FOTO BUKITTINGGI LAMA

Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Minggu, 05 Juni 2011

Adat dan Budaya Minangkabau dalam Perspektif Perubahan Sosial


Oleh
Mestika Zed

Bahaya terbesar bagi suatu format budaya [adat] Minangkabau hari ini ialah jika ia ditimpa anakronisme. Anakronisme dalam arti keliru dalam menempatkan warisan nenek moyang itu dalam konteks kekinian. Suatu solusi masalah yang pada mulanya cemerlang,  kerap kali — seiring dengan berjalannya waktu — menjadi bumerang yang memakan tuannya sendiri. Mengapa demikian?  Jawabnya ialah karena zaman terus berubah dan gejala sosial tak matematis. Masyarakat bukanlah robot-robot. Masyarakat selalu reflektif. Ia memiliki daya yang senantiasa aktif menilai. Dalam budaya Minangkabau daya menilai itu ada dalam konsep rasa dan periksa. “Rasa dibawa naik, periksa dibawa turun”. Dengan rasa dan periksa itulah penilaian terus memberikan score atas realitas sosial sekitarnya. Score ini kumulatif sifatnya. Kumulasi penilaian ini terbentuk lewat proses sejarah, sebab  tiap masyarakat, tanpa kecuali, memiliki memori kolektif, kenangan dan cita-cita historis tertentu. Kenangan, cita-cita, dan refleksivitas yang inheren dalam interaksi masyarakat itu menuntut tiap pelaku individu menyesuaikan dan membiasakan diri dengan nilai-nilai dan norma yang ada dalam masyarakat.




Adat dan budaya Minangkabau aslinya adalah konstruksi masyarakat agraris. Unit sosial dan politiknya berada di tingkat nagari. Maka ada ungkapan adat yang mengatakan “Adat salingka nagari” (adat-istiadat hanya berlaku di lingkungan nagari itu saja). Pada masa prakolonial, tidak ada organisasi supra-nagari yang menghubungkan nagari dengan raja, karena raja yang sebenarnya dalam kebudayaan Minangkabau bukanlah “orang”, melainkan adat, dikenal “Adat Nan Empat”. Nan Empat ialah adat. Nan Empat itu berasal dari yang Esa: Allah swt. Itulah “adat yang sebenarnya adat”, yaitu ajaran dan segala hikmahnya yang dijawat dari Nabi Muhammad s.a.w. dan firman Tuhan dalam KitabNYA. Dari sinilah diambil sumber-sumber adat yang sebenarnya sehingga dikatakan: Adat nan sabana adat Indak lapuak dek hujan indak lakang dek paneh Kok dicabuik indak mati, kok diasak indak layua. (Adat yang sebenarnya adat, tidak lapuk kena hujan; tak lekang kena panas. Kalau dicabut tidak mati; kalau dipindahkan tidak layu). Adat bersendi syarak, Syarak bersendi kitabullah. Syarak mangato, adat mamakai.
Pada masa kolonial hukum adat dikodifikasikan oleh Belanda. Kalau tidak salah, Van Vollenhoven, ahli hukum adat Belanda, mendokumentasikan sekitar 19 daerah hukum adat di Indonesia, termasuk satu di antaranya ialah hukum adat Minangkabau. Dalam konsepsi negara kolonial, hukum adat yang dianut oleh suku-suku bangsa di masa penajajahan itu merupakan subordinasi dari hukum positif yang dibuat oleh negara kolonial.  Jadi pada saat yang sama berlaku dua sistem hukum: hukum adat dan hukum kolonial (hukum positif) ciptaan negara kolonial Belanda. Sebagian hukum adat diinterpretasi ulang oleh Belanda, lalu digabungkan dengan hukum positif (hukum tertulis). Sekedar ilustrasi, misalnya, konsep kelarasan yang di dalam adat Minangkabau tadinya mengacu pada konsep sistem sosial masyarakat (Bodi-Caniago dan Koto-Piliang) oleh Belanda dimodifikasi menjadi unit pemeritahan. Maka ada yang namanya Tuanku Lareh (laras) yang mengepalai suatu distrik tertentu. Padahal jabatan ini tidak dikenal dalam adat Minangkabau sebelumnya.

