Tradisi kebudayaan Minangkabau itu unik,
bukan hanya karena sifat matrilinealnya [1], tetapi
juga karena variasinya yang berbeda-beda antara satu nagari dengan nagari
lainnya.[2] Diantara
perbedaan tradisi ini, terlihat perbedaan antara tradisi di kawasan pesisir[3] dengan
tradisi daerah “darek” di Sumatera Barat yang masih hidup sampai sekarang.
Salah satu tradisi yang penulis amati, berada
di daerah pinggiran kota Padang, yang dahulunya adalah kawasan yang sangat terisolir. Yaitu daerah “Kurao Kapalo
Banda”, Kelurahan gunung Sarik, Kecamatan Kuranji, Padang. Dapat dikatakan, oleh
karena isolasi itulah, maka sisa-sisa tradisi
adat lama itu masih erat melekat pada orang-orang yang tinggal di sini,
dan masih dipakai sampai sekarang.
Akibat lain dari akibat isolasi ini, adalah
dimana orang tua yang berusia 40-50 tahun rata-rata buta huruf walaupun sudah memiliki TV di rumah mereka. Oleh karena buta huruf, dapat dikatakan surat kabar
tidak laku di kawasan ini, karena mereka tidak bisa membaca. Komunikasi
diantara mereka, dan penerimaan informasi,
umumnya berlangsung secara lisan. Demikian juga dalam hal pewarisan
adat-istiadat yang dipakai oleh mereka.
Sejarah
daerah Kurao Kapalo Banda
Wilayah
kurao sebenarnya sangat luas, yang terbentang dari daerah “Tunggul Hitam”
daerah pinggir pantai sampai ke kelurahan gunung Sarik, daerah di kaki
perbukitan pinggir Kota Padang. Nama-nama Kurao ini oleh masyarakat tempatan
jadi beragam, misalnya ada Kurao Pagang (dekat pekuburan umum Tunggul Hitam),
Kurao Banda Atas, Kurao Kapalo Banda (di Kelurahan Gunung Sarik). Tradisi di
daerah kurao kapalo banda ini yang akan diceritakan pada tulisan ini.
Sejak tahun 80-an, penulis sudah mengetahui bahwa daerah ini, adalah daerah yang terisolir, tetapi sejak dibangunnya jalan raya
“by Pas” tahun 90-an yang membelah kawasan ini sejak dari Pelabuhan Teluk Bayur sampai ke daerah Duku,
daerah-daerah yang tadinya terisolir menjadi daerah terbuka dan mendapatkan
akses ke kota Padang.
Lokasinya di peta klik ini
Lokasinya di peta klik ini
Salah satu
ciri dari keterisolasian daerah ini terlihat dari penduduk yang berusia sekitar
40-50 tahun rata-rata buta huruf. Dengan terbukanya daerah ini maka anak-anak
mereka umumnya sudah mengenyam
pendidikan, dan sudah banyak yang menjadi sarjana.
Menurut Agus Chan Bgd (73), yang penduduk asli daerah ini dan
pensiunan Abri, nama “Kurao Kapalo Banda” (bhs. Minang), atau
Kurao Kepala Bandar (bhs.Indonesia) adalah sebuah daerah yang berada di
kelurahan Sungai Sapih, Kecamatan Kuranji, Padang. Menurutnya dahulunya Desa
ini adalah sebuah daerah yang
berawa-rawa dan padang rumput tidak di huni orang. Daerah ini kemudian di garap
dan diperebutkan oleh berbagai suku untuk menggarap tanah di sini untuk pertanian
sawah dan ladang.
Istilah Kurao atau “Kapalo Banda" berasal
nama “bandar” sawah yang mengalir mulai dari Kurao Pagang ke Kurao Kepala Banda Atas. Oleh karena itu diberi
nama Kurao Kepala Banda oleh penduduk kemudian, oleh
orang-orang Belanda, karena sawah-sawah di sebelah Barat itu airnya mengalir ke arah pantai, maka daerah sebelah Timur diberi nama Banda Kurao Atas. Daerah ini juga sering terjadi banjir
dadakan, jika hujan lebat lebih dari 5 jam. Jalan masuk ke desa Kurao Kapalo
banda ini kemudian tergenang air setinggi lutut orang, seakan sebuah sungai,
dan akan surut 2 jam setelah hujan berhenti.
Menurut
cerita, dengan kedatangan penduduk daerah “darek” (darat) maka lambat laun
daerah ini di huni oleh penduduk yang dikenal sekarang, dan disebut dengan
“urang Kurao” yang terdiri dari suku-suku “bodi
chaniago”, “tanjuang”, “Koto”, “Jambak”. Menurut informan, daerah “kurao” ini di zaman Belanda adalah
daerah perkebunan Belanda.
Asal kata
kurao diperkirakan berasal dari bahasa “Nias”. Memang sudah lazim di kota
Padang, banyak nama yang berasal dari bahasa Nias, misalnya daerah Siteba
(sitebey) artinya “daerah terlarang”, atau jalan Hiligoo di kota Padang yang artinya
“bukit berbunga” (bahasa Nias), kemudian sepotong jalan dari Siteba ke Balai Baru sampai simpang By Pas disebut "Lolongkaran" berkemungkinan juga bahasa Nias.
Konon
kabarnya, waktu zaman Belanda daerah Kurao dijadikan perkebunan karet. Yang
menjadi buruh di perkebunan Belanda di Kurao ini dahulunya adalah orang Nias,
yang di datangkan dari pulau Nias. Walaupun nagari ini kecil tapi besar artinya
bagi orang-orang Belanda dahulunya, karena di sini banyak
masyarakatnya yang bertani yang hasil pertaniannya sangat berguna bagi Belanda.
Setelah zaman kemerdekaan, daerah Kurao adalah penghasil sagu dan padi sawah, berikut
palawija seperti mentimun, jagung, cabe, pario, bengkuang, untuk kota
Padang dan
sekitarnya. Oleh karena
daerah ini daerah rawa yang ditumbuhi oleh rumbia (rumbio, bahasa Kurao), maka daerah ini adalah penghasil sagu yang
terbesar. Dahulu orang Padang, kalau ke kurao itu selalu membeli “lompong sagu”
yaitu semacam “lepat” atau “lapek”(bhs.Minang) yang dibuat dari sagu yang diisi
dengan gula enau. Bahan sagu ini juga berguna untuk ternak sapi dan kuda.
[1] Garis keturunan berdasarkan keturunan ibu
[2] Dahulunya Nagari adalah penamaan untuk sebuah komunitas
yang terdiri dari empat suku, sekarang nagari diidentikkan dengan sebuah desa
(sistem pemerintahan Republik Indonesia yang baru)
[3] Budaya
Minangkabau itu terdiri dari kebudayaan di daerah darek atau darat, dan daerah
pesisir.
Artikel ini terdiri dari 4 halaman, untuk melihat seluruhnya, klik kanan semua halaman berikutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar