Penggunaan Blog

Kamis, 07 Agustus 2008

Silat Kumango

Cuplikan buku Silat Kumango karangan Drs. Rusli, Pen. UNP Press.
Pendahuluan
Buku ini diberi judul “Silat Kumango dalam Kemurnian dan Keutuhannya”. Yang dimaksud dengan kemurnian di sini adalah sesuai dengan apa adanya seperti yang diterima dari yang mewariskannya. Utuh maksudnya lengkap/ menyeluruh baik sejarah atau asal usulnya, falsafah (dasar dan tujuan silat) yang merupakan unsur kebathinan, serta gerak-gerak pisik yang merupakan unsur lahiriah silat.


Silat sebagaimana yang diwariskan dan diajarkan pendahulu kita mengandung dua unsur, yaitu unsur kerohanian dan unsur fisik. Unsur kerohanian adalah unsur mental spiritual berupa “falsafah” yang berisi ajaran moral yang tidak lain merupakan rohnya silat. Unsur fisik adalah unsur keterampilan jasmani yang diwujudkan dalam bentuk gerakan-gerakan serangan, pembelaan dan sebagainya, yang dapat kita umpamakan sebagai tubuh atau jasmani dari silat. Di dalam Silat Kumango penekanannya justru terletak pada unsur kerohanian. Dalam pengamatan penulis, dewasa ini di kalangan generasi muda/remaja yang belajar silat teradapat kecendrungan untuk mengutamakan unsur fisik atau jasmani dan mengabaikan bahkan meninggalkan sama sekali unsur kerohanian, atau jiwanya silat. Kecenderungan seperti ini menurut pengamatan penulis terdapat hampir pada semua aliran, tidak terkecuali dalam Silat Kumango. Hal itu dapat dibuktikan dengan kenyataan sehari-hari. Bila kepada mereka kita tanyakan sejarah ataupun falsafah dari silat yang mereka pelajari tidak ada yang dapat menjawabnya. Kalaupun ada jarang sekali yang dapat menjawabnya dengan benar atau sempurna. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kebanyakan mereka lebih mengutamakan mempelajari kulitnya silat, tidak mendalami isi atau jiwanya.






Sisi lain yang juga sangat besar pengaruhnya terhadap kemurnian silat adalah adanya pertandingan-pertandingan ataupun perlombaan-perlombaan silat. Misalnya saja pertandingan silat olahraga.
Dalam pertandingan silat olah raga akan ber hadapan dua pesilat yang berasal dari perguruan / aliran yang berbeda. Layaknya dalam suatu pertandingan ada yang menang dan ada yang kalah. Dan setiap pesilat tentu saja mengharapkan kemenangan.Menang atau kalah ditentukan oleh nilai yang dikumpulkan berdasarkan serangan yang masuk tepat pada sasaran dan bertenaga. Apalagi ada pula ketentuan menang mutlak atau knock out (K.O). Peraturan/ketentan yang berhubungan dengan penilaian tersebut jelas akan memotivasi pesilat untuk berlaku keras bahkan mungkin saja brutal demi mencapai kemenangan. Padahal berlaku keras dan brutal akan menyakiti bahkan dapat saja mencederai lawan bertanding. Hal yang demikian itu sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan yang merupakan salah satu jiwa dari silat (setidaknya dalam Silat Kumango).

Tidak saja pertandingan olahraga, lomba peragaan silat bela diri pun sedikit banyak berpotensi merusak keaslian atau kemurnian silat. Kaedah dan keaslian silat boleh dikatakan tidak menjadi unsur utama dalam penilaian. Kadang-kadang yang mendapat nilai baik justru pesilat yang penampilannya menarik dan mengagumkan, walaupun gerakan-gerakannya diambil dari bela diri asing, tidak asli gerak silat dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah silat. Pada hal dalam peraturan pertandingan terutama pertandingan olah raga dalam mukadimahnya dinyatakan dengan tegas bahwa pertandingan harus menggunakan kaedah-kaedah silat.
Di samping itu ada pula orang yang mengaku-ngaku silatnya adalah silat Kumango atau menisbahkan silatnya kepada Syekh Abdurrahman Al Khalidi. Akan tetapi setelah diteliti apa yang dikatakan itu tidak terbukti sama sekali. Artinya di dalam silat itu tidak kelihatan sama sekali unsur Kumangonya baik unsur ruhaniah maupun unsur jasmaniahnya. Di kalangan perguruan silat Kumango sendiri terdapat pula perbedaan antara satu sama lain yang sudah sedemikian jauh menyimpang, sehingga sudah tidak sesuai lagi dengan dasar/azas-azas aslinya.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, demi kelestarian serta kemurniannya, penulis mencoba meng- ungkapkan dalam tulisan ini sosok Silat Kumango yang murni dan utuh sebagaimana yang diturunkan/diajarkan oleh yang mewariskannya, Syekh Abdurrahman Al Khalidi/Syekh Kumango kepada anak-anak dan khalifah / pewaris beliau.
Buku bahagian pertama ini berisi uraian tentang hal-hal yang mendasar dai silat Kumango yang terdiri dari :
• Asal usul dan perkembangan silat Kumango
• Falsafah yang mendasari dan tujuan silat
• Beberapa istilah teknis dalam silat
• Syarat-syarat mempelajari Silat Kumango
• Gerak-gerak silat 

Asal Usul dan Perkembangan Silat Kumango
M engawali tulisan ini penulis akan mengungkapkan terlebih dahulu asal usul silat Kumango. Hal ini perlu guna menjawab dan meluruskan pandangan atau pendapat yang berkembang dalam masyarakat tentang asal usul serta hakekat silat ini. Ada beberapa pendapat atau pandangan yang terdapat dalam masayarakat. Antara lain bahwa silat Kumango berasal dari silat Lintau yang dibawa ke Batusangkar dan di Batusangkar ditambah dengan ilmu kebatinan. Pendapat lain mengasosiasikan nama silat ini dengan istilah barang kumango, barang dagangan yang terdiri dari bermacam-macam barang. Mereka berpendapat bahwa silat ini berasal dari bermacam-macam silat yang ada di Minang Kabau yang digabungkan menjadi satu. Benarkah demikian?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa dari segi umurnya Silat Kumango dibanding dengan silat-silat lainnya seperti Silat Lintau dan Silat Tuo memang relatif lebih muda. Pertama kali diajarkan oleh almarhum Syekh Abdurrahman Al Khalidi sekitar tahun 1850-an. Almarhum menurut penuturan orang tua-tua dan juga beberapa guru silat memang pernah datang ke Lintau untuk berguru silat.
Gambar Bagan Ahli Waris Silat Kumango (oleh penulis tahun 2008)

Akan tetapi keinginan beliau itu tidak terpenuhi karena setelah beberapa hari berada di sana beliau tidak pernah diajar oleh guru yang bersangkutan. Keberadaan beliau di sana hanya sekedar melihat atau sebagai penonton orang bersilat. Karenanya beliau pulang saja ke Kumango. Dari penuturan di atas jelas tidak mungkin Silat Kumango berasal dari Silat Lintau. Adalah hal yang musykil hanya dengan melihat orang belajar silat selama beberapa hari saja seseorang dapat menguasai silat. Apalagi dikatakan bahwa dari Lintau dibawa ke Batusangkar kemudian diberi ilmu kebatinan. Kalau demikian halnya maka namanya haruslah Silat Batusangkar, bukan Silat Kumango. Seperti kita ketahui di Minang Kabau pada masa lalu itu silat diberi nama menurut daerah asalnya seperti Silat Koto Anau, Silat Maninjau, Silat Pauh, Silat Sungai Patai dan sebagainya. Apa lagi ditambah dengan embel-embel bahwa tiba di Batusangkar diberi ilmu kebatinan. Apa yang dimaksud dengan ilmu kebatinan itu tidak pula jelas. Sepanjang yang penulis warisi dalam silat Kumango tidak pernah ada apa yang disebut ilmu kebatinan itu. Yang ada hanyalah bahwa Silat Kumango memiliki suatu falsafah yang berdasarkan ajaran-ajaran agama sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Sunnah Rasul. Dan ini memang merupakan dasar pertama yang harus ditanamkan kepada pesilat.

Pendapat yang mengatakan Silat Kumango merupakan gabungan dari berbagai macam silat yang ada di Minang Kabau agaknya juga tidak beralasan dan sukar untuk diterima. Bagaimana mungkin seseorang bisa menggabungkan beberapa aliran silat, sedangkan mempelajari satu macam silat saja tidak pernah dapat karena orang tidak mau mengajarkan.

Gambar. Syekh Abdurrahman Al Khalidi

Silat Kumango adalah sebuah aliran di Minang Kabau dan nama itu didasarkan kepada daerah tempat lahirnya yaitu nagari Kumango kecamatan Sungai Tarab kabupaten Tanah Datar. Dan silat ini seperti telah disinggung di atas diwariskan oleh Syekh Abdurrahman Al Khalidi atau Syekh Kumango. Almarhum mewarisi silat ini sekitar tahun 1840-an dari seseorang dengan cara yang luar biasa, diluar jangkauan akal dan tidak mungkin dialami oleh semua orang. Kisahnya adalah seperti berikut.

Datuk Majoindo (sebelum beliau bergelar syekh) bertoko di Pasar Gadang Padang. Pada suatu pagi ketika beliau membuka pintu toko tanpa diketahui dari mana datangnya di belakang beliau sudah berdiri saja seorang laki-laki berpakaian serba putih seperti penampilan orang peminta-minta yang di Minang Kabau biasanya dipanggil “PAKIAH”. Dengan penuh keheranan beliau bertanya tentang maksud kedatangan pakiah, asal usul darimana pakiah berasal dan apa tujuannya datang pagi–pagi betul. Oleh pakiah dijawab bahwa kedatangannya pagi itu hendak minta uang untuk membeli nasi karena pagi itu dia belum makan. Kemudian karena belas kasihan beliau beri pakiah uang dan melanjutkan pekerjaan membuka pintu toko.

Si pakiah setelah menerima uang tidak beranjak dari tempat semula. Ketika ditanya oleh Datuk Majoindo mengapa pakiah belum juga pergi, oleh pakiah dijawab bahwa uang itu belum cukup, minta ditambah lagi. Walaupun merasa kesal dalam hatinya permintaan pakiah itu dipenuhi juga oleh Datuk Majoindo. Namun walaupun telah ditambah uangnya pakiah itu masih belum pergi, ia masih berdiri di tempat semula. Melihat perilaku pakiah yang demikian itu, dengan nada marah Datuk Majoindo bertanya lagi mengapa pakiah belum juga pergi. Kemudian dengan nada datar pakiah menjawab bahwa uang yang diberikan masih belum cukup juga. Jawaban pakiah ini menambah kemarahan Datuk Majoindo. Namun demikian beliau mengeluarkan uang dari kantong lalu menyerahkannya kepada pakiah dan mengusirnya sambil mengancam akan menampar pakiah kalau belum juga pergi.

Ancaman Datuk Majoindo akan menampar itu mendapat reaksi atau jawaban yang mengejutkan dari pakiah. Saya memang menunggu tamparan dari Datuk, ujarnya. Kemudian dilanjutkannya bahwa tamparan itu tidak akan diterimanya saat itu tetapi berjanji tujuh hari lagi, pada saat ia akan datang lagi ke Padang. Yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa pakiah menyuruh Datuk Majoindo dalam masa tujuh hari itu untuk pergi menemui guru-guru atau teman-teman beliau guna menambah ilmu dalam menghadapi pakiah nantinya. Selesai berucap pakiahpun pergi.

Peristiwa pagi itu membuat Datuk Majoindo tidak habis pikir, lebih-lebih lagi mengingat ucapan pakiah yang menyuruh beliau menambah ilmu lagi. Betapa tidak, Datuk Majoindo bukanlah orang sembarangan. Beliau telah menuntut ilmu ke mana-mana dalam Luhak Nan Tigo ini. Di mana saja ada guru-guru yang berilmu tinggi beliau datangi, sehingga beliau juga memiliki ilmu yang tinggi pula. Selama kurang lebih sepuluh tahun beliau menjadi parewa (preman) malang melintang dalam dunia judi, tidak seorangpun yang berani melawan atau menantang beliau. Sekarang tiba-tiba datang seorang pakiah yang kalau dilihat dari lahiriahnya atau penampilan secara fisik tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Datuk Majoindo, menantang untuk menguji ilmu.
Hampir semalaman Datuk Majoindo tidak tidur memikirkan peristiwa itu. Dalam benaknya Datuk Majoindo bertanya-tanya siapa pakiah itu sebenarnya, dan apakah perintah pakiah untuk menemui guru-guru atau kawan-kawan guna menambah ilmu lagi akan dituruti atau tidak. Akhirnya sampailah Datuk Majoindo kepada suatu kesimpulan bahwa mungkin saja pakiah itu seorang yang berilmu tinggi, kalau tidak tentu saja tidak mungkin dia mengeluarkan ucapan yang menantang itu. Karenanya perintahnya perlu pula dipertimbangkan untuk dilaksanakan.

Demikanlah akhirnya Datuk Majoindo mengambil keputusan untuk mencari guru-guru atau kawan-kawan beliau seperti perintah pakiah. Keesokan paginya berangkatlah Datuk Majoindo dari Padang. Mula-mula beliau menuju Batusangkar, kemudian dilanjutkan ke Payakumbuh. Dari Payakumbuh terus ke Bukittinggi. Setiap guru atau kawan yang beliau temui di ketiga tempat itu tidak ada yang dapat menambah ilmu Datuk Majoindo. Jangankan menambah malahan setiap orang yang ditemui justru minta ilmu kepada beliau. Kembalilah Datuk Majoindo ke Padang tanpa tambahan ilmu sama sekali.

Genap tujuh hari sebagaimana yang dijanjikan, selesai menutup tokonya Datuk Majoindo sudah bersiap-siap menunggu kedatangan pakiah. Sudah masuk waktu Isya pakiah belum juga datang. Datuk Majoindo mengira mungkin pakiah tidak jadi datang. Beliau masuk ke kamar mengunci pintunya lalu tidur-tiduran. Sambil tidur-tiduran beliau terus merenungkan soal pakiah apakah dia akan datang atau tidak. Dalam merenung-renung itu beliau tertidur.

Beberapa saat kemudian Datuk Majoindo terkejut dibangunkan oleh seseorang yang tidak lain adalah pakiah. Dia telah berdiri di sisi tempat tidur Datuk Majoindo. Setelah berbincang-bincang sebentar keduanya turun ke luar toko. Keduanya sudah siap menguji ilmu masing-masing. Pakiah mempersilahkan Datuk Majoindo untuk menyerang terlebih dahulu. Setiap serangan yang dilakukan Datuk Majoindo tidak satupun yang dapat mengenai pakiah. Serangan-serangan itu lepas begitu saja sehingga beliau membentur dinding dan tiang toko yang membuat badan beliau memar dan kepala beliau berdarah. Datuk Majoindo terus mencoba lagi menyerang pakiah dengan mengerahkan semua ilmu yang beliau miliki, akan tetapi semuanya luput , tidak ada yang mengena sasaran. Karena serangan-serangan yang dilakukan Datuk Majoindo tidak mempan dan tubuh serta kepalanya mengalami cedera, maka Datuk Majoindo mengaku kalah dan mintakepada pakiah untuk dijadikan sebagai murid. Beliau ingin berguru kepada pakiah. Selesai pertarungan hal pertama yang dilakukan pakiah adalah mengobati luka-luka dan cedera yang diderita Datuk Majoindo. Pengobatan itu dimulai oleh pakiah dengan Bismillah dan diakhiri dengan Alhamdulilah. Dengan pertolongan Allah semua luka-luka dan cedera yang diderita Datuk Majoindo sembuh sehingga kondisi fisik beliau kembali seperti semula. Setelah itu Datuk Majoindo disadarkan oleh pakiah atas kejahilan dan dosa-dosa beliau di masa lalu dan kemudian ditaubatkan.

Permintaan Datuk Majoindo untuk berguru dipenuhi oleh pakiah, tetapi belum dilaksanakan pada saat itu. Pakiah berjanji akan datang lagi. Rupanya janji pakiah untuk datang lagi tidak segera terlaksana. Karena tidak sabar menunggu lama-lama maka Datuk Majoindo berusaha mencari pakiah. Selama tiga bulan lamanya Datuk Majoindo mencari pakiah ke mana-mana, sampai ke Kerinci. Akhirnya pakiah ditemukan juga, maka mulailah pakiah mengajari Datuk Majoindo. Menjadilah sekarang hubungan pakiah dengan Datuk Majoindo hubungan guru dengan murid.

Pelajaran yang harus diikuti dalam dua tahapan. Tahap pertama berlangsung di daerah sekitar Minamg Kabau dan tahap kedua di Tanah Suci, khususnya di Madinah. Tahap pertama berlangsung selama empat puluh hari empat puluh malam. Yang dilakukan oleh guru pada tahap pertama ini adalah latihan fisik dan mental termasuk pelajaran silat. Selama empat puluh hari empat puluh malam Datuk Majoindo harus mengikuti guru melakukan perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Perjalanan dilakukan siang malam, menempuh medan yang sulit, semak belukar, mendaki dan menurun, menempuh jalan-jalan yang tidak pernah dilalui orang tanpa istirahat, kecuali pada waktu sholat. Datuk tidak boleh mengeluh ataupun bertanya. Alhamdulillah perjalanan ini dapat diikuti dan diselesaikan oleh Datuk Majoindo dengan baik.

Pada hari keempat puluh atau hari terakhir berhentilah guru dan Datuk Majoindo di bawah sebuah pohon besar, konon lokasinya menurut H. Abdul Malik bin Syekh Mudo Abdul Qodim Balubus Payakumbuh, pohon besar itu berlokasi di Tanah Bato Panyabungan Tapanuli Selatan. Setelah istirahat sebentar guru menyuruh Datuk Majoindo berdiri lalu mereka bersilat berdua. Selesai bersilat maka berkatalah guru kepada Datuk Majoindo bahwa pelajaran tahap pertama selesai sampai di situ dan akan dilanjutkan dengan tahap kedua di Tanah Suci. Untuk itu Datuk Majoindo harus datang sendiri ke Mekkah pada musim haji, sedangkan guru menunggu di sana. Datuk Majoindo disuruh pulang dulu ke kampung untuk mempersiapkan diri dan minta izin orang tua. Seperti halnya dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya selesai berucap gurupun pergi, dan Datuk Majoindo pulang ke Kumango.

Setelah cukup segala persiapan dan telah mendapat izin orang tua Datuk Majoindo harus berangkat menuju Medan karena keberangkatan ke Mekkah melalui pelabuhan Belawan. Datuk Majoindo berangkat dengan berjalan kaki melalui jalan-jalan pintas. Dari Kumango ke Payakumbuh ke daerah Suliki, dari sana ke Pasaman. Di daerah Pasaman menjelang daerah Kumpulan, Datuk Majoindo dikeroyok oleh empat orang laki-laki. Tanpa disadari oleh Datuk Majoindo keempat laki-laki itu terjerembab ke dalam selokan saling berhimpitan, diantara mereka ada yang luka-luka dan ada yang patah tulang.

Pada waktu itu datang bisikan halus ke telinga Datuk Majoindo agar orang-orang itu dikasihani dan diobati. Setelah mendengar bisikan itu maka diobatilah keempat orang itu seperti yang dilakukan oleh pakiah kepada beliau waktu di Padang, dimulai dengan Bismillah dan diakhiri dengan Alhamdulilah. Dengan pertolongan Allah keempat orang tersebut sembuh dari cederanya. Keempat orang itu berterima kasih dan minta maaf kepada Datuk Majoindo. Oleh Datuk Majoindo ditanya apa maksud orang-orang tersebut mengeroyoknya. Oleh keempat orang itu dijawab bahwa mereka melakukan itu semua untuk barang-barang bawaan Datuk Majoindo. Setelah minta maaf dan mengakui kesalahan orang-orang itu dinasehati dan disuruh bertaubat.
Muncul persoalan akan dikemanakan orang-orang tersebut. Akan dibawa tentu saja tidak mungkin dan akan mengganggu perjalanan walaupun mereka ingin ikut dengan Datuk Majoindo. Dalam berpikir-pikir itu teringat oleh beliau Syekh/Ayah Kumpulan, seorang tokoh/guru tareqat Naqsyabandiyah. Beliau tanyakan kepada orang–orang tersebut di mana surau Ayah Kumpulan. Rupanya orang-orang tersebut mengetahuinya. Dengan petunjuk orang–orang tersebut beliau berjalan menuju surau Ayah Kumpulan. Oleh Datuk Majoindo keempat orang itu dititipkan kepada Ayah Kumpulan. Setelah itu beliau berangkat menuju Medan.
Di Medan Datuk Majoindo tinggal di Deli Tua di rumah seorang Imam Masjid H. Abdul Gafar, khalifah dari Syekh Kumpulan. Keberadaan beliau di Deli Tua diketahui oleh kepala keamanan istana. Pada suatu hari , Datuk Majoindo diundang oleh kepala keamanan istana raja Deli Tua ke suatu tempat. Sesampai di tempat beliau dikeroyok oleh kepala keamanan itu bersama dua orang temannya. Sama halnya dengan kejadian di Pasaman, tanpa disadari oleh Datuk Majoindo orang tersebut jatuh berhimpitan. Ada yang cedera dan ada yang luka karena terkena senjatanya sendiri. Datang pula bisikan agar ketiganya dikasihani dan diobati. Hal itu dilakukan pula oleh Datuk Majoindo seperti yang di Pasaman.

Setelah diobati ketiga orang tersebut langsung kembali ke tempatnya. Sampai di istana, karena tidak puas dengan kekalahannya mereka membuat fitnah bahwa Datuk Majoindo akan membuat kekacauan di istina. Berita itu didengar oleh raja, dan memerintahkan seorang hulubalang menjemput dan membawa Datuk Maoindo ke istana. Di istana oleh Datuk Majoindo diceritakan semua kejadian yang telah dialaminya kepada raja. Setelah mendengar keterangan dari Datuk Majoindo raja menyuruh beliau pulang. Keesokan harinya Datuk Majoindo dipanggil kembali oleh raja ke istana. Di istana diberi tahukan oleh raja bahwa semenjak hari itu beliau diangkat sebagai penasehat keamanan istana. Bersamaan dengan pengangkatan tersebut kepada beliau oleh raja dihadiahkan sebidang tanah dan raja berjanji bahwa seluruh biaya naik haji Datuk Majoindo akan ditanggung oleh raja. Jabatan itu dipegang oleh Datuk Majoindo kurang lebih enam bulan, yaitu sampai waktu keberangkatan beliau ke Mekkah.

Di Mekkah Datuk Majoindo hanya selama menunaikan ibadah haji. Selesai melaksanakan ibadah haji beliau pindah ke Madinah dan mukim di sana selam lebih kurang sepuluh tahun. Di Madinah beliau mendalami ilmu agama khususnya ilmu tareqat. Selesai mendalami agama pada waktu akan pulang ke tanah air oleh guru dan teman-teman beliau Datuk Majoindo diberi nama Syekh Abdurrahman Al Khalidi. Nama Abdurrahman diambil dari nama Syekh Abdurrahman Batuhampar Payakumbuh, guru beliau mengaji pada waktu remaja.
Dari Madinah Syekh Abdurrahman Al Khalidi tidak langsung pulang ke Kumango, beliau singgah dulu di Kedah Malaysia. Di Kedah beliau banyak menundukkan/menaklukan para jawara, bahkan beliau sampai ke Patani, Thailand mentaubatkan dan mengislamkan orang. Oleh Sultan Kedah ditawarkan untuk tinggal disana dan diangkat sebagai penasehat. Bersamaan dengan itu kepada beliau disuguhkan sebidang tanah yang cukup luas sebagai hadiah. Tawaran tersebut beliau tolak dan memilih untuk pulang ke kampung di Kumango.
Di Kumango Syekh Abdurrahman Al Khalidi tinggal/mendiami sebuah surau di atas tanah waqaf warga suku Piliang Laweh. Lokasinya di seberang sebuah sungai kecil, sehingga masyarakat atau warga Kumango menamakanya “Surau Subarang”. Di surau inilah beliau mengajar tareqat dan silat. Silat yang beliau ajarkan adalah silat yang beliau warisi dari guru beliau, yaitu pakiah.


Gambar  Surau dan Makam Syekh Abdurrahman Al Khalidi

Dari uraian di atas kiranya dapat kita ambil kesimpulan bahwa silat Kumango adalah silat yang tidak dapat dilepaskan dari sosok Syekh Abdurrahman Al Khalidi. Silat Kumango bukanlah silat Lintau yang diberi ilmu batin atau silat yang merupakan gabungan dari bermacam-macam silat.

Syekh Abdurrahman Al Khalidi mewarisi silat itu dari seseorang laki-laki yang dikenal sebagai Pakiah. Pertanyaannya sekarang adalah siapakah pakiah, guru yang mengajar beliau itu? Tidak banyak keterangan yang dapat penulis gali sehubungan dengan pertanyaan ini. Semua khalifah, murid serta anak-anak beliau sama-sama mengatakan bahwa beliau Syekh Kumango belajar kepada seorang pakiah. Namun tidak semua mereka dapat menjelaskan siapa pakiah itu yang sesungguhnya. Namun ada juga satu dua orang diantara mereka yang mengatakan bahwa pakiah itu adalah waliyullah.



H. Abdul Malik bin Syekh Abdul Qodim menyebut- kan secara kongkrit nama waliyullah itu, yakni Autad. Salah seorang anak Syekh Abdurrahman Al Khalidi, Ismail Rahman Dt. Paduko Mulia dalam tulisannya mengatakan bahwa pakiah adalah salah seorang waliyullah yang diutus oleh guru beliau di Batu Hampar dahulu, yaitu Syekh Abdurrahman Nan Tuo untuk menyadarkan beliau akan kejahilan yang beliau lakukan selama kurang lebih 15 tahun dan menasehati serta menyuruh beliau bertaubat. Ada seorang guru silat yang mengatakan bahwa pakiah itu adalah cindaku (sebangsa syaitan atau hantu), na’udzubillahi min dzalik.

Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada para pendahulu kita itu, kita tinggalkan pendapat-pendapat tersebut tanpa memberikan penilaian benar atau salah, karena mungkin ilmu kita tidak cukup untuk itu. Tidak ada seorangpun yang tahu persis, oleh sebab itu benar atau salah kita serahkan saja kepada Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Menentukan.

Syekh Kumango mewariskan ilmu tareqat dan ilmu silat kepada para khalifah dan anak-anak beliau, yang kemudian mewariskan lagi kepada muridnya. Diantara khalifah-khalifah beliau dapat disebutkan antara lain Syekh Baringin di Tebing Tinggi Sumatera Utara, Syekh Mudo Abdul Qodim di Balubus Payakumbuh yang lebih dikenal dengan sebutan Syekh Balubuih, dan H. Idris di Sungai Puar Bukittinggi. Para khalifah beliau ini lebih menitik beratkan kepada tareqat. Syekh Balubuih ada mengembangkan silat melalui anak beliau H. Abdul Malik. (catatan : di daerah sekitar Balubus silat ini sering disebut silat Balubuih atau silat Angku Malik, akan tetapi yang bersangkutan sendiri dalam tulisannya menyebutkan silat ayah Kumango).

Anak-anak Syekh Kumango semuanya mewarisi baik tareqat maupun silat, akan tetapi tidak semuanya aktif mengembangkannya. Anak-anak beliau yang aktif mengembangkan silat adalah M. Saleh di Kedah, Malaysia; M. Daya di Padang; Syamsuddin (Udin Mauji) di Kumango. Sedangkan M. Dali Angku Gadang di Kumango lebih menitik beratkan pada tareqat dan merupakan anak Syekh Kumango satu-satunya yang mengajarkan tareqat sampai akhir hayatnya. Di antara anak-anak beliau yang menonjol perannya dalam mengembangkan silat adalah Ibrahim Paduko yang mengajar silat di Kumango, Simpurut Batusangkar dan juga pernah mengajar di Padang; Syamsarif Malin Marajo yang mengajar di Simpurut, Batusangkar, Bukittinggi, Medan, dan Malaysia; dan Ismail Rahman di Tanjung Aro Sikabu-kabu Payakumbuh dan juga mengajar di Medan.
Di Batusangkar dan sekitarnya pengembangan silat dilakukan oleh anak-anak sasian (murid) dari Ibrahim Paduko dan Syamsarif Malin Marajo. Mereka itu adalah Maarif di Simpurut, M. Zen di Sijangek dan Zaenal Abidin Rasyad di Kumango. Murid-murid mereka sudah berpencar pula ke seluruh pelosok tanah air dan diantaranya ada pula yang mengembangkan silat di tempat mereka tinggal.

Sosok yang paling menonjol diantara anak-anak Syekh Kumango dalam pengembangan silat ini adalah Syamsarif Malin Marajo. Almarhum dengan kemampuan ilmu dan pengalaman mengajar yang beliau miliki, telah berhasil memperkaya gerakan-gerakan silat sehingga lebih lengkap dan tampil beda dengan yang dimiliki para guru/pendekar silat Kumango lainnya.

Seperti telah disinggung di atas pada waktu muda almarhum pernah mengajar silat di Medan dan di Malaysia pada awal-awal than 1940-an. Pengalaman mengajar itu telah memperluas ilmu dan itulah yang digunakan almarhum dalam memeperkaya gerakan silat. Sayangnya dalam pandangan sementara guru-guru silat baik silat Kumango maupun aliran lain silat yang almarhum ajarkan yang sekarang sudah dirobah ataupun dicampur bahkan tidak jarang yang mencapnya bukan silat Kumango. Bahkan ada yang menisbahkan silat ini kepada diri almarhumsehingga disebutnya silat ”Malin Marajo“, sesuatu yang tidak pernah terpikir dan tidak pernah diinginkan almarhum sebagaimana yang penulis dengar langsung dari almarhum. Pada hal pengayaan tersebut tidak menambah ataupun merobah dasar gerak yang diwarisi beliau dari ayah beliau Syekh Kumango, melainkan memperkaya gerak–gerak dasar tersebut. Dan semuanya itu tidak mengurangi bahkan sebaliknya justru mempertinggi mutu teknik silat itu sendiri.

Pendapat-pendapat tersebut tidak perlu dipermasalah kan, karena yang berpendapat demikian hanyalah orang-orang yang melihat dari luar, hanya melihat rupa, tidak mencimpunginya ke dalam. Kalau mereka mencimpunginya ke dalam maka mereka akan merasakan hal yang berbeda dengan apa yang mereka lihat sehingga pandangan mereka akan berobah. Pepatah mengatakan bahwa “tahu di rupo urang mancaliak tahu diraso urang mamakan.” (tahu di rupa orang melihat, tahu dirasa orang memakan).

Keberhasilan Syamsarif Malin Marajo meraih medali emas di arena Pekan Olahraga Nasional ke-dua (PON II) berpasangan dengan M. Zen pada tahun 1952 membuat nama silat Kumang lebih terangkat lagi. Sejak itu silat Kumangao telah dikenal secara Nasional. Hal itu ditambah lagi kegiatan-kegiatan yang dilakukan almarhum di era sesudah PON II itu.
Setelah PON II itu, Almarhum bekerja sama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menyusun buku pelajaran silat untuk diajarkan di sekolah-sekolah seluruh Indonesia. Draft buku pelajaran itu sudah siap lengkap dengan gambar-gambarnya yang semuanya dibuat di Simpurut Batusangkar. Akan tetapi karena adanya pergolakan-pergolakan daerah yang terjadi pada tahun 1956, buku tersebut belum/tidak jadi diterbitkan. Bagaimana keberadaan draft buku tersebut sekarang tidak diketahui sama sekali.

Pada era sesudah PON II itu juga beliau bermain dalam sebuah film cerita nasional hasil garapan dari Usmar Ismail (PERFINI) “Harimau Campa.” Almarhum berperan sebagai guru silat (Saleh), sedangkan Harimau Campa diperankan oleh Bambang Hermanto sebagai murid dari Saleh. Silat yang dipakai dalam film tersebut adalah silat Kumango.
Sebagai informasi tambahan almarhum juga pernah ikut aktif dalam organisasi Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) dibawah pimpinan Mr. Asaat. Almarhum sendiri menjabat sebagai wakil ketua untuk daerah SumateraTengah.

Masih pada masa setelah PON II, selain banyaknya berdiri sasana, silat juga pernah diajarkan pada lembaga pendidikan formal, khususnya di SMP Negeri 1 Batusangkar lembaga pendidikan tempat penulis menuntut ilmu. Pelajaran silat ini diprakarsai oleh seorang guru yang mempelajari silat kepada Ibrahim Paduko. Penulis sendiri juga terlibat di dalamnya membantu guru yang bersangkutan. Pelajaran silat di sekolah tersebut diberikan dalam 2 bentuk kegiatan pembelajaran.

Pertama, pelajaran/latihan masal yang wajib diikti oleh seluruh siswa laki-laki dari kelas satu sampai kelas tiga. Dilaksanakan sekali dalam seminggu sebelum pelajaran sekolah dimulai. Kedua, pelajaran/latihan per kelas yang dilaksanakan sesuai dengan jam pelajaran yang telah ditentukan. Sangat disayangkan setelah penulis tamat belajar dari sekolah tersebut dan guru yang bersangkutan sudah pensiun pelajaran silat tidak pernah diberikan lagi.

Penulis sendiri juga terlibat dalam pengembangan silat ini baik dalam dunia pendidikan formal maupun informal. Dalam dunia pendidikan formal penulis mengajar di Perguruan Tinggi di Padang seperti di IKIP (sekarang UNP) dan di Sekolah Tinggi Olahraga (STO) yang sekarang FKIK UNP. Ini berlangsung dari tahun 1966 sampai dengan tahun 1975. Hanya saja waktu yang tersedia tidak mencukupi, hanya satu kali dalam satu minggu selama 16 minggu, termasuk kegiatan ujian, dengan alokasi waktu hanya 90 menit. Dengan waktu yang sangat ditambah pula dengan pesertanya kurang lebih 40 orang, pelajaran yang diberikan tidak intensif dan hasilnya tidak memuaskan. Pelajaran yang dapat diberikan hanya gerak-gerak dasar dan itupun tidak pula tuntas. Tidak salah kalau dikatakan bahwa pelajaran yang diberikan hanya sekedar memperkenalkan gerak-gerak dasar silat Kumango.

Dalam rangka pengembangan silat ini penulis juga mengajar silat untuk orang-orang yang berminat yang datang ke rumah. Tapi tidak membuka sasana secara resmi karena ketidaktersediaan waktu berhubung dengan tugas sebagai PNS. Pesertanya terdiri dari berbagai tingkat umur dan pendidikan, mulai dari siswa SMP, SMA, mahasiswa, sarjana muda dan sarjana. Jumlah peserta yang sedikit dan waktu belajar dua kali seminggu maka pelajaran dapat lebih intensif sehingga diantara mereka ada yang telah sampai pada tingkat penguasaan yang memadai, terutama mereka-mereka yang telah berpredikat sarjana dan sarjana muda.
Perkembangan silat ini sampai sekarang masih berjalan terus. Di sekitar Batusangkar kini terdapat beberapa sasana yang aktif mengajarkan silat, seperti di Simpurut, Pagaruyung, Lima Kaum, Pasir Lawas dan di kota Batusangkar sendiri. Di luar negeri silat ini berkembang terutama di negara tetangga Malaysisa. Yang pertama kali mengajarkan silat di negara ini adalah Syamsarif Malin Marajo pada tahun 1940 an. Setelah beliau pulang ke tanah air pengembangan silat diteruskan oleh Mat Hadzir (Bang Suddin) bin Mat Zain bin Haji Ali bin Haji Ibrahim. Kini pengembangan silat di negara ini masih berlanjut dibawah pimpinan Mat Kirul Anwar bin Mat Hadzir dengan jumlah anggota perguruan lebih dari 1000 orang.

Di negara-negara Eropa sekarang ini silat Kumango sudah mulai pula dikenal oleh orang-orang di sana, antara lain di Spanyol, Jerman dan Belanda. Khusus di negara Belanda sejak beberapa tahun yang lalu konon kabarnya sudah berdiri sebuah sasana silat Kumango yang dipelopori oleh Van den Boom (Muhammad Abdul Latif). Selain orang-orang Eropah yang telah disebutkan di atas, silat ini juga telah dikenal oleh orang Jepang. Pada pertengahan tahun 2005 seorang mahasiswa Jepang program Doktor datang ke Sumatera Barat melakukan penelitian bahan desertasinya. Mahasiswa bersangkutan mengambil silat Kumango sebagai obyek penelitian.Karenanya, tidaklah salah kiranya atau tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa silat Kumango kini tidak lagi merupakan milik orang Sumatera Barat, khususnya masyarakat Kumango saja, tapi telah milik masyarakat mancanegara. Dengan kata lain silat Kumango dewasa ini sudah mulai mendunia.
Dasar dan Tujuan Silat

Dalam bab ini akan disajikan dasar-dasar kerohanian dan tujuan silat Kumango. Dasar dan tujuan iu tersimpul dalam rumusan falsafah berikut ini:
“Bagantuang ka tali nan indak ka putuih, bapagang ka raso nan indak kahilang, jago tali jan putuih, awasi raso jan hilang, basiang sabalun tumbuah, malantai sabalun luluih, lahia silek mancari kawan batin silek mancari tuhan”
(Bergantung kepada tali yang tidak akan putus berpegang kepada rasa yang tidak akan hilang, jaga tali jangan putus, awasi rasa jangan hilang, bersiang sebelum tumbuh, melantai sebelum roboh, dhohir silat mencari kawan, bathin silat mencari Tuhan).

Dasar-dasar silat.
Dalam rumusan falsafah di atas terkandung tiga hal pokok yang merupakan dasar atau sandaran fundamental dari silat.

1. Penggunaan akal dan perasaan.
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk ciptaan Allah SWT yang lainnya. Keutamaan manusia dari makhluk-makhluk lainnya terletak pada akal dan perasaan. Manusia dikarunia oleh Allah SWT. dua hal utama yang tidak dimiliki makhluk lainnya, yaitu akal dan perasaan. Dengan akalnya manusia dapat menimbang-nimbang dan menganalisa sesuatu dan kemudian mengambil keputusan yang terbaik baginya. Dengan persaan manusia dapat meresapkan dan menciptakan kesenian dan pada akhirnya sampai kepada suatu kebenaran dan keadilan. Demikianlah dengan akal dan perasaan manusia akan sampai kepada kebenaran yang mutlak.

Orang-orang yang menggunakan akal dan perasaannya itu disebut orang-orang yang dadanya berisi atau orang-orang yang “berakal budi “ yang dalam istilah Al Quran disebut “Ulil Albab“. Inilah kandungan yang pertama dalam rumusan falsafah silat “Bagantuang ka tali nan indak ka putuih, bapagang ka raso nan indak ka hilang, jago tali jan putuih, awasi raso jan hilang, basiang sabalun tumbuah, malantai sabalun luluih” yaitu penggunaan “akal” dan “perasaan“. Sesuatu yang bersifat logis. Silat adalah hasil akal budi manusia. Semua gerakan dalam silat harus berdasarkan dan dapat diterima akal sehat, sesuai dengan akal budi manusia. Jika tidak demikian tidak dapat dinamakan silat.

2. Ketuhanan/Iman dan Taqwa.
Manusia menurut fitrahnya adalah makhluk yang percaya kepada adanya Tuhan. Pengakuan atas eksistensi Tuhan itu diucapkan sendiri oleh manusia pada waktu akan dikeluarkan dari punggung anak Adam sebagaimana yang diperlihatkan oleh ayat-ayat suci Alquran.

3. Kemanusiaan/Persaudaraan dan Kekeluargaan.
Manusia sebagai makhluk berakal ciptaan Allah swt ditakdirkan hidup dengan manusia lain. Manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa manusia lainnya. Dengan mengambil ungkapan ahli ilmu sosial manusia baru bernama manusia bila ia hidup bersama manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup yang dinamakan masyarakat.
Suatu pergaulan hidup memerlukan kedamaian dan kerukunan. Untuk itu diperlukan adanya peraturan-peraturan hidup. Islam diturunkan oleh Allah swt justru untuk membawa perdamaian, mengajak manusia hidup rukun dan damai. Islam mengajak ummat manusia untuk saling mengasihi, sayang menyayangi, tolong menolong dan saling membantu. Islam sangat mengutamakan persatuan dan kesatuan serta persaudaraan antara ummat manusia dan menempatkan persatuan dan persaudaraan itu di tempat pertama dan utama.
Semuanya itu hanya mungkin kalau setiap manusia memelihara tali persaudaraan atau hubungan silaturrahmi. Inilah yang dinamakan dengan “kemanusiaan“, kandungan ketiga dari rumusan falsafah silat di atas.
Segala macam perbedaan, seperti geogafis tempat lahir, suku, warna kulit bangsa dan sebagainya tidaklah menjadi ukuran atau alasan untuk membedakan ummat manusia. Miskin dan kaya, rakyat ataupun pejabat semuanya sama dalam pandangan Allah.

Kedua esensi falsafah yang disebut terakhir, yaitu “Ketuhanan dan Kemanusiaan” ini yang harus terus dipelihara dan dijaga, seperti diungkapkan dalam falsafah di atas “jago tali jan putuih awasi raso jan hilang” bersendikan kepada Al Quran.

Tujuan Silat.
Sesuai dengan rumusan dasar falsafah di atas maka tujuan dari silat ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. “Mendidik para pesilat yang selalu menggunakan akal sehatnya, berfikir logis efektif dan efisien yang dilandasi oleh iman dan taqwa kepada Allah serta kasih sayang sesama manusia”Untuk mencapai tujuan tersebut pesilat dituntut untuk memiliki sikap diri sebagai berikut:
  2. Selalu memelihara ketaatan kepadaNya, menjalankan segala perintah dan menjauhi semua laranganNya.  Menunaikan ibadah kepada Allah, karena memang untuk itulah manusia diciptakan
  3. Memperbanyak berzikir dan bertasbih untuk mengingat dan mensucikan Allah seperti diperintahkan dalam Al Quran dan hadis Rasulullah.
  4. Mawas diri, tidak lalai dalam mengingat Allah karena mereka menyadari bahwa Allah selalu mengawasinya.
  5. Mendidik dan membina para pesilat yang berbudi mulia, rendah hati, selalu menghormati dan menjaga hubungan dengan manusia lain.
  6. Tidak merasa mulia diri, karena kemuliaan itu hanyalah milik Allah, dan rasa mulia diri membawa kepada kesombngan dan bangga diri serta takabur, sifat yang tidak disukai Allah.
  7. Mampu mengendalikan nafsu, tidak zalim dan tidak mau berbuat jahat karena menyadari bahwa hal itu hanya akan menimpa dirinya sendiri.
  8. Tidak menggunakan kependekarannya, kecuali untuk membela diri demi kebenaran dan keadilan.
Dalam hal ini lebih suka mengambil sikap bijak, pemaaf yang dilandasi rasa kasih sayang dan tidak berbuat zalim. Dalam ajaran silat ini tidak dikenal apa yangdinamakan lawan atau musuh dan berlaku suatu adagium: “Musuah indak dicari, basuo paralu diilakkan “ (Musuh tidak dicari-cari, bertemu perlu dielakkan). Bila diserang tidak dibenarkan membalas langsung.

Seorang pesilat tidak dibenarkan melakukan tindakan-tindakan yang menyakiti orang. Biasanya seseorang yang menyerang orang lain berada dalam keadan marah. Oleh karenanya kalau disakiti akan bertambah-tambah kemarahannya. Akibatnya perkelahian tidak dapat dihindarkan. Maka yang akan terjadi adalah permusuhan bukan persaudaraan. Ini bertentangan dengan falsafah zhahir silat mencari kawan.
Kepada setiap pesilat ditanamkan sikap diri untuk selalu menghormati manusia lain. Sikap diri ini diwujudkan dalam perbuatan. Kalau diserang pada tahapan pertama anggaplah yang menyerang itu ibu atau bapa.

Reaksi yang boleh dilakukan adalah mengelak atau menangkis serangan dengan lemah lembut dalam arti tidak menyakiti sipenyerang. Berilah dia nasehat secara baik-baik. Kalau yang bersangkutan masih menyerang anggap dia guru. Reaksi yang dilakukan sama dengan pada serangan pertama dan nasehati dengan baik. Pada serangan yang ketiga anggap sipenyerang itu kawan atau saudara. Reaksi yang dilakukan teatap sama dengan yang sebelum-sebelumnya. Nasehati pula dengan baik.

Kalaupun pada diri sipenyerang terjadi sesuatu, seperti luka, patah, cedera dan sebagainya maka itu adalah sebagai akibat dari perbuatannya sendiri. I’tikad jahatnya yang menjadi hakim pada waktu itu. “Jatuah patah dek pan jeknyo, rusak binaso karano parangainyo”

Dengan sikap diri yang telah diuraikan diatas sipesilat telah bertindak sesuai dengan falsafah dan tujuan silat. Memelihara hubungan dengan manusia sesuai dengan hukum-hukum Allah. Sehingga terwujudlah hablumminallah dan hablumminannaas sekaligus terwujud pula zhahir silat mencari kawan, batin silat mencari Tuhan.

Semua sikap dan perilaku yang diharapkan itu dilatih dan dibinakan kepada setiap pesilat dalam latihan-latihan. Setiap akan memulai latihan pesilat harus membersihkan diri baik secara zahiriah maupun bathiniah. Selanjutnya tatkala mulai melangkah, pesilat dilatih untuk selalu
menyerahkan diri kepada Allah SWT. Demikian pula pada setiap geraknya pesilat dilatih untuk selalu ingat kepadanNya serta tidak menyakiti kawan berlatih.Nilai-nilai filosifis dari dasar-dasar dan tujuan silat kumango ini digambarkan juga di dalam lambang Silat Kumango yang dirancang oleh penulis sendiri

Lambang Silat Kumango
Lambang Silat Kumango, yang merupakan hasil rancangan oleh penulis.
Arti dari lambang Silat Kumango adalah sebagai berikut ini.
  1. Lingkaran yang bertuliskan PERGURUAN SILAT KUMANGO yang bahagian bawahnya diikat pita hijau yang di dalamnya terdapat tulisan PERSIKUM. Lingkaran melambangkan bumi dan warna hijau melambangkan kebenaran dan keadilan. Makna yang terkandung di dalamnya bahwa Perguruan Silat Kumango bertujuan membina dan mendidik para pesilat yang bertanggung jawab dan berani membela serta menegakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi.
  2. Bangunan yang terdapat di dalam lingkaran terdiri dari surau dan rumah adat serta makam tempat Syekh Kumango dikuburkan, melambangkan tempat silat kumango diwariskan dan dikembangkan. Makna dari lambang ini bahwa Perguruan Silat Kumango membina para pesilat yang mengamalkan ajaran agama dan adat dalam kehidupan sehari-hari.
  3. Tulisan Allah pada puncak surau melambangkan keyakinan bahwa Allah adalah puncak dari segala-galanya.
  4. Dua tangan yang berjabatan melambangkan hubungan antar sesama. Makna lambang pada no. 3 dan no. 4 adalah bahwa Perguruan Silat Kumango membina pesilat yang selalu memelihara hubungan dengan Allah (hablum-minallah) dan memelihara hubungan dengan manusia (hablum-minannas). Sekaligus melambangkan tujuan utama silat Kumango ”zhahir silek mancari kawan, bathin silek mancari Tuhan”.
  5. Warna kuning mas yang yang memenuhi ligkaran melambangkan kemuliaan. Makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa Perguruan Silat Kumango membina para pesilat yang berhati mulia.
  6. Warna coklat muda yang terdapat pada bangunan melambangkan tanah. Manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Makna yang terkandung di dalamnya bahwa Perguruan Silat Kumango membina pesilat yang rendah hati tidak sombong dan tidak congkak.ini adalah dalam pengertian umum. Jangko berarti ukuran atau mad. Cakak bajangko berarti bahwa serangan harus terukur dalam arti sampai dan tepat ke sasaran, tidak boleh kurang dan tidak boleh berlebih. Dengan menggunakan prinsip mawas diri atau kehati-hatian, ”basiang sabalun tumbuah, malantai sabalun luluih.”
Beberapa Istilah Teknis dalam Silat
Setiap aliran silat mempunyai istilah teknis yang berbeda satu sama lain. Mungkin saja terjadi untuk hal yang berbeda digunakan istilah yang sama oleh aliran yang berbeda atau sebaliknya, untuk hal yang sama digunakan istilah yang berbeda. Oleh karenanya untuk mengerti suatu aliran silat perlu dipahami pula istilah-istilah teknis yang terdapat dalam silat yang bersangkutan.Dalam silat kumango ada beberapa istilah teknis yang penting untuk diketahui.

1.    Cakak Bajangko.
Istilah cakak dalam silat ini dapat digunakan dalam dua arti, arti umum dan arti khusus. Dalam arti umum cakak sama dengan serangan, sedangkan dalam arti khusus cakak adalah salah satu bentuk dari bermacam-macam serangan yang nanti akan djelaskan dalam bab tentang  gerak-gerak silat.
Cakak dalam rangka pembicaraan kita pada bagian ini adalah dalam pengertian umum. Jangko berarti ukuran atau mad. Cakak bajangko berarti bahwa serangan harus terukur dalam arti sampai dan tepat ke sasaran, tidak boleh kurang dan tidak boleh berlebih. Dengan menggunakan prinsip mawas diri atau kehati-hatian, ”basiang sabalun tumbuah, malantai sabalun luluih.”

2. Sambuik Bagamo
Sambuik (sambut) adalah istilah yang digunakan untuk menyebut segala macam tangkisan. Bagamo artinya lemah lembut tetapi liat, tidak sepenuh tenaga dan juga tidak terlalu lemah, sekedar untuk tidak kena serangan lawan.. Dalam gerakan ini lawan bersilat tidak boleh disakiti. Dengan cara demikian diharapkan lawan bersilat tidak akan meneruskan serangannya dan berakhir dengan persaudaraan sesesuai dengan falsafah “lahia silek mancari kawan”.

3. Ganggam Bagamak
Ganggam (genggam), suatu perbuatan memegang. Gamak berarti tidak menggunakan seluruh telapak tangan. Yang berperan di sini adalah ujung-ujung jari. Dengan cara yang demikian ini kita tidak akan kehilangan rasa, “awasi raso jan hilang”.

4. Sapu Bagamang
Sapu adalah suatu gerakan dalam silat yang dimaksudkan untuk menjatuhkan lawan. Sasarannya adalah kaki lawan. Alat yang paling ampuh untuk menyapu adalah tumit. Gamang artinya kejut. Sapu bagamang artinya gerakan menyapu harus disertai dengan gerakan mengejutkan lawan. Caranya dengan mengalihkan perhatian lawan biasanya dengan menggunakan tangan. Dengan gerakan tipuan tersebut konsentrasi lawan menjadi terpecah, bahkan mungkin lupa sama sekali dengan kakinya. Dengan cara itu posisi kaki lawan menjadi lemah, mudah disapu dan akibatnya lawan mudah dijatuhkan.

 Beberapa contoh gerakan silat kumango

5. Gelek
Gelek adalah semacam gerakan memutar badan yang diikuti dengan perobahan posisi tangan dan kaki. Gerakan ini digunakan untuk merobah posisi badan baik dalam rangka memindahkan langkah, melakukan serangan, mengelakkan serangan, mengunci, maupun membuka kuncian.
Dengan gelek ini posisi badan berobah menjadi miring atau menyanding sehingga lawan sukar untuk mencari sasaran serangan, dan dengan posisi badan yang demikian akan berlaku salah satu prinsip silat “aturan kanai tapek kanai tipih, aturan kanai tipih lapeh samo sakali” (dengan gerakan gelek ini serangan lawan yang semula akan mengena secara tepat mengena dengan tipis dan serangan yang tadinya akan mengena secara tipis tidak mengena sama sekali).

6. Kaliek
Kaliek (geliat) adalah gerakan khusus dari tangan. Dalam gerakan ini tangan diputar sambil menarik atau mendorongnya sedikit dalam rangka melepaskannya dari pegangan lawan. Kaliek ini dapat pula dilakukan bersama dengan gelek dan oyak sekaligus.
7. Oyak
Oyak adalah suatu gerakan menurunkan posisi badan dengan mematahkan kedua lutut dan badan tetap tegak lurus. Gerakan ini dimaksudkan untuk melepaskan tangan dari pegangan lawan.

8. Mati jo Langkah Iduik jo Langkah
Istilah ini menunjukkan bahwa langkah dalam silat merupakan unsur yang menentukan. Mati jo langkah artinya adalah bahwa bila dikunci oleh lawan posisi kita tetap dalam posisi langkah. Iduik jo langkah artinya membuka dan melepaskan kuncian lawan harus dengan menggunakan langkah. Tidak itu saja, bahkan untuk menyerang harus menggunakan langkah.

Dalam hal membuka atau melepaskan kuncian berlaku hukum :
Mati jo langkah satu, idui jo langkah duo;
Mati jo langkah duo, iduik jo langkah tigo;
Mati jo langkah tigo, iduik jo langkah ampek;
Mati jo langkah ampek, iduik jo langkah satu.

9. Nan Sakik Mancari Ubek
Artinya yang sakit mencari obat. Setiap usaha melepaskan pegangan ataupun kuncian haruslah dimulai dari bagian tubuh yang dipegang atau dikunci lawan. Kemudian dibantu oleh anggota tubuh yang lain, misalnya dengan gelek, oyak dan kaliek.

10. Cancang Talandeh Jadi Ukia
Ini adalah suatu hukum dalam silat yang berhubungan dengan kecepatan mengambil keputusan. Tentu saja kaitannya dengan kemahiran menguasai gerakan-gerakan dalam silat. Arti dari ungkapan ini adalah bahwa kemampuan menggunakan gerakan-gerakan silat dalam berbagai kondisi dan situasi. Dalam keadaan tertentu pesilat tidak lagi harus memikirkan gerak-gerak tertentu. Gerakan apa saja yang menjadi gerak silat ini dapat digunakan dalam situasi yang bagaimanapun.

11. Mamatah Tapatah
Istilah ini berhubungan dengan niat dan perbuatan jahat. Seseorang yang berniat atau melakukan perbuatan untuk mencederai orang lain maka ia sendiri yang akan cedera.

12. Cuek, Baliang, Hantam, Simbek, Sepok, dan Gayuang
Istilah-istilah ini berhubungan dengan serangan kaki. Cuek adalah serangan kaki yang menggunakan ibu jari kaki. Sasarannya pusar, perut, baik sebelah kanan maupun sebelah kiri.
Baliang adalah serangan kaki yang menggunakan sisi kaki sebelah luar. Sasarannya dari pinggang sampai ke lutut dan dapat juga digunakan untuk menyapu dan menggunting.
Hantam adalah serangan dengan menggunakan tumit. Sasarannya adakah lutut dan ibu jari kaki.
Simbek adalah serangan dengan menggunakan sisi kaki bagian dalam, sasarannya adalah bagian kaki dari lutut ke bawah, dan juga dapat digunakan untuk guntingan atau sapuan.
Sepok adalah serangan yang menggunakan telapak kaki, sasarannya adalah pipi dan mata.
Gayuang adalah serangan dengan menggunakan punggung kaki, sasarannya adalah ari-ari.

Riwayat Hidup Penulis

  1. Lahir di Kumango, kecamatan Sungai Tarab, kabupaten Tanah Datar tahun 1937. Mulai mengenal/belajar silat sejak kelas IV Sekolah Rakyat (SR) di Kumango. Kemudian mendalaminya setelah duduk di bangku SMP sampai di Perguruan Tinggi.
  2. Mengajar silat pada Perguruan Tinggi Negeri Sekolah Tinggi Olahraga (STO) Padang dari tahun 60-an sampai dengan tahun 70-an, dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang. Di samping itu juga aktif mengajar untuk masyarakat di luar lembaga pendidikan formal yang diikuti oleh pelajar, mahasiswa, dosen dan masyarakat umum lainnya sampai sekarang.
  3. Duduk dalam kepengurusan Pengurus Daerah Ikatan Pencak Silat (Pengda IPSI) Sumatera Barat, dari tahun 1968 sampai sekarang, sebagai ketua bidang/komisi teknik, dan sekarang sebagai Dewan Pakar.
  4. Memimpin tim pencak silat kontingen Sumatera Barat dan sekaligus menjadi juri pencak silat Pekan Olahraga Nasional (PON) VII di Surabaya tahun 1969.
  5. Mengikuti pendidikan Wasit dan Juri Pencak Silat tingkat Nasional di Jakarta tahun 1972.
  6. Mengikuti penataran pencak silat yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Jayagiri Lembang Bandung.
  7. Menatar guru-guru mata pelajaran Olahraga SPG/PGSLB yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Padang tahun 1980.
  8. Ketua/anggota Dewan Wasit Juri, Dewan Hakim pada kejuaraan tingkat daerah, wilayah dan Pekan Olahraga Nasional.
  9. Ofisial tim pencak silat mahasiswa Sumatera Barat ke kejuaraan mahasiswa tingkat nasional di Medan tahun 1981.
  10. Menjadi ofisial tim pencak silat Sumatera Barat di berbagai kejuaraan nasional dan seleksi Seagames di Jakarta dan Surabaya.
  11. Mengikuti Musyawarah Nasional Ikatan Pencak Silat Indonesia ke IX di Jakarta tahun 1994.
  12. Berpartisipasi pada seminar Studi Kelayakan Pembentukan Program Studi Seni Pencak Silat yang diselenggarakan Sekolah Tingi Seni Indonesia Padang Panjang tahun 2005.