Ketika Indonesia memproklamasikan dari penjajahan Belanda pada 17 Agustus 1945, semua ikatan kolonial dengan masa lalu ditanggalkan, tetapi sebagian konstruksi negara kolonial di masih tetap utuh. Propinsi yang ada di Indonesia (setidaknya sebelum kebijakan pemekaran daerah sejak beberapa dekade belakangan), adalah warisan ‘keresiden’ zaman Belanda. Demikian juga sebagian besar hukum positif kita masih warisan kolonial; begitu pula pengelompokan suku-suku bangsa sebagai komponen subordinat dari bangsa (nation). Dewasa ini komunitas-komunitas suku bangsa dengan identitas kultural lokal (tradisional), sering  disebut  “masyarakat adat“ . Misalnya masyarakat adat Minangkabau, masyarakat adat Batak, masyarakat adat Melayu,  masyarakat adat Sunda, masyarakat adat Jawa, masyarakat adat Banjar, masyarakat adat Bugis, masyarakat adat Papua, dan lain-lain.

Kini zaman makin berubah cepat dan perubahan sosial tak mungkin terelakkan. Di masa lalu, terutama pada zaman prakolonial yang agraris, tidak ada yang dikenal dengan lingkungan “urban” (perkotaan). Juga tidak ada yang namanya “buruh” karena kelas sosial ini adalah ciptaan kapitalisme. Waktu itu juga tidak ada pula nilai-nilai hegemonik, apakah itu yang berasal dari negara (negara kolonial atau negara nasional) atau apa yang kini disebut nilai-nilai global. Kohesi sosial masih kuat dan nilai-nilai ideal adat masih menjadi standar satu-satunya. Dalam kondisi demikian, doktrin sosial Minangkabau (ABS-SBK) relatif aman, tidak  terganggu oleh anasir luar. Namun semua itu kini sudah berubah. Dewasa ini di mana-mana terdapat semacam kegelisahan terhadap patologi sosial yang makin merisaukan banyak orang lebih dikenal dengan “Pekat” (penyakit masyarakat”). Perda Pekat rupanya tak pernah memiliki kekuatan penyembuh.  Juga tidak mangkus dengan hanya meramaikan wacana “kembali ke nagari” dan/ atau “kembali ke surau”.
Siapapun yang sering mengikuti berbagai pertemuan ilmiah, seminar, dan sejenisnya akan banyak menghabiskan waktu mereka hanya untuk mendengar atau saling menyatakan keperihatinan dan kekuatiran mereka terhadap keadaan yang tidak menguntungkan itu. Mirip dengan sesama pasien di rumah sakit, mereka saling menyampaikan keluhan, saling bersimpati dan berharap cepat sembuh hanya karena mereka masih tetap tinggal di sana (Mestika Zed 2002).
Masalahnya sudah demikian runyam, dan membingungkan. Keluhan terhadap kemerosotan nilai adat dan budaya Minangkabau mencuat sedemikian rupa. Sejak beberapa tahun belakangan ini, diskusi tentang ABS-SBK, terutama dalam kaitannya dengan otonomi dalam era refromasi, sudah puluhan kali diadakan dalam pelbagai macam bentuknya (panel, seminar, lokarya, pelatihan, dialog); ratusan makalah dan publikasi diketengahkan. Ada banyak  perspektif, tema, topik atau fokus yang berbeda-beda. Ironisnya, tiap kali kita berdiskusi tentang topik ini, tidak ada suatu upaya untuk mengemas pemikiran yang muncul dalam seminar tersebut ke dalam suatu rangkaian wacana yang berkesinambungan. Apalagi untuk menelorkan jawaban sistematik dan visioner. Penyelenggara diskusi biasanya menetapkan sendiri agenda diskusi yang dianggap “penting” oleh lembaga penyelenggara tanpa mau tahu atau tanpa merasa perlu mengacu kepada apa yang telah pernah diperbincangkan oleh lembaga lain pada waktu dan tempat yang berbeda dengan topik yang kurang lebih sama sebelumnya.
Mengapa generasi kita cenderung latah untuk berwacana ketimbang menelorkan fikiran-fikiran bernas untuk keluar dari tantangan zaman hari ini? Mengapa adat dan budaya kita selalu hangat dibicarakan, tetapi seringkali  ditinggalkan dalam praktek? Bukankah segala yang kini dianggap ide­al dan baik, seperti ide tentang kemajuan, egaliter, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan seterusnya, telah tercakup dalam ajaran dua pencipta agung adat Minangkabau, Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketemanggungan? Akan te­tapi mengapa kenyataan sosial yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari kita sudah sedemikian merosot, tidak lagi mengidahkan ajaran adat tersebut?
Jawaban sederhananya ialah karena tuntutan adat tak dipenuhi dan adat yang terpakai sudah tidak murni lagi. Maka demi kemajuan, tuntutan adat yang ideal haruslah dipenuhi, atau, sebaliknya, perobahan-perobahan haruslah dijalankan demi ketinggian adat dan "semarak gunung Merapi", simbol kebesaran alam Minangkabau.
Namun masalahnya tentu tidak sesederhana itu. Kini kita berada pada suatu kisaran sejarah yang sama sekali lain dari zaman ketika nenek moyang kita yang hidup dalam suasana agraris. Zaman ketika mereka masih mampu mencukupi sendiri kebutuhan hidup keluarga (self-subsistenced), kepemilikan komunal (tanah ulayat), dan zaman ketika pengalaman merantau di masa lalu bukan terutama untuk tujuan ekonomi, melainkan untuk menuntut ilmu dan kepuasan batin untuk melakukan mobilitas sosial di luar kampung halamannya. Bukankah orang Minangkabau di Sumatera Barat dikenal memiliki tingkat mobalitas individual yang tinggi; mereka jug terbiasa melakukan perjalanan jauh untuk berniaga, bahkan sampai ke pantai timur Afrika dan di sana mereka bergabung dalam kelompok pemukiman Melayu Madagaskar dan di Semenanjung Malaya mereka mendirikan Negeri Smbilan (Mestika Zed, 2010).
Kini orang Minangkabau bukan lagi semata-mata menjadi  ’anak-kemenakan’ (warga) dari ninik mamak di nagari ini dan itu saja. Kini mereka juga menjadi bagian dari anak kemenakan (warga negara) Indonesia. Indonesia merdeka adalah negeri baru mereka. Andil tokoh Minangkabau terhadap pembentukan Indonesia modern di masa lalu tidak bisa dinafikan. Demikian banyak tokoh-tokoh Minangkabau yang berperan menjadi "the fouding fathers"  Indonesia Merdeka, yakni, orang-orang yang berjasa mendirikan fondasi Republik ini. Ini sudah merupakan self-evident  dalam sejarah nasional kita.  Sumber Belanda di penghujung tahun 1949 juga mengakuinya,
“...Orang harus ingat, bahwa tokoh-tokoh besar di Djogja [maksudnya Yoyakarta], seperti Hatta, Soetan Sjahrir dan Hadji Agoes Salim ... [dan Natsir] adalah orang Minang, dan bahwa pemerintah Djogja seharusnya dapat dikatakan identik dengan pemerintahan Minangkabau ....”  (dari Dokumen Belanda, Mestika Zed, 2007).

