FOTO BUKITTINGGI LAMA

Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Sabtu, 12 Februari 2011

Tirani Sejarah Nasional

Oleh: Prof. Dr. Mestika Zed, M.A 

"Berbahagialah suatu bangsa yang tidak punya sejarah”.  Begitulah adagium yang biasa digunakan di Eropa akhir abad ke-18 sebagai ungkapan untuk menghibur negara-negara kecil yang menderita akut akibat beban sejarah, ketika zeitgeist nasionalisme memerlukan legitimasi “kebesaran” masa lalu yang pantas diagung-agungkan. Dewasa ini tidak hanya sejarah yang tak dipercaya lagi, tetapi malah juga ide tentang bangsa. Bagi sebagian sejarawan profesional, adagium di atas bisa dibalik demikian: “berbahagialah sejarah tidak punya bangsa”.

Ketidakpuasan terhadap sejarah nasional pada mulanya merupakan bagian dari ketidakpuasan terhadap sejarah politik, yaitu sejarah naratif konvensional yang berfokus pada konstruksi kekuasaan negara dan bangsa di masa lalu. Ketika “politik ditarik keluar dari sejarah”, (history with politics left out), maka dengan sendirinya “bangsa” ikut dikeluarkan pula. Sebagai konsekuensinya, sejarawan mulai mengarahkan perhatiannya ke sejarah lokal, sekaligus dalam upaya pengayaan terhadap wacana sejarah nasional. Sejarah lokal menekankan kekhususan lokalitas, sementara sejarah nasional mencari kesamaan-kesamaan umum dalam “kebhinekaan”.

Begitu juga sejarah dunia, biasanya lebih menekankan kesamaan-kesamaan dalam gejala sejarah (“peradaban”) dunia ketimbang menemukan kekhususan negara negara tertentu. Sejarah sosial, yang cenderung bertumpang tindih dengan sejarah lokal mengajukan kategori-kategori selain “bangsa” seperti etnisitas, ras, golongan, kelas, agama, keluarga, wanita, kesehatan, anak-anak dan seterusnya.

Namun, dalam beberapa kasus tertentu, kategori “bangsa” diam-diam masih merupakan kerangka kerja yang tetap dipertahankan, meskipun tidak lagi ditonjolkan atau bukan lagi hal yang substansial. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, penolakan terhadap kehadiran bangsa-bangsa (kolonial) Barat dan gagasan nasionalitas dari Barat seringkali melahirkan nasionalisme militan dan dalam penulisan sejarah muncul historiografi nasionalistis, suatu proses dekolonisasi historiografi dengan semangat ideologi nativisme. Namun penolakan terhadap sejarah nasional kini malah semakin agresif. Ini terutama datang dari kelompok sejarawan Marxis. Mereka ingin menghapuskan setiap jejak watak nasional dan meramalkan hilangnya semua perbedaan nasional dan antagonisme di dunia. Meskipun demikian, sejarawan Marxis masih mengangap perlu mempertahankan ide nasional dalam karya mereka, jika itu hanya semata-mata untuk tujuan sementara bagi perjuangan kelas yang terjadi di setiap negara.  
Sejak beberapa dekade terakhir ini, kecederungan untuk mengabaikan ? kalau bukannya meninggalkan sama sekali ? konsepsi sejarah nasional tampaknya juga berkembang di Barat. Bahkan pemikir konservatif sekalipun, seperti Michael Oakeshott, juga menolak nasionalitas sebagai suatu prinsip yang diperlukan dalam penulisan sejarah. Karena alasan yang sama pula dia menolak bentuk-bentuk pemahaman masa lalu dengan ide-ide “pragmatis” manapun yang mengaitkan “present minded” dalam penulisan sejarah. “Kita mungkin bisa menerima suatu Sejarah Perancis”, katanya, “tetapi jika pengarangnya membebaskan keterikatan sejarawan dari peran sebagai “ideolog” atau “mitolog” dalam memberi identitas kepada bangsa ? La Nation  atau La France?
  
Penolakan konsep “bangsa” dalam penulisan sejarah bukanlah melulu karena alasan ideologis, melainkan juga karena kontradiksi-kontradiksi intelektual yang tak terelakkan bila dipandang dari sudut teoretis-metodologis. Sering dikemukakan bahwa “sense of national identity”, seperti halnya dengan identitas lain, seperti religiusitas dan etnisitas, memiliki sejarahnya sendiri. Ada saatnya fenomena ini melemah ‘atau meluntur’ untuk sementara waktu, sebaliknya menguat pada era tertentu atau menyatakan diri dengan cara berbeda dalam perjalanan waktu. Identitas keagamaan, misalnya, suatu waktu begitu dominan di Eropa Abad Tengah, tetapi disepelekan pada waktu yang lain. Begitu juga dengan nasionalisme. Memperlakukan nasionalitas sebagai ukuran “abadi” dalam sejarah, bukan saja meniadakan kenyataan sejarah di luar karangka itu, melainkan juga bisa terjebak pada determinisme sejarah. Pada gilirannya sejarah nasional, menurut pandangan ini, merupakan tirani yang opresif,  karena ia “membunuh” atau meniadakan kenyataan sejarah yang lain dan pada saat yang sama juga menyesatkan pemahaman sejarah publik terhadap realitas masa lalu mereka.

Risalah sederhana ini merupakan suatu survey singkat tentang konsepsi sejarah nasional dalam penulisan sejarah di beberapa negara Barat (khususnya Perancis dan Inggris) sejak dekade terakhir ini, guna membantu memahami tentang apa yang terjadi dalam kasus historiografi nasional di Indonesia. Akan ditunjukkan dalam risalah ini bahwa kecenderungan merosotnya “genre” nasional dalam penulisan sejarah, sampai tingkat tertentu, bukan tidak memiliki argumen yang masuk akal. Pada gilirannya, dengan mempelajari apa yang berkembang dalam penulisan sejarah di negeri lain, kita mungkin bisa belajar banyak tentang krisis penulisan sejarah di negeri kita. Lebih-lebih lagi, jika ada gagasan revisi sejarah nasional dalam waktu dekat, kita mungkin bisa membebaskan diri dari “tirani sejarah nasional”, tanpa perlu menghapuskannya sama sekali dan juga tanpa perlu melahirkan generasi sejarawan “revisionist”, dalam gaya “amandemen” konstitusi di parlemen, seperti uraian berikut ini.

Perancis setelah Barudel
Perancis menempati kedudukan yang khusus dalam spektrum perkembangan riset sejarah di universitas-universitas di dunia dewasa ini. Bukan hanya karena sumbangan sejarawannya terhadap pembaharuan dalam penulisan sejarah sejak paska PD II, melainkan juga karena eksperimen metodologis dari sejarawan profesional Perancis bisa dinikmati oleh para sarjana di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

Sumbangan terpenting dari sejarawan Perancis berasal dari kelompok sejarawan Annales, khususnya dalam upaya mendekatkan sejarah dengan disiplin ilmu-ilmu sosial, yang selama ini cenderung berjalan sendiri-sendiri. Selama abad abad ke-19 dan awal abad ke-20, sejarawan sangat terpaku pada sejarah naratif yang konvensional, yang lebih mengutamakan bercerita secara kronologis tentang kejadian-kejadian politik dramatis. Penulisan sejarah tipe ini dapat ditemukan di semua negara. Sebaliknya sedikit sekali perhatian pada isu-isu sosial dan kemungkinan untuk menggunakan teori dan metodologi ilmu sosial.

Di antara kelompok sejarawan Annales yang paling terkemuka dan yang membuat aliran itu semakin terkenal di universitas-universitas di dunia, ialah Fernand Braudel (1902-1985). Ia bahkan dianggap sebagai sejarawan paling terkemuka abad ke-20 karena karya ‘masterpiece’-nya tentang The Mediteranean and the Mediteranean World in the Age of Philip II, 2 Vols (diterbitkan pada tahun 1949 dan direvisi 1966 dan diterjemahkan ke dalam edisi Inggris 1972-73). 

Titik perhatian dari karya Braudel ini sebetulnya bukanlah terutama tentang Raja Spanyol Philip II atau kawasan Laut Tengah itu sendiri, melainkan pada upayanya untuk mengembangkan tesisnya tentang perubahan sosial dan irama waktu yang mengitarinya. Gagasan sentral Braudel ialah bahwa irama perubahan kesejarahan berlangsung dengan kecepatan waktu yang berbeda-beda dalam tiga macam perspektif irama waktu dan masing-masing dibahas dalam satu bagian tersendiri dalam bukunya.

Dalam karyanya yang lebih baru, sekali lagi, Braudel membuktikan dirinya sebagai sejarawan brilian yang dikagumi saat bukunya yang lebih baru diterbitkan, yakni Civilisation matèrielle, èconomie et capitalisme, Xve-XVIIIe, yang diterjemahkan ke dalam tiga jilid edisi Inggris, masing-masing diberi judul tersendiri: Jilid I: The Strucutre of Everyday Life (1981); Jilid II: The Wheels of Commerce (1982); Jilid III: The Perspective of the World (1984). Ketiga jilid bukunya ini menggambarkan asumsi-asumsi dasar metodologinya tentang tipe perubahan dalam irama waktu yang berbeda-beda itu.

Kerangka analisis Braudel telah menjadi inspirasi bagi ahli ilmu-ilmu sosial,  termasuk sejarawan dalam mengembangkan pendekatan yang lebih baru di dunia, termasuk di Asia,  dan bahkan juga di Asia Tenggara seperti yang dikerjakan oleh Anhony Reid,  dan tentang sejarah Indonesia (Jawa) oleh Denys Lombard.  Kalau di Perancis kelompok sejarawan Annales berpengaruh terhadap lahirnya “sejarah yang bercorak ilmu-ilmu sosial” (historical social science), sering juga disebut sejarah struktural, dan di Amerika Serikat dikenal sejarah “ekonomi baru”, sejarah ekonometrik, sering juga disebut dengan sejarah “kliometrik”.  Jika puncak prestasi Annales di tangan Braudel membuat aliran itu semakin terkenal di dunia, sehingga identik dengan la Monde Bradellien,  puncak prestasi sejarawan kliometrik di Amerika Serikat berada di tangan pelopornya  Robert W. Fogel. Bersama koleganya, Douglas C. North Fogel memenangkan hadiah Nobel 1993, satu-satu untuk sejarah ekonomi sejak penghargaan ilmiah bergengsi dunia itu.

* * *
Di tengah-tengah prestasi gemilang kelompok Annales, sejumlah sejarawan Perancis sejak beberapa tahun terakhir mulai merintis jalan baru di luar mainstream tersebut. Salah seorang di antaranya ialah sejarawan Theodore Zeldin. Menulis sejarah Perancis 1848-1945 Dua Jilid (1973, 1977), dan yang lebih baru The Franch (1982), Zeldin secara blak-blakan menghapuskan nasionalitas (kebangsaan) dalam penulisan sejarah, baik sebagai realitas maupun sebagai unit kajian yang berguna (meaningful) dalam metodologi sejarah. Bukan hanya unsur “bangsa” yang dibuangnya dari penulisan sejarah, melainkan juga kategori-kategori lain, yang biasa dikenal dalam konvensi penulisan sejarah seperti kronologi, kausalitas, kolektivitas -- termasuk kelas-kelas sosial, masyarakat dan nasionalitas.

Pembebasan sejarah sosial dari sejarah politik, menurut Zeldin, adalah langkah pertama dalam pembebasan dari tirani sejarah nasional, sebab sejarah sosial, bagaimana pun, masih menajdi budak tirani-tirani opresif lainnya seperti “tirani waktu” (sebagai mana tercermin dalam pendekatan evolusioner atau kronologis), tirani kelas sosial dan tirani kausalitas. Bahkan pendekatan baru yang dibanggakan dewasa ini seperti sejarah komparatif dan sejarah interdisipliner, menurutnya, sebetulnya memperkukuh tirani lama karena sejarah komparatif masih terus menggunakan kategori nation-state dan sejarah interdisipliner semakin menghilangkan otonomi sejarah karena mengabdikan dirinya pada ilmu-ilmu sosial (sosiologi, antropologi, ekonomi, geografi dan cabang ilmu sosial lainnya). 

Untuk benar-benar bisa membebaskan dirinya dari tirani sejarah nasional dan sejenisnya, maka sejarawan, menurut Zeldin, haruslah mengadopsi apa yang disebutnya pointillisme, yaitu mengurai fenomena sejarah ke dalam unit-unit yang paling kecil, paling elementer  yaitu individu para aktor sejarah, lalu menghubungkan unit-unit tersebut dengan cara “merentangkannya” (juxtapositions) sedemikain rupa dibandingkan dengan membuat penjelasan sebab-sebab (causes). Selebihnya biar pembaca yang berfikir sendiri untuk menghubungkan mata-rantai peristiwa yang dianggap cocok dan logis menurut penalaran mereka sendiri. Hanya dengan cara demikianlah pembaca bisa membebaskan dirinya dari tirani sejarawan.

Dengan begitu, Zeldin menawarkan suatu pendekatan baru yang kelihatan “ganjil” dalam tradisi penulisan sejarah yang pernah ada. Penekanan pada para aktor sejarah tidak selalu berarti ia tidak sedang menyarankan sejarah “biografi” dan bukan pula sejarah naratif yang konvensional, tetapi semacam “methodological individualism” dalam pengertiannya sendiri. Yang jelas, jika Annales dapat dikatakan “menstrukturkan sejarah” (hingga menghasilkan sejarah struktural -- tentu ada banyak macamnya)  Zeldin mendekonstruksinya. Ia mempertegas teorinya tak lama sebelum buku jilid duanya The French diterbitkan dengan anak judul: Ambition, Love and Politics, and Intelect, Taste and Axiety (1982). Belakangan ia mengulangi lagi pendirian metodologinya tentang tirani nasionalitas dalam sejarah konvensional. 

Perspektif nasional, menurutnya, tak mungkin dipertahankan lagi karena cara pandang demikian hanya terjadi karena “inertia” dan kesukaran dalam mengembangkan alternatif yang memuaskan”. Sebetulnya tak ada yang dinamakan “national identity” karena bangsa-bangsa bukanlah merupakan entitas distingtif. Semua instink kita mengatakan bahwa memang ada sesuatu yang berbeda antara orang Jerman dan Italia, tetapi semua instink kita juga mengatakan kepada kita bahwa bumi ini datar. Sejarawan seharusnya mengoreksi distrosi sejarah tradisional yang lain: penekanan pada politik ketimbang institusi sosial, pada kepercayaan agama yang formal ketimbang kepercayaan-kepercayaan massa yang tersembunyi (“hidden beliefs of the masses”) pada kehidupan publik ketimbang kehidupan “private”, pada budaya “halus” ketimbang budaya kerakyatan, pada kaum laki-laki dibanding perempuan, pada orang dewasa dibanding remaja dan malahan pada apa yang kini juga menjadi kritik terhadap “the new history” yaitu  tentang kategori-kategori kelompok, kelas-kelas dibanding  individu-individu.

Pembebasan sejarah yang sebenarnya, menurut Zeldin, haruslah individualisitik dan atomistik  dan bukan nasional, bukan ekonomik, bukan sosial, melainkan sejarah “personal”. Bagi Zeldin itulah yang disebut dengan “sejarah total”.  Hanya dengan merekonstruksi gambaran masyarakat dari bawah ke atas, yakni mulai dengan individu-individu sebagai atom sejarah,  kita dapat menangkap kompleksitas di belakang streotipe nasional itu itu, demikian pendapat Zeldin. Sekali lagi yang dimaksudkannya dengan individu-individu dalam sejarah itu, bukanlah apa yang dipahami dalam sejarah konvensional atau biografi. Dalam kaitan ini, ia mengkritik seorang penulis yang terlalu membesar-besarkan sumbangan Shakespeare terhadap kebudayaan nasional Inggris. “Shakespeare hanyalah “suatu moment’ saja dalam sejarah Inggris’. Ia merupakan kekecualian dibanding mewakili figur yang representatif. Dalam hubungan ini, maka Zeldin mempertanyakan “seberapa banyak orang Inggris yang hidup di zamannya sampai kini yang memiliki apersiasi dan mengerti tokoh sastrawan besar Inggris itu?” 

Pembebasan sejarah dari identitas “nasional”, dan konsep-konsep sejarah yang konvensional, dalam pandangan Zeldin, merupakan upaya untuk menegaskan pemisahan antara “lem perekat” dengan peristiwa, antara interpertasi dan fakta, untuk memisahkan mitos dari realitas, untuk membedakan tentang apa yang dikatakan dengan apa yang diperbuat, tentang apa sesungguhnya terjadi dengan apa yang dipikirkan terjadi oleh orang-orang. Sekali fakta-fakta direntang (juxtapositions) secara longgar, maka masih mungkin untuk dipertimbangkan lagi tentang pola-pola mana yang lebih cocok kaitannya satu sama lain. Untuk ini biarlah pembaca sejarah membuat rekonstruksinya sendiri.

Beberapa jenis lem perekat itu, merupakan mitos tentang realitas, kadangkala juga merupakan kunci terhadap realitas itu sendiri, tetapi semua perekat ini menyesatkan. Sebagaimana halnya mitos politisi yang memberi tekanan terhadap pentingnya perisitiwa-peristiwa legislatif atau kejadian tertentu untuk dijadikan “move” politik dalam kehidupan publik, mitos sejarawan melahirkan tirani-tirani “nasional”. Sekali lagi, untuk menghapuskan semua tirani sejarawan ini  yang menurut Zeldin tidak lain hanyalah “illusory constructs” belaka, ia menawarkan strategi pointillisme guna merekonstruksi hubungan-hubungan dan mereduksi kompleksitas fenomena sejarah ke dalam bentuk yang paling elementer, yaitu pada realitas individual sebagai suatu keharusan sejarah. Baginya hanya dengan strategi semacam itulah penulisan sejarah Perancis bercorak “ke-Perancisan” (the Frenchness of France) itu dimungkinkan.

Inggris setelah Whig School
Inggris tak kurang dengan deretan nama sejarawan besar. Untuk menyebut beberapa di antaranya Edward Gibbon, T.B. Macaulay, T. Carlyle, J.B. Burry, Lord Acton, G.M. Trevelyan, A. Toynbee, H. Butterfield, Sir Lewis Namier, R.H. Tawney, H. Trevor-Roper, G. Elton, E.H. Carr, W. Stubbs, F.W. Maitland, E.A. Freeman, hingga E.J. Hobsbaum dan E.P. Thompson. Sejarawan terbesar Inggris abad ke-20, menurut Marwick, ialah Namier dan Maitland.  Namun demikian, secara keseluruhan, historiografi Inggris sejak seratus tahun terakhir, dengan beberapa kekecualian, berada “di pinggir perubahan”, terperangkap dalam kemacetan perkembangan intelektual serta miskin konseptual.

Kontur dominan tetap pada sejarah naratif a la Rankean, di samping menerima beberapa pengaruh luar lewat pengawinan sejarah dan sosiologi dan ekonomi, yang kemudian melahirkan “sejarah masyarakat”, atau sejarah sosial khas Inggris.  Tetapi struktur lama masih tetap utuh. Jika maisntream penulisan sejarah di Perancis berada di bawah pengaruh aliran Annales dan “Braudelian”-nya, di Inggris diwakili oleh apa yang disebut “interpretasi sejarah Whig”. Istilah itu diperkenalkan pertama kali oleh Sir Herbert Butterfiled tahun 1930-an untuk mengacu pada ciri utama penulisan sejarah Inggris yang bersandar pada kepercayaan kemenangan nilai-nilai liberalisme dan lembaga-lembaga perwakilan dalam tradisi konstitusi Anglo-Saxons abad ke-18. Latar belakang dari cara pandang ini berasal dari upaya kaum liberal (Whig) untuk melanggengkan cita-cita konsititusi kuno Inggris yang dirumuskan dalam Magna Carta (Juni 1215) sebagai tonggak sejarah demokrasi ‘Inggris’ dan diperkuat dengan kemenangan Revolusi 1688 yang berhasil menciptakan sistem monarkhi konsitusional.

Kata kunci dari interpretasi sejarah Whig ialah “kontinuitas” dan ‘kemajuan”. Menurut pandangan ini, orang harus menghargai masa lalu dengan meneruskan nilai-nilai “kemerdekaan” dan “demokrasi” sebagai kekuatan pendorong kemajuan (progress) dalam sejarah. Penekanan pada nilai-nilai pragmatik menjadi ciri interpertasi sejarah Whig. Sejarawan Whig cenderung menilai dan membuat sejarah untuk menjawab persoalan-persoalan hari ini dengan memutar jarum jam ke belakang, dalam hal ini, memuji-muji revolusi-revolusi Inggris yang berhasil pada abad ke-17 dan menonjolkan prinsip-prinsip kemajuan tertentu di masa lampau’, untuk menjustifikasi sistem politik sezaman.  Dengan kata lain, sejarawan Whig berupaya menerjemahkan realitas masa lampau Inggris atas dasar “moral judgment” dari sudut pandang kaum Protestan abad ke-19. Penekanan sejarah sebagai ajaran politik dan nilai-nilai ideologis tercermin dari upaya mereka untuk memberi citra watak nasional Inggris sebagai bangsa yang menghargai nilai-nilai “kemerdekaan sipil”, pemerintahan yang konstitusional dan lembaga-lembaga perwakilan khas Anglo Saxon.

Akan tetapi interpretasi sejarah Whig semakin lama semakin kehilangan harganya. Para pengkritiknya menuduh bahwa pemujaan terhadap watak nasional yang diagung-agungkan Whig lebih merupakan “fictious entities”. Pandangan ini tak lebih dari suatu mitos kaum politisi yang memberi tekanan terhadap pentingnya perisitiwa-peristiwa legislatif atas kejadian tertentu dalam kehidupan politik Inggris. Bahkan dokumen “Magna Carta” (1215) dianggap sebagai ‘dokumen feodal’, begitu juga prinsip-prinsip dan praktik demokrasi Inggris lebih merupakan hegemoni dari “the rulling class”.  Sejarawan E.A. Freeman, yang mendefinisikan sejarah sebagai “past politics”, menganggap interpretasi sejarah Whig tidak lagi memuaskan karena lebih menjurus pada  “the school of statesmanship”. Ia sendiri adalah sejarawan Whig dan boleh jadi salah seorang dari kelompok revisionist dari “dalam”.
 
Tentu saja kritik paling lantang datang dari kelompok sejarawan Marxis Inggris. Menurut pandangan kelompok ini, sejarah Inggris abad ke-17, yang menjadi dasar interpretasi sejarah Whig, sama sekali bukan merupakan sebuah kontinuitas sejarah seperti yang diyakini pendukungnya. Penggusuran kekuasaan Raja oleh Parlemen lewat revolusi pada pertengahan abad ke-17 itu harus dijelaskan dari faktor-faktor ekonomi, khususnya semakin kuatnya kedudukan kelas menengah. 

Revolusi Inggris tersebut mengakhiri zaman Abad Pertengahan di Inggris, baik secara eknomi maupun konstitusional. Karena itu, menurut sejarawan revisionist Marxis, kejatuhan monarkhi pada waktu itu merupakan konsekuensi dari sebab-sebab jangka pendek (dan bukan, misalnya,  karena mitos “Magna Carta’ jauh sebelumnya). Demikian pula akibatnya bukan tidak dapat diramalkan, bahkan tidak berakibat jangka panjang terhadap Inggris masa kini, seperti, yang ditafsirkan oleh sejarawan Whig sebagai kontinuitas sejarah ketika negeri itu memasuki zaman kemanjuan, yakni negara-bangsa yang modern dan industrialis.

Pengaruh kelompok revisionis terhadap penulisan sejarah Inggris mengundang debat panjang dan adanya upaya re-analisis yang cukup beragam, tetapi suatu sintesis yang memuaskan tampaknya belum ada. Barangkali gambaran mengenai penulisan sejarah Inggris pada periode belakangan lebih tepat disebut periode “post revisonism.”  Dalam hubungan ini, pemahaman yang lebih baru tentang tema kebangsaan dalam penulisan sejarah Inggris masih tetap bergulir. Dua buku  berikut ini, masing-masingnya di bawah editor Kenneth O. Morgan The Oxford Illustrated History of Britain (1984) dan Robert Blake dalam The English World: History, Character, and People (1982) layak dibicarakan sekedarnya.

Buku The Oxford adalah karya kolaboratif sejarawan terkemuka Inggris. Tesis utama buku ini, sebagaimana dapat ditemukan dalam kata Pengantar editornya, oleh Kenneth Morgan, dikatakan bahwa kekhususan (distintincveness) dan keunikan (uniqueness) sejarah bangsa Inggris dalam definisi yang konvensional tak lagi dapat lagi diterima tanpa kritik. 

Gagasan tentang jaringan sejarah yang berlapis-lapis (seamless web of history) – entah itu kontinuitas progresif dari institusi perlemen atau ‘rule of law’ seperti yang diajukan kelompok Whig -- sama piciknya dengan pemujaan terhadap “Golden Age” sejarah Inggris di masa lalu. Apalagi dengan mengacu ke periode tertentu dan memberlakukannya ke seluruh periode yang lebih kemudian. Kategori “British” (sebagai kata sifat), menurut Morgan, adalah perkara yang sensitif dan sekaligus merupakan kategori paling sulit dalam penulisan sejarah Inggris. Bagaimanapun adalah tugas sejarawan untuk memahami “realitas esensial dari pengalaman masa lalu Inggris” tanpa perlu dibingkai oleh model interpretasi sejarah Whig. 

Untuk itu, maka ciri khas sejarah nasional Inggris tak perlu dicari dalam formula teori interpretasi (non-Whiggist dan non-Marxist), melainkan lebih relevan pada apa yang ditemukan dalam kesaksian sejarah, baik yang dikesankan oleh orang asing, maupun oleh rakyat Inggris sendiri mengenai ciri bangsa tersebut di masa lalu. Sebagai konsekuensinya, sejarawan harus lebih banyak menggali kutipan dari berbagai sumber dalam dan luar. 
 
Meskipun demikian para penulis buku ini meyakini bahwa corak “ke-Inggris-an” (Englishness) sudah terbentuk sejak post-Roman dengan ciri esensialnya ialah pencerapan rasa keagamaan dalam sejarah dan peradaban Inggris di masa lalu. Namun pada saat yang sama, tema-tema melawan tesis utamanya (Britishness) tetap muncul sesuai dengan mainstreams sejarah pada masing-masing periode dan dalam kerangka proses-proses perubahan dan kontinuitas. Dalam buku setebal 600 halaman teks ini, sayangnya tidak begitu dijelaskan perbedaan antara “bangsa Inggris” (English nation) dan “bangsa Britain” (British nation), walaupun buku itu juga membahas tentang sejarah Wales,  Skotlandia dan Irlandia. Namun jelas bahwa buku ini tidak lagi menonjolkan ciri kebangsaan (“nationalitas”) dalam arti politik dan ideologis, melainkan menekankan corak “ke-Inggrisan” berdasarkan fakta sejarah apa adanya, mirip dengan konsep pointillisme yang disarankan oleh Zeldin tentang sejarah Perancis.

Buku The English World (1982) lebih menarik karena serangannya yang tajam terhadap “tirani” sejarah nasional, di samping meninjau kembali kekacauan konsep “nasionalitas” dan “nasionalisme” dalam penulisan sejarah Inggris. Sejarah nasional, menurut buku ini, identik dengan sejarah patriotik, atau sejarah nasionalis. Sejarah patriotik bukanlah sejarah objektif, karena ide nasionalitas diidentifikasi dengan ideologi nasionalisme.” Kerancuan dalam mendefinisikan kedua konsep nasionalitas dan nasionalisme membawa konsekuensi terhadap pembenaran “tirani” dalam penulisan sejarah nasional. Nasionalitas dan nasionalisme adalah dua entitas yang berbeda. Yang pertama merupakan fakta sejarah, sedang yang kedua adalah ideologi politik. Yang pertama, cukup esensial dan lebih tua umurnya, tetapi bukanlah unsur terpenting dalam pembentukan negara. Sebaliknya yang kedua merupakan gagasan yang lebih modern. Suatu doktrin yang ditemukan dalam sejarah Eropa awal abad ke-19 merupakan unsur yang sangat esensial, dan sangat menentukan, bahkan sering diidentikkan dengan pembentukan negara-bangsa yang modern. Yang pertama menjamin “kemerdekaan” (liberty), sedang yang kedua mengundang timbulnya “tirani.”  

Di sini sifat negara (diasumsikan) membentuk kerangka kerja yang dianggap menentukan pada dirinya sendiri, yang di dalamnya seluruh proses historis harus terjadi demikian. Hal ini benar, terutama bagi mereka yang menafsirkan sifat nasionalisme berbasis “negara-sentris”. Nasionalisme sebagai fenomena fikiran dan angan-angan (yang dalam istilah bennedict Anderson ialah suatu “imaginary”) merupakan lamunan tentang masyarakat baru yang dicita-citakan akibat kemerosotan komunitas-komunitas agama dan sistem monarkhi lama. Selaku demikian, nasionalisme juga mengalami transformasi oleh perkembangan peradaban dalam arti luas. Ia mengalami perubahan dalam perjalanan waktu dan bisa berbeda-beda antara satu tempat dengan yang lain, bahkan bisa jadi mengambil bentuk yang berbeda dalam waktu dan tempat yang sama. Dewasa ini, misalnya, gejala “football hooliganism” merupakan contoh khas Inggris dalam mengeskpresikan nasionalismenya secara tiranik.  

Tugas sejarawan, dalam hal ini, ialah menunjukkan bahwa nasionalitas, seperti halnya nasionalisme (dan bahkan “bangsa” itu sendiri) memiliki sejarahnya sendiri dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain, seperti halnya dengan ide-ide tentang demokarsi dan seterusnya. Jadi ia bukan suatu entitas yang seragam dan bahkan sebaliknya. Karena itu, fakta nasionalitas dalam arti identitas atau komunitas bangsa dalam sejarah harus ditempatkan dalam kerangka telaahan kritis-metodologis dan bukan pada tataran ideologis dan doktrin politik.

Indonesia setelah Sejarah Nasional
Bagaimanapun di Indonesia, sejarawan umumnya terkesan tidak siap dengan “shock” yang timbul akibat goncangan-goncangan dan krisis kemanusiaan yang timbul menyusul setelah memasuki Era Reformasi tiga tahun belakangan ini. Era Reformasi secara langsung dan tidak langsung, menyisakan, setidaknya, tiga persoalan mendasar dari segi penulisan sejarah nasional kita. Pertama, apa implikasi dari peristiwa-persitiwa radikal yang terjadi sejak beberapa tahun belakangan ini terhadap cara pandang kita dalam melihat sejarah masa lalu bangsa? Kedua, berkaitan dengan yang pertama, bagaimana menyikapi secara kritis-metodologis terhadap kontroversi sejarah yang berkembang dalam wacana publik dan dalam dunia akademik dewasa ini, khususnya gugatan terhadap pemahaman sejarah resmi? Ketiga, apakah masih relevan untuk berbicara tentang sejarah Indonesia-sentrisme v.s. “asing” sentrisme, khususnya Belanda sentrisme) ketika munculnya karya-karya sejarah profesional yang bermutu dan berlimpah ruah oleh para sejarawan asing, termasuk Belanda, sejak beberapa dekade belakangan ini?

Ketiga persoalan ini kiranya merupakan persoalan yang amat mendasar dalam rangka mencermati perkembangan historiografi Indonesia hari ini, khususnya apa yang disebut sejarah nasional. Saya ingin langsung ke persoalan pertama.


Implikasi-implikasi intelektual dari malapetaka kemanusiaan yang melanda bangsa Indonesia sejak  tiga tahun belakangan ini tidak lagi sesuai dengan apa yang diketahui dari sejarah bangsa kita selama ini. Dengan tumbangnya rejim Orde Baru Soeharto 20 Mei 1998 lalu, dan digantikan oleh apa yang lazim disebut Zaman Reformasi, bangsa Indonesia hampir terus menerus menyaksikan rangkaian tragedi kemanusiaan, aksi-aksi kekerasan, brutalisme, pembunuhan, teror dan kerusuhaan massal di mana-mana. Kenyataan ini amat sulit dicernakan oleh anak-bangsa karena selama ini kita sudah terbiasa mengidentifikasi diri kita sebagai bangsa yang beradab. Lewat buku-buku bacaan sejarah nasional di sekolah selama ini, kita diberitahu bahwa kita ini adalah bangsa yang beradab, memiliki budaya ‘adiluhung’, bangsa yang ramah tamah, halus perasaannya, penuh senyum dan selalu bersedia berkorban dan menolong.

Kini gambaran semacam itu tidak lagi dipercaya. Tetapi dewasa ini tidak hanya sejarah nasional yang tidak dipercaya, karena menyimpan mitos yang menyesatkan, tetapi bahkan konsep bangsa Indonesia itu sendiri. Perilaku kebiadaban nyata-nyata ada dan hadir di tengah-tengah krisis bangsa kita dewasa ini, tetapi ia juga merupakan bagian yang disembunyikan dari (“pengetahuan”) sejarah bangsa kita di masa lalu.  Juga akibat tragedi sejarah bangsa hari ini, orang Aceh dewasa ini mengaku tidak memiliki kaitan historis dengan sejarah bangsa Indonsia, sehingga orang Aceh menganggap diri mereka “bangsa” Aceh, dan bukan bangsa Indonesia. Hal yang sama persis terjadi di Irian Jaya (kini Papua), seperti juga Timor Timor. 
Di Sumatera hari ini juga sedang terjadi semacam upaya “reimagining” komunitas bangsa versi Melayu, di mana masing-masing daerah membangkitkan kembali suatu nasionalisme etnisitas, suatu konsep Melayu yang “parokhial”, yang mengklaim bahwa kelompok daerah (provinsi) tertentu merasa lebih Melayu dari yang lain, tetapi di Malaysia orang menganggap Melayu sebagai “bangsa”. Perdebatan tentang konsep “negara kesatuan” dan “negara federal” akhir-akhir ini juga merupakan reaksi dan sekaligus implikasi langsung dari perkembang kontemporer di Indonesia.

Masalah kedua, berkaitan dengan yang pertama di atas, ialah bagaimana menyikapi fonemona nasionalisme Paska Orde Baru dalam penulisan sejarah bangsa. Dewasa ini, konteroversi sejarah bangsa dibongkar habis-habisan, baik lewat media maupun diskusi-diskusi akademik, tetapi jawaban memuaskan tampaknya masih memerlukan waktu.  Upaya yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini, oleh Departemen Pendidikan Nasional via MSI, untuk menyediakan “Suplemen Pelajaran Sejarah Nasional”, patut dihargai.  Namun, sesuai dengan sifatnya, suplemen, bahan tersebut tentulah bersifat “sementara menunggu tukang tiba”. Adalah menjadi tugas sejarawan Indonesia untuk mengkaji kembali semua isu-isu kontrorversial belakang ini,  yang kadang-kadang terlalu berlebihan dan bahkan bukan tak ada kepentingan-kepentingan tersembunyi di belakangnya. Dalam hubungan ini, upaya revisi atau penulisan kembali sejarah nasional Indonesia di masa depan tidak lagi sekedar menjawab persoalan sesaat (temporer), melainkan patut mempertimbangkan kembali segi-segi teori dan metodologis, terutama dalam penggunaan konsep-konsep sejarah dalam kaitannya dengan identitas “national” dan turunannya seperti “nationalitas” dan “nasionalisme” sebagaimana yang digugat dalam penulisan sejarah di Barat akhir-akhir ini.

Lebih-lebih lagi jika dikaitkan dengan masalah ketiga, yaitu penulisan sejarah Indonesia di luar negeri sejak beberapa dasawarsa belakangan ini dan kaitannya dengan penulisan sejarah nasional. Dalam hal ini, misalnya, apakah buku Revolusi Nasional Indonesia (edisi terjemahan, 1996), yang ditulis oleh Anthony Reid bukanlah “sejarah nasional” hanya karena ia bukan ditulis oleh Departemen Pendidikan Nasional (dulu Kementerian P&K) atau karena sejarawan tersebut bukan orang Indonesia? 

Kecenderungan penulisan sejarah Indonesia di Negeri Belanda sejak beberapa dasawarsa belakangan ini lebih mencerminkan kualitas dan kuantitas profesional ketimbang apa yang disebut puluhan tahun lalu berbau  Neerlando-sentris. Memang, sejauh ini, isu-isu mengenai hubungan-hubungan kolonial di masa lalu masih menyisakan diskusi yang emosional dan paling hangat.  Namun tak diragukan lagi, bahwa kebanyakan karya sejarawan profesional Belanda menunjukkan kualitas akademiknya yang bermutu tinggi dan sulit tertandingi, dengan berbagai pendekatan dan tema yang beragam.  

Dalam arti tertentu, mereka adalah sejarawan profesional yang lebih dekat dengan adagium yang di kemukakan di awal tulisan ini, ketika “sejarawan melepaskan nasionalitasnya”. “Berbahagialah sejarah tidak punya bangsa”, adalah adagium yang sangat dekat dengan semangat ilmiah yang dikemukakan oleh Leopold von Ranke, lebih satu abad yang lalu: wie es eigenlich gewesen ist.  Meskipun dalil Ranke kini banyak dikritik, terutama dari kalangan sejarawan non-positivistik dan  post-modernism, tanggung jawab akademik sejarawan dalam penulisan sejarah harus menjadi acuan utama.

Kini sejarawan Indonesia menghadapi tugas dan tanggung jawab yang jauh lebih berat dari masa yang sudah-sudah. Belum pernah terjadi selama ini, kecuali dalam Era reformasi, ketika kontroversi sejarah ditelanjangi dan mengalami bongkar-pasang oleh tangan-tangan yang bukan ahlinya. Juga belum pernah terjadi sebelumnya, kecuali sejak pergantian abad ini, ketika kita hidup dalam suatu era timbunan pelbagai macam bentuk informasi, suatu era di mana garis pembatas yang semakin kabur (‘an age of blurred lines’) dan ‘intellectual frontiers’, suatu era yang sangat menarik tetapi sekaligus membingungkan”.  Dalam situasi krisis dan tak menentu dewasa ini, hanya sedikit cara untuk menghadapi benturan-benturan nilai, termasuk nasionalisme, yang tidak hanya berpengaruh secara langsung dan tak langsung terhadap kompleksitas realitas kontemporer, tetapi juga terhadap konstruksi kebangsaan kita hari ini dan di masa lalu.

Penutup
Perkembangan historiografi Indonesia sejak satu abad  terakhir tentunya sudah menjadi pengetahuan bersama sejarawan Indonesia. Dalam hal ini, historiografi nasional hanyalah salah satu tahap penulisan sejarah Indonesia. Sudah dikemukakan di depan bahwa ketidakpuasan terhadap sejarah nasional pada mulanya merupakan bagian dari ketidakpuasan terhadap sejarah politik, yaitu sejarah naratif konvensional yang berpumpun (fokus) pada konstruksi negara-sentris. Ketika sejarah sosial mengeluarkan politik dari sejarah”, (history with politics left out), seperti yang disarankan oleh Travelyan itu, maka dengan sendirinya “bangsa” mestinya tidak lagi dilihat sebagai komunitas politik. Untuk itu sejarawan mulai berpaling ke sejarah lokal, sekaligus dalam upaya pengayaan terhadap sejarah nasional.

Sejarah lokal menekankan kekhususan lokalitas, di samping mencari kesamaan-kesamaan umum dalam “kebhinekaan”.  Namun konstruksi kebangsaan kita tidak hanya terbentuk dari adonan masyarakat lokal yang majemuk, melainkan juga gagasan-gagasan universal sejagad. Berbahagialah bangsa Indonesia memiliki founding fathers yang cerdas dan arif bijaksana. Kecerdasan dan kearifan mereka antara lain terlihat dari kemampuan mereka menyerap dan merumuskan konstruksi kebangsaan yang diramu dari nilai-nilai luhur yang bercorak ke-Indonesia-an, bukan ke-Jawaan, dan bukan pula “globalisasian”, tetapi suatu konstruksi imaginatif yang kaya dan relevan dengan tuntutan zaman. Karena itu, sejarawan Indonesia tidak hanya perlu mengarahkan perhatiannya ke sejarah lokal, melainkan ke  sajarah dunia. Sayangnya penulisan sejarah dunia dari sudut pandang Indonesia sejauh ini belum menjadi pemikiran. Yang diperlukan sekarang agaknya bukan sejarah nasional yang berbasis ideologis-patriotik, dan juga bukan seekdar sejarah Indonesia-sentris v.s. Belanda senteris, seperti yang dikemukakan oleh John Smaill puluhan tahun lalu, melainkan suatu sejarah Indonesia kritis yang bercorak “ke-Indonesiaan”. Betapa pun juga ini masih memerlukan diskusi lebih jauh.

Di masa lalu sejarah bangsa Indonesia, termasuk pelbagai macam jenis karya biografi, cenderung menjadi alat (manipulasi) propaganda kekuasaan yang berpusat pada sejarah istana. Ini agaknya bisa dimengerti karena sejarawan istana, sedikit banyak, mendapat tekanan agar menghormati bau kramat yang mengelilingi “kraton Binagraha”, sehingga hasilnya condong mengikut model penulisan sejarah a la Carlyle atau gaya sejarah Whig, yang dalam konteks ini menderita akut akibat beban sejarah bahwa Indonesia sebagai bangsa yang “besar”. Memang, setiap bangsa, termasuk Indonsia, memiliki definisinya sendiri tentang perbuatan historis yang dianggap berharga dan bahkan sebaliknya “dosa pengkhianatan” yang tak berampun. Untunglah sejarawan terkemuka Indonesia, Taufik Abdullah, “mengajak berdamai dengan sejarah.” Baiklah, jika sekiranya sejarah nasional yang bercorak “ke-Indonesiaan”, meyakini adanya kekhasan peradabannya dan memang dapat dilacak dan dikenal, tetapi hari ini, kebanyakan kaum cendikiawan kita, barangkali juga termasuk sejarawan, merasa malu dengan nasionalitas mereka menjadi orang Indonesia. ***

KEPUSTAKAAN
  • Benny Subianto, “Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia: Mencari Pendekatan dari Masa ke Masa”, Prima, 2 (1989): 59-76.
  • Blake, Robert, The English World: History, Character, and People. New York: Claencoe, 1982.
  • Bootsma, N. “The Discovery of Indonesia. Western (Non-Dutch) Historiography on the Decolonization of Indonesia”, BKI, 151-I (1995), hlm. 1-22.
  • Burke, Peter. Social Theory and History (Itahaca, NY.: Cornell University Press, 1995), in print, Yayasan Obor, Jakarata, 2001.
  • Butterfield, H., The Whig Interpretation of History (New York: The Norton Library, 1965, edisi pertama 1931).
  • Chauduri, K.N. Trade and Civilization in the Indian Ocean. Cambridge: Cambridge University Press, 1985.
  • Claydon, John, “How Much Historiography Should Be Included in Essays?”, History Today No. 38 (Dec. 2000).
  • Clive, John, Not By Fact Alone. Essays on the Writing and Reading History (New York: Alfred A. Knopf, 1989), hlm. 131.
  • Dawam Rahardjo, “Pendekatan Historis-Struktur. Menemukan Format Pembangunan”, Prisma, No. 10 (1986), hlm. 1-13.
  • Eley, Geoff , “Nationalism and Social History”, Social History  (January 1981), hlm. 83-84.
  • Fogel, Robert, “Scientific versus Traditional History. The Limitations of the Current Debate”, Historical Methology, Vol. 17, No. 2 (Spring 1884).
  • Hammelfarb, Gertrude, The New History and the Old. Cambrdige, Mass. and London: Harvard Univ. Press, 1987.
  • Harlem Siahaan, “Nasionalitas, Nasionalisme dan Kesadaran Sejarah”, dalam 80 Tahun Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Pelopor Sejarah Indonesia (Bandung: Satya Historika untuk MSI Jawa Barat, 2001), hlm. 81-95.
  • Hexter, J.H., On Historians. A Scrutiny of Some Modern Pratitioners. London: Collins, 1979.
  • Hobsbawm, E.J., “From Social History to the History of Society”, dalam P.A.M. Geurts and F.A.M. Messing (eds.), Theoretische en Metodhologische Aspecten van de Economische en Sociale Geschiedenis, Vol. I (Den Haag: Martinus Nijheff, 1979), hlm. 89-108.
  • Houben , Vincent J.H., “A Torn Soul: The Dutch Public Discussion on the Colonial Past in 1995”, Indonesia, No. 63 (April 1967), hlm. 47-66.
  • Iggers, Georg G., New Directions in European Historiography. London: Methueen & Co. Ltd., 1985.
  • Jones, Gareth Stedman “The Pathology of English History”, New Left Review, No. 46 (Nov.-Dec. 1967), hlm. 29-43.
  • King, Victor T., “The Sociology of Southeast Asia: A Crtical Review of  Some Concepts and Issues”, BKI, 150-1 (1994), hlm. 171-206.
  • Lloyd, Christopher, The Structure of History. Oxford: Blackwell, 1993.
  • Marwick, Arthur The Nature of History. London: The Macmillan Press, Ltd., 1981.
  • Mestika Zed, “Nobel untuk Sejarah. Beberapa Catatan tentang Sumbangan Fogel dan Douglas C. North dalam Ilmu Sejarah”, Makalah Seminar Sejarah dalam rangka Dies Natalis IKIP Padang, 26 Agustus 1995.
  • Mestika Zed, “Hidden History. Sejarah Kebrutalan dan Kejahatan Negara Melawan Kemanusiaan. Isu-Isu dan Strategi dalam Konteks Sejarah Indonesia,” (in print.) Journal HAM dan Demokarsi (Habibie Center, Jakarta), No. 4 (Nov. 2001).
  • Morgan, Kenneth O. The Oxford Illustrated History of Britain (Oxford: Oxford Univ. Press, 1984.
  • Reid, Anthony, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, 1450-1680, [Edisi Terjemahan]. Jakarta: Yayasan Obor, 1992.
  • Schulte Nordholt, Henk, Een Staat van Geweld (Pidato Pengukuhan Profesor Luar Biasa dalan Sejarah Asia. Roterdam: Erasmus Universiteit, 22 Juni 2000.
  • Schulte Nordholt, Nico dan L. Visser (eds.), Ilmu Sosial di Asia Tenggara, Terjamahan. Jakarta: LP3ES, 1997.
  • Sutherland, Heather, “Writing Indonesian History in the Netherlands. Rethinking the Past”, BKI , No. 150-IV (1994): 785-804.
  • Syamdani (ed.), Kontroversi Sejarah di Indonesia.Jakarta: Grasindo, 2001.
  • Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjahmada Univ. Press, Cetakan I, 1979.
  • Wallerstein, Immanual, The Modern World System, 2 Vols. New York: Academic Press, 1974-75.
  • Zeldin, Teodhore “Social History and Total History”, Journal of Social History (Winter 1976), hlm. 242-43.
  • Zeldin, T. “Ourself as We See Us”, Time Leterary Supplement, (December 31, 1982).
Mestika Zed, lahir (1955) di Batuhampar, Payakumbuh, adalah dosen Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang (UNP). Menyelesaikan kuliah pada Jurusan Sejarah Univ. Gadjahmada (1980), Post-Graduate Programme (M.A.) Vrije Universiteit, Amsterdam (1981-1983), S2 Univ. Indonesia, Jakarta (1983-1984) dan Doktor Sejarah  pada Jurusan Niet-Westerse Geschiedenis, Faculteit der Sociaal-culturele Wetenschappen, Vrije Universiteit, Amsterdam (1991).
Pernah menjabat Ketua Jurusan Sejarah Univ. Andalas, Padang (1992-1995) dan pendiri dan mantan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), Cabang Sumatera Barat (1993-2001), ia kini menjabat Ketua Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE), Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Padang, pernah Ketua Dewan Redaksi Forum Pendidikan, dan Jurnal Tingkap, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, FIS, Universitas Negeri Padang. Menulis sejumlah buku dan artikel dalam jurnal ilmiah nasional dan internasional. Salah satu bukunya berjudul Somewhere in the Jungle. Sejarah PDRI. Sebuah Matarantai Sejarah yang Terlupakan (Jakarta:Grafiti, 1998) memperoleh penghargaan buku terbaik dari IKAPI/Kementerian P&K di bidang ilmu sosial tahun 1999.

Catatan Akhir:
*) Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah VII di Jakarta, 28-31 Oktober 2001.
  1. Dikutip dari Gertrude Hammelfarb, The New History and the Old (Cambrdige, Mass. and London: Harvard Univ. Press, 1987), hlm.121. Adagium ini, menurut Hammelfarb, sudah muncul sejak 1767 dan Thomas Carlyle mengutipnya dari karya Montesquieu dalam karyanya, The French Revolution (1955, terbit pertama kali 1837).
  2. Ibid.
  3. Geoff Eley, “Nationalism and Social History”, Social History  (January 1981), hlm. 83-84.
  4. Michael Oaleshott (1983), hlm. 100.
  5. Ibid.
  6. Mestika Zed, “ Mazhab Annales setelah Braudel”, Makalah untuk Diskusi Bedah Buku Panggung Sejarah. Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, disunting oleh Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (Jakarta: Yayasan Obor, 1999), diselenggarakan oleh Fakultas Sastra, Universitas Andalas, Padang, bekerja sama dengan Pusat  Penelitian Arkeologi Nasional dan Yayasan Obor, Padang 17 Januari 2000.
  7. Ketiga kategori waktu itu ialah (i) “geohistory”, yaitu perubahan sejarah tentang hubungan antara manusia dan lingkungan alam sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kebudayaan dalam arti luas. Perubahan sejarah dalam kategori ini hampir “tidak terasa” (“imperceptible”), ‘suatu sejarah jangka panjang (la longue durèè) yang nyaris tak bisa dipahami .... sejarah tentang pengulangan-pengulangan yang konstan, siklus-siklus kejadian yang bersifat repetitif. Braudel menyebutnya histoire structurale (sejarah struktural); (ii) histoire conjuncturele (sejarah konjungtur), yaitu perubahan waktu sejarah yang berkenaan dengan sistem-sitem ekonomi, “negara”, masyarakat dan peradabannya. Bila yang pertama evolusi sejarah berlangsung dalam tempo yang amat lambat-laun, jangka panjang, yang kedua lebih dinamis dan karena itu terbuka untuk membagi periode perkembangannya secara lebih rinci; (iii) histoire evenementielle (sejarah peristiwa), yaitu gerak waktu cepat, terutama berkenaan dengan persitiwa-persitiwa, orang-orang. Biasanya peristiwa politik, sebagaimana yang lazim dikenal dengan sejarah naratif yang konvensional. Menurut Braudel perubahan pada level ketiga ini lebih bersifat superfisial, sedang dua kategori perubahan pertama melandasi perubahan yang yang tampak di permukaan di lapis ketiga.
  8. Yang terpenting dalam hal ini ialah sekolompok ilmuan sosial di bawah aliran sosiologis historis, a.l. Emmanual Wallerstein, penulis The Modern World System, 2 Vols. (New York: Academic Press, 1974-75), yang berupaya meneruskan gagasan teoretis Braudel dengan mendirikan “Fernad Braudel Center” di universitasnya, Binghampton University, NY, AS. Di sana ia juga menerbitkan sebuah journal yang berpengaruh, Revieuw dan menjadi rujukan untuk kajian sejarah jangka panjang (longe duree) dengan pendekatan interdisipliner.
  9. Misalnya oleh K.N. Chauduri, Trade and Civilization in the Indian Ocean (Cambridge: Cambridge University Press, 1985); juga Janet L. Abu-Lughod, Before European Hegemony. The World System 1250-1350 (New York, Oxford: Oxford University Press, 1989).
  10. Lihat misalnya Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, 1450-1680, [Edisi Terjemahan] (Jakarta: Yayasan Obor, 1992).
  11. Edisi terjemahan karyanya ke bahasa Indonesia, Nusa Jawa Silang Budaya, terbit dalam tiga jilid (1998).
  12. Georg G. Iggers, New Directions in European Historiography (London: Methueen & Co. Ltd., 1985), hlm. 32; lihat juga Fogel, “Scientific versus Traditional History. The Limitations of the Current Debate”, Historical Methology, Vol. 17, No. 2 (Spring 1884), hlm. 75.
  13. J.H. Hexter, On Historians. A Scrutiny of Some Modern Pratitioners (London: Collins, 1979), hlm. 61ff.
  14. Mestika Zed, “Nobel untuk Sejarah. Beberapa Catatan tentang Sumbangan Fogel dan Douglas C. North dalam Ilmu Sejarah”, Makalah Seminar Sejarah dalam rangka Dies Natalis IKIP Padang, 26 Agustus 1995.
  15. Teodhore Zeldin “Social History and Total History”, Journal of Social History (Winter 1976), hlm. 242-43.
  16. Lihat Christopher Lloyd, The Structure of History (Oxford: Blackwell, 1993), hlm. 80ff.
  17. Zeldin, “Ourself as We See Us”, Time Leterary Supplement, (December 31, 1982).
  18. Zeldin “Social History and Total History” ...,  hlm. 243.
  19. Zeldin, “Ourself as We See Us.....”,  hlm. 1436.
  20. Ibid.
  21. Arthur Marwick, The Nature of History (London: The Macmillan Press, Ltd., 1981), hlm. 92.
  22. Gareth Stedman Jones, “The Pathology of English History”, New Left Review, No. 46 (Nov.-Dec. 1967), hlm. 29.
  23. Ibid. Lihat juga E.J. Hobsbawm “From Social History to the History of Society”, dalam P.A.M. Geurts and F.A.M. Messing (eds.), Theoretische en Metodhologische Aspecten van de Economische en Sociale Geschiedenis, Vol. I (Den Haag: Martinus Nijheff, 1979), hlm. 89-108.
  24. H. Butterfield, The Whig Interpretation of History (New York: The Norton Library, 1965, edisi pertama 1931).
  25. Iggers, New Directions .... (1985), hlm. 153-4.
  26. Marwick, The Nature of History .... (1981), hlm.244ff.
  27. John Clive, Not By Fact Alone. Essays on the Writing and Reading History (New York: Alfred A. Knopf, 1989), hlm. 131.
  28. John Claydon, “How Much Historiography Should Be Included in Essays?”, History Today No. 38 (Dec. 2000); Himmelfarb, “The Group British Marxist Historians” dalam, The New History ....,  hlm. 70-93.
  29. Hammelfarb, The New History... (1987), hlm.141.
  30. Lihat misalnya, Mestika Zed, “Hidden History. Sejarah Kebrutalan dan Kejahatan Negara Melawan Kemanusiaan. Isu-Isu dan Strategi dalam Konteks Sejarah Indonesia,” (in print.) Journal HAM dan Demokarsi (Habibie Center, Jakarta), No. 4 (Nov. 2001). Juga Henk Schulte Nordholt, Een Staat van Geweld (Pidato Pengukuhan Profesor Luar Biasa dalan Sejarah Asia, Erasm,us Universiteit, 22 Juni 2000).
  31. Harian  Kompas  secara berturut-turut menurrunkan laporan tentang “Suplemen Pelajaran Sejarah Luruskan Fakta Sejarah” dan “Suplemen Pelajaran Sejarah Tak Dikte Guru dan Murid”, Kompas  7 dan 8 April 2000.
  32. Sekedar contoh, lihat misalnya Syamdani (ed.), Kontroversi Sejarah di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001).
  33. Lihat misalnya, Vincent J.H. Houben, “A Torn Soul: The Dutch Public Discussion on the Colonial Past in 1995”, Indonesia, No. 63 (April 1967), hlm. 47-66.
  34. Lihat, misalnya Heather Sutherland, “Writing Indonesian History in the Netherlands. Rethinking the Past”, BKI , No. 150-IV (1994): 785-804. Juga N. Bootsma, “The Discovery of Indonesia. Western (Non-Dutch) Historiography on the Decolonization of Indonesia”, BKI, 151-I (1995), hlm. 1-22.
  35. Dikutip dari Marwick, The Nature of History.... (1981), hlm. 37.
  36. Peter Burke, Social Theory and History (Itahaca, NY.: Cornell University Press, 1995), versi terjemahannya in print, Yayasan Obor, Jakarata, 2001.
  37. Cf.  Harlem Siahaan, “Nasionalitas, Nasionalisme dan Kesadaran Sejarah”, dalam 80 Tahun Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Pelopor Sejarah Indonesia (Bandung: Satya Historika untuk MSI Jawa Barat, 2001), hlm. 81-95.
  38. Tentang telaah konsep dan contoh-contoh sejarah lokal di Indonesia lihat Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia (Yogyakarta: Gadjahmada Univ. Press, 1979).

Laman yang Sering Dikunjungi