Oleh Isnarmi Moeis
Pendidikan multikultural di setiap negara lahir dari keunikan masalah yang berkembang pada masyarakat masing-masing negara. Oleh karena itu, perlu pengkajian secara mendalam tentang landasan-landasan yang mendasari pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia. Secara teoritis ada hal-hal yang bisa dikembangkan dalam pendidikan multikultural di Indonesia yang berasal dari negara lain, tetapi secara filosofis dan praktis di Indonesia ada keunikan persoalan keragaman masyarakatnya. Pembahasan dalam laman ini merupakan perpaduan kajian teoritis yang bersifat umum dengan kajian parktis dan filosofis yang merujuk kepada kekhasan masyarakat Indonesia.
Rasional Pendidikan Multikultural di Indonesia:
Tantangan Lokal
Bagi bangsa Indonesia, pendidikan multikultural
merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda. Pertama dilihat dari sudut
filsafat bangsa (Pancasila) yang melandasi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sebagai fakta legal yang memberikan landasan bahwa Negara Indonesia dibangun
atas dasar pengakuan terhadap hakikat kodrat manusia yang tidak tunggal, tetapi
sebagai makhluk yang oleh Notonagoro (1981: 89) diistilahkan dengan mono-plural.
Istilah ini diterjemahkannya sebagai makhluk tunggal yang terdiri atas berbagai
aspek kodratiah: sebagai makhluk ciptaan Maha Khaliq, sekaligus sebagai makhluk
individu dan sosial. Ke-pluralan hakikat kemanusiaan secara lebih luas dapat
diterjemahkan sebagai ke-pluralan masyarakat Indonesia yang menganut berbagai
agama, serta tumbuh dan berkembang dalam berbagai tradisi (etnik, bahasa, dan
adat istiadat) yang berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan kemajemukan bagi
bangsa Indonesia merupakan kodrat kemanusiaan yang mengimplikasikan pengakuan
secara luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Landasan filosofis ini dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional dicantumkan dalam Bab 1 mengenai ketentuan umum yang
menyatakan bahwa: “Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang
berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman”.
Demikian juga dalam Bab III fasal 4 ayat 1 tentang
prinsip penyelenggaraan pendidikan, dinyatakan bahwa: “Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa”.
Selain alasan filosofis, kenyataan sosial yang ada
juga merupakan kondisi nyata yang mendesak perlunya pendidikan multikultural.
Berbagai peristiwa pertikaian antar kelompok atau golongan yang terjadi lima
belas tahun belakangan, menunjukkan bahwa tingkat keasadaran bangsa Indonesia
terhadap keragaman masyarakat baru sampai pada level pengakuan yang dangkal,
sebatas wacana bahwa kita bangga sebagai masyarakat yang heterogen.
Konflik-konflik sosial tersebut merupakan indikasi bahwa kebanggaan terhadap
kenyataan pluralitas bangsa tidak didasarkan atas pengetahuan yang dalam
tentang hakikat keragaman budaya, dan penghargaan yang tinggi terhadap
keragaman budaya tersebut (Ahimsa-Putra, 2005: 5). Dengan kata lain, kesadaran
multikulturalisme bagi bangsa Indonesia masih tergolong rendah, bahkan mungkin
multikulturalisme belum menjadi bagian kehidupan sosial bangsa Indonesia.
Kekurangan yang sama juga terlihat dalam bidang
pendidikan. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) sudah memberi
peluang (walau hanya sebatas ketentuan umum) bagi pendidikan yang bersifat
multikultural. Akan tetapi, dalam level kurikulum dan pembelajaran belum ada
satu istilah dan bentuk pendidikan multikultural yang sistematis dan lengkap
dengan landasan filosofis, psikologis dan pedagogis yang jelas: “pendidikan
multikultural belum dirancang dengan disain yang jelas dalam system pendidikan
kita” (Semiawan,2004: 37). Di kalangan dunia pendidikan, khususnya PIPS, wacana
pendidikan multikultural ini belum banyak dibicarakan. Kalaupun ada tentang
partisipasi dalam masyarakat multikultural telah disinggung dalam mata
pelajaran sosiologi kelas II SLTA, atau dalam mata pelajaran PKn , hanya berupa
kajian yang sangat terbatas pada konsep-konsep keragaman budaya yang
superficial.
Selain sedikitnya perhatian dari segi materi, dari
segi pemahaman guru juga sangat minim tentang multikultural, Sebagai contoh
kecil, dalam suatu penelitian eksplorasi (Moeis cs 2011) di Padang, tentang
pendapat guru mengenai pendidikan multikultural, ditemukan pendapat yang sangat
beragam. Ada yang mengatakan bahwa pendidikan multikultural tercakup dalam
pendidikan kewarganegaraan, khususnya topik mengenai kesadaran beragama. Ada
juga yang mengatakan pendidikan multikultural dengan memperkenalkan budaya
daerah kepada siswa. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa pendidikan
multikultural merupakan pendidikan yang membangkitkan kesadaran siswa tentang
keberagaman etnik dan perbedaan agama di Indonesia, serta meningkatkan
kesempatan pendidikan yang menghargai persamaan hak. Bila dilihat dari hakikat
multikultural secara luas yang sampai melihat kepada pola pikir, paham dan cara
pandang, maka tampak pemahaman guru tentang multikultural tergolong superficial
atau pada level permukaan dari sebuah konsep yang mendalam. Meskipun penelitian
ini sangat terbatas dan bersifat eksploratif, sedikit memberikan gambaran bahwa
konsep pendidikan multi budaya atau multi etnik belum menyatu dalam dunia
pendidikan kita. Penelitian terkait tentang profil wacana interaksi guru dan
siswa di sekolah juga menunjukan rendahnya penguasaan guru dalam mengembangkan
landasan-landasan pendidikan multikultural berupa pendekatan pendidikan yang
bersifat inkuiri atau transformative (Moeis dkk, 2010).
Berdasarkan tinjauan filosofis dan sosial yang
dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan bangsa Indonesia saat ini
terhadap pendidikan multikultural semakin mendesak baik dari segi kondisi
internal maupun eksternal. Secara internal kehendak kodratiah kemanusiaan dari
bangsa Indonesia sebagaimana tercermin dalam filsafat bangsa adalah sebuah
hutang moral sekaligus politis yang harus diwujudkan untuk mencapai tujuan
berbangsa dan bernegara yang ideal.
Kondisi internal lain adalah fakta sosial yang
menunjukkan tingginya tingkat keragaman dalam masyarakat Indonesia memerlukan
perhatian khusus. Setelah era reformasi dan otonomi daerah tampak gejala yang
mengarah kepada semakin tingginya kesadaran terhadap identitas kedaerahan dan
kemajuan daerah bagi warga negara. Sebagaimana dikemukakan oleh Zawawi Ibarahim
(2008) bahwa identitas dalam evolusi dan senantiasa dalam proses formasi.
Uniknya, karena perubahan ini pandangan tentang penanganan keragaman identitas
melalui konsep ‘grand narratives” dengan slogan e pluribus unum out of many one
(dalam keragaman ada satu) menjadi problematik. Sebagai gantinya ada gerakan ke
arah paham multikultural yang didasarkan kepada legitimasi keragaman inti-inti
budaya dengan slogan in one, many (dalam satu ada keragaman). Oleh sebab itu
pengelolaan keragaman dalam era otonomi menjadi tantangan tersendiri baik
secara politik maupun dari sisi pendidikan. Perlunya pendidikan yang
menumbuhkan kesadaran bahwa keragaman adalah keniscayaan dalam Negara Kesatuan
Republic Indonesia.
Tantangan Global
Di samping itu dari sisi eksternal ditandai dengan
kenyataan global yang membuat batas antar negara secara budaya dan ekonomi
semakin kabur. Dunia seolah seperti sebuah “kampung global” dalam arus
globalisasi yang terus melaju. Meskipun globalisasi banyak terkait dengan
persoalan ekonomi, arus globalisasi sering dipandang sebagai gelombang besar
yang membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk perubahan dalam
pemahaman terhadap nilai-nilai local. Lebih dari itu, perubahan tersebut
membawa krisis multidimensi seperti intelektual, moral spritual, dan sosial
(Capra, 2000).
Dari semua bentuk globalisasi (ekonomi, politik,
sosial, nilai budaya), globalisasi budaya merupakan sisi yang tak terbendung.
Jika arus global dalam bidang politik, ekonomi masih dibatasi dalam bidang
tertentu oleh Negara berdaulat, maka arus budaya global tidak mengenal batas
apapun terlebih lagi karena pengaruh kemajuan teknologi informasi, komunikasi
dan transportasi.
Dampak budaya sebagai pengaruh globalisasi tampak
lebih bernuansa negatif ketimbang positif. Dalam buku Miklethwhite &
Wooldridge, (2000) The Future Perfect, diungkapkan bahwa globalisasi telah
meluas keluar bidang bisnis biasa, yaitu bisnis seks dan film porno. Seks telah
diangkat menjadi komodoti bisnis, yang dapat diakses melalui berbagai sarana
teknologi. Dunia telekomunikasi telah mengembangkan telepon porno atau
situs-situs internet porno, atau juga penciptaan film porno dari perusahaan
perfilman seperti Silicon Valley, yang mudah diakses semua orang. Jelas sekali
keadaan ini menghancurkan sendi-sendi moral sebuah bangsa yang beradab.
Globalisasi merupakan bentuk dominasi baru, yang ditandai dengan liberalisasi
segala bidang yang disebar luaskan melalui berbagai program.
Meskipun demikian pengaruh negative globalisasi sulit
untuk dibendung. Pergeseran budaya dan nilai serta bangkitnya budaya baru adalah
dampak yang pasti terjadi. Ada bangsa yang lebur dengan budaya baru dan
kehilangan identitas local sama sekali, ada bangsa yang menolak dan merevitalisasi
budaya local namun diangap anti perubahan, dan ada bangsa yang bertahan di
tengah perubahan global, namun menjadi minoritas di negri sendiri. Sebagaimana
dikemukakan oleh Triyono (1996) enam bentuk respon terhadap perubahan yaitu: penolakan
(resistance), kebangkitan (revivalization), menjaga batas-batas (maintenance
boundaries), pemulihan kembali (revitalization), dan penerimaan (adaption).
Dengan mengikuti tesis Capra (2000) mengenai
kebangkitan budaya, pengaruh global terhadap kehidupan local merupakan proses
bangkitnya budaya baru namun ancaman bagi budaya local dan kemungkinan juga
kaburnya identitas nasional. Dalam hal ini ada budaya yang datang dan ada
budaya yang pergi namun bagi pendidikan menjadi tantangan dalam tiga hal yaitu:
1) di satu sisi semakin tinggi keragaman budaya, di sisi lain lemahnya
sendi-sendi nilai lokal, 2) keragaman informasi, yang mempercepat penyebaran
nilai dari budaya lain, dan 3) kuatnya persaingan yang menuntut orang berfikir
cepat (Moeis, 2010:73). Hal yang pasti bahwa tantangan ini menimbulkan kondisi
ketidakstabilan dalam hubungan social kemasyarakatan.
Ketidak stabilan hubungan social atau hubungan antar
kelompok yang sangat beragam, menjadikan orang mudah curiga satu sama lain.
Pada akhirnya mungkin menjadi pemicu konflik dalam masyarakat, dan merugikan
kepentingan bangsa Indonesia ke masa depan. Dalam hal ini dibutuhkan system
politik termasuk pendidikan yang mempersiapkan masyarakat menghadapi tantangan
yang berat ini. Jika ditinjau dengan tesis Samuel Huntington (2003) tentang
benturan peradaban, akan lebih mudah dimengerti urgensi pendidikan
multikultural dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagai upaya menghindari
konflik.
Ada enam alasan dasar mengapa benturan peradaban
menjadi fokus perhatian dalam penataan kehidupan politik masa depan, dua
diantaranya paling relevan untuk permasalahan yang sedang dibicarakan adalah:
1) pandangan masyarakat yang berbeda akan membawa perbedaan pandangan tentang
relasi baik antara manusia dengan Tuhannya, individu dan kelompok, orang tua
dan anak-anak dan seterusnya; dan 2) dunia semakin mengecil, interaksi antara
masyarakat semakin tinggi. Bila interaksi semakin tinggi akan semakin tinggi
kesadaran peradaban sendiri dan semakin sensitif terhadap perbedaan.
Bukti dan contoh dari teori benturan peradaban yang
nyata sebagaimana dianalisis lebih jauh oleh John Esposito (2002) mengenai
citra kontemporer Islam di barat yang menunjukan kebencian terhadap Islam dan
warga Muslim di Negara-negara barat karena ketidak fahaman barat terhadap
Islam. Barat melihat Islam dalam persepektif sekuler yang memisahkan antara
agama (gereja) dengan Negara. Sehingga ketika warga Muslim menerapkan nilai
Islam dalam berbagai aspek kehidupan sebagai wujud Islam yang baik justru
dimaknai oleh barat sebagai fundamentalis yang menentang yang bertentangan
dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat barat. Ketidak fahaman ini
menyebabkan perbenturan budaya yang satiap saat akan melihat Islam dan warga
muslim sebagai ancaman bukan sebagai teman. Ditambah dengan propaganda media
yang memperkokoh tesis fundamentalis sebagai perlawanan terhadap Barat. Jika
barat melihat Islam dalam pemahaman yang lebih komprehensif secara kultural dan
historis maka benturan peradaban akan berubah menjadi dialog peradaban. Pada
hakikatnya dari pandangan ini, benturan peradaban adalah benturan nilai yang
dianut oleh kelompok-kelompok yang berbeda tetapi tidak dipahami secara
mendalam satu sama lain oleh kelompok tersebut. Dalam skala global disebut
benturan peradaban , dalam skala lokal berwujud konflik antar golongan yang
berkepanjangan.
Bila tesis ini diterapkan pada fenomena keragaman
masyarakat Indonesia kekhawatiran terjadinya perbenturan antar kelompok yang
dilandasi perbedaan nilai sangat mungkin terjadi, terutama dalam kondisi
rendahnya interaksi lintas budaya yang berbeda. Dalam kasus konflik Ambon yang
meningkat di awal reformasi menunjukan kecurigaan antar kelompok agama yang
berbeda begitu tinggi karena sedikitnya ruang interaksi yang memungkinkan
terjadinya pemamahan antar kelompok secara baik. Pada kebanyakan kasus
pertikaian kelompok di Indonesia, hampir selalu dimulai dengan persoalan
sederhana, dilanjuti dengan penyebaran isu yang tidak jelas faktanya, kemudian
berkembangan menjadi tindakan massa yang destruktif tidak terkendali (Moeis,
2006). Intinya konflik yang terjadi antar kelompok yang berbeda karena
masing-masing kelompok melihat kelompok lain sebagai lawan, bukan sebagai teman
yang berada dalam Negara yang sama.
Sudah saatnya dikembangkan sarana pendidikan
multikultural untuk mempersiapkan generasi bangsa yang memiliki kompetensi
kultural (kultural competence) yang mampu untuk hidup berdampingan dalam
masyarakat yang terdiri dari beragam kelompok dan system nilai. Bentuk
pendidikan ini perlu dikembangkan secara sistematis dengan disain yang jelas
dan mempertimbangkan karakteristik keragaman masyarakat Indonesia yang berbeda
dari Negara lain.
Sebagaimana di
ungkap oleh Tilaar (2004: 127-162), misalnya di di Amerika Serikat, akar
pendidikan multikultural berjalan searah dengan sejarah bangsanya. Perjuangan
lahir dan batin untuk kelauar dari diskriminasi rasial yang panjang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari lahirnya konsep dan parktek pendidikan
multikultural. Bagi orang Amerika pendidikan multikultural identik dengan
perjuangan memperoleh kesetaraan, memerangi prasangka, diskriminasi rasial.
Lain lagi halnya di Jerman, dari segi sejarah masyarakatnya pendidikan
multikultural bagi mereka sesuatu yang asing. Namun, dengan perkembangan
terbaru banyaknya imigran yang datang sebagai pekerja ke dalam negeri jerman,
membuat pemerintah mersa perlu menetapkan berbagai kebijakan pendidikan yang
memperhatikan kondisi golongan minoritas. Demikian seterusnya di negara maju
lain seperti Kanada, Inggris, dan Australia masing-masing memiliki masalah
multikultural yang unik sesuai dengan latarbelakang masyarakatnya. Pendidikan
multikultural yang dikembangkan oleh setiap negara tersebut bertolak dari
kekhasan permasalahan mereka.
Persoalan keragaman dalam masyarakat Indonesia juga
unik dan berbeda dari negara lain. Bangsa Indonesia terbentuk dari berbagai
suku bangsa, dengan masing suku bangsa memiliki karakteristik budaya, ras, dan
etnik yang berbeda. Selain itu bangsa Indonesia juga terbentuk dari bangsa yang
memiliki beragam keyakinan dan agama. Kemudian keragaman ini diperkaya dengan
adanya imigran yang datang ke Indonesia dari berbagai belahan dunia. Semua
bangsa dengan segala keragaman itu bersatu dalam satu wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dalam bahasa Kymlicka (2000:14) NKRI adalah negara
multibangsa, karena hakikat bangsa di sini adalah masyarakat atau kebudayaan.
Negara Indonesia yang penduduknya lebih dari satu masyarkat atau kebudayaan,
adalah lebih dari satu bangsa, maka dapat disebut multi bangsa.
Namun ada keunikan lain dalam masyarakat majemuk di
Indonesia. Jika menurut Kymlicka dikatakan dalam multibangsa atau multietnik
ada kelompok mayoritas yang dominan dan kelompok minoritas yang terpinggirkan,
maka dalam masyarakat Indonesia semua kelompok etnik dan agama memiliki posisi
yang sama dalam negara dan masyarakat seperti yang dijamin oleh konstitusi dan
dasar negara. Semua kelompok memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dan
pemerintahan. Bahkan kesetaraan ini dijamin oleh konstitusi, sehingga memiliki
kekuatan hukum disamping kekuatan historis. Bagi bangsa Indonesia persatuan dan
kesatuan menjadi landasan dasar dalam membentuk negara (Pokok-Pokok Pikiran
dalam Pembukaan UUD 1945)
Secara legal formal dan juga secara sosiologis
kultural masyarakat Indonesia sudah mempunyai jaminan untuk hidup dalam
keragaman, karena negara Indonesia dibentuk oleh masyarakat dari berbagai cirri
dan keunikan. Hal ini merupakan potensi yang memberi harapan di mana semua
kelompok dapat hidup berdampingan secara harmonis. Namun, ada sisi yang
mengandung potensi kearah perbedaan yang tajam yaitu perbedaan karakteristik
setiap kelompok, dan kuatnya interaksi internal kelompok. Setiap kelompok
memiliki budaya internal yang berbeda dengan budaya internal kelompok lain.
Anggota setiap kelompok memiliki keterikatan emosional yang tinggi, sehingga
interaksi internal kelompok cenderung kuat sekalipun berada dalam kondisi yang
heterogen. Fenomena ini terlihat di berbagai kota besar Indonesia masih banyak
kelompok yang berbentuk kekerabatan berdasarkan suku atau agama.
Di satu sisi, tingginya interaksi internal kelompok
mengandung potensi positif. Hubungan antar anggota kelompok dapat memperkuat
identitas etnik sehingga menciptakan rasa aman dan rasa kebersamaan oleh
individu di tengah-tengah masyarakat yang beragam. Selain itu, dapat
mengembangkan rasa penghargaan terhadap diri sendiri sebagai modal untuk dapat
menghargai orang lain, di samping sebagai sarana belajar untuk mempelajari
mitos kelompok sendiri dan menemukan faktor-faktor yang membuat
ketidakseimbangan dengan lingkungan (Moradian, 1996: 4).
Tetapi di sisi lain, rendahnya interaksi eksternal
antar kelompok dapat menjadi sumber kecurigaan antar kelompok dan dimanfaatkan
oleh kelompok yang ingin mencapai tujuan politis sesaat. Dari berbagai konflik
yang pernah terjadi di Indonesia di awal tahun 2000an terdapat indikasi akar
konflik adalah kecurigaan antar kelompok yang berbeda identitas yang kemudian
berakumulasi menjadi kekentalan identitas. Misalnya konflik Ambon, Poso dan
Sambas, berkembang dengan masing-masing kelompok yang memiliki identitas jelas
apakah bersifat agama atau suku. Sehingga akumulasi konflik terus berlanjut bila
ada sedikit pemicu yang mengatasnamakan kelompok. Demikian kuatnya identitas,
sehingga menimbulkan trauma kelompok membuat sulitnya kelompok membangun
rekonsialiasi pasca konflik. Bahkan konflik berlarut, dan sewaktu-waktu dapat
muncul lagi ketika identitas kelompok dimanfaatkan oleh kelompok lain yang
punya kepentingan politis (Moeis, 2009). Kesimpulannya bahwa kekuatan identitas
justru bersifat destruktif ketika anggota komunitas dimobilisir dan kehilangan
kemampuan kritis untuk menyaring informasi karena rendahnya interaksi lintas
kelompok.
Bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan ciri
yang unik dari keragaman masyarakat Indonesia adalah: pertama adalah
keanekaragaman kelompok dengan identitas yang kuat dari setiap kelompok
(sosiologis-kultural). Kedua adalah adanya kesepakatan bersama semua kelompok
untuk bersatu dalam negara bangsa Indonesia (historis-politis). Ketiga
kesepakatan bersama untuk membentuk negara bangsa yang multi suku,etnik dan
budaya ditetapkan dalam konstitusi (legal-formal). Berarti bangsa Indonsia,
adalah bangsa yang sejak awal berdirinya adalah bangsa yang sudah mempersiapkan
diri menjadi bangsa yang majemuk, dan setara.
Tetapi timbul masalah mengapa ada pertikaian antar
kelompok setelah perjalanan sejarah politik kebangsaan Indonesia berlangsung
cukup panjang. Berdasarkan penelitian terhadap laporan media massa tentang
kasus konflik didaerah tahun 2000an, (Moeis, 2009), pertikaian antar kelompok
terjadi karena kekuatan identitas dimanfaatkan oleh pihak yang ingin mengambil
keuntungan dari konflik. Oleh sebab itu, pencegahan konflik, pada hakikatnya
adalah melalui proses pendidikan yang membangkitkan kesadaran anggota
masyarakat untuk melihat secara kritis adanya isu dan opini yang merusak
keharmonisan hidup sebagai bangsa. Kesadaran ini awal untuk melakukan perubahan
terhadap sikap-sikap pribadi yang merusak kebersamaan.
Proses pendidikan diharapkan memberi efek perubahan
dalam kesadaran dan sikap individu warga masyarakat, dan pada gilirannya akan
memberi efek perubahan kepada masyarakat. Artinya pendidikan yang diperlukan
masyarakat Indonesia saat ini adalah pendidikan yang membantu masyarakat
menyadari secara kritis keadaan-keadaan dirinya yang merusak keharmonisan
kehidupan bersama, dan merubah pola-pola fikir yang destruktif menjadi pola
pikir yang konstruktif. Gagasan pendidikan ini disebut pendidikan bersifat
transformative.
Pendidikan multikultural dengan tujuan transformatif yakni
membentuk cara pandang positif masyarakat tentang dirinya dan orang lain.
Dengan demikian akan tercipta hubungan yang harmonis antara satu kelompok
dengan kelompok lain atas dasar saling menghargai, menghormati, toleransi,
dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia. Pada akhirnya, akan terbentuk
masyarakat yang beragam hidup secara harmonis, setara, inklusif, dan demokratis
Sejalan dengan itu Tilaar ( 2004) mengemukakan
gasagasan tentang pendidikan multicultural yang perlu dikembangkan di
Indonesia. Ada enam dimensi pendidikan multicultural yang dapat dikembangkan.
Pertama hak untuk kebudayaan dan identitas budaya lokal. Akibat dari arus
globalisasi yang terjadi secara merata tidak hanya mendorong pada pengakuan hak
azasi saja tetapi juga hak untuk kebudayan dan identias budaya lokal. Dalam
paradok globalisasi, orang dapat kehilangan identitas dirinya. Untuk
menghindari akibat negative globalisasi, perllu adanya pengakuan dan pengukuhan
hak untuk kebudayaan yang bertolak dari indentitas budaya lokal.
Kedua, kebudayaan Indonesia-yang-menjadi. Artinya
perlunya pengembangan identitas kebudayaan bangsa yang diarahkan kepada
penguatan negara bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proses ini bukan
dengan penguatan pada “penunggalan budaya yang ada” melainkan pengakuan kepada
keragaman budaya. Di sni ada dua kekhasan identitas yaitu identitas ke
Indonesian, dengan menempatkan keragaman budaya yang ada dengan segala
identitasnya sebagai unsurnya, dan pengakuan terhadap eksistensi kebudayaan
yang beragam dalam negara bangsa Indonesia sebagai identitas manusia Indonesia.
Keduanya terwujud melalui proses yang berkelanjutan.
Ketiga, konsep pendidikan multicultural normative
bukan konsep pendidikan multicultural yang deskriptif. Dalam pendidikan
multicultural deskriptif yang terjadi adalah sekedar pengetahuan dan pengakuan
keragaman budaya yang ada. Dari itu, diperlukan konsep pendidikan yang normatif
dengan bertolak pada hak untuk mengembangkan budaya-budaya yang ada dengan cara
yang kostruktif, menghindari paksaan dalam hafalan yang menghilangkan hakikat
keragaman.
Keempat, pendidikan multicultural merupakan suatu
rekonstruksi social. Artinya adalah pendidikan yang berupaya melihat kembali
kehidupan social yang ada dewasa ini. Satu fenomena social dalam masyarakat
Indonesia selama ini yang merupakan masalah adanya penguatan identitas
kelompok, daerah, yang berlebihan dan dapat menyebabkan terjadinya pegeseran
horizontal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Kemungkinan pergeseran sebagai
suatu proses menuju keadaan yang lebih baik. Di sini peran pendidikan
multicultural sebagai upaya menghilangkan fanatisme kelompok. Ibaratnya
pendidikan multicultural berada dalam proses antara perlunya penguatan
identitas kelompok di satu sisi, dan perlunya pengakuan dan penghargaan
keberadaan kelompok lain dengan identitasnya juga.
Kelima, perlunya pendidikan multicultural dengan
pedagogic baru. Pendidikan multicultural di Indonesia menuntut pendidikan hati
yaitu diarahkan kepada rasa persatuan dari bangsa yang pluralistic. Untuk itu
dibutuhkan pedagogic pemberdayaan, dan pedagogic kesetaraan. Pemberdayaan ditujuan
untuk mengembangkan budaya Indonesia dalam negara bangsa Indonesia, dan
pendidikan kesetaraan sebagai upaya untuk mewujudkan keseteraan, dan pengakuan
yang sama terhadap keragaman budaya yang ada.
Terakhir, pendidikan multicultural bertujuan untuk mewujudkan
visi Indonesia masa depan serta etika berbangsa. Dalam hal ini perlu dihidupkan
kembali pendidikan budi pekerti terutam ditingkat pendidikan dasar, melengkapi
pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU Sisdiknan no 20 tahun 2003.
Filsafat Rekonstruksi Sosial dan Pendidikan Multikultural
Asal mula pendidikan multikultural, ditekankan kepada
kelompok budaya yang khususnya mengalami prasangka dan diskriminasi ras di
Amerika Serikat, dengan tujuan untuk membantu mengurangi parsangka terhadap
kelompok yang menjadi target tersebut dan memberi kesempatan yang sama dalam
pendidikan. Sejak awal tahun 1960an pemahaman orang tentang pendidikan
multikultural mengalami evolusi (Gorski & Covert 1996). Evolusi ini
mengarah kepada tujuan pendidikan yang bersifat transformasi, yang bertujuan
mempengaruhi perubahan sosial, dengan bergerak dalam tiga bidang: “the
transformation of self”, “the transformation of school and schooling”, dan “the
transformation of society” (Gorski, 2000; Nieto, 1999; Howard, 1999). Maknanya
adalah bahwa perubahan pola pikir tentang identitas dan hubungan antar kelompok
dimulai dari perubahan dalam cara berfikir, merasa, dan bertindak seseorang
individu dalam hubungan dengan orang atau kelompok yang berbeda dalam hal ini
maksudnya perubahan cara berfikir, merasa, dan bertindak yang dimiliki guru dan
juga siswa. Kemudian perubahan pada diri guru dan siswa membawa dampak kepada
perubahan system di sekolah yakni dari sistem yang bersifat diskriminatif,
prasangka, menjadi system yang inklusif, setara, dan demokratis. Akhirnya
sistem ssekolah akan menjadi agen perubahan menuju masyarakat multikultural
yang damai.
Sifat transformatif dalam pendidikan multikultural
barakar dalam filsafat pendidikan rekonstruksi sosial (social reconstructionist).
Gagasan ini merekomendasikan guru dan sekolah, agar berangkat dari pengkajian
kritis tentang budaya di tempat mereka berada. Mereka harus berusaha
mengidentifikasi bidang-bidang yang mengandung kontroversi, konflik dan
inkonsistensi, kemudian mengeksplorasi dan menemukan pemecahannya (Orsntein
& Levine, 1984: 206). Lebih jauh dijelaskan bahwa filsafat rekonstruksi
sosial juga merupakan bagian dari filsafat pendidikan progresif, dengan tokoh
terkenalnya John Dewey.
Dewey dan para
pengikutnya mengembangkan gagasan baru tentang metode pendidikan yang menjadi
alternatif dari metode tradisional di akhir abad ke 19. Gagasan baru ini dapat
dilihat dalam beberapa hal yakni, 1) mereka meyakini bahwa pendidikan terhadap
anak dapat mengubah masyarakat, karena itu pendidikan menjadi instrumen untuk
reformasi sosial; 2) keyakinan bahwa pendidikan dan pengalaman anak haruslah
menyatu. Belajar yang bermakna dan efektif bila menerapkan metode ilmiah dalam
pengalaman langsung siswa; dan 3) Deweayan menekankan perlu tatanan demokratis
dalam otorita di sekolah. Tatanan ini akan memberikan kualitas yang lebih baik
dalam menghormati kebebasan inidvidu serta memberikan akses yang lebih luas
untuk mendapatkan pengalaman bagi semua pihak, serta mendorong hubungan
kemanusiaan yang berkualitas dan saling bersimpati (Massaro, 1993: 25).
