang) yang melambangkan keselamatan.
Tulisan ini mengadaptasi artikel Sunarno Sastroatmojo,(Asdep Konservasi & Pemeliharaan/Proyek Pengembangan
Kebijakan Kebudayaan/west-sumatra.com/pelita.or.id).
Kenagarian Mahat memiliki sepuluh pedesaan, yakni: Ronah, Air Duri,
Koto Tinggi, Ampang Gadang I, Ampang Gadang II, Koto Gadang, Bungo Tanjung,
Sopan Gadang, Sopan Tanah, dan Nenan.
Peninggalan megalitik yang ditemukan di desa-desa tersebut, berupa:
menhir, lumpang batu, punden berundak, batu dakon, batu-batu bulat, patung
menhir, batur punden, batu-baru besar berlubang, batu besar berukir, dsb. Disini ada dua lokasi menhir,
yaitu di Koto Tinggi (300an buah menhir) dan Koto Gadang (50an buah menhir).
Kedua lokasi berdekatan sebetulnya, lokasi Mahat tepat di bawah
garis katulistiwa. Uniknya, semua menhir ini menghadap ke satu arah tertentu yaitu gunung
Sago.Lihat (Peta Lokasi gunung)
Desa Ampang Gadang
Keunikan desa ini ialah pada pekarangan-pekarangan rumahnya terdapat batu mejan yang berdekatan dengan lumpang-lumpang batu (berlubang halus), bahkan ada
juga batu bulat yang kadang-kadang berbentuk cakram. Hal lain yang menarik
adalah ditemukannyabatu mejan berbentuk pedang yang belum selesai dipahat. Dengan
penemuan ini dapat memperkirakan cara-cara pembuatan batu mejan .
Sejumlah menhir juga ditemukan di sekitar lapangan sepakbola, di
antaranya ada yang berukir. Menurut keterangan penduduk setempat, bagi yang
berukuran besar dikubur di lapangan, karena sulit dipindahkan. Bila melihat
pada menhir-menhir yang masih berdiri, kelompok ini berorientasi ke arah tenggara.(gunung Sago)
Sejumlah dakon juga ada di daerah ini. Selain itu terdapat juga bubur
batu yang tersusun dari sepuluh batu monolit besar dan kecil, berbentuk persegi
panjang, 215 x 105 cm, dan berorientasi ke barat laut – tenggara.
Terdapat juga batur, yang merupakan gundukan tanah setinggi 80 cm
dengan luas 5 x 5 m, dengan tanda-tanda bekas diperkuat susunan batu. Menurut
cerita penduduk setempat, tempat ini dahulu digunakan untuk bernazar dengan
menyembelih sapi hitam.
Desa Koto Gadang
Pada desa ini terdapat situs Balai-balai batu (60 x 65 cm), yang
terdiri dari batur pundenberukuran 6 x 6 m dengan tinggi 80 cm, serta menyimpan
35 menhir. Bentuk menhir beraneka ragam, ada yang berbentuk pedang, berbentuk
tanduk, berbentuk oval, atau dalam bentuk tak beraturan, dan bentuk-bentuk
lainnya.
Menhir terbesar berukuran 43 x 40 x 251 cm, berhiaskan sulur dan pola
geometris.Kelompok menhir ini berorientasi ke tenggara, ke arah Gunung Sago.
Berdasarkan keterangan penduduk setempat, di tengah batur punden dahulu
terdapat menhir yang dikeramatkan, yang kemudian diambil oleh orang Belanda
untuk disimpan di Museum Jakarta. Menhir-menhir lain terdapat di tebing-tebing yang membatasi dusun ini,
serta di pekarangan-pekarangan.Lebih dari 1000 menhir berada pada tempat ini, yang kebanyakan
berukuran besar. Tata letak menhir berbaris atau berderet secara teratur, satu
di antaranya berukuran besar dan diletakkan di tengah-tengah. Di antaranya ada
tiga menhir yang berbentuk seperti patung manusia atau binatang.
Desa Koto Tinggi
Desa ini memiliki sejumlah peninggalan megalitik berupa: menhir, batu
dakon, batu besarberbentuk gunung, batu besar dengan tangga keliling. Di desa
ini juga terdapat SitusBawah Air, yang terletak pada ketinggian 350 m di atas
permukaan air laut.
Situs ini berukuran 80 x 125 m, yang merupakan situs menhir terbesar di
daerah Lima Puluh Koto Utara. Pada situs ini terdapat lebih dari 180 menhir,
dengan tinggi satu hinga dua meter. Ada sejumlah menhir yang berbentuk kepala
binatang kuda, gajah, anjing, ular, buaya. Menhir terbesar berukuran 50 x 68 x
405 cm, tetapi dalam posisi roboh.
Selain menhir, juga terdapat batu dakon dengan permukaan yang luas
sehingga masyarakat setempat menyebutnya “Batu Hampar.” Selain itu juga
terdapat batu besar menyerupai gunung dengan lubang sebesar lumpang, atau yang
bertangga sampai puncak yang menunjukkan sebagai tempat pemujaan.
Selain di desa-desa yang telah disebutkan di atas, masih banyak desa
yang memiliki peninggalan megalitik yang masih insitu. Desa-desa tersebut
adalah Limbanang, Ronah, Bukit Ampar, Ateh Sudu, Sopan Gadang, Sopan Tanah,
Pandam Gadang, Simpang Ampek, Anding, dan Koto.
Tempat-tempat yang menyimpan peninggalan megalitik tersebut, dapat
dijadikan obyek dalam melakukan penelitian bagi insan perguruan tinggi, lembaga
penelitian, lembaga swadaya masyarakat, serta perorangan, baik berasal dari
luar negeri maupun dari dalam negeri. Selain itu juga dapat merupakan obyek
wisata, baik wisata luar negeri maupun wisata domestik.
Pembahasan oleh penulisDekorasi atau Ragam Hias dan Munculnya “fetish”
Istilah dekoratif ini pertama kali muncul pada tahun 1791 di Eropah. Bentuk awal dekorasi terkait komunikasi visual pada produk kriya-kriya besar seperti arsitektur, yang mengandung unsur-unsur kepraktisan. Hiasan bidang pada arsitektur (architecture decorative) juga di label dengan nama ornamen untuk tujuan keindahan. Pada awalnya dekorasi mungkin muncul karena aspek psikologis “horror of facum” atau takut akan ruang kosong pada permukaan benda seperti pada teori ornamen klasik.
Dekorasi yang terdapat pada seni prasejarah pada awalnya mungkin muncul karena “horror of facum”. Kemudian muncul pula aspek lain yang erat hubungannya dengan kepercayaan dan psikologis yang disebut fetish (pesona). Fetish adalah sistem kepercayaan dan pemujaan terhadap sesuatu yang memunculkan pesona benda (pemujaan kepada benda). Aspek fetish ini tidak hanya terdapat pada masyarakat primitif, tetapi juga pada masyarakat modern. Misalnya fetish-komoditi, yaitu pembentukan pemujaan atau pesona barang atau alat komoditas tertentu agar laku dijual pada masyarakat moderen. Pesona seorang tokoh atau artis misalnya, menyebabkan barang-barang peninggalan artis atau tokoh itu dihargai sangat mahal.
Pada masyarakat prasejarah pesona barang atau alat disebut fetish-arkeologis. Yaitu pesona benda-benda yang dianggap sakral, suci atau magis, misalnya benda-benda pusaka. Menurut (Walker, 1989), dalam bukunya “History of Desain and Design History, ada tiga macam fetish, (1) fetish komoditi,(2) fetish antroplogis, (3) fetish psikologis/seks). Terdapat juga fetish gabungan diantaranya, misalnya dekorasi yang memperlihatkan kelamin priya atau wanita pada bangunan atau patung, adalah gabungan pesona seks dan pemujaan magi.
Dapat dikatakan bahwa benda-benda peralatan masyarakat prasejarah dan primitif dibuat dalam rangka pesona (fetish) psikologis dan antropologis. Hal ini dapat diperiksa pada benda-benda kultus (cult) yang ada di museum-museum.
