Penggunaan Blog

Minggu, 21 Juli 2013

Batik Tanah Liek (Batik Tanah Liat) Minangkabau (Sebuah Upaya Pelestarian)

Nasbahry C

Batik tanah liek (bahasa Indonesia: batik tanah liat, Bahasa Inggris: clay batik) adalah jenis kain batik yang berasal dari Minangkabau. Batik ini menggunakan tanah liat sebagai pewarna di samping kulit jengkol, kulit rambutan dan gambir. 


Kain mula-mula direndam selama seminggu dengan tanah liat, kemudian dicuci dan diberi pewarnaan alamiah lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.  Warna dasar kain yang tidak biasa, teduh dan memancarkan aura elegan, menjadi daya tarik utama batik tanah liek (liat) khas Minangkabau. Warna dasar yang cenderung krem atau coklat muda itu diperoleh dari hasil perendaman kain di dalam larutan cairan tanah liat.

Sejarah

Asal batik ini diduga dari negeri Cina yang diduga masuk ke Minangkabau pada abad ke 16 pada zaman Kerajaan Minangkabau berpusat di Pagaruyung, Batusangkar. Batik tanah liat sempat hilang tanpa jejak pada masa penjajahan Jepang, namun berkat usaha Wirda Hanim, teknik batik ini diperkenalkan kembali pada tahun 1994. Awalnya Wirda Hanim melihat motif batik ini digunakan oleh beberapa orang penduduk nagari Sumanik, Kecamatan X Koto, Singkarak, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.



Upaya pelestarian: Wirda Hanim pertama kali melihat peninggalan batik tanah liek ketika mengikuti upacara adat pengangkatan kepala nagari pada 1994 di Kenagarian Sumani, kampungnya yang berada di Kabupaten Tanah Datar.

Beliau tertarik dengan batik yang langka tersebut dan berniat untuk membangkitkan kembali seni tradisional batik tanah liat yang hampir punah. Berkali-kali ia melakukan percobaan agar mendapatkan hasil yang menyamai batik tanah liek asli yang pernah ia temui di Sumani. Namun ia kerap gagal. Dari sepuluh batik yang ia coba produksi, hanya dua saja yang menyamai batik liek asli. Akhirnya, dengan tanah payau yang ia ambil dari dekat rumahnya, ia berhasil terus memproduksi batik liek hingga saat ini.
Batik tanah liek dahulu hanya digunakan pada upacara adat khusus sebagai selendang. Hanya para ninik mamak, bundo kanduang, dan datuk panutan adat yang boleh mengenakannya. Para perempuan menyampirkannya di bahu, sementara para panutan adat melingkarkannya di leher.

Ragam hias (Motif hias)
Beragam motif Minang dilukis dengan ketelitian tinggi yang tampak hidup dengan pewarna alami. Motif-motif tersebut biasanya diambil dari beragam jenis ukiran yang terdapat di rumah-rumah gadang. seperti siriah dalam carano, kaluak paku, kuciang tidua, lokcan, batuang kayu, tari piring, kipas, dll.
Setiap motifnya, mempunyai makna dan filosofi kehidupan orang Minangkabau. Seperti itik pulang patang, kaluak paku, kuciang lalok dan banyak lagi motif abstrak lainnya.  Ada juga motif yang menceritakan tradisi adat Minangkabau. Saat sekarang motif-motif baru juga diperkenalkan yang inspirasinya diambil dari kekayaan budaya alam Minangkabau, seperti motif tabuik (tabut), Jam Gadang dan Rumah Gadang.


Salah satu koleksi Batik Tanah Liek Citra Monalisa. Motif kain ini beraneka rupa, mulai dari berbagai jenis daun, kelinci, jam gadang, dan binatang bersayap seperti capung berbadan langsing panjang, dengan warna tanah liat. Motif-motif khas lainnya adalah sirih dalam carano, tumbuhan merambat, pucuk rebung, keluk daun pakis, kucing tidur, lokcan, batang kayu, tari piring, kipas, dan motif-motif Cina.

Saat sekarang ada tiga sentra pembuatan batik tanah liat di Propinsi Sumatera Barat, yakni di Kab. Dharmasraya, Kab. Pesisir Selatan, dan di Kota Padang. Masing-masing sentra ini menampilkan corak tersendiri berdasarkan lingkungan masing-masing, bahkan di Dharmasraya mereka mengembangkan motif baru, bunga sawit.

Pembuatan
Pertama-tama, kain polos yang belum dibubuhi motif batik direndam di dalam tanah liat selama satu hari agar warna tanah menyatu dengan kain dan memiliki ketahanan baik. Setelah perendaman selesai, kain dicuci bersih. Barulah kain siap diberi motif. Metode selanjutnya sama seperti pembuatan batik pada umumnya, menggunakan malam cair sebagai perintang warna.
Pewarnaan pada batik tanah liek menggunakan pewarna alami seperti kulit jengkol (Pithecellobium jaringa) untuk mendapatkan warna hitam, dan getah gambir (Uncaria gambir) untuk warna merah. Selain itu, kulit bawang, kulit mahoni, jerami padi, manggis dan kulit rambutan juga bisa dijadikan bahan pewarna batik liek.

Kain batik kembali direndam dalam air tanah liat saat proses pewarnaan. Bahkan, kadang dilakukan proses perendaman dalam air tanah liat selama satu minggu. Karena itulah warna dasar batik tanah liek berwarna dasar seperti warna tanah.

Setelah direndam dan dikeringkan, barulah proses canting. Pencantingan tujuannya untuk menyempurnakan motif-motif yang sudah dicetak. Proses pembuatan sehelai batik tanah liek tulis yang memakan waktu satu hingga dua bulan ini menjadikan harga warisan budaya dari Ranah Minang tersebut berkisar dari Rp. 600.000 hingga Rp 2 juta sehelainya

Artikel terkait

Mungkin Anda pertama kali mendengar ada kain batik yang berasal dari Sumatera Barat, namanya Batik Tanah Liek Citra Monalisa. Liek adalah liat dalam bahasa setempat, karena diwarnai dengan pewarna yang berasal dari tanah liat. Citra Monalisa adalah toko yang dimiliki Wirda Hanim, seorang pengusaha wanita yang menghidupkan dan mempopulerkan kembali batik yang kabarnya nyaris punah ini.

Sumatera Barat tentu saja lebih dikenal dengan songket dan kain tenun Pandai Sikek serta Silungkang, ketimbang kain batik yang terlanjur lekat dengan kerajinan tangan yang diwariskan secara turun temurun di kota-kota pesisir serta pedalaman Pulau Jawa dan Madura.

Karena tidak ada lagi yang membuat batik tanah liek selama puluhan tahun, maka timbul niatnya untuk membuat batik tanah liek ini, dan ia pun melakukan eksperimen untuk mendapatkan warna tanah liat yang sesuai. Berbagai usaha dilakukannya, termasuk mengikuti kursus membatik, dan mendatangkan pembatik dari Yogyakarta, namun hasilnya belum memuaskannya.

Kemauan keras membuka jalan, meski pada sisi yang sering tidak terduga. Adalah pelajaran membuat warna hiasan kue pengantin dan kue ulang tahun yang pernah diikutinya di Jakarta yang menginspirasinya membuat percobaan dengan menggunakan pewarna sintetis, dan berhasil mendapatkan warna batik tanah liek pada dua dari sepuluh kain yang dicobanya.
Beberapa koleksi Batik Tanah Liek Citra Monalisa di salah satu sudut ruangan toko. Mungkin karena ada motif burung hong pada batik tanah liek kuno yang masih tersisa, maka ada dugaan bahwa batik tanah liek berasal dari Cina. Namun pengaruh Cina memang terasa pada produksi batik di Jawa ketika Cina perantauan mulai masuk ke Jawa pada abad ke-13, dan mulai membuat motif Cina pada batik sejak abad ke-19.

Sehingga yang lebih mungkin adalah pedagang Cina dari Jawa yang membawanya ke ranah Minang, ketimbang pedagang Cina yang membawa kain dari negeri Cina, karena batik adalah warisan budaya nasional. Ada pula yang menduga bahwa batik tanah liek dibawa oleh seorang puteri bangsawan Minang yang menikah dengan Adityawarman.
Bagaimana pun, penemuan teknik pembuatan pewarnaan pada Batik Tanah Liek Citra Monalisa adalah berkat usaha keras dari Wirda Hanim.

Penghargaan dari Unesco

Batik tanah liat mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sebagai Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity semenjak bulan Oktober 2009. Batik ternyata tidak hanya dikenal sebagai tradisi dari Jawa, tapi juga ditemukan sebagai produk kebudayaan asli Minangkabau (Sumatera Barat).
Sumber :

http://batikindonesia.com
http://batiktanahliek.blogspot.com
http://www.rumahbatik.com
http://travel.kompas.com