Dalam buku Philosophical Scaffolding for the
Construction of Critical Democratic Education (Brosio, 2000: 142-143),
pokok-pokok pemikiran Dewey tentang pendidikan dirangkum dalam lima hal. Pertama,
proses pendidikan bersifat psikologis dan sosial. Aspek psikologis merupakan
basis bagi semua pendidikan, yakni berupa power dan instinc siswa. Kedua,
sekolah adalah lembaga sosial atau suatu bentuk dari kehidupan komunitas. Oleh
sebab itu, sekolah dipandang sebagai pelaku yang membawa siswa mampu
menggunakan sumber daya yang diwariskan oleh ras manusia untuk tujuan-tujuan
sosial. Ketiga, mata pelajaran haruslah merupakan rekonstruksi progresif dari
pengalaman anak. Keempat, Dewey menghubungkan metodenya dengan tahap
perkembangan anak, yakni dikembangkan berdasarkan kesiapan anak. Dan kelima,
Dewey meyakini bahwa pendidikan merupakan sarana terbaik untuk rekonstruksi
sosial, karena pendidikan memungkinkan siswa bertindak atas dasar kesadaran
sosial.
Progresivis (termasuk rekonstruksionis sosial) meyakini
bahwa pendidikan sebagai sarana membuat perubahan, yaitu sebagai kekuatan
raksasa untuk perubahan yang demoratis (Brameld, 1955: 155), namun antara
pemikiran progresiv dan rekonstruksionis berbeda dalam sudut pandang tentang
bagaimana cara perubahan itu dibuat. Bagi kalangan progresiv, proses pendidikan
melalui pengembangan berfikir dan metode ilimiah untuk membentuk individu baru
yang diharapkan dapat bertindak secara tegas untuk memajukan demokrasi dalam
masyarakat. Namun tetap beranggapan bahwa sekolah bukan tempat membicarakan
isu-isu kritis dan bersifat politis. Bagi penganut filsafat progresiv anak
didik adalah ilmuwan kecil yang dilatih berfikir secara ilmiah, sebagai bekal
untuk memasuki masyarakat kelak.
Kelompok rekonstruksionis melihat bahwa pendidikan
adalah tempat dimulai perubahan yang harus terjadi dalam masyarakat, dengan
cara guru dan siswa mengkaji secara kritis warisan budaya, menentang isu-isu
yang paling kontroversial, berkomitmen terhadap perubahan, merencanakan
konstruksi hipotetik, dan membuat hubungan dengan program-program yang
dirancang untuk melakukan perubahan (Brosio, 2000: 145: Stanley, 2000: 66).
Pemikiran rekonstruksionis banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran kritis dalam
ilmu sosial, yang menegaskan bahwa sekolah perlu menantang praktek-praktek,
lembaga, dan cara berfikir mapan yang menciptakan ketidakadilan, serta
menawarkan pemikiran-pemikiran alternatif (Billings, 2000: 150). Dalam pandang
rekonstruksionis pemikiran ilmiah belum cukup tetapi harus juga mampu
mengkritisi dan mengupas ketidakadilan dalam kehidupan bersama. Kemungkinan
sumber ketidak adilan ada pada diri internal setiap orang, sehingga diperlukan
kesadaran, kemauan untuk membongkar cara berfikir yang keliru. Pada akhirnya
jika individu berubah maka diharapkan akan merubah juga kondisi-kondisi ketidak
adilan diluar diri.
Satu di antara bentuk pendidikan yang beraliran
rekonstruksi sosial tampak dalam gagasan “pembebasan” dan “emansipasi” dari
Paulo Freire. Freire menyebut pendidikan sebagai proses humanisasi seperti yang
diungkapkannya, ”dengan kepedulian kepada humanisasi kita akan tahu
dehumanisasi, tidak hanya dalam makna ontologis tetapi realita sejarah...
sebagai produk dari tatanan yang tidak adil...” (Freire, 1998:45). Dengan
demikian, pendidikan adalah proses menentang semua praktek-praktek dehumanisasi
dan melakukan transformasi, yang dimulai oleh orang-orang menjadi korban
dehumanisasi (oppressed people), kemudian oleh semua masyarakat untuk
memperoleh proses pembebasan yang permanen (Freire, 1998: 54).
Lebih jauh Freire (1998: 67) mengkritik praktek
pengajaran yang sifatnya satu arah yakni siswa sebagai “kotak kosong” yang
diisi oleh guru. Konsep pendidikan ini disebutnya dengan “the banking concept
“, yang memandang pengetahuan adalah “hadiah” dari orang-orang yang merasa
dirinya lebih berpengetahuan, sebaliknya mengabaikan konsep pengetahuan dan
pendidikan sebagai proses inkuiri. Ciri-ciri pendidikan yang mengabaikan aspek
kemanusian ini tampak dari pemikiran sebagai berikut.
- Guru adalah orang yang mengajar, siswa orang yang diajar
- Guru mengetahui segala sesuatu, siswa adalah orang yang tidak tahu apa-apa
- Guru memikirkan, siswa berfikir seperti yang ditunjukkan guru
- Guru berbicara, siswa mendengar
- Guru menegakkan disiplin, siswa orang yang didisiplin
- Guru membua pilihan dan memaksakan pilihan itu kepada siswa, dan siswa orang yang mematuhi pilihan guru.
- Guru melakukan aksi, siswa membuat ilusi berdasarkan aksi guru
- Guru memilih isi program pengajaran, siswa melaksanakannya tanpa diberi kesempatan berkonsultasi terlebih dahulu
- Guru mengaburkan batas otoritas keilmuan dengan otoritas profesional, yang kemudian dia jadikan sebagai pengekang kebebasan siswa.
- Guru adalah subjek dari proses belajar sedangkan siswa adalah objek (Freire, 1998: 68-69)
Sumbangan Freire bagi pendidikan terletak dalam
beberapa konsep pedagogi seperti “conscientization, problematizing, dialogue,
spirit and love” (Brosio, 2000: 206-213). Dalam konsep conscientization
(kesadaran) belajar adalah mempersepsi kontradiksi-kontradiksi politik dan
sosioekonomi serta ketidakadilan, kemudian diambil tindakan untuk
memperbaikinya sehingga diperoleh kondisi kehidupan yang lebih baik. Konsep problem
posing menurut Freire berbeda dengan pemecahan masalah dalam sudut pandang
pakar teknologi, tetapi dalam problem posing (pengungkapan masalah) melibatkan
solidaritas dengan orang yang perlu bantuan. Untuk ini perlu hubungan dialogis antara
guru dengan siswa, antara pemimpin dengan rakyat untuk “mengkodifikasi” semua
permasalahan dan kemungkinan cara memecahkannya. Melalui pengungkapan masalah membawa
siswa menjadi subjek pendidikan bukan sebagai objek, dan menjadikan pendidikan
berdasarkan kreativitas serta mendorong refleksi dan tindakan yang realistis.
Selain itu, pendidikan merupakan hubungan dialogis
yang horizontal antara guru dengan siswa. Dialog ini bersifat interkomunikatif
yang diwarnai empati, kasih sayang, rendah hati, penuh harapan, dan saling
mempercayai namun tetap kritis. Kemampuan dialogis yang penuh kejujuran, rasa
hormat, dan mendalam dapat dikembangkan bila ada keyakinan bahwa “orang lain”
dapat menjadi dirinya yang terbaik sebagaimana halnya “diri” saya.
Terakhir, bagi Freire, radikalisasi memang
meningkatkan komitmen terhadap posisi dan pilihan hidup yang dipilih, tetapi
yang lebih utama adalah pandangan hidup yang rendah hati, penuh kasih sayang
namun tetap kritis. Solidaritas hanya dapat ditemukan dalam kasih sayang yang
tulus. Sifat ini merupakan kesadaran etis yang menghasilkan prilaku pembebasan
yang didasarkan atas kepedulian, pengkajian kritis, dan konstruksi pengetahuan
dan hipotesis.
Sejalan dengan konsep Freire, Carl Grant &
Christine Sleeter (1997: 71) menjelaskan bahwa pendidikan bersifat
multikultural dan rekonstruksi sosial berkaitan secara langsung dengan
tekanan-tekanan dan ketidaksetaraan struktural dan sosial yang didasarkan atas
ras, kelas sosial, jender, dan cacat. Tujuan pendidikan adalah mempersiapkan
warga negara masa depan yang dapat merekonstruksi masyarakat sehingga lebih
baik dalam melayani semua pihak.