Ragam Hias Megalitik
Dalam membicarakan gaya dekorasi masyarakat prasejarah dan primitif di Indonesia dapat diteliti dari fenomena rupa dekorasi, yaitu bentuk-bentuk benda dan hiasan yang terdapat pada benda-benda tersebut.
1) Bentuk Geometris
Bentuk geometris pertama adalah yang meniru alam didasari oleh pemikiran manusia untuk menyederhanakan dan menertibkan bentuk-bentuk alam. Karena bentuk alam seperti bunga, buah, pohon dan berbagai jenis-jenisnya tidak dapat ditiru langsung, kecuali untuk disederhanakan. Bentuk geometris yang kedua adalah bentuk “geometrik murni” seperti garis, lingkaran, segitiga dan sebagainya yang sulit ditemukan di alam. Munculnya bentuk ini bisa dari teknik seperti menganyam pada benda anyaman, tenunan, dan menggores pada tanah liat atau logam. Terjadi pola-pola hias tertentu pada bidang anyaman, pada waktu mencukil-cukil kayu terjadi bentuk geometris secara tidak sengaja.
Beberapa bentuk geometrik murni seperti lingkaran bentuk bulan, matahari, cembung atau cekung pada waktu gerhana matahari dapat menarik masyarakat prasejarah untuk menerapkannya pada benda-benda. Alat-alat wadah seperti jambangan dapat meniru labu atau tempurung kelapa, bentuk silinder atau tabung ditemukan pada bambu, bentuk atap meniru bentuk daun pisang. Setelah bentuk-bentuk benda ditemukan, maka ada keinginan untuk menggambarkan tertib bentuk itu baik pada bentuk benda maupun pada permukaan benda atau alat.Beberapa dekorasi geometrik itu menurut Vander Hoop (1949) dalam buku Ragam Hias Indonesia, yang muncul pada era prasejarah adalah motif hias anyaman, tumpal, meander, lingkaran, tangga, titik-titik, garis-garis lurus, pilin, pilin berganda, swastika, huruf S dan gabungan diantaranya.
Beberapa bentuk geometrik murni seperti lingkaran bentuk bulan, matahari, cembung atau cekung pada waktu gerhana matahari dapat menarik masyarakat prasejarah untuk menerapkannya pada benda-benda. Alat-alat wadah seperti jambangan dapat meniru labu atau tempurung kelapa, bentuk silinder atau tabung ditemukan pada bambu, bentuk atap meniru bentuk daun pisang. Setelah bentuk-bentuk benda ditemukan, maka ada keinginan untuk menggambarkan tertib bentuk itu baik pada bentuk benda maupun pada permukaan benda atau alat.Beberapa dekorasi geometrik itu menurut Vander Hoop (1949) dalam buku Ragam Hias Indonesia, yang muncul pada era prasejarah adalah motif hias anyaman, tumpal, meander, lingkaran, tangga, titik-titik, garis-garis lurus, pilin, pilin berganda, swastika, huruf S dan gabungan diantaranya.
2) Bentuk Imitasi (Peniruan) dan Khayalan (Fantasi)
Imitasi adalah peniruan sedangkan fantasi adalah khayalan. Konsep imitasi murni seperti pada seni moderen tidak ditemukan pada masyarakat prasejarah dan primitif di Indonesia. Ada beberapa alasan imitasi itu tidak dilakukan secara sempurna.
Pertama, keterbatasan alat dan teknik untuk melakukan imitasi (peniruan); hal ini bukan saja ditemukan pada era prasejarah tetapi juga pada era moderen. Ukiran masyarakat moderen misalnya, walaupun pengkriya menyadari bentuk-bentuk yang diimitasi, tetapi tidak mampu sampai kepada imitasi murni seperti yang dicapai oleh teknik lain misalnya teknik lukis atau gambar. Untuk sampai kepada imitasi murni dibutuhkan kesadaraan yang tinggi tentang bentuk-bentuk alam, tetapi keterbatasan pengetahuan seperti anatomi, proporsi, perspektif, ruang seperti jauh dan dekat dan sebagainya menyebabkan masyarakat primitif hanya sampai kepada transformasi bentuk yang sering disalah artikan dengan stilasi bentuk alam.
