Mestika Zed
Bahaya terbesar bagi suatu format budaya [adat] Minangkabau hari ini ialah jika ia ditimpa anakronisme. Anakronisme dalam arti keliru dalam menempatkan warisan nenek moyang itu dalam konteks kekinian. Suatu solusi masalah yang pada mulanya cemerlang, kerap kali — seiring dengan berjalannya waktu — menjadi bumerang yang memakan tuannya sendiri. Mengapa demikian? Jawabnya ialah karena zaman terus berubah dan gejala sosial tak matematis. Masyarakat bukanlah robot-robot. Masyarakat selalu reflektif. Ia memiliki daya yang senantiasa aktif menilai. Dalam budaya Minangkabau daya menilai itu ada dalam konsep rasa dan periksa. “Rasa dibawa naik, periksa dibawa turun”. Dengan rasa dan periksa itulah penilaian terus memberikan score atas realitas sosial sekitarnya. Score ini kumulatif sifatnya. Kumulasi penilaian ini terbentuk lewat proses sejarah, sebab tiap masyarakat, tanpa kecuali, memiliki memori kolektif, kenangan dan cita-cita historis tertentu. Kenangan, cita-cita, dan refleksivitas yang inheren dalam interaksi masyarakat itu menuntut tiap pelaku individu menyesuaikan dan membiasakan diri dengan nilai-nilai dan norma yang ada dalam masyarakat.
Adat
dan budaya Minangkabau aslinya adalah konstruksi masyarakat agraris. Unit
sosial dan politiknya berada di tingkat nagari.
Maka ada ungkapan adat yang mengatakan “Adat salingka nagari” (adat-istiadat
hanya berlaku di lingkungan nagari itu saja). Pada masa prakolonial, tidak ada
organisasi supra-nagari yang menghubungkan nagari dengan raja, karena raja yang
sebenarnya dalam kebudayaan Minangkabau bukanlah “orang”, melainkan adat, dikenal “Adat Nan Empat”. Nan
Empat ialah adat. Nan Empat itu berasal dari yang Esa: Allah swt. Itulah “adat
yang sebenarnya adat”, yaitu ajaran dan segala hikmahnya yang dijawat dari Nabi
Muhammad s.a.w. dan firman Tuhan dalam KitabNYA. Dari sinilah diambil
sumber-sumber adat yang sebenarnya sehingga dikatakan: Adat nan sabana adat
Indak lapuak dek hujan indak lakang dek paneh Kok dicabuik indak mati, kok
diasak indak layua. (Adat yang sebenarnya adat, tidak lapuk kena hujan; tak
lekang kena panas. Kalau dicabut tidak mati; kalau dipindahkan tidak layu). Adat
bersendi syarak, Syarak bersendi kitabullah. Syarak mangato, adat mamakai.
Pada
masa kolonial hukum adat dikodifikasikan oleh Belanda. Kalau tidak salah, Van
Vollenhoven, ahli hukum adat Belanda, mendokumentasikan sekitar 19 daerah hukum
adat di Indonesia, termasuk satu di antaranya ialah hukum adat Minangkabau.
Dalam konsepsi negara kolonial, hukum adat yang dianut oleh suku-suku bangsa di
masa penajajahan itu merupakan subordinasi dari hukum positif yang dibuat oleh
negara kolonial. Jadi pada saat yang
sama berlaku dua sistem hukum: hukum adat dan hukum kolonial (hukum positif)
ciptaan negara kolonial Belanda. Sebagian hukum adat diinterpretasi ulang oleh
Belanda, lalu digabungkan dengan hukum positif (hukum tertulis). Sekedar
ilustrasi, misalnya, konsep kelarasan yang di dalam adat Minangkabau tadinya
mengacu pada konsep sistem sosial masyarakat (Bodi-Caniago dan Koto-Piliang)
oleh Belanda dimodifikasi menjadi unit pemeritahan. Maka ada yang namanya
Tuanku Lareh (laras) yang mengepalai suatu distrik tertentu. Padahal jabatan
ini tidak dikenal dalam adat Minangkabau sebelumnya.
Ketika
Indonesia memproklamasikan dari penjajahan Belanda pada 17 Agustus 1945, semua
ikatan kolonial dengan masa lalu ditanggalkan, tetapi sebagian konstruksi
negara kolonial di masih tetap utuh. Propinsi yang ada di Indonesia (setidaknya
sebelum kebijakan pemekaran daerah sejak beberapa dekade belakangan), adalah
warisan ‘keresiden’ zaman Belanda. Demikian juga sebagian besar hukum positif
kita masih warisan kolonial; begitu pula pengelompokan suku-suku bangsa sebagai
komponen subordinat dari bangsa
(nation). Dewasa ini komunitas-komunitas
suku bangsa dengan identitas kultural lokal (tradisional), sering disebut “masyarakat adat“ . Misalnya masyarakat adat Minangkabau,
masyarakat adat Batak, masyarakat adat Melayu, masyarakat adat Sunda, masyarakat adat Jawa,
masyarakat adat Banjar, masyarakat adat Bugis, masyarakat adat Papua, dan
lain-lain.
Kini zaman makin berubah cepat dan perubahan sosial tak mungkin terelakkan. Di masa lalu, terutama pada zaman prakolonial yang agraris, tidak ada yang dikenal dengan lingkungan “urban” (perkotaan). Juga tidak ada yang namanya “buruh” karena kelas sosial ini adalah ciptaan kapitalisme. Waktu itu juga tidak ada pula nilai-nilai hegemonik, apakah itu yang berasal dari negara (negara kolonial atau negara nasional) atau apa yang kini disebut nilai-nilai global. Kohesi sosial masih kuat dan nilai-nilai ideal adat masih menjadi standar satu-satunya. Dalam kondisi demikian, doktrin sosial Minangkabau (ABS-SBK) relatif aman, tidak terganggu oleh anasir luar. Namun semua itu kini sudah berubah. Dewasa ini di mana-mana terdapat semacam kegelisahan terhadap patologi sosial yang makin merisaukan banyak orang — lebih dikenal dengan “Pekat” (penyakit masyarakat”). Perda Pekat rupanya tak pernah memiliki kekuatan penyembuh. Juga tidak mangkus dengan hanya meramaikan wacana “kembali ke nagari” dan/ atau “kembali ke surau”.
Siapapun yang sering mengikuti berbagai pertemuan
ilmiah, seminar, dan sejenisnya akan banyak menghabiskan waktu mereka hanya
untuk mendengar atau saling menyatakan keperihatinan dan kekuatiran mereka
terhadap keadaan yang tidak menguntungkan itu. Mirip dengan sesama pasien di
rumah sakit, mereka saling menyampaikan keluhan, saling bersimpati dan berharap
cepat sembuh hanya karena mereka masih tetap tinggal di sana (Mestika Zed 2002).
Masalahnya sudah demikian runyam, dan membingungkan.
Keluhan terhadap kemerosotan nilai adat dan budaya Minangkabau mencuat
sedemikian rupa. Sejak beberapa tahun belakangan ini, diskusi tentang ABS-SBK,
terutama dalam kaitannya dengan otonomi dalam era refromasi, sudah puluhan kali
diadakan dalam pelbagai macam bentuknya (panel, seminar, lokarya, pelatihan,
dialog); ratusan makalah dan publikasi diketengahkan. Ada banyak perspektif, tema, topik atau fokus yang
berbeda-beda. Ironisnya, tiap kali kita berdiskusi tentang topik ini, tidak ada
suatu upaya untuk mengemas pemikiran yang muncul dalam seminar tersebut ke
dalam suatu rangkaian wacana yang berkesinambungan. Apalagi untuk menelorkan
jawaban sistematik dan visioner. Penyelenggara diskusi biasanya menetapkan
sendiri agenda diskusi yang dianggap “penting” oleh lembaga penyelenggara tanpa
mau tahu atau tanpa merasa perlu mengacu kepada apa yang telah pernah
diperbincangkan oleh lembaga lain pada waktu dan tempat yang berbeda dengan
topik yang kurang lebih sama sebelumnya.
Mengapa generasi kita
cenderung latah untuk berwacana ketimbang menelorkan fikiran-fikiran bernas untuk
keluar dari tantangan zaman hari ini? Mengapa adat dan
budaya kita selalu hangat dibicarakan, tetapi seringkali ditinggalkan dalam praktek? Bukankah segala yang kini dianggap ideal dan baik,
seperti ide tentang kemajuan, egaliter, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan
seterusnya, telah tercakup dalam ajaran dua pencipta agung adat Minangkabau, Datuk
Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketemanggungan? Akan tetapi mengapa kenyataan sosial
yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari kita sudah sedemikian merosot, tidak
lagi mengidahkan ajaran adat tersebut?
Jawaban sederhananya ialah karena tuntutan adat tak
dipenuhi dan adat yang terpakai sudah tidak murni lagi. Maka demi kemajuan,
tuntutan adat yang ideal haruslah dipenuhi, atau, sebaliknya,
perobahan-perobahan haruslah dijalankan demi ketinggian adat dan "semarak
gunung Merapi", simbol kebesaran alam Minangkabau.
Namun masalahnya tentu tidak sesederhana itu. Kini kita
berada pada suatu kisaran sejarah yang sama sekali lain dari zaman ketika nenek
moyang kita yang hidup dalam suasana agraris. Zaman ketika mereka masih mampu
mencukupi sendiri kebutuhan hidup keluarga (self-subsistenced),
kepemilikan komunal (tanah ulayat), dan
zaman ketika pengalaman merantau di
masa lalu bukan terutama untuk tujuan ekonomi, melainkan untuk menuntut ilmu
dan kepuasan batin untuk melakukan mobilitas sosial di luar kampung halamannya.
Bukankah orang
Minangkabau di Sumatera Barat dikenal memiliki tingkat
mobalitas individual yang tinggi; mereka jug terbiasa melakukan perjalanan jauh
untuk berniaga, bahkan sampai ke pantai timur Afrika dan di sana mereka
bergabung dalam kelompok pemukiman Melayu Madagaskar dan di Semenanjung Malaya mereka
mendirikan Negeri Smbilan (Mestika Zed, 2010).
Kini
orang Minangkabau bukan lagi semata-mata menjadi ’anak-kemenakan’ (warga) dari ninik mamak di
nagari ini dan itu saja. Kini mereka juga menjadi bagian dari anak kemenakan (warga
negara) Indonesia. Indonesia merdeka adalah negeri baru mereka. Andil tokoh
Minangkabau terhadap pembentukan Indonesia modern di masa lalu tidak bisa
dinafikan. Demikian banyak tokoh-tokoh Minangkabau
yang berperan menjadi "the fouding fathers" Indonesia
Merdeka, yakni, orang-orang yang berjasa mendirikan fondasi Republik ini. Ini
sudah merupakan self-evident dalam sejarah nasional kita. Sumber Belanda di penghujung tahun 1949 juga
mengakuinya,
“...Orang harus ingat, bahwa tokoh-tokoh besar di Djogja [maksudnya Yoyakarta], seperti Hatta, Soetan Sjahrir dan Hadji Agoes Salim ... [dan Natsir] adalah orang Minang, dan bahwa pemerintah Djogja seharusnya dapat dikatakan identik dengan pemerintahan Minangkabau ....” (dari Dokumen Belanda, Mestika Zed, 2007).
Para
Bapak Bangsa asal Minangkabau itu, meskipun tidak lagi tinggal di kampung
halaman, Minangkabau, tetap menghargai nilai-nilai budaya dan adat Minangkabau.
Justru sebagian pemikiran mereka berasal dari dan terinspirasi oleh ajaran adat
Minangkabau. Rudolf Mrazek dalam suatu
artikelnya (1972) tentang Tan Malaka mencoba menganilisis kaitan antara adat
Minangkabau dengan apa yang disebutnya "struktur pengalaman” seorang anak
Minangkabau bernama Tan Malaka. Alam
fikiran Minangkabau dilihatnya melalui kacamata
"dialektika", di mana sifat yang dua, yang saling berlawanan
menemukan keserasian dalam mencapai tujuan. Petuah adat dalam pantun berikut
mengatakan, “Bersilang kayu dalam tungku, di situ api dapat hidup”, adalah
contoh “sifat nan dua saling berlawanan.
Ada juga nan dua yang saling melengkapi seperti ungkapan berikut ini:
“raso jo pareso; rasa bibawa naik; periksa di bawa turun”; “hidup berakal, mati
beriman”. Ada pula nan dua merupakan hubngan sebab-akibat: “gabak di hulu tando
ka hujan, cewang di langik tanda akan panas”.
Kemampuan adat
bertahan melawan perubahan zaman terletak pada keluwesannya mengembangkan diri
dalam menerima proses pembaharuan. Dari segi assinya, adat dipertahankan agar
tetap tidak berubah, tetapi unsur-unsur baru dari luar yang dianggap baik
diterima dan dimasukkan ke dalamnya. Dalam hal ini, kaitan yang erat antara
adat dan agama (Islam), umpamanya, dapat dilihat melalui perspektif itu. Perspektif
itu juga dipegang, atau dipakai sebagai alasan rasionil, dalam memberikan respons
terhadap kekuasaan kolonial dan kebudayaan Barat. Logikanya, alam atau adat
Minangkabau mempunyai dinamika sendiri untuk menapis terobosan nilai-nilai
dari luar dan kemampuan untuk menyisihkan yang buruk dari dalam. Dalam dinamika
itulah kekuatannya terletak sehingga
menjadikan dirinya tetap relevan
dari zaman ke zaman. Menurut
Mrazek, Tan Malaka termasuk salah
seorang cendekiawan Minangkabau yang menerima visi atau idealisasi adat dan
falsalah hidup masvarakat Minangkabau yang demikian. Itulah landasan atau dasar
struktur pengalamannya. Sikap, tingkah laku politik serta jalan pemikirannya
amat diwarnai oleh itu. Proses pemasukan unsur-unsur luar atau baru terutama
dimungkinkan oleh konsep "rantau". Pergi merantau, menurut visi
falsafah Minangkabau itu, membuka mata warganya buat mengenal dunia luar yang
luas, di mana mereka akan menemui hal-hal baru yang nanti akan dibawanya
pulang. Pada waktu yang sama, karena berada di luar alam Minangkabau si
perantau akan mampu melihat diri dan peranannya secara lebih jelas dalarti
konteks kepulangannya nanti. Dengan lain perkataan, “perantau betapa jauhpun
dia pergi pada suatu waktu akan
kembali ke alamnya
dengan segala bawaannnya—harta atau pun ilmunya.
Dia, karena sudah luas pengetahuannya, diharapkan akan
memainkan peranan sebagai juru penerang
atau guru atau ulama
sehingga masyarakatnya bisa ikut menerima apa yang baik dari rantau dan
membuang apa yang tak relevan di kampung halaman. Demikianlah analisis Mrazek
tentang masyarakat Minangkabau dalam kaitanya dengan tokoh Tan Malaka.
Jika sekarang
terjadi kerisauan terhadap merosotnya nilai-nilai budaya dan adat Minangkabau,
termasuk kecenderungan merosotnya kepemimpinan orang Minang di pentas nasional dalam hampir
setiap bidang kekidupan, agaknya tidak ada yang membantahnya. Sebagian menganggapnya
sebagai hal yang biasa, sebagian lain sulit menerimanya. Tetapi ada semacam
kesepakatan umum bahwa gejala degradasi atau kemerosotan itu memang sudah
terjadi, meskipun tidak sampai ke titik nol, dan bahwa gejala itu diperkirakan
berlangsung sejak zaman pergolakan PRRI (1958-1961) dan akibatnya makin
dirasakan setelah memasuki rejim baru Orde Baru. Sejak itu, diskontinuitas
(keterputusan) sejarah orang Minang pun mulai terjadi. Pada hemat saya, paling
tidak ada dua alasan historis mengapa gejala diskontinuitas itu terjadi.
Pertama, akibat pergolakan itu sendiri dan kedua, leitmotif, dan proses kelahiran kepemimpinan
generasi-generasi kemudian.
Pertama, tragedi PRRI benar-benar telah
meluluhlan-takkan kampung halaman orang Minang dan hilangnya satu generasi
pemuda. Lebih-lebih karena dari yang tersisa, lebih banyak memilih untuk
meninggalkan kampung halaman alias merantau. Sejak itu, seperti dalam cerita Cindua
Mato, negeri ini seperti "dialah garudo", lengang tak berpenghuni
laki-laki. Bagaimanapun juga akibat pemberontakan itu, tidak berhati hilngnaya
sama sekali kebutuhan kodrat dasar manusia. Orang kampung halaman masih bisa
makan, meskipun kebutuhan makin susah. Mereka masih bisa beranak-pinak,
meskipun nama anak sedikit disesuikan dengan nama Jawa. Itu terjadi, baik di
kampung halaman maupun di rantau. Yang hilang ialah rasa aman dan watak
ke-Minangkabauan-nya. Agaknya, kerena alasan-alasan inilah, maka Harun Zain, gubernur
Sumatera Barat yang pertama di awal Orde Baru, dengan tepat mengusung visi pemerintahannya
dengan tema "mengembalikan harga diri orang Sumatera Barat". Namun,
generasi kepemimpinan Sumatera Barat paska PRRI, tidaklah sama dengan pemimpin
generasi sebelumnya, dalam arti kriterianya sudah bergeser. Kita akan masuk ke
isu kedua.
Kedua, hilangnya watak kepemimpinan
Minangkabau yang diwariskan oleh the
founding father asal Minangkabau itu. Bagaimana pun semua
pendahulu kita itu, tanpa kecuali, adalah tokoh yang unik pada dirinya. Dari
segi ideologi, misalnya, kita menemukan ideologi-ideologi beraneka warana di
antara mereka, mulai dari yang paling ekstrim kiri sampai ke esktrim kanan;
atau setidaknya yang moderat dan yang radikal. Namun hanya dua saja titik
persamaan watak mereka: (i) watak intelektualisme mereka dan (ii) keteguhan
dalam memegang prinsip altruisme. Dengan intelektualisme
maksudnya ialah bahwa semua pendahulu kita itu memiliki kelebihan sebagai insan
pemikir visioner, dalam arti memiliki kemampuan dan visi untuk ‘membaca’
tanda-tanda zaman dan yang menjadi suluh masyarakat untuk menerangi
kondisi sezaman dan menawarkan jalan keluar yang harus ditempuh ke depan.
Intelektualisme pastilah menuntut setidaknya dua hal: kecerdasan dan berfikir
kritis di satu pihak dan keterlibatan di lain pihak.
Sebagai kaum literasi yang berada di pusaran sejarah yang menentukan, para mereka mengasah fikiran mereka dengan kebiasaan membaca dan menulis. Membaca bagi mereka tidak hanya dalam arti membaca teks (buku dan sejenisnya), melainkan membaca dunia di sekitarnya sebagai teks; dalam istilah Minangkabau dikenal ungkapan “alam terkembang jadi guru”. Dalam hal ini mereka umumnya pemimpin yang mampu menulis. Intelektualisme selanjutnya menuntut keterlibatan. Mereka tidak hanya kritis dan gigih mengatakan ini dan itu, tetapi juga membuktikannya. Kata kuncinya ialah sesuai kata dengan perbuatan dan pada gilirannya ini melahirkan sikap ketauladanan sang pemimpin. Di sini kita lalu berjumpa dengan sifat kedua, altruistik, yaitu kesediaan mereka melakukan perbuatan terpuji demi kebajikan orang lain. Ini hanya mungkin jika setelah seseorang mampu memenangkan pertempuran melawan egonya demi kebajikan orang banyak atau mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri dan golongannya. Bingkai ideologis yang mengikat pandangan hidup altruisme mereka – meminjam istilah Moh. Hatta – ialah “nasionalisme kerakyatan”. Mereka dalam istilah Jacques Barzun (1959) adalah “the house of intellect”, yang tak pernah kering mengalirkan gagasan-gagasan bening dan cerdas serta keterlibatan mereka yang intens dalam mendobrak sejarah zamannya. Mereka tidak hanya melahirklan Republik ini, tetapi mereka jugalah sesungguhnya sumber inspirasi bagaimana negeri ini harus dikelola.
Sebagai kaum literasi yang berada di pusaran sejarah yang menentukan, para mereka mengasah fikiran mereka dengan kebiasaan membaca dan menulis. Membaca bagi mereka tidak hanya dalam arti membaca teks (buku dan sejenisnya), melainkan membaca dunia di sekitarnya sebagai teks; dalam istilah Minangkabau dikenal ungkapan “alam terkembang jadi guru”. Dalam hal ini mereka umumnya pemimpin yang mampu menulis. Intelektualisme selanjutnya menuntut keterlibatan. Mereka tidak hanya kritis dan gigih mengatakan ini dan itu, tetapi juga membuktikannya. Kata kuncinya ialah sesuai kata dengan perbuatan dan pada gilirannya ini melahirkan sikap ketauladanan sang pemimpin. Di sini kita lalu berjumpa dengan sifat kedua, altruistik, yaitu kesediaan mereka melakukan perbuatan terpuji demi kebajikan orang lain. Ini hanya mungkin jika setelah seseorang mampu memenangkan pertempuran melawan egonya demi kebajikan orang banyak atau mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri dan golongannya. Bingkai ideologis yang mengikat pandangan hidup altruisme mereka – meminjam istilah Moh. Hatta – ialah “nasionalisme kerakyatan”. Mereka dalam istilah Jacques Barzun (1959) adalah “the house of intellect”, yang tak pernah kering mengalirkan gagasan-gagasan bening dan cerdas serta keterlibatan mereka yang intens dalam mendobrak sejarah zamannya. Mereka tidak hanya melahirklan Republik ini, tetapi mereka jugalah sesungguhnya sumber inspirasi bagaimana negeri ini harus dikelola.
* *
*
Penutup.
Sesungguhnya
tidak ada yang salah dengan adat dan budaya Minangkabau, khususnya filsosofi
ABS-SBK. Yang keliru adalah bahwa pemimpin dan kaum intelektual kita hari ini
tidak lagi mampu melakukan interpretasi baru tentang adat dan budayanya ketika
berhadapan dengan zaman yang berubah makin cepat. Mereka lebih cenderung mengikut mainstream, tanpa mampu mencari jalan
keluar dari tantang zaman. Yang lebih diperlukan sekarang sebetulnya ialah
sikap konsisten dan etos kerja keras. Kompleksitas
kehidupan sosial yang terjadi dalam hubungan sosio-kultural masa kini makin
rumit dan ia akan dapat dipahami jika kita memiliki pemahaman dan apresiasi yang
baik tentang perubahan sosial yang tengah berlangsung di depan kita.
Perubahan ke
arah mana? Pertanyaan
ini tentu erat kaitannya dengan semangat ideologi yang mendasarinya. Kalau Anda
seorang nasionalis sejati dan masih percaya pada warisan terbaik dari the founding fathers yang mendirikan
Indonesia Merdeka ini, ada empat alasan adanya (conditio sine qua non)
mengapa para pendahulu kita itu ingin memerdekakan diri dari penjajahan
atau mengapa mereka sepakat mendirikan nation-state Indonesia tanpa meninggal
masyarakat hukum adat warisan masa lalu.
- karena negara ingin melindungi segenap rakyatnya dan bukan menelantarkannya;
- karena negara ingin menyejahterakan rakyatnya, dan bukan untuk mengeksploitasinya;
- karena negara ingin mencerdaskan “kehidupan” warganya, dan bukan membodohinya;
- karena kita ingin ‘tegak sama tinggi dan duduk sama rendah’ di dunia internasional.
Keempat butir di atas merupakan komitmen yang ditorehkan dalam Pembukaan
UUD 1945. Sesungguhnya itulah blue-print
Indonesia merdeka dan pada hemat saya itulah warisan terbaik “Bapak Bangsa”
yang melahirkan orok Indonesia pada 17 Agustus 1945 itu, yang di dalamnya andil
pemimpin dari Minangkabau sangat besar. Oleh karena negara dan pemerintah
sebagai representasinya tidak mampu mengerjakan sendiri komitmennya, maka
masyarakat ikut bersama-sama membantunya atau paling tidak mengingatkanya. Kelompok
masyarakat madani, termasuk di dalamnya LSM, masyarakat adat dan elit politik
merupakan kelompok strategis yang pada dasaranya terdiri dari kaum intelektual
haru mengambil pernan yang jelas di dalamnya. Mereka sepatutnya memiliki visi
dan misi yang terang tentang ‘tantangan’ dan jawaban’ yang herus dirumuskan
secara bersungguh-sungguh, dengan penuh kejujuran dan kerja keras.