Bentuk pendidikan yang sejalan dengan warna
rekonstruksi sosial adalah Critical Pedagogy. Antara lain gagasan ini terdapat
dalam pemikiran Peter Mc Laren, Henry Giroux, dan Sonia Nieto. Pedagogi kritis
lebih dari sekedar menciptakan iklim pendidikan yang mendorong transformasi
tetapi secara tegas mereka melihat pendidikan (sekolah, kurikulum, buku teks,
dan sejenisnya) sebagai produk politik yang mempengaruhi kehidupan siswa.
Pedagogi kritis memberikan landasan bagi guru dan juga
peneliti cara pemahaman yang lebih baik mengenai peran nyata sekolah dalam
masyarakat yang sudah terbagi-bagi secara ras, kelas sosial, jender. Pemahaman
ini akan membantu guru membangun konsep untuk mempertanyakan proses belajar,
buku teks, ideologi guru yang telah memberi peluang terciptanya ketidakadilan
sosial (Mc Laren, 1998: 167) Lebih jauh McLaren menegaskan bahwa pedagogi
kritis bertekad untuk menciptakan proses belajar dan pengambilan tindakan
melalui solidaritas dengan kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Pendidikan
dilakukan melalui proses dialectical yakni menemukan problem dari
kelompok-kelompok yang dirugikan oleh struktur sosial, dan mencari akar problem
dalam konteks sosial dan historis yang lebih luas (Mc Laren,1998: 171). Secara
singkat dinyatakan bahwa pedagogi kritis adalah proses pendidikan yang
mendorong “self-empowerment and social tranformation” (penguatan diri dan
perubahan social).
Seperti halnya McLaren, Giroux juga berangkat dari
kritiknya tehadap sekolah. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah memainkan peran
penting dalam mereproduksi budaya positivistik, yang secara langsung atau tidak
langsung sekolah beroperasi berdasarkan tuntutan budaya tersebut, dan secara
historis telah menciptakan praktek ketidakadilan dalam masyarakat (Giroux,
1997: 27). Untuk mengatasi hal itu, sekolah harus membangun formasi sosial
alternatif serta pandangan hidup yang akan mempengaruhi kesadaraan dan struktur
vital terdalam kebutuhan siswa. Demikian juga guru harus mengembangkan teori
dan praktek pedagogis yang menghubungkan atara self-reflection dengan understanding
dalam satu komitmen untuk melakukan perubahan meluas dalam masyarakat.
Secara lebih spesifik, penerapan pedagogi kritis dalam
pendidikan multikultural dikembangkan oleh Sonia Nieeto. Dalam bukunya Affiirming
Diversity (1991), di jelaskan bahwa pendidikan multikultural berlandaskan
filosofi pendidikan kritis (critical pedagogy)., yakni terfokus pada
pengetahuan, refleksi, dan tindakan sebagai basis perubahan sosial, serta pengembangan
prinsip-prinsip demokrasi untuk keadilan sosial (Nieto, 1991: 208) . Dalam hal
ini pendidikan multikultural didefinisikan sebagai: 1) pendidikan antirasis,
artinya pendidikan multikultural bersifat inklusif dan seimbang, serta menjamin
akses siswa keberbagai sudut pandang dalam melihat sesuatu; 2) pendidikan
multikultural merupakan pendidikan dasar sebagai bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan seperti halnya membaca, menulis, berhitung, karena
itu pendidikan multikultural merupakan bagian dari kurikulum inti; 3)
pendidikan multikultural untuk semua siswa, bukan hanya untuk kelompok yang
dirugikan oleh struktur sosial saja; 4) pendidikan multikultural bersifat
menyatu dengan lingkungan kelas, kurikulum, hubungan guru dan siswa, dan dalam
komunitas; 5) pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk keadilan sosial
yakni belajar berfikir lebih inklusif dan ekspansif, merefleksikan apa yang
dipelajari, dan mengambil tindakan untuk keadilan sosial berdasarkan refleksi
tersebut; 6) pendidikan multikultural adalah sebuah proses; dan 7) pendidikan
multikultural adalah pedagogi kritis, yang menegaskan keragaman budaya dan
bahasa sesuatu yang harus diakui secara terbuka bukan ditekan kebawah
permukaan.(Nieto,1991: 208-223).
Jayne Belkey (2005) meringkas dari berbagai pendapat
ahli pendidikan kritis mengani karakteristik pendidikan ini. Inti dari
pendidikan kritis adalah pengembangan kesadaran kritis yang mencakup dialog,
pengungkapan masalah dan eksplorasi tema-tema yang berkembang sehubungan dengan
ras, suku, gender. Dia menyimpulkan bahwa kesadaran kritis merupakan proses
seseorang mencapai kesadaran mendalam tentang realitas social yang membentuk
kehidupan, dan kesadaran tentang kapasitasnya untuk merubanh realitas itu.
Untuk mencapai realitas itu seseorang haruslah mempersepsi secara objektif
perannya dalam realitas tersebut, dan melakukan interogasi kritis terhadap
realitas social yang membentuk perannya, dan sekaligus juga mengenali
kemampuannya untuk merubah realita (memastikan apa realitas tersebut dan
sekaligus merubahnya).
Dalam padangan penganut pendidikan kritis, diyakini
bahwa orang hidup dalam realitas yang tidak seimbang, kontradiktif dalam hal
kekuasaan dan pengecualian (privilege). Realitas ini dibangun oleh penghuninya
dalam keadaan yang terikat dengan kekuaasaan atau pengecualian itu. Bisa saja
ketidak seimbangan itu disebabkan ras, suku, jender atau status social, dan
jika diikuti akan terjadi realitas yang rasialis, klasis, sexis dan seterusnya.
Oleh karena itu pendidikan kritis melakukan pendektan dialektika, dengan
mengenali bahwa masalah dalam masyarakat terjadi karena hubungan antara
masyarakat dengan individu. Pendidikan kritis tidak mencari “korban” juga tidak
‘sistem” tetapi mengenali dirinya adalah sebagai pencipta, pelaku dan bertindak
dengan pola yang ada dalam kehidupan masyarakat. Dalam pendidikan krtis
dilakukan melalui komunikasi dialogis memungkinkan seseorang melakukan proses
pembebasan dari pola yang ada menuju perubahan melalui berbai alternative
pandangan. Dengan dialog seseorang akan mengambil keputusan dengan pandangan
multiperspekif. Komunikasi dialogis membuat siswa berada dalam diskusi yang
jujur, autentik mengenai isu-isu yang sensitive dalam hubungan antar golongan.
Gary Howard dalam bukunya We Can’t Teach What We Don’t
Know mengembangkan perspektif rekonstruksionis dalam pendidikan multikultural
dengan bentuk personal transformation and social transformation atau
transfromasi pribadi dan tarnsformasi sosial (Howard, 1999:5,100). Latar
belakang pemikiran Howard adalah bahwa perubahan menuju masyarakat yang
antidiskriminatif adalah dimulai dari diri pribadi yang memiliki cara pandang
yang keliru tentang orang lain yang berbeda. Dalam transformasi personal,
dimulai dengan guru menyadari kenyataan dirinya dalam konteks hubungan antar
ras, jender dan kelas sosial yang menyebabkan ketidakadilan bagi satu kelompok.
Dalam hal ini kemungkinan cara pandang dan pola pikir seseorang masih bersifat
fundamentalist (betul-betul menolak perbedaan) atau pertengahan yaitu integrasionis
sudah mengakui perbedaan tetapi masih melihat secara diskriminatif. Kemudian
mengubah cara berfikir, cara pandang, dan cara bertindak yang semula bersifat
fundamentalis (tertutup, cenderung memandang diri lebih dari yang lain) atau
integrasionis (mulai mengakui keberadaan orang lain tapi masih menganggap diri
lebih baik), menjadi bersifat transformasionis (lebih terbuka, egaliter, dan
multiperspektif). Sedang dalam konteks sosial, guru (setelah menjalani
transformasi personal) melakukan perubahan tatanan sosial yang menyebabkan
dirinya terkungkung oleh cara berfikir fundamentalis atau integrasionis.