Para Bapak Bangsa asal Minangkabau itu, meskipun tidak lagi tinggal di kampung halaman, Minangkabau, tetap menghargai nilai-nilai budaya dan adat Minangkabau. Justru sebagian pemikiran mereka berasal dari dan terinspirasi oleh ajaran adat Minangkabau. Rudolf Mrazek dalam suatu artikelnya (1972) tentang Tan Malaka mencoba menganilisis kaitan antara adat Minangkabau dengan apa yang disebutnya "struktur pengalaman” seorang anak Minangkabau  bernama Tan Malaka. Alam fikiran Minangkabau dilihatnya melalui kacamata "dialektika", di mana sifat yang dua, yang saling berlawanan menemukan keserasian dalam mencapai tujuan. Petuah adat dalam pantun berikut mengatakan, “Bersilang kayu dalam tungku, di situ api dapat hidup”, adalah contoh “sifat nan dua saling berlawanan.  Ada juga nan dua yang saling melengkapi seperti ungkapan berikut ini: “raso jo pareso; rasa bibawa naik; periksa di bawa turun”; “hidup berakal, mati beriman”. Ada pula nan dua merupakan hubngan sebab-akibat: “gabak di hulu tando ka hujan, cewang di langik tanda akan panas”.
Kemampuan adat bertahan melawan perubahan zaman ter­letak pada keluwesannya mengembangkan diri dalam menerima proses pembaharuan. Dari segi assinya, adat dipertahankan agar tetap tidak berubah, tetapi unsur-unsur baru dari luar yang dianggap baik diterima dan dimasukkan ke dalamnya. Dalam hal ini, kaitan yang erat antara adat dan agama (Islam), umpamanya, dapat di­lihat melalui perspektif itu. Perspektif itu juga dipegang, atau dipakai sebagai alasan rasionil, dalam memberikan respons terhadap kekuasaan kolonial dan kebudayaan Barat. Logikanya, alam atau adat Minangkabau mempunyai dinamika sen­diri untuk menapis terobosan nilai-nilai dari luar dan kemampuan untuk menyisihkan yang buruk dari dalam. Dalam dinamika itulah kekuatannya terletak  sehingga menjadikan  dirinya  tetap relevan  dari zaman  ke zaman.   Menurut  Mrazek, Tan Malaka  termasuk salah seorang cendekiawan Minang­kabau yang menerima visi atau idealisasi adat dan falsalah hidup masvarakat Minangkabau yang demikian. Itulah landasan atau dasar struktur pengalamannya. Sikap, tingkah laku politik serta jalan pemikirannya amat diwarnai oleh itu. Proses pemasukan unsur-unsur luar atau baru terutama dimungkinkan oleh konsep "rantau". Pergi merantau, menurut visi falsafah Minangkabau itu, membuka mata warganya buat mengenal dunia luar yang luas, di mana mereka akan menemui hal-hal baru yang nanti akan dibawanya pulang. Pada waktu yang sama, karena berada di luar alam Minangkabau si perantau akan mampu melihat diri dan peranannya secara lebih jelas dalarti konteks kepulangannya nanti. Dengan lain perkataan, “perantau betapa jauhpun dia pergi pada suatu waktu akan   kembali   ke   alamnya   dengan   segala   bawaannnya—harta atau pun  ilmunya.  Dia,  karena sudah  luas pengetahuannya, diharapkan akan memainkan peranan sebagai juru  penerang atau  guru  atau ulama  sehingga masyarakatnya bisa ikut menerima apa yang baik dari rantau dan membuang apa yang tak relevan di kampung halaman. Demikianlah analisis Mrazek tentang masyarakat Minangkabau dalam kaitanya dengan tokoh Tan Malaka.
Jika sekarang terjadi kerisauan terhadap merosotnya nilai-nilai budaya dan adat Minangkabau, termasuk kecenderungan merosotnya kepemim­pinan orang Minang di pentas nasional dalam hampir setiap bidang kekidupan, agaknya tidak ada yang membantahnya. Sebagian menganggapnya sebagai hal yang biasa, sebagian lain sulit menerimanya. Tetapi ada semacam kesepakatan umum bahwa gejala de­gradasi atau kemerosotan itu memang sudah terjadi, meskipun tidak sampai ke titik nol, dan bahwa gejala itu diperkirakan berlangsung sejak zaman pergolakan PRRI (1958-1961) dan akibatnya makin dirasakan setelah memasuki rejim baru Orde Baru. Sejak itu, diskontinuitas (keterputusan) sejarah orang Minang pun mulai terjadi. Pada hemat saya, paling tidak ada dua alasan historis mengapa gejala diskon­tinuitas itu terjadi. Pertama, akibat pergolakan itu sendiri dan kedua, leitmotif, dan proses kelahiran kepemimpinan generasi-generasi kemudian.
Pertama, tragedi PRRI benar-benar telah meluluhlan-takkan kampung halaman orang Minang dan hilangnya satu generasi pemuda. Lebih-lebih karena dari yang tersisa, lebih banyak memilih untuk meninggalkan kampung halaman alias merantau. Sejak itu, seperti dalam cerita Cindua Mato, negeri ini seperti "dialah garudo", lengang tak berpenghuni laki-laki. Bagaimanapun juga akibat pemberontakan itu, tidak berhati hilngnaya sama sekali kebutuhan kodrat dasar manusia. Orang kampung halaman masih bisa makan, meskipun kebutuhan makin susah. Mereka masih bisa beranak-pinak, meskipun nama anak sedikit disesuikan dengan nama Jawa. Itu terjadi, baik di kam­pung halaman maupun di rantau. Yang hilang ialah rasa aman dan watak ke-Minangkabauan-nya. Agaknya, kerena alasan-alasan inilah, maka Harun Zain, gubernur Sumatera Barat yang pertama di awal Orde Baru, dengan tepat mengusung visi pemerintahannya dengan tema "mengembalikan harga diri orang Sumatera Barat". Namun, generasi kepemimpinan Sumatera Barat paska PRRI, tidaklah sama dengan pemimpin generasi sebelumnya, dalam arti kriterianya sudah bergeser. Kita akan masuk ke isu  kedua.
Kedua, hilangnya watak kepemimpinan Minangkabau yang diwariskan oleh the founding father asal Minangkabau itu. Bagaimana pun semua pendahulu kita itu, tanpa kecuali, adalah tokoh yang unik pada dirinya. Dari segi ideologi, misalnya, kita menemukan ideologi-ideologi beraneka warana di antara mereka, mulai dari yang paling ekstrim kiri sampai ke esktrim kanan; atau setidaknya yang moderat dan yang radikal. Namun hanya dua saja titik persamaan watak mereka: (i) watak intelektualisme mereka dan (ii) keteguhan dalam memegang prinsip altruisme. Dengan intelektualisme maksudnya ialah bahwa semua pendahulu kita itu memiliki kelebihan sebagai insan pemikir visioner, dalam arti memiliki kemampuan dan visi untuk ‘membaca’ tanda-tanda zaman dan yang menjadi suluh masyarakat untuk menerangi kondisi sezaman dan menawarkan jalan keluar yang harus ditempuh ke depan. Intelektualisme pastilah menuntut setidaknya dua hal: kecerdasan dan berfikir kritis di satu pihak dan keterlibatan di lain pihak. 

Sebagai kaum literasi yang berada di pusaran sejarah yang menentukan, para mereka mengasah fikiran mereka dengan kebiasaan membaca dan menulis. Membaca bagi mereka tidak hanya dalam arti membaca teks (buku dan sejenisnya), melainkan membaca dunia di sekitarnya sebagai teks; dalam istilah Minangkabau dikenal ungkapan “alam terkembang jadi guru”. Dalam hal ini mereka umumnya pemimpin yang mampu menulis. Intelektualisme selanjutnya menuntut keterlibatan. Mereka tidak hanya kritis dan gigih mengatakan ini dan itu, tetapi juga membuktikannya. Kata kuncinya ialah sesuai kata dengan perbuatan dan pada gilirannya ini melahirkan sikap ketauladanan sang pemimpin. Di sini kita lalu berjumpa dengan sifat kedua, altruistik, yaitu kesediaan mereka melakukan perbuatan terpuji demi kebajikan orang lain. Ini hanya mungkin jika setelah seseorang mampu memenangkan pertempuran melawan egonya demi kebajikan orang banyak atau mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri dan golongannya. Bingkai ideologis yang mengikat pandangan hidup altruisme mereka – meminjam istilah Moh. Hatta – ialah “nasionalisme kerakyatan”. Mereka dalam istilah Jacques Barzun (1959) adalah “the house of intellect”, yang tak pernah kering mengalirkan gagasan-gagasan bening dan cerdas serta keterlibatan mereka yang intens dalam mendobrak sejarah zamannya. Mereka tidak hanya melahirklan Republik ini, tetapi mereka jugalah sesungguhnya sumber inspirasi bagaimana negeri ini harus dikelola.
* * *
Penutup.
Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan adat dan budaya Minangkabau, khususnya filsosofi ABS-SBK. Yang keliru adalah bahwa pemimpin dan kaum intelektual kita hari ini tidak lagi mampu melakukan interpretasi baru tentang adat dan budayanya ketika berhadapan dengan zaman yang berubah makin cepat.  Mereka lebih cenderung mengikut mainstream, tanpa mampu mencari jalan keluar dari tantang zaman. Yang lebih diperlukan sekarang sebetulnya ialah sikap konsisten dan etos kerja keras. Kompleksitas kehidupan sosial yang terjadi dalam hubungan sosio-kultural masa kini makin rumit dan ia akan dapat dipahami jika kita memiliki pemahaman dan apresiasi yang baik tentang perubahan sosial yang tengah berlangsung di depan kita.
Perubahan ke arah mana? Pertanyaan ini tentu erat kaitannya dengan semangat ideologi yang mendasarinya. Kalau Anda seorang nasionalis sejati dan masih percaya pada warisan terbaik dari the founding fathers yang mendirikan Indonesia Merdeka ini, ada empat alasan adanya (conditio sine qua non)  mengapa para pendahulu kita itu ingin memerdekakan diri dari penjajahan atau  mengapa mereka sepakat mendirikan nation-state Indonesia tanpa meninggal masyarakat hukum adat warisan masa lalu.


  • karena negara ingin melindungi segenap rakyatnya dan bukan menelantarkannya;
  • karena negara ingin menyejahterakan rakyatnya, dan bukan untuk mengeksploitasinya;
  • karena negara ingin mencerdaskan “kehidupan” warganya, dan bukan membodohinya;
  • karena kita ingin ‘tegak sama tinggi dan duduk sama rendah’ di dunia internasional.
Keempat butir di atas merupakan komitmen yang ditorehkan dalam Pembukaan UUD 1945. Sesungguhnya itulah blue-print Indonesia merdeka dan pada hemat saya itulah warisan terbaik “Bapak Bangsa” yang melahirkan orok Indonesia pada 17 Agustus 1945 itu, yang di dalamnya andil pemimpin dari Minangkabau sangat besar. Oleh karena negara dan pemerintah sebagai representasinya tidak mampu mengerjakan sendiri komitmennya, maka masyarakat ikut bersama-sama membantunya atau paling tidak mengingatkanya. Kelompok masyarakat madani, termasuk di dalamnya LSM, masyarakat adat dan elit politik merupakan kelompok strategis yang pada dasaranya terdiri dari kaum intelektual haru mengambil pernan yang jelas di dalamnya. Mereka sepatutnya memiliki visi dan misi yang terang tentang ‘tantangan’ dan jawaban’ yang herus dirumuskan secara bersungguh-sungguh, dengan penuh kejujuran dan kerja keras.  

Laman yang Sering Dikunjungi