Kedua adalah transformasi bentuk, yaitu perobahan bentuk, yaitu suatu cara dimana yang diambil adalah unsur-unsur yang dianggap penting dari bentuk (sari patinya) dan meninggalkan bagian-bagian lain. Dapat dikatakan seni prasejarah atau primitif terlihat lebih abstrak dari seni moderen sekalipun. Seni abstrak seperti oleh pelukis Picasso (di Eropah) banyak mengambil contoh dari seni primitif Afrika atau Timur lainnya.
Ketiga adalah narasi. Tujuan dekoratif umumnya muncul bersamaan dengan tujuan naratif (bercerita) dan simbolis. Hal ini dibuktikan pada beberapa lukisan primitif di Kalimantan dan juga lukisan gua di beberapa tempat di Indonesia. Setiap bentuk imitasi seperti gambar binatang, tumbuh-tumbuhan, alam dan manusia bukanlah demi bentuk yang ditiru itu tetapi cendrung dipakai sebagai lambang-lambang untuk menceritakan sesuatu seperti alam roh, nenek moyang, atau peristiwa magi. Hal ini dapat dipahami karena belum ada tulisan saat itu.
Beberapa bentuk motif hias prasejarah ini antara lain:
1) jenis burung seperti ayam, enggang, merak,
2) jenis binatang di darat seperti: kijang, kuda, gajah, harimau, babi, kerbau, anjing
3) binatang reptil dan yang hidup di air seperti: cecak, kadal atau biawak, ular/naga, kura-kura, katak
4) alam benda seperti gunung, matahari, bulan bintang dan sebagainya
5) bentuk manusia.
Tiap masyarakat suku di Indonesia memiliki mitos tersendiri mengenai binatang ini yang erat hubungannya dengan totemisme (kepercayaan asal-usul nenek moyang) yang sifatnya arkaik (berhubungan dengan masa lampau). Salah satu contoh interpretasi ini adalah burung enggang dianggap sebagai lambang kelahiran manusia ke dunia.
Pada suku Dayak dan Batak burung ini sebagai lambang dunia roh, dan dipakai sebagai dekorasi di dinding rumah, pada ujung atap bangunan dan juga di perahu.
Pada suku Dayak dan Batak burung ini sebagai lambang dunia roh, dan dipakai sebagai dekorasi di dinding rumah, pada ujung atap bangunan dan juga di perahu.
Ikon-ikon dan simbol binatang kerbau lazim ditemukan pada dekorasi atap bangunan dan dekorasi benda lainnya. Demikian juga bagian tubuh manusia sudah menjadi daya tarik (pesona) sejak masa prasejarah. Misalnya wajah, tangan atau alat kelamin. Pada tulisan ini tidak akan diuraikan makna-makna dekorasi di atas, karena sudah banyak ditulis dalam buku lain, dan juga untuk menghindarkan interpretasi yang berlebihan.
3) Pengaruh seni Asing
Pengaruh seni asing yang masuk ke Indonesia terutama di Kalimantan, terlihat dari gaya seni masyarakat Dayak. Yaitu pada ragam hias yang terdapat pada bangunan dan peralatan yang memperlihatkan garis-garis lengkung yang tidak simetris. Gaya seni ini, masuk pada masa pemerintahan Chou di Cina, sehingga gaya seni ini sering juga disebut dengan gaya seni Chou.
Penafsiran makna
Penafsiran makna budaya visual adalah kajian utama dari penelitian ini. Namun haruslah dimengerti penafsiran makna haruslah menurut orang atau sistem sosial yang memberikan makna atau menciptakan makna. Misalnya jika kita memaknai sesuatu di masa lampau dengan pikiran masa sekarang, maka makna itu adalah makna menurut pikiran orang sekarang, bukan makna menurut orang yang menciptakan artefak budaya itu di masa lampau. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi diskrepansi makna (ketidak cocokan makna).
Banyak penelitian purbakala yang telah meneliti hasil kebudayaan Megalitik di Indonesia, diantaranya berbagai penelitian oleh Haris Sukendar, seorang tokoh arkeolog nasional menyimpulkan bahwa makna-makna yang terkandung pada kebudayaan megalitik itu mengandung sekurangnya (1) yang bersifat sakral, artinya hiasan atau motif hias yang terdapat pada artefak itu mengandung arti perlambangan tertentu yang dihubungkan dengan sistem kepercayaan purba, (2) yang bersifat profan artinya hiasan atau motif hias yang terdapat pada artefak itu tidak mengandung arti perlambangan tertentu, hanya berfungsi sebagai hiasan.(3) gabungan antara pertama dan kedua.
Banyak penelitian purbakala yang telah meneliti hasil kebudayaan Megalitik di Indonesia, diantaranya berbagai penelitian oleh Haris Sukendar, seorang tokoh arkeolog nasional menyimpulkan bahwa makna-makna yang terkandung pada kebudayaan megalitik itu mengandung sekurangnya (1) yang bersifat sakral, artinya hiasan atau motif hias yang terdapat pada artefak itu mengandung arti perlambangan tertentu yang dihubungkan dengan sistem kepercayaan purba, (2) yang bersifat profan artinya hiasan atau motif hias yang terdapat pada artefak itu tidak mengandung arti perlambangan tertentu, hanya berfungsi sebagai hiasan.(3) gabungan antara pertama dan kedua.
Menurut hemat penulis untuk menafsirkan makna artefak budaya minangkabau setidaknya berdasarkan empat kosmologi sebagai berikut ini.
Tabel kosmologi Minangkabau (hasil penelitian Nasbahry Couto, 1995-1996)
Kosmologi
|
Sistem kepercayaan
|
Pengaruhnya kepada artefak budaya dan pemaknaan
|
Kosmologi era Primordial
|
Pemujaan kepada nenek moyang dan alam, animisme dinamisme
|
Orientasi kepada tempat-tempat yang tinggi misalnya gunung, orientasi kuburan ke gunung, orientasi bangunan membujur ke gunung
|
Kosmologi era Hindu-Budha
|
Pemujaan kepada kekuatan dewa, polytheisme, dan pemujaan kepada kekuatan alam sebagai personifikasi kekuatan dewa
|
lambang hasta brata, delapan model kepemimpinan, penciutan/ reduksi kepada empat model label makna, munculnya kosmologi serba empat, kata nan empat, dsb.
|
Kosmologi era Islam-Minangkabau
|
Menghilangnya sistem kepercayaan lama, pelarangan untuk menggambarkan makhluk hidup, munculnya kosmologi tigo tungku sajarangan
|
Menyamarkan bentuk makhluk hidup dalam ukiran dan hiasan
Transformsi bentuk pada penggambaran benda alam
|
Kosmologi baru Minangkabau
|
Masyarakat pragmatis, memakai hal yang dianggap baik, menghilangkan hal yang dianggap buruk
|
Munculnya faham ekliktik dalam seni dan budaya dan gejala posmo dalam seni.
|
Berdasarkan konsep kosmologi di atas dapat dipahami bahwa orientasi menhir di lokasi penelitian kepada gunung Sago adalah kosmologi era primordial, hal ini dinyatakan dalam laporan penelitian sebagai berikut.
Lihat lokasi gunung Sago di Payakumbuh (Peta Lokasi)
Lihat lokasi gunung Sago di Payakumbuh (Peta Lokasi)
Menhir yang terdapat di daerah kabupaten 50 Kota khususnya di Kecamatan Guguk, dan Kecamaan Gunung Mas terdiri dari beberapa bentuk dan ukuran yang berbeda. Perbedaan yang terdapat pada menhir-menhir tersebut adalah dari teknik torehan yaitu ada yang halus dan masih kasar permukaannya. Dari hasil pengamatan ditemukan bahwa hampir semua menhir yang ada di dua kecamatan tersebut menghadap ke suatu arah yang sama. Selain itu ditemukan pula menhir yang tersusun secara berkelompok, seperti sebuah formasi yang sengaja dibuat sedemikian rupa.
- Umumnya dalam disiplin ilmu sosiologi-antropologi ada dua macam pendekatan, yaitu pendekatan emik dan pendekatan etic. Pendekatan emik yaitu usaha pencarian kebenaran yang diperoleh dari sumber utama penelitian misalnya wawancara dengan penduduk lokasi yang diteliti. Penamaan motif hias di atas adalah label menurut penduduk masa kini, bukan masa lampau. Pendekatan etic, adalah kebenaran ilmu pengetahuan. Kedua pendekatan ini tidak dilakukan oleh tim peneliti ini. Karena tidak ada kajian teori budaya megalitik terlebih dahulu sebagai kajian etic yang memadai. Teori kebudayaan yang lain adalah teori budaya minangkabau, juga tidak ada dikaji lebih mendalam terlebih dahulu.
- Kebudayaan Megalitik tidak bisa dilabel atau dinamakan dengan kebudayaan Megalitik-Minangkabau, sebab saat itu kebudayaan Minangkabau belum terbentuk. Label untuk ini adalah kebudayaan Megalitik di Sumatera Barat. Apa yang disampaikan oleh penduduk setempat adalah kebenaran masa kini, belum tentu benar menurut komunias sosial yang membuat menhir itu di masa lampau. Menurut penulis inilah salah satu kelemahan dari penelitian ini.
- Salah satu jalan keluar dari masalah ini sebenarnya dapat dipecahkan dengan ilmu bentuk seni rupa tanpa mengkaitkan dengan nomenklatur penduduk setempat, memang hal ini sudah dilakukan oleh para peneliti ini tapi masih bercampur dengan semantik nomenklatur penduduk setempat. Hal ini dapat dipahami sebab tumpuan kajiannya berdasarkan ilmu semiotika moderen.
- Jalan keluar yang lain adalah dengan mengkaitkannya dengan kosmologi minangkabau (pendekatan etic), dan juga mengkaji sisa-sisa mitologi penduduk setempat yang mungkin berasal dari era prasejarah, hal ini juga tidak dilakukan tim peneliti. Semiotika juga tidak dapat menolong, karena lambang pada dasarnya adalah hasil kesepakatan sosial, dan lambang –lambang yang diutarakan di atas adalah bukanlah konvensi /kesepakatan sosial era megalitik, tetapi sesudah era megalitik.
- Penafsiran makna budaya visual adalah kajian utama dari penelitian ini, namun haruslah dimengerti penafsiran makna haruslah menurut orang atau sistem sosial yang memberikan makna atau menciptakan makna. Misalnya jika kita memaknai sesuatu di masa lampau dengan pikiran masa sekarang, maka makna itu adalah makna menurut pikiran orang sekarang, bukan makna menurut orang yang menciptakan artefak budaya itu di masa lampau. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi diskrepansi makna (ketidak cocokan makna).
- Banyak penelitian purbakala yang telah meneliti hasil kebudayaan Megalitik di Indonesia, diantaranya oleh Harris Sukendar (1981), yang menyimpulkan bahwa makna-makna yang terkandung pada kebudayaan megalitik itu mengandung sekurangnya (1) yang bersifat sakral, artinya hiasan atau motif hias yang terdapat pada artefak itu mengandung arti perlambangan tertentu yang dihubungkan dengan sistem kepercayaan purba, (2) yang bersifat profan artinya hiasan atau motif hias yang terdapat pada artefak itu tidak mengandung arti perlambangan tertentu, hanya berfungsi sebagai hiasan.(3) gabungan antara pertama dan kedua.Menurut hemat penulis untuk menafsirkan makna artefak budaya minangkabau setidaknya berdasarkan kosmologi Minangkau
Oleh
karena alasan di atas, penulis tidak memuat uraian tentang pemaknaan, cukup
deskripsi kebenaran emik yang ditemukan oleh peneliti. Dan ini cukup bagus
sebagai sebuah dokumentasi untuk melengkapi dokumentasi lain oleh penulis lain.