Kelompok rekonstruksionis melihat transformasi dalam
pendidikan multikultural merupakan keharusan. Titik tolak untuk perubahan dari
kesadaran bahwa masyarakat demokrasi yang beragam akan berfungsi secara
sempurna bila semua anggota meyakini bahwa mereka adalah bagian yang integral
dari struktur kelembagaan dan sosial; jika ada kelompok yang merasa
dipinggirkan, mengalami keterasingan, maka polarisasi etnik akan terjadi
(Banks, 1991: 460). Oleh karena itu tujuan utama dari pendidikan adalah
membentuk kemampuan kultural siswa sehingga dapat menantang dan menstruktur
kembali masyarakat sehingga lebih inklusif, adil, dan demokrasi (Lankard,
1994).
Sejalan dengan pandangan yang melihat ke depan itu,
kalangan pendidikan di AS menekankan bahwa pendidikan multikultural diperlukan
karena beberapa alasan mendasar (Massaro,1993: 48-51.
Pertama, dalam sejarah Amerika pernah terjadi pendiskriminasian warga berdasarkan ras, agama, etnisitas, dan juga jender yang membuat pemahaman tentang persoalan-persoalan keragaman ras, dan agama menjadi kabur. Misalnya, berbicara tentang etninistas hanya sebatas kelompok Black American. Demikian pula penanganan persoalan ras dan etnisitas menjadi sempit, terbatas pada dikotomi kesadaran ras dan separatisme di satu sisi, dengan buta ras dan asimilasi di sisi lain. Karena itu, perlu pendidikan multikultural untuk memperjelas konsep-konsep tersebut.
Pertama, dalam sejarah Amerika pernah terjadi pendiskriminasian warga berdasarkan ras, agama, etnisitas, dan juga jender yang membuat pemahaman tentang persoalan-persoalan keragaman ras, dan agama menjadi kabur. Misalnya, berbicara tentang etninistas hanya sebatas kelompok Black American. Demikian pula penanganan persoalan ras dan etnisitas menjadi sempit, terbatas pada dikotomi kesadaran ras dan separatisme di satu sisi, dengan buta ras dan asimilasi di sisi lain. Karena itu, perlu pendidikan multikultural untuk memperjelas konsep-konsep tersebut.
Kedua, sejalan dengan pendapat pakar pendidikan yang
menyatakan pendidikan adalah mentransmisikan budaya kepada generasi muda. Untuk
ini perlu diperkenalkan keanekaragaman ideologis dan budaya Amerika beserta
konflik yang terjadi di dalamnya.
Ketiga, memasukkan multikultural ke dalam kurikulum
merupakan keharusan yang sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusi Amerika.
Bagi sejarawan konstitusi ketidaksetujuan kelompok multikultural terhadap
kurikulum nasional yang seragam, merupakan perjuangan kelompok yang
terpinggirkan untuk memperoleh hak yang penuh dan sama sebagai warga negara.
Karena konstitusi memberikan jaminan terhadap kesamaan hak tersebut.
Keempat, pendidikan multikultural dipandang perlu
untuk memperkaya pengetahuan dan pemahaman siswa tentang pahlawan dan sejarah
Amerika dengan menggunakan model yang sesuai menurut ras dan etnik.
Demikian pula
Geneva Gay (1994), menyimpulkan bahwa pendidikan multikultral diperlukan karena
realitas sosial dan kebutuhan psikologis siswa. Dari segi realitas sosial
adalah heterogenitas masyarakat yang terus meningkat dengan kedatangan
imigran-imigran baru. Sementara selama ini, prasangka, stereotype antar etnik
yang sudah ada di AS, tetap berlanjut di semua bidang seperti pendidikan,
pekerjaan, dan pergaulan. Realitas lain berkenaan dengan keterlibatan negara
dalam pergaulan global semakin tidak terhindarkan. Dari segi psikologis menyangkut
dengan adanya pengaruh budaya terhadap perkembangan manusia. Jika seorang
pendidik menempatkan perlakuan terhadap anak didik sebagai manusia adalah
prioritas tertinggi, maka perlu adanya perhatian terhadap keragaman identitas
yang dibawa siswa ke sekolah.
Untuk mencapai tujuan transformatif pendidikan
multikultural dikembangkan dalam lima dimensi, (Banks, 1997: 69) Kelima dimensi
itu adalah: 1) integrasi konten, merupakan cara guru mengambil contoh dari
berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep-konsep kunci,
prinsip, generalisasi dan teori di dalam bidang-bidang studi; 2) proses
konstruksi pengetahuan, yang terdiri dari metode kegiatan, dan pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan guru untuk membantu siswa memahami, menemukan, dan menentukan
bagaimana bentuk tersembunyi dari asumsi-asumsi budaya, kerangka berfikir, dan
bias dalam menarik kesimpulan sehingga terbentuk pengetahuan; 3) mengurangi
prasangka ras, adalah perubahan sikap dan cara pandang siswa yang terbawa bias
ras dengan bantuan guru sehingga menjadi sikap yang lebih demokratis; 4)
pedagogi kesetaraan (equity pedagogy) adalah ketika guru mengubah cara-cara
mengajar mereka agar lebih membantu pencapaian akademik siswa dari berbagai
ras, budaya, etnik, dan kelompok jender (kulturally sensitive teaching
strategies); dan 5) memberdayakan budaya sekolah dan struktur sosial untuk
memandang sekolah sebagai sistem sosial yang kompleks, yang mencakup reformasi
semua aspek pendidikan.
Sehubungan dengan dimensi tersebut ada tiga tipe
pendidikan multikultural yang berkembang di Amerika Serikat (Bennet, 1998).
Pertama, Content-Oriented Program (program yang berorientasi isi) dengan tujuan
utama adalah untuk merangkum isi kurikulum dan materi pendidikan dengan beragam
kelompok budaya untuk meningkatkan pengetahuan sisiwa tentang kelompok
tersebut. Kedua, Student-Oriented Program(program yang berorientasi siswa) merupakan
kegiatan ekstrakurikuler yang ditujukan memenuhi kebutuhan akademik kelompok
siswa dari kalangan minoritas. Tujuan program ini adalah meningkatkan prestasi
akademik kelompok siswa minoritas tersebut. Ketiga, Socially-Oriented Program
(program yang beorientasi social) yang kegiatannya adalah melakukan reformasi
sekolah dan konteks politik dan budaya dari sekolah dengan tujuan untuk membuat
pengaruh yang lebih luas tentang toleransi budaya, ras, dan mengurangi bias
budaya dan ras.
Salah satu contoh dari program pendidikan
multikultural yang komprehensif adalah proyek REACH (Respecting Ethnic and
Kultural Heritage) yang meraih prestasi sebagai program yang berbasis disiplin
akademis (Webb, 1990). Program ini meliputi proses dan kurikulum multikultural,
proses pelatihan guru, dan dikelola berdasarkan distrik atau sekolah. Program
bergerak dalam empat fase:
- human relations skills, siswa berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan self-awareness, self-esteem, komunikasi interpersonal, dan pemahaman dinamika kelompok;
- kultural self-awareness, siswa melakukan riset tentang budaya personal, sejarah keluarga atau masyarakat;
- multikultural awareness, yaitu siswa belajar dari booklet mengenai sejarah Amerika dari berbagai sudut pandang etnik yang berbeda; dan
- cross kultural experience, informasi sejarah dan budaya di dalam booklet dibuat menjadi bersifat personal melalui dialog dan pertukaran antar siswa dan orang dewasa dari berbagai kelompok etnik.
Sebagai bagian dari gerakan pendidikan multikultural
adalah pengembangan kurikulum yang responsif secara budaya. Pandangan yang
paling umum menyatakan bahwa tujuan kurikulum ini adalah sebagai strategi untuk
meningkatkan prestasi akademik dan mempertinggi self-esteem siswa yang berbeda
warisan budaya, bahasa, dan ras dari penduduk keturunan Eropa (Abdal Haq,
1994). Karakteristik kurikulum yang responsif secara budaya antara lain: 1)
terintegrasi dan interdisipliner; 2) autentik, terpusat pada siswa, dan terkait
dengan kehidupan siswa yang sesungguhnya; 3) mengembangkan keterampilan
berfikir kritis; 4) seringkali menggunakan strategi gabungan yang mencakup cooperative
learning dan whole language instruction; 5) didukung oleh staff ahli dan
program pelatihan; dan 6) terkordinasi dengan strategi bidang lain di sekolah.
Pendidikan multikultural dengan filsafat
rekonstruksionis, lebih dari sekedar membentuk kemampuan berfikir ilmiah dan
kritis siswa, tetapi mengajak siswa untuk mengambil tindakan perubahan pada
diri sendiri, dan juga lingkungan. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa
melalui pendidikan multikultural siswa membentuk kemampuan berfikir dan
bertindak dengan mulai dari proses pembentukan kesadaran terhadap hal-hal yang
kontra produktif dalam diri sendiri mengenai cara pandang terhadap orang lain
yang berbeda, kemudian merubah pola pikir dan seterusnya merubah suasana
lingkungan. Proses ini dilakukan secara reflektif bersama-sama antara siswa dan
guru.
Daftar Bacaan
- Abdal Haqq, Ismat (1994) Kulturally Responsive Curriculum. ERIC Document Nu. 37096
- Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2005) Indonesia: Kultural Pluralism Without Multikulturalism? Paper Presented in International Seminar “Multikultural Education: Cross Kultural Understanding for Democracy and Justice. UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta, Agustus 27-28, 2005
- Banks, James (1991) “Multikultural Education: Its Effects on Student’s Racial and
- Belkey, Jayne (2005) Whose World is This? Toward Multicultural Consciousness through Community Engagement. Multicultural Education, Spring 2005. Teachers College, Ball State UInversity, Indiana
- Banks, James(1991) Multicultural Education: its effect on students racial and Gender role Attitudes”, dalam Shaver, James (ed) Handbook of Research on Social Studies Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company.
- Banks, James (1997) Educating Citizens in A Multikultural Society. New York: Allyn & Bacon
- Bennet, Christine (1995) Comprehensive Multikultural Education: Theory and Practice. 3rd editiion New York: Allyn and Bacon
- Billings, Gloria (2000) “Put Up or Shut Up: The Challenge of Moving from Critical Theory to Critical Pedagogy”, dalam Hursh, David & Ross, E Wayne (eds) Democratic Social Education. New York. Falmer Press
- Brameld, Theodore (1955) Philosophies of Education in Kultural Perspective. NewYork: Holt, Rinehart and Winston.
- Brosio, Richard (2000) Philosophical Scaffolding for the Construction of Critical Democratic Education. New York: Peter Lang.
- Capra, Fritjof (2002) Titik Balik Peradaban.: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. (edisi terjemahan). Jogjakarta: Bentang Budaya
- Esposito, John (2002) Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di akhir abad 20 (edisi terjemahan). Yogjakata: Penerbit Qalam
- Freire, Paulo (1998) The Paulo Freire Readers. Edited by Freire, Ana Maria & Macedo, Donaldo. New York: Continuum International Publication.
- Giroux, Henry (1997) Pedagogy and the Politics of Hope: Theory, Culture, and Schooling. Colorado; Westview Press.
- Grant, Carl & Sleeter, Christine (1997) “Race, Class, Gender, and Disability in the Classroom”, dalam Banks & Banks (eds) Multikultural Education: Issues and Perspectives. Boston: Allyn and Bacon
- Howard, Gary (1999) We Can’t Teach What We Don’t Know: White Teachers, Multiracial Schools. New York: Teachers College, Columbia University
- Huntington, Samuel (2003) Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia (edisi terjemahan, M.Sadat Ismail). Yogjakarta: Penerbit Qalam
- Ibrahim, Zawawi (2008) Representation, Identity, and Mulitikulturalism in Serawak. Kualalumpur, Malaysia: Vinln Press Sdn Bhd
- Kymlicka, Will (2002) Kewargaan Multikultural (edisi terjemahan). Jakarta: LP3S
- Lankard, Bettina (1994) Kultural Diversity and Teamwork. ERIC Digest no 152. ED377311
- Massaro, Tonie (1993) Constitutional Literacy. A Core Curriculum for a Multikultural Nation. Durham and London: Duke University Press.
- Mc Laren, Peter (1998) Life in Schools: An Introduction to Critical Pedagogy. In the Foundation of Education. New York: Peter Lang.
- Mickletwhite, John & Wooldridge , Adrian (2000) A Future Perfect: The Challenge
- and Hidden Promise of Globalization. New York: Crown Business
- Moeis, Isnarmi (2010) Pendidikan Kewarganegaraan dalam Era Globalisasi. Dalam Paryoga Bestari dan Syaifullah Syam (eds) Pendidikan pancasila dan Kewarganegaraan dalam Membangun Karakter Bangsa: Refleksi, Komitmen, dan Prospek . Bandung: laboratorium PKn UPI Bandung
- Moeis, Isnarmi , Al Rafni, Junaidi Indrawadi (2010) Otoritas Guru dalam Konteks Pendidikan Kritis di SMA Negeri Padang, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Vol 16 no 4, Juli 2010 Hal: 391-399
- Moeis, isnarmi cs 2011 Penelitian eksplorasi tentang Developing Multikultural Awareness of Senior High Teachers in Padang: penelitian Kolaborasi UNP-Deakin Univeristy Australia Dibawah proyek AIRHID 2011-2012
- Mooradian, Moorad (1996) The Meaning of Ethnic Identity. The Pacific American Review. Vol 2, Winter 1996: 2-9
- Nieto, Sonia (1999) The Light in Their Eyes: Creating Multikultural Learning Communities. New York: Teacher College, Columbia University
- Nieto, Sonia (1991) Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multikultural Education. New York: Longman
- Notonagoro (1981) Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh
- Ornstein, Allan & Levine, Daniel (1984) An Introduction to Foundations of Education. New Jersey: Houghton Mifflin Company
- Semiawan, Cony (2004) “The Challenge of a Multikultural Education in a Pluralistic Society: The Indonesian Case”, dalam Kamanto Sunarto cs (eds) Multikultural Education in Indonesia and South East Asia. Depok, Jakarta: Jurnal Antropologi Indonesia.
- Stanley, William (2000) Curriculum and the Social Order. Dalam Hursh & Rush (eds) Democratic Social Education. New York: Falmer Press
- Trijono, Lambang (1996) Globalisasi Modernitas dan Krisis Negara-Bangsa: Tantangan Integrasi Nasional dalam Konteks Global. Analisis CSIS. Tahun
- XXV, No 2, Maret-April 1996: 136-148.
- Webb, Michael (1990) Multikultural Education in Elementary and Secondary Schools. ERIC Digest (ED327613).
Internet
- Gay, Geneva (1994) A Synthesis of Scholarship in Multikultural Education. Tersedia
- online dalam www.ncrl.org/sdrs/areas/issues/educators (akses 3 Maret 2004)
- Gorski, Paul (2000) A Working Definition of Multikultural Education. Tersedia dalamwww.edchange.org/multikultural (akses 3 Maret 2004)
- Gorski, Paul & Covert, Bob (1996) Defining Multikultural Education. Tersedia dalam
- www.edchange. org/multikultural (akses 3 Maret 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar