Cuplikan Buku: akan diterbitkan oleh UNP Press.
Oleh Mestika Zed & Armaidi Tanjung
Oleh Mestika Zed & Armaidi Tanjung
MINANGKABAU di masa lalu pernah disebut “negeri perempuan”. Barangkali karena masyarakatnya menganut sistem matrilinial, dalam arti bahwa sistem sosialnya menjamin eksistensi dan perlindungan terhadap perempuan, baik secara sosial mau material. Dalam hal ini, baik garis keturunan maupun kepemilikan harta pusaka, diwariskan melalui garis ibu. Dengan sistem sosial semacam itu, negeri ini mestinya bisa membuat kaum perempuan hidup lebih nyaman dan dari situ kita mungkin bisa berharap lahir lebih banyak pemimpin dan tokoh perempuan. Akan tetapi dalam kenyataan tidaklah demikian. Mengapa?
Buku ini tidak berpretensi untuk menjawab pertanyaan yang ‘kelihatan’ sederhana ini, tetapi sesungguhnya sangat rumit karena ia mengandung sejumlah persoalan yang belum sepenuhnya dapat dijawab. Namun dengan menelusuri biografi Syamsidar Yahya (1914-1975) sebagaimana yang akan dipaparkan dalam buku ini, pembaca secara sambil lalu akan menemukan jawabannya. Paling tidak sebagian, kalau bukannya keseluruhan. Tokoh ini tidak begitu dikenal di Sumatera Barat, terutama oleh generasi muda, karena sebagian besar karier hidupnya dihabiskan di daerah Riau yang dulu menjadi bagian Sumatera Tengah. Namun kalau ditanyakan kepada generasi tua yang pernah berjuang dalam perang kemerdekaan di daerah ini, ia adalah tokoh yang tak asing lagi dalam pergerakan perempuan sejak tahun 1930-an sampai perang kemerdekaan dan sesudahnya. Bahkan boleh dikatakan bahwa Syamsidar Yahya adalah salah seorang dari sedikit tokoh perempuan Minangkabau yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk pergerakan perempuan. Genealogis pendidikannya, dan dengan demikian kiprahnya sebagai aktivis perempuan, tidak jauh dari tokoh-tokoh perempuan Sumatera Barat segenerasi dengannya di Padangpanjang, seperti seniornya, Encik Rahmah el Yunusiah (1900-1969) atau Rasuna Said (1908-1965), Ratna Sari ( ).
Mereka ini adalah generasi yang tumbuh dan berkembang dalam era ketika kolonialisme mencapai puncaknya. Seperti halnya dengan koleganya yang lain di kalangan tokoh perempuan Sumatera Barat umumnya, ia juga melintasi tiga zaman berbeda dan dengan sadar melibatkan diri sepenuhnya ke dalam suasana zaman yang mengitarinya dan mencoba menjawab tantangan zamannya dengan caranya sendiri. Di masa Belanda, ketika kaum nasionalis menyusun barisan lewat pergerakan menentang kolonialisme, Syamsidar juga termasuk salah seorang di antara aktivis perempuan yang bergerak dalam perkumpulan organisasi yang bermacam ragam pada tahun 1930-an.Setelah menyelesaikan pendidikan di Diniyah Putri Padanganjang, (1924-1930), ia masih melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan kemudian meniti karier sebagai guru sambil bergabung dengan kegiatan pergerakan Islam yang berpusat di Padangpanjang. Antara lain memimpin koran Medan Putri (1932), yang kemudian menyeret dirinya bersama Rasuna Said ke penjara Belanda di Fort de Kock (Bukittinggi). Hubungan baiknya dengan kelompok Permi makin menempatkan dirinya ke dalam adagium sejarah pergerakan di daerah ini, di mana mobilitas kepemimpinan seorang tokoh seringkali bergerak dari surau ke sekolah dan organisasi perkumpulan tempat mereka mengasah intelektual dan kepemipinan pada masa ini. Dalam kutup-kutup kekuatan seperti itulah tokoh perempuan pengerak kaum perempuan ini berkiprah pada masa ini.
Pengalaman pahit di zaman Belanda rupanya tidak membuat langkahnya surut manakala rejim militer Jepang menduduki Indonesia (1942-1945). Terlatih sebagai aktivis perempuan yang memiliki kemampuan berpidato yang andal, ia secara sadar mendayagunakan potensi yang dimilikinya itu untuk masuk ke jaringan propaganda Jepang, tetapi dengan agenda tersembunyi untuk kemerdekaan Indonesia, seperti yang dilakukan oleh kaum nasionalis pada masa ini. Mula-mula ia bergabung dengan Haaha-nokai, suatu organisasi perempuan ciptaan Jepang untuk mengumpulkan dan mensuplai bahan makanan (logistik) bagi pemuda Giyugun, yaitu suatu satuan pasukan milisi ciptaan Jepang yang direkrut dari pemuda setempat. Mereka ini kemudian menjadi pasukan inti dalam militer Republik pada masa perang kemerdeka-an paska proklamasi Agustus 1945. Dalam organisasi Haaha-nokai itu Syamsidar suatu saat pernah bertindak ketuanya, menggantikan ketua yang lama, Lely Rusyad, di samping tetap membangun jaringan dengan seniornya yang lama Encik Rahmah, Rasuna Said dan Ratna Sari.
Setelah kejatuhan Jepang dan/ atau sewaktu memasuki era perjuangan kemerdekaan – atau sering juga disebut zaman revolusi (1945-1950), Symasidar Yahya dengan mudah masuk ke lingkaran kepemimpinan revolusi Sumatera Barat. Organisasi resmi pertama Republik berskala nasional ialah Kamite Nasional Indonesia (KNI), semacam parlemen sementara yang juga dibentuk di daerah-daerah Republik. KNI Daerah Sumatera Barat dibentuk pada akhir Agustus 1945 dengan tokoh utamanya ialah Mohammad Sjafe’i, guru INS Kayutanam, kemudian diangkat menjadi Residen Sumatera Barat. Akan tetapi orang-orang yang duduk dalam KNI itu pada dasarnya adalah tokoh-tokoh pergerakan yang sudah dikenal luas sejak sebelum perang. Nama Syamsidar juga muncul dalam KNI. Ia duduk dalam kepengurusan di bidang Kaum Ibu atau Keputrian bersama rekan-rekannya, antara lain Rky. Chailan Syamsoe Dt. Tomenggung, Zoebaidah Moenaf dan Hapipah Landjoemin (Kahin 1997: 94).
Dengan berdirinya partai-partai politik dan pelbagai macam organsiasi perjuangan paska Maklumat No. X (Nov. 1945), Syamsidar segera bergabung dengan Partai Masyumi, yaitu sebuah partai Islam yang berasal dari MIT (Majelis Tinggi Islam), sebuah organisasi para ulama terkemuka di Sumatera bentukan Jepang. Syamsudar juga duduk dalam MIT di zaman Jepang itu. Setelah MIT dilebur menjadi Partai Masyumi, ia menduduki Ketua Umum Sabil Muslimat Sumatera tengah, yaitu sayap organisasi perempuan dalam partai itu. Dari sini ia dengan mudah meloncat dan dipercaya memimpin KOWANI (Kongres Wanita Indonesia), yaitu organsasi perempuan yang dibentuk secara nasional dan ia menjadi ketua KOWANI Sumatera, yang juga berkedudukan di Bukittinggi.
Dalam suasana revolusioner zaman perang kemerdekaan itulah Syamsidar memikul tanggung jawab untuk memimpin kaum pergerakan perempuan, terutama untuk menggalang dukungan dari kaum ibu bagi perjuangan di front depan, antara lain menggiatkan dapur umum di garis belakang. Suasana perang yang penuh gejolak, tidak menghalangi dirinya untuk ikut maju-mundur dari satu front ke front lain sesuai dengan irama perjuangan waktu itu. Ada saaat ia harus mengungsi di hutan-hutan belantara di era PDRI (1948-1949) dan ada pula saat ia masuk kota dan kembali ke kehidupan normal. Selepas penyerahan kedaulatan (1949) ia terpilih sebagai anggota delegasi Sumatera Tengah menghadiri Kongres Muslimim Indonesia di Yogyakarta.
Sekembalinya dari Yoygya, maka sejak awal 1950-an ia berpindah-pindah tempat mengikuti karier suaminya sebagai patih (pejabat Bupati). Mula-mula bertugas di Rengat, dan akhirnya menetap di Pekanbaru. Di Rengat ia aktif berdakwah dan menggerakkan perkumpulan perempuan dan memajukan pendidikan untuk kaum perempuan, antara lain mendirikan sekolah dasar agama, yaitu Madrasah Ibtidaiyah Rengat. Semangat yang sama , tetapi dalam skala yang lebih besar, dibawanya ke Pekanbaru. Di ibukota Propinsi Riau inilah ia berkiprah sampai akhir hayatnya sebagai tokoh pendidikan perempuan dan sekaligus juru dakwah perempuan paling terkemuka di kota itu. Basis kegiatannya berada di sebuah komplek sekolah agama di bawah naungan Yayasan Kesatuan Wanita Islam (YKWI) yang didirikannya sejak 5 Juli 1952. Di sanalah ia membina ummat lewat pendidikan dan dakwah. Di bawah kepemimpinannya lembaga YKWI terus berkembang dari sekolah taman kanak-kanak Islam sampai ke sekolah menengah Tsnawiyah (SMP) dan A’liyah (SMA) dan pendidikan keterampilan keputrian, Akademik Bahasa Akabah jurusan bahasa Arab dan Inggris. Kiprahnya di bidang dakwah dan pendidikan ini mengingatkan kita kepada warisan mendiang Buya Hamka dengan komplek Al Azharnya yang terkenal di Kebayoran Baru Jakarta itu.
Benarlah wasiat arif orang tua kita yang mengatakan bahwa kebesaran seseorang dapat dilihat sewaktu ia meninggal. Seberapa banyak orang melayat sewaktu ia wafat dan peduli akan warisan berharga yang ditinggalkannya. Syamsidar Yahya tidak perlu membuktikannya. Ummatlah yang memberikan kesaksiannya sendiri (self-testimony). Itu dibuktikan ketika ribuan ummat melepas kepergian Ummi -- demikian tokoh perempuan penggerak perempuan di Riau itu dipanggil, ke tempat persitirahatannya yang terakhir, 6 April 1975. Warisan paling berharga yang ditinggalkannya untuk bangsa agaknya ialah sikap konsistennya dalam menggerakan kaum perempuan untuk terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan pencerdasan bangsa lewat pendidikan Islam yang diasuhnya sampai akhir hayatnya. Lembaga pendidikan yang dibinanya sejak awal berdirinya kini masih berdiri tegak di tengah-tengah dunia ‘bisnis’ pendidikan yang makin kehilangan sentuhan paedagogik bermoral agamis sebagaimana dicita-citakannya. ***
Masa kecil
TAHUN 1914 adalah tahun yang penting dalam catatan sejarah dunia karena pada tahun itulah pecahnya Perang Dunia I selama empat tahun (1914-1918). Akan tetapi tahun itu juga tahun yang penting dalam catatan sejarah pribadi sebuah keluarga di Nagari Batagak, Luhak Agam Tuo. Ia adalah Syamsidar Yahya. Dilahirkan 11 November 1914, di Nagari Batagak, dari pasangan Haji Yahya dan Siti Rafiah. Di masa hidupnya Syamsidar termasuk salah seorang dari sedikit tokoh perempuan Minangkabau yang menjadi aktivis perempuan di lingkaran kaum pergerakan bersama Encik Rahmah el Yunusiah dan Rasuna Said. Ia tetap menjadi tokoh aktivis perempuan yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan sepanjang hidupnya, bahkan sampai akhir hayatnya, wafat di Pekanbaru 6 April 1975 dalam usia 61 tahun.
Dibesarkan dalam lingkungan keluarga pedagang dengan orientasi idelogis Islam pembaharu (Islam modernist) dari kelompok Kaum Muda awal abad ke-20, ayahnya, adalah seorang saudagar muda dari Nagari Sarik, sedangkan Siti Rafiah ibunya anak angku palo dari Nagari Batu Palano. Sedang ibunya, Siti Rafiah berasal dari keluarga anak angku palo di Nagari Batagak. Siti Rafiah dinikahi ayahnya pada usia 18 tahun. Mereka dikarunia delapan orang anak. Yang tertua perempuan, bernama Ainadiar Yahya. Kemudian Syamsidar dan adik-adiknya secara berurutan adalah sebagai berikut: Sofyan Yahya (setelah dewasa mengandang gelar penghulu Sutan Bandaro Nan Putih), Dahniar Yahya, Normal Yahya, Yulidar Yahya, Kartini Yahya (meninggal usia 16 tahun) dan si bungsu Darlis Yahya.
Akan tetapi pasangan keluarga Haji Yahya dan Siti Rafiah ini sebenarnya termasuk keluarga besar juga. Sang ibu melahirkan 14 orang anak semuanya. Namun yang hidup dan tumbuh sampai dewasa hanya delapan orang saja, tujuh di antaranya perempuan dan hanya satu lelaki. Di antara delapan orang bersaudara hanya Syamsidar yang paling menonjol karier politiknya. Selebihnya menjalani hidup sebagai ibu rumah tangga dan pamannya, menurunkan bakat sang ayah, menjadi saudagar perantau di Jambi.
Tahun kelahirannya mudah diingat, sebab tahun itu adalah tahun pecahnya Perang Dunia I selama empat tahun (1914-1918). Hiruk pikuk perang dunia yang berkecamuk di Eropa itu, tentu tidak terasa betul pengaruhnya ke Indonesia, apalagi ke keluarga Syamsidar di Batatagak, yang terletak ribuan kilometer jaraknya dari pusat perang. Namun demikian, sedikit banyak ada juga imbasnya ke Sumatera Barat umumnya. Misalnya terputusnya ekspor batu-bara Ombilin dan semen Indarung akibat terancamnya lalu lintas ke dan dari Eropa, khususnya ke dan dari Negeri Belanda, terutama ke dan dari Rotterdam, kota pelabuhan ekspor-impor terbesar di Belanda.
Walaupun dampak perang di Eropa itu boleh dikatakan tidak ada efek langsungnya terhadap rakyat Sumatera Barat, tetapi pengaruhnya terhadap suhu politik di negeri jajahan sedikit banyak dapat dirasakan. Paling tidak terhadap sektor bisnis ekspor-impor Belanda di negeri ini dan tentu saja juga terhadap politik Belanda di di Hindia Belanda pada umumnya. Terutama munculnya apa yang disebut “November Beloofd” (1918), yakni “Janji Bulan November” (1918) yang sulit dilupakan. Karena terdesak oleh ancaman perang pemerintah Belanda lalu membujuk rakyat Indonesia dengan menawarkan “parlemen” (Volksraad), yaitu semacam “Dewan Rakyat” icak-icak untuk negeri jajahan. Usul itu terkait erat dengan isu Indie Weerbaar (pertahanan Hindia) di mana usul kaum nasionalis untuk membentuk “milisi” paroh-waktu (part-time), bagi negeri jajahan sebelumnya ditolak pemerintah, tetapi selama masa PD I dibicarakan lagi guna memperkuat pertahanan negeri jajahan yang tidak mungkin mengharapkan bantuan militer dari negeri induk.
Sebelum mempelajari lebih jauh pengaruh iklim kolonialisme Belanda terhadap lingkungan keluarga Syamsidar Yahya, ada baiknya dibicarakan lebih dulu bumi tempat berpijak, tempat di mana Syamsidar dilahirkan, karena basis material (fisik) pada dasarnya ikut membentuk kepribadiannya dan dengan demikian juga kiprahnya di belakang hari. Sesudah itu kita masuk ke lingkungan keluarga yang membesarkan dirinya.
Nagari Batagak Tempo Dulu
Tidak sulit untuk menunjukkan di mana letak nagari ini, kampung halaman Syamsidar Yahya. Nagari itu terletak antara Kota Padang-panjang dan Bukittinggi. Jadi jika kita berkendaraan dari arah Padangpanjang ke Bukittinggi, maka sekitar 5 km selepas Pasar Kotabaru, di sebelah kanan jalan menurun, tampak rumah-rumah perkampungan di kejauhan sekitar satu kilometer dari pinggir jalan raya. Atau hanya sekitar 7 km sebelum mencapai Kota Bukittinggi. Itulah Nagari Batagak. Hawanya sejuk, sebagaimana halnya daerah beriklim pegunungan umumnya. Terletak pada ketinggian 1000-1500 meter di atas permukaan laut, rata-rata suhu di malam berkisar sekitar 19°C, sedangkan di siang hari sekitar 23°-25°C. Suhu ini agaknya masih terasa dingin bagi kebanyakan orang yang tinggal di iklim tropis.
Bentang alam (morpologi) di sekitar nagari ini menyerupai sebuah lembah yang luas dan subur tanahnya, terletak di antara dua kaki gunung, Merapi (sekitar 3000m) dan Singgalang (2877m). Lahannya yang subur itu berwarna coklat kehitam-hitaman. Informasi geologis mengatakan bahwa sebagian besar lahan di kawasan ini mengan-dung unsur kwarsa (tuff pumice dasit), sehingga membuatnya relatif gembur dan subur. Unsur kwarsa ini atau juga disebut tanah andosol memiliki sifat fisik yang baik, mengandung relatif banyak bahan organik dengan kandungan hara tinggi. Umumnya terdapat pada dataran tinggi di kaki gunung berapi dan sangat cocok untuk pertanian sawah, sayuran, dan tanaman dataran tinggi di seluruh Kecamatan Banuhampu – Sungai Pua dan lima dari delapan nagari di Kecamatan IV Koto. Tidak mengherankan jika kebanyakan nagari-nagari di sekitar lembah itu hidup dari komoditi pertanian. Tanaman plawija seperti sayur-mayur, umbi-umbian, termasuk bawang, lobak, tebu dan buah-buahan, serta tanaman tua untuk komoditi pasar seperti kulit manis, kopi, sangat cocok tumbuhnya di wilayah itu.
Dewasa ini Nagari Batagak berpenduduk 4.200 jiwa (data 2008). Ini tentu tidak termasuk yang pergi merantau. Ada tujuh jorong dalam kanagarian itu. Masing-masingnya adalah Jorong Batagak, Padang Kudu, Sungai Buluh, Sawah Landek, Sawah Liek, Sawah Rukan dan Simpang. Terbentang di atas areal seluas 280ha, Batagak berbatasan dengan Gunung Singgalang dan Nagari Cingkariang di sebelah barat; dengan Nagari Sariak di sebelah timur; dengan Nagari Padang Laweh dan Patu Palano di sebelah selatan; dengan Nagari Sungai Pua dan Sariek yang agak menempel ke kaki Gunung Marapi di sebelah utaranya.
Dengan iklim dan tanah pegunungan yang subur itu, kawasan ini di masa lalu merupakan penghasil beras utama di Luhak Agam Tuo (Oud Agam). Bukankah nama-nama jorong di nagari ini banyak sawahnya: Sawah Landek, Sawah Liek, Sawah Rukan. Tetapi selain kawasan persawahan juga merupakan daerah penghasil kopi utama di daerah Agam ketika Belanda menerapkan sistem tanam paksa pada pertengahan abad ke-19. Sampai sekarang komoditi ini masih tetap dapat dijumpai lahan tanah kering milik penduduk setempat.. Dengan kondisi alamnya yang menguntungkan bagi pertanian rakyat itu pula, perekonomian anak nagari ini relatif makmur hidupnya.
Namun dengan topografis pegunungan semacam itu, dan dengan struktur tanahnya yang gembur dan labil, yang menempel di kaki pegunungan yang menjulang tinggi itu, nagari-nagari di sekitar kawasan ini rentan terhadap bencana alam. Terutama gempa tektonis dan longsor. Gempa terakhir. yang terjadi tahun 2007 masih menyisakan penderitaan pada masyarakat. Apatah lagi bencana gempa dahsyad yang terjadi tahun 1926 dan kemudian juga pernah terjadi lagi di zaman pendudukan Jepang (1943). Pada peristiwa gempa tahun 1926, tepatnya 26 Juni, banyak korban berjatuhan. Gempa tektonik berkekuatan 6,5 SR dengan intensitas 8-9 MMI khabarnya menimbulkan gelombang tsunami setinggi pohon kelapa di pinggir Danau Singkarak. Gempa itu tidak hanya memporak-porandakan Kota Padangpanjang, dan merobohkan sekolah “Diniyah Putri”, tempat di mana Syamsidar waktu itu bersekolah, tetapi dampaknya juga meliputi hampir seluruh kawasan Agam dan Batusangkar, termasuk Batagak, kampung halaman Syamsidar Yahya sendiri.
Gempa 1926 itu ? atau sering juga disebut orang gempa Padang-panjang ? telah menimbulkan kerusakan berat di sana sini. Dinding-dinding perbukitan dan ngarai-ngarai di sekitar wilayah ini terkelupas dan longsor. Beberapa ruas jalan yang menghubungkan transportasi di sekitarnnya patah-patah karena terban dasarnya. Tidak terkecuali rel kereta api yang juga melintas di kampungnya meliuk-liuk, berantakan lepas dari kedudukannya. Sementara rumah penduduk yang umumnya dibangun tidak dengan arsitektur tahan gempa tiba-tiba rata dengan tanah. Tidak terkecuali rumah gaduang (rumah gedung) milik orang tua Syamsidar juga retak-retak, dan sebagian dindingnya ada juga yang runtuh. Gempa besar itu sekali lagi terjadi di zaman Jepang (1943), saat rakyat mengalami kesulitan ekonomi akibat kebijakan pemerintahan militer Jepang yang makin pembengis.
Tak heran bila peristiwa itu menimbulkan stigma kengerian dan penderitaan panjang bagi penduduk di sekitarnya. Dan hingga kini masih tersimpan dalam ingatan kolektif penduduknya. Namun selain gempa, bencana galodo (dan banjir bandang) juga sering terjadi. Ketika curah hujan relatif tinggi disertai angin puting beliung galodo tidak hanya mengelupaskan kulit tebing, tapi juga mencabut pepohonan dan atap rumah penduduk. Sudah barang tentu peristiwa semacam itu bisa terjadi di mana saja, tetapi ini tampaknya lebih rentan terjadi di kawasan lereng pegunungan di sekitar Merapi dan Singgalang. Kawasan luas di sekitar lembah pegunungan itu, menurut para pakar, berada dalam satu sistem dan pengaruh yang besar dari serangkaian lengkung geologis yang luar biasa dengan wilayah luarnya. Lengkung geologis gunung berapi, bersentuhan dengan pelat atau lempeng sepanjang Lautan Hindia di pantai barat dan Lautan Teduh di belahan timur. Lengkung gunung berapi yang ada di daerah itu sewaktu-waktu muncul ke permukaan di atas kepingan lempeng lain, yang disebut lempeng Semangko yang terkenal itu. Pada umumnya ini amat rentan mengancam kawasan tertentu di Asia Tenggara di. Wilayah itu juga merupakan bagian dari apa yang disebut-sebut sebagai “lingkaran titik api”. Jadi, manakala terjadi gempa vulkanik dari salah satu rangkaian gunung di kawasan ini atau gempa tektonik akibat pergeseran lempeng di bawah laut, maka gunung berapi di sekitarnya pun turut bereaksi, berupa erupsi (ledakan) dan longsor.. Saat erupsi gunung berapi biasanya mengeluarkan semburan asap, beserta unsur bebatuan dan lava. Dalam keadaan seperti itu, maka ikut terbawa pula sejumlah unsur kimiawi yang dapat merusak kesehatan manusia dan hewan. Meskipun begitu sebagian besar material yang di keluar dari gunung juga bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah.
Dengan kondisi alam semacam itu peradaban di sekitar pegunungan itu tak hanya rentan dengan resiko bencana alam, tetapi pada saat yang sama ia juga memberi kehidupan yang makmur. Dan dalam sejarahnya juga menjadi tempat lahirnya orang-orang pintar yang menjadi aset bangsa di negeri ini. Sebagaimana diungkapkan oleh sejarawan Fernand Barudel, kawasan dataran tinggi di tempat lain umumnya, seperti juga kawasan dataran tinggi Minangkabau adalah dunia yang terpisah dari peradaban besar, yang biasanya ditemukan di daerah urban (perkotaan) dan dataran rendah. Sejarah masyarakat di kawasan pegunungan ini agaknya juga mengikuti alur ini. Mereka hampir selalu berada di pinggir gelombang peradaban besar …”.
Kawasan Agam Lama (Oud Agam) yang dalam peta modern sering disebut sebagai “agam timur” adalah kawasan pegunungan yang penuh dinamika dalam interaksinya dengan kawasan dataran rendah di pantai dan daerah rantau jauh dan dekat tanpa perlu kehilangan kearifan lokal warisan nenek moyang meraka. Basis material dari peradaban manusia seperti juga yang ditemukan di Minangkabau, selalu bertolak dari ontologi lingkungan alamnya dan sekaligus menentukan cara hidup masyarakatnya. Dan ini tak terkecuali untuk Nagari Batagak sendiri.
Bentang alam (morpologi) di sekitar nagari ini menyerupai sebuah lembah yang luas dan subur tanahnya, terletak di antara dua kaki gunung, Merapi (sekitar 3000m) dan Singgalang (2877m). Lahannya yang subur itu berwarna coklat kehitam-hitaman. Informasi geologis mengatakan bahwa sebagian besar lahan di kawasan ini mengan-dung unsur kwarsa (tuff pumice dasit), sehingga membuatnya relatif gembur dan subur. Unsur kwarsa ini atau juga disebut tanah andosol memiliki sifat fisik yang baik, mengandung relatif banyak bahan organik dengan kandungan hara tinggi. Umumnya terdapat pada dataran tinggi di kaki gunung berapi dan sangat cocok untuk pertanian sawah, sayuran, dan tanaman dataran tinggi di seluruh Kecamatan Banuhampu – Sungai Pua dan lima dari delapan nagari di Kecamatan IV Koto. Tidak mengherankan jika kebanyakan nagari-nagari di sekitar lembah itu hidup dari komoditi pertanian. Tanaman plawija seperti sayur-mayur, umbi-umbian, termasuk bawang, lobak, tebu dan buah-buahan, serta tanaman tua untuk komoditi pasar seperti kulit manis, kopi, sangat cocok tumbuhnya di wilayah itu.
Dewasa ini Nagari Batagak berpenduduk 4.200 jiwa (data 2008). Ini tentu tidak termasuk yang pergi merantau. Ada tujuh jorong dalam kanagarian itu. Masing-masingnya adalah Jorong Batagak, Padang Kudu, Sungai Buluh, Sawah Landek, Sawah Liek, Sawah Rukan dan Simpang. Terbentang di atas areal seluas 280ha, Batagak berbatasan dengan Gunung Singgalang dan Nagari Cingkariang di sebelah barat; dengan Nagari Sariak di sebelah timur; dengan Nagari Padang Laweh dan Patu Palano di sebelah selatan; dengan Nagari Sungai Pua dan Sariek yang agak menempel ke kaki Gunung Marapi di sebelah utaranya.
Dengan iklim dan tanah pegunungan yang subur itu, kawasan ini di masa lalu merupakan penghasil beras utama di Luhak Agam Tuo (Oud Agam). Bukankah nama-nama jorong di nagari ini banyak sawahnya: Sawah Landek, Sawah Liek, Sawah Rukan. Tetapi selain kawasan persawahan juga merupakan daerah penghasil kopi utama di daerah Agam ketika Belanda menerapkan sistem tanam paksa pada pertengahan abad ke-19. Sampai sekarang komoditi ini masih tetap dapat dijumpai lahan tanah kering milik penduduk setempat.. Dengan kondisi alamnya yang menguntungkan bagi pertanian rakyat itu pula, perekonomian anak nagari ini relatif makmur hidupnya.
Namun dengan topografis pegunungan semacam itu, dan dengan struktur tanahnya yang gembur dan labil, yang menempel di kaki pegunungan yang menjulang tinggi itu, nagari-nagari di sekitar kawasan ini rentan terhadap bencana alam. Terutama gempa tektonis dan longsor. Gempa terakhir. yang terjadi tahun 2007 masih menyisakan penderitaan pada masyarakat. Apatah lagi bencana gempa dahsyad yang terjadi tahun 1926 dan kemudian juga pernah terjadi lagi di zaman pendudukan Jepang (1943). Pada peristiwa gempa tahun 1926, tepatnya 26 Juni, banyak korban berjatuhan. Gempa tektonik berkekuatan 6,5 SR dengan intensitas 8-9 MMI khabarnya menimbulkan gelombang tsunami setinggi pohon kelapa di pinggir Danau Singkarak. Gempa itu tidak hanya memporak-porandakan Kota Padangpanjang, dan merobohkan sekolah “Diniyah Putri”, tempat di mana Syamsidar waktu itu bersekolah, tetapi dampaknya juga meliputi hampir seluruh kawasan Agam dan Batusangkar, termasuk Batagak, kampung halaman Syamsidar Yahya sendiri.
Gempa 1926 itu ? atau sering juga disebut orang gempa Padang-panjang ? telah menimbulkan kerusakan berat di sana sini. Dinding-dinding perbukitan dan ngarai-ngarai di sekitar wilayah ini terkelupas dan longsor. Beberapa ruas jalan yang menghubungkan transportasi di sekitarnnya patah-patah karena terban dasarnya. Tidak terkecuali rel kereta api yang juga melintas di kampungnya meliuk-liuk, berantakan lepas dari kedudukannya. Sementara rumah penduduk yang umumnya dibangun tidak dengan arsitektur tahan gempa tiba-tiba rata dengan tanah. Tidak terkecuali rumah gaduang (rumah gedung) milik orang tua Syamsidar juga retak-retak, dan sebagian dindingnya ada juga yang runtuh. Gempa besar itu sekali lagi terjadi di zaman Jepang (1943), saat rakyat mengalami kesulitan ekonomi akibat kebijakan pemerintahan militer Jepang yang makin pembengis.
Tak heran bila peristiwa itu menimbulkan stigma kengerian dan penderitaan panjang bagi penduduk di sekitarnya. Dan hingga kini masih tersimpan dalam ingatan kolektif penduduknya. Namun selain gempa, bencana galodo (dan banjir bandang) juga sering terjadi. Ketika curah hujan relatif tinggi disertai angin puting beliung galodo tidak hanya mengelupaskan kulit tebing, tapi juga mencabut pepohonan dan atap rumah penduduk. Sudah barang tentu peristiwa semacam itu bisa terjadi di mana saja, tetapi ini tampaknya lebih rentan terjadi di kawasan lereng pegunungan di sekitar Merapi dan Singgalang. Kawasan luas di sekitar lembah pegunungan itu, menurut para pakar, berada dalam satu sistem dan pengaruh yang besar dari serangkaian lengkung geologis yang luar biasa dengan wilayah luarnya. Lengkung geologis gunung berapi, bersentuhan dengan pelat atau lempeng sepanjang Lautan Hindia di pantai barat dan Lautan Teduh di belahan timur. Lengkung gunung berapi yang ada di daerah itu sewaktu-waktu muncul ke permukaan di atas kepingan lempeng lain, yang disebut lempeng Semangko yang terkenal itu. Pada umumnya ini amat rentan mengancam kawasan tertentu di Asia Tenggara di. Wilayah itu juga merupakan bagian dari apa yang disebut-sebut sebagai “lingkaran titik api”. Jadi, manakala terjadi gempa vulkanik dari salah satu rangkaian gunung di kawasan ini atau gempa tektonik akibat pergeseran lempeng di bawah laut, maka gunung berapi di sekitarnya pun turut bereaksi, berupa erupsi (ledakan) dan longsor.. Saat erupsi gunung berapi biasanya mengeluarkan semburan asap, beserta unsur bebatuan dan lava. Dalam keadaan seperti itu, maka ikut terbawa pula sejumlah unsur kimiawi yang dapat merusak kesehatan manusia dan hewan. Meskipun begitu sebagian besar material yang di keluar dari gunung juga bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah.
Dengan kondisi alam semacam itu peradaban di sekitar pegunungan itu tak hanya rentan dengan resiko bencana alam, tetapi pada saat yang sama ia juga memberi kehidupan yang makmur. Dan dalam sejarahnya juga menjadi tempat lahirnya orang-orang pintar yang menjadi aset bangsa di negeri ini. Sebagaimana diungkapkan oleh sejarawan Fernand Barudel, kawasan dataran tinggi di tempat lain umumnya, seperti juga kawasan dataran tinggi Minangkabau adalah dunia yang terpisah dari peradaban besar, yang biasanya ditemukan di daerah urban (perkotaan) dan dataran rendah. Sejarah masyarakat di kawasan pegunungan ini agaknya juga mengikuti alur ini. Mereka hampir selalu berada di pinggir gelombang peradaban besar …”.
Kawasan Agam Lama (Oud Agam) yang dalam peta modern sering disebut sebagai “agam timur” adalah kawasan pegunungan yang penuh dinamika dalam interaksinya dengan kawasan dataran rendah di pantai dan daerah rantau jauh dan dekat tanpa perlu kehilangan kearifan lokal warisan nenek moyang meraka. Basis material dari peradaban manusia seperti juga yang ditemukan di Minangkabau, selalu bertolak dari ontologi lingkungan alamnya dan sekaligus menentukan cara hidup masyarakatnya. Dan ini tak terkecuali untuk Nagari Batagak sendiri.
Asal Usul & Lingkungan Keluarga
Tumbuh dalam lingkungan keluarga saudagar kaya dan terpandang, Syamsidar kecil memiliki kebanggaan terhadap leluhurnya. Kalau ditelusuri ke belakang, leluhurnya memiliki pertalian keluarga dengan keturunan bangsawan lokal di satu pihak dan dengan birokrasi kolonial di lain pihak. Ibunya, Siti Rafiah, adalah kemenakan Datuk Bandaro, dari Suku Guci, yaitu panghulu andiko, dan menyandang gelar datuk pucuk di Nagari Batagak. Selaku demikian, leluhurnya dianggap pionir yang menaruko berdirinya Nagari Batagak. Ketika pemukiman dibuka oleh generasi pertama sekitar dua abad lalu, pemukiman itu diberi nama Kampung Gandjo. Menurut keterangan Tambo keluarga Datuk Bandaro, generasi yang hidup sekarang adalah generasi yang keempat belas. Jika dikonversikan ke dalam tahun masehi, maka diperkirakan leluhurnya itu sudah tinggal di sana sekitar akhir abad ke–17 atau awal abad ke–18. Masa itu bertepatan dengan momentum puncak syiarnya agama Islam (atau Islamisasi) di Minangkabau. Namun perubahan-perubahan radikal baru terjadi satu abad kemudian, yakni ketika kelompok pembaharu agama Islam generasi pertama melakukan revolusi dari dalam lewat gerakan Paderi. Sekitar pergantian abad ke-18/19, mereka berhadapan dengan unsur kaum adat yang masih belum seutuhnya mengamalkan nilai-nilai Islam dan. Setelah Belanda masuk ke Minangkabau (1819) maka pecahlah perang, Perang Paderi (1821-1837) yang berkesudahan dengan kemenangan Belanda. Sejak itu mulailah era baru kolonialisme Belanda di Minangkabau dan daerah ini diberi nama Sumatera Barat (Sumatra’s Westkust).
Leluhur Syamsidar sudah mendiami kampung Gandjo jauh sebelum masuknya Belanda ke pedalaman Minangkabau. Kampung itu kemudian lebih dikenal dengan Kampung Dalam, Batagak. Guci sukunya dengan penghulu kaumnya Datuk Bandaro. Datuk ini mulanya merupakan belahan dari suku Koto dan Piliang, salah satu dari dua sistem politik kelarasan Minangkabau. (yang lainnya ialah Bodi Caniago). Dari suku Guci ini kemudian berkembang pula suku Piliang, Tanjung, dan Sikumbang. Anggota kerabat suku itu kemudian makin mekar lagi, sehingga terbentuk pula suku baru, Simabua dan Piliang. Pemekaran itu mulai terjadi kira-kira sejak generasi kelima dan keenam sekitar peralihan abad ke-18 dan ke-19. Jadi sezaman dengan terjadinya konflik antara kaum adat dan ulama sebelum diintervensi oleh kekuatan politik kolonial Belanda. Namun, pemekaran suku Guci ini mereka pahami sebagai hanya pengembangan belahan dari yang aslinya tanpa melepaskan gelar penghulu yang asli. Di tempat yang baru itu, misalnya mereka masih memakai gelar Bandaro, seperti Palimo Bandaro, Angku Bandaro, Sutan Bandaro Nan Panjang, ….Nan Putih, dan Labai Bandaro. Itu artinya bahwa dengan menyandar gelar adat dari penghulu yang lama, mereka masih bertanggung jawab melindungi, memimpin, dan memlihara segala sesuatu yang berhubungan dengan suku, keturunan, warisan, keselamatan, dan harga diri kaum kerabatnya. Ada juga yang sama sekali melepaskan gelarnya dari suku asli lalu memakai gelar baru seperti Datuk Djomogo dan Datuk Misabumi masing-masing dipakai oleh kepala kaum suku Piliang dan Simabua. Itu artinya datuk-datuk ini, meskipun masih tetapi menggunakan nama sukunya yang lama, Guci, mereka telah melepaskan diri dari kaum Datuk Bandaro.
Beberapa di antara pecahan suku baru ini kemudian ada pula yang keluar dan menetap di kampung lain di nagari yang sama. Anak kemenakan Datuk Djomogo, misalnya, terpencar pada beberapa daerah dengan beberapa suku, yaitu suku Guci di Batagak dan yang bersuku Piliang di Talatang Kamang, Luhak Agam. Demikian pula dengan kaum Datuk Misabumi, yang bersuku Guci ada yang di Padangpanjang, suku Simabua di Simabua, Luhak Tanah Datar. Dalam perkembangannya keturunan suku Guci dari Gandjo itu akhirnya bercampur satu sama lain dan dengan suku dari nagari lain melalui tali perkawinan adat dan Islam.
Pemekaran suku-suku belahan ini konotasinya terkesan relatif netral demokratis, meskipun menurut teorinya adat suku di kelarasan Koto-Piliang lebih arsitokratik dengan hierarki-hierarki yang relatif ketat dibandingakan dengan Bodi-Caniago yang relatif demokratis. Yang jelas kedua sistem kelarasan itu tetap bersandar kepada alur tradisi adat Minangkabau dan kuat keislamannya.
Anak-kemenakan dari kaum Datuk Bandaro menetap di kampung asal mereka di kampung Gandjo, Nagari Batagak. Sejak generasi pertama sampai kini baru ada tiga datuk yang berhasil dilewakan (digelar perhelatan) sebagai datuk pucuk. Mereka adalah Mantjak Dt. Bandaro (generasi kedua, anak Gandjo), Joenoes Dt. Bandaro (generasi sembilan), dan Munafri, S.H. Dt. Bandaro (generasi ke-11) Datuk-datuk ini dipilih setelah diajukan oleh para pendukung dari kaum mereka. Mereka ini dipilih tentu karena diangap punya kelebihan dari yang lain, misalnya, keluasan pengetahuannya, kuat keislaman, mapan, dan tak kalah penting adalah menetap di kampung halaman.
Nenek Syamsidar, Oepik Roemin dan suaminya Angku Palo Datuk Rangkayo Maharajo mempunyai tiga orang anak, dua laki-laki satu perempuan, yakni Siti Rafiah, ibu Syamsidar sendiri. Dalam sistem kekerabatan adat metrilineal, kedua saudara laki-laki dari ibunya itu disebut mamak (paman) oleh Syamsidar. Anak tertua, si sulung Abbas Sutan Bandaro Panjang namanya. Ia adalah orang berpendidikan pada zamannya dan berkerja sebagai kondektur kereta api. Tetapi selain itu ia juga terkenal cakap meramu obat-obat tradisional dan pengetahuan dukun. Istrinya Raha, adalah Mak Tuo (kakak ibu) bagi Bustanil Arifin yang pernah menjabat Ka. Bulog era Orde Baru. Setelah menikah Abbas tinggal di rumah keluarga istrinya di Padangpanjang, hingga akhir hayat. Ia tewas dalam kecelakaan kereta api penumpang yang jatuh di jembatan di Lembah Anai pada pada zaman Jepang (24 Mei 1944) pukul 9.15 WIB. Ratusan korban nyawa dan luka-luka dalam peristiwa tragis itu dikafani dan diselamatkan oleh murid-murid Diniyah Putri Padangpanjang. Normal Yahya, termasuk adik Syamsidar Yahya, ikut bertindak sebagai anggota regu penolong waktu itu.
Sedangkan si bungsu Marchatib Sutan Bandaro Panjang berdagang kelontong bersama istrinya di Marangin-Jambi. Isterinya dua orang. Istri pertama Djalilah namanya dari suku Pisang di Nagari Batagak. Djalilah adalah kemenakan Datuk Rajo Lelo Nan Kuniang anak Rajo Nan Taduang. Istri keduanya Kamaliah dari Batu Palano, juga dari suku Pisang. Ia cucu Inyiak Andah dan kemenakan bagi Amir Hamzah Datuk Tungga, suami Normal Yahya. Jabatan Datuk Tungga terakhir sebagai Kepala Jawatan Sosial Sumatera Tengah, setelah sebelumnya menjabat Bupati Rengat dalam 1947. Tampaknya perkawinan pulang kabako (menikahkan anak dengan kemenakan) dalam keluarga besar itu tampaknya sudah lazim, bahkan ideal dalam tradisi adat matrlilineal Minangkabau.
Ibu Syamsidar, Siti Rafiah dikawinkan dengan Haji Yahya dalam usia 18 tahun. Anak-anaknya, termasuk Syamsidar kecil diasuh dan dibesarkan di rumah gaduang (rumah “gedung”) dan bukan di rumah gadang atau rumah adat. Sesuai dengan namanya, rumah gaduang, berukuran relatif besar untuk ukuran zamannya, terbuat dari beton kuat dengan atap seng lama yang tebalnya mencapai 1mm. Bangunan rumah itu kelihatan mencolok di antara rumah adat dan rumah-rumah kampung yang lama atau bangunan baru masa kini. Barangkali karena ukurannya yang relatif besar, di samping arsitekturnya yang unik, bergaya Belanda. Bangunan semacam ini jarang dijumpai di nagari-nagari Minangkabau, kecuali ada di beberapa tempat seperti di Nagari Koto Gadang atau satu dua di nagari tetanggnya seperti di Batu Palano, Sarik, dan Sungai Pua.
Bangunan rumah gaduang berukuran 15 m x 8 m itu tediri dari empat kamar, berhadapan dengan ruang tengah. Salah satunya didiami oleh orang tua Syamsidar, dan satu lagi dihuni oleh kakek-neneknya. Selebihnya kosong. Syamsidar kecil dengan saudaranya yang masih kecil-kecil bisa bergabung dengan ibu, terlebih karena ayahnya kerap bepergian ke luar daerah untuk urusan dagang atau urusan lain. Keempat kamar dipisah oleh sebuah ruang keluarga di tengah-tengahnya. Ruang tamu yang lepas luas berada di depannya dan di bagian belakangnya terdapat dapur keluarga yang juga relatif luas pula. Antara dapur dan halaman belakang rumah disekat oleh dinding beton yang tinggi. Ruang keluarga sebagaimana lazimnya beralas tikar pandan atau rotan (lampit) dan beberapa set kursi. Di sanalah kelurga itu makan bersila dan melepas penat, atau melangsungkan reuni keluarga, tetapi karena rumah gaduang itu bukan rumah adat, dan bukan pula harta pusaka tinggi, maka tentu tidak bisa dipakai untuk melangsungkan perhelatan adat seperti batagak penghulu.
Rumah gaduang berarsitektur modern itu, tampak luar seakan-akan beranjung, seperti mode rumah kaum kelarasan Koto-Piliang juga. Tata letaknya sejajar dengan rumah gadang yang lain di kampung itu. Posisinya menyamping Gunung Merapi yang terletak beberapa kilometer di utaranya. Sedang pintu masuk dan beberapa daun jendela menyongsong angin masuk menyejukkan ruangan, datang dari arah Gunung Singgalang yang jauh di depannya. Tepat di depan rumah yang menghadap ke sisi barat itu terdapat beberapa buah rumah lain di dekatnya, yang di sisinya terdapat kolam-kolam ikan dan jernih airnya. Beberapa puluh meter saja dari rumah itu dijumpai persimpangan jalan tanjakan, berbelok ke kanan menuju jalan utama.
Kehadiran rumah gaduang di antara rumah gadang di nagari yang masih cukup kuat memegang adat istiadat Minangkabau memberi citra kemakmuran penghuninya. Perabot rumah dan peralatan di atas rumah itu tergolong mewah. Semua ini menunjukkan status sosial dan kemewahan yang jelas melebih rata-rata penduduk di nagari itu. Barang-barang perabotan yang mengisi rumah mereka itu pun mestilah mahal harganya dan agaknya tak terjangkau dengan ekonomi rumah tangga biasa. Di antaranya ada yang terbuat dari kayu berukiran indah, kuningan, maupun kaca. Juga tampak sepasang kursi “malas” (kursi goyang) berukir indah; beberapa lemari kayunya, dan lampu kristal gantung dengan bahan bakar minyak tanah menggantung ruang tengahnya. Sebagiannya pastilah didatangkan dari luar. Di salah satu pojok tampak alat mikrofon dengan sejumlah piringan hitam musik klasik dan modern. Ada juga tanduk rusa yang terpajang di atas pintu lorong antara ruang tamu dan pintu dapur, konon dimitoskan bertuah. Pada dinding kamar bagian luar di sebelah kiri dipajang sejumlah keris dan parang.
Barang-barang berharga itu sebagian besar tidak diubah letaknya dari dulu hingga kini, kecuali beberapa di antaranya pernah terlepas dari posisi semula, setelah beberapa kali terjadi gempa. Benda-benda itu termasuk barang peninggalan nenek moyang mereka di samping ada pula berupa souvenir yang dibawa oleh mamak (adik ibu) Syamsidar Yahya, yaitu Marchatib Sutan Bandaro Panjang yang berdagang kelontong bersama istrinya di Merangin-Jambi.
Tak hanya itu. Penghuni rumah itu juga tergolong orang berpunya. Ini antara lain terlihat dari kepemilikan yang ada di rumah itu seperti kuda dan bendi pribadi, kendaraan mewah di masa lalu. Ada bendi Bugih (Bugis) yang dapat dilarikan kencang dengan kuda, sedang kereta bendi beroda dua ditarik oleh seekor kuda, sebagaimana umumnya bendi di Minangkabau. Kuda-kuda itu dikandangkan di belakang rumah. Untuk pekerjaan ini ada kusir yang mengurusnya sehari-hari dengan digaji layak oleh keluarga Syamsidar kecil. Memang, pada masa kolonial Belanda keluarga bangsawan atau elit lokal, biasanya menyediakan dan menggaji kusirnya sendiri. Bendi-bendi itu dicat dan dihias indah dengan umbul-umbul. Pada siang hari kuda-bendi itu selalu siap sedia di pelataran parkir di depan rumah, bukan di belakang. Posisinya berdekatan dengan tangga depan berhadap-hadapan dengan daun jendela, sehingga mudah untuk dinaiki dan tampak saja dari atas rumah. Parkiran bendi itu berdinding batu dan bersemen. Hingga kini masih terlihat jejak puing-puingnya sekitar tiga sekat ruang.
Tradisi memelihara kuda-bendi ini agalmya sudah dimulai sejak kakek-kakek Syamsidar dan diteruskan kepada ayahnya. Buyut Syamsidar bernama Sitimbo Ameh, tak hanya cantik, jadi pujaan anak nagari, juga disegani. Terlebih lagi karna suaminya adalah seorang Rajo Kaciak (Rajo Kecil) atau Raja Muda, dari Kerajaan Pagaruyung) dari Koto Laweh. Kedudukan ini setingkat dengan vazal, perwakilan raja, dalam tradisi ketatanegaraan zaman raja-raja dulu. Jabatan ini membuat keluarganya sangat berpengaruh dan amat disegani di kawasan ini.
Buyut Syamsidar, yaitu Sitimbo Ameh melahirkan lima orang anak, salah satunya adalah nenek Syamsidar bernama Oepik Roemin, si bungsu tak beradik lagi. Suami buyut Sitimbo Ameh ialah Haji Makkah, Datuk Rangkayo Maharajo dari suku Sikumbang. Sedang suami Oepik Roemin atau kakek Syamsidar adalah seorang Angku Palo (wali nagari) Batu Palano, dan konon memiliki hubungan kekeluargaan dengan Kerajaan Pagaruyung. Ia juga seorang datuk (kepala suku Sikumbang). Isterinya tiga orang. Sebelum pulang ke neneknya, Angku Palo menikahi gadis bersuku Pisang asal Nagari Batu Palano dan mendapat anak bernama Inyiak Andah, sedangkan istri mudanya seorang gadis Nagari Sariak. Istri keduanya Kamaliah namanya, dari dari suku Pisang, Batu Palano. Ia adalah cucu Inyiak Andah dan kemenakan bagi Amir Hamzah Datuk Tungga, suami Normal Yahya saudara Syamsidar. Jabatan Datuk Tungga pernah Wedana di Karimun 1952-1953, setelah sebelumnya menjabat Bupati Rengat dalam 1947.
Adapun nenek Syamsidar, Oepik Roemin juga terkenal kecantikannya dan pemberani, meski tak memiliki ilmu silat seperti ibunya. Pola asuhan rumah tangga orang tua lama biasanya lebih mengutamakan agar anak-anak memegang teguh adat dan sopan santun serta tatakrama bermasyarakat serta pendidikan agama Islam. Pada abad ke-19 belum ada sekolah untuk anak-anak perempuan. Jadi walaupun ayahnya adalah pejabat pemerintah, mereka belum bisa baca tulis Latin, tetapi sebaliknya mampu baca-tulis Arab-Melayu.
Ibu Syamsidar, Siti Rafiah, juga mewarisi pendidikan rumah tangga semacam itu. Ia anak perempuan satu-satunya yang amat disayang dan dimanja oleh orang tuanya yang Angku Palo Batu Palano itu. Ia tak kalah cantik dengan ibunya, juga mengerti adat, namun juga kuat wawasan keislamannya. Padahal di usia remaja ia terkenal nakal untuk ukuran anak perempuan Minang kala itu. Tegas, pandai bersilat, berani, dan kerap memaksa teman sebaya memanggil dirinya “Etek”. Hingga usia tua pun ia dipanggil demikian. Tua maupun muda, memanggilnya dengan “Etek” layaknya seorang perempuan bijak yang dihormati di Minangkabau. Meski Etek Siti Rafiah anak Angku Palo, ia tak bersekolah dan hanya bisa baca-tulis Arab-Melayu.
Barangkali karena semua saudara-saudaranya lelaki, dan dialah satu-satunya perempuan di atas rumah itu, sehingga sejak kecil sampai remaja temperemennya agak keras,. Pembawaannya pun seperti anak lelaki pula. Dalam bermain ia suka memimpin tak jarang pula ia memaksa teman sebayanya harus mengikuti keinginannya. Dia misalnya suka menyuruh mereka memanjat dan mencuri buah kopi milik orang tuanya sendiri, tanpa pernah sekalipun dimarahi meskipun kerap ketahuan.
Meski ia anak seorang Angku Palo yang diangkat oleh Pemerintah Hindia-Belanda, benih-benih perlawanan terhadap sistem kolonial sudah tampak sejak usia remajanya. Terutama karena praktek sistem tanam paksa kopi pemerintah Belanda. Sejak pertengahan abad ke-19, Belanda mewajibkan penduduk secara paksa agar menanam kopi dan hasilnya harus diserahkan ke gudang kopi (pakhuis) pemerintah. Ayahnya yang menjabat Angku Palo Batu Palano sekaligus ditugasi pemerintah Hindia-Belanda untuk mengumpulkan hasil kopi rakyat sesuai target untuk diserahkan ke gudang-gudang kopi yang lebih besar milik pemerintah kolonial di kota. Etek kecil sering suka diam-diam “mencuri” sesuatu milik orang tuanya sendiri. Meskipun begitu, sang ayah tak kuasa menghukum tingkah anak perempuan satu-satunya itu. Malahan ia mendidiknya dengan senyuman saja. Dan inilah kisah berkesan yang pernah diterima oleh Syamsidar bersaudara ketika masih kecil sewaktu menghuni rumah gaduang itu.
Sang ayah juga seorang figur terpandang. Haji Yahya namanya, seorang saudagar muda dari Nagari Sarik. Ia dikenal saudagar yang sukses dan relatif lebih berjaya dibanding dengan adiknya, Saudagar Zakaria. Suatu ketika dalam masa sukses itu ia bertolak dari Emmahaven (Teluk Bayur) menunaikan ibadah haji. Sepulang dari sana, ketika baru menginjakkan kaki di kampung halaman, ia dipinang lagi oleh perempuan muda, meskipun sudah beristri dan beranak pula. Dengan isteri barunya ini Saudagar Yahya mendapat lima anak darinya. Masing- adalah Ana Yahya, Syaf Yahya, Juhsa Yahya, Lemidar Yahya, dan Dur Yahya.
Di kalangan masyarakat Nagari Sariak, Saudagar Yahya tergolong keluarga berpendidikan cukup tinggi dan penganut Islam berpikiran maju. Sama seperti saudara sulungnya, ulama terkemuka di Minangkabau, Sjech Djanan Thaib, adalah seorang aktivis pergerakan dari kelompok Islam modernist yang berhimpun dalam lingkaran Kaum Muda pada dekade kedua abad ke-20. Ia adalah hoofdredacteur (redaktur kepala) dari ”Seroean Azhar”, salah satu majalah mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir. Salah seorang tokoh utamanya ialah Syekh Djanan Thaib. Tujuannya, seperti terlihat dari ”kolofon” majalah itu, ialah ”menjeroe menoentoet pengetahoean, kemadjoean dan persatoean”. Djanan Thaib hanya sempat memimpin untuk lima nomor pertama, kemudian ia berpamitan untuk pindah ke Mekkah. Inilah kata-kata perpisahan dan sekaligus ucapan selamatnya kepada redaktur yang baru di bawah Iljas Ja’coeb.
Leluhur Syamsidar sudah mendiami kampung Gandjo jauh sebelum masuknya Belanda ke pedalaman Minangkabau. Kampung itu kemudian lebih dikenal dengan Kampung Dalam, Batagak. Guci sukunya dengan penghulu kaumnya Datuk Bandaro. Datuk ini mulanya merupakan belahan dari suku Koto dan Piliang, salah satu dari dua sistem politik kelarasan Minangkabau. (yang lainnya ialah Bodi Caniago). Dari suku Guci ini kemudian berkembang pula suku Piliang, Tanjung, dan Sikumbang. Anggota kerabat suku itu kemudian makin mekar lagi, sehingga terbentuk pula suku baru, Simabua dan Piliang. Pemekaran itu mulai terjadi kira-kira sejak generasi kelima dan keenam sekitar peralihan abad ke-18 dan ke-19. Jadi sezaman dengan terjadinya konflik antara kaum adat dan ulama sebelum diintervensi oleh kekuatan politik kolonial Belanda. Namun, pemekaran suku Guci ini mereka pahami sebagai hanya pengembangan belahan dari yang aslinya tanpa melepaskan gelar penghulu yang asli. Di tempat yang baru itu, misalnya mereka masih memakai gelar Bandaro, seperti Palimo Bandaro, Angku Bandaro, Sutan Bandaro Nan Panjang, ….Nan Putih, dan Labai Bandaro. Itu artinya bahwa dengan menyandar gelar adat dari penghulu yang lama, mereka masih bertanggung jawab melindungi, memimpin, dan memlihara segala sesuatu yang berhubungan dengan suku, keturunan, warisan, keselamatan, dan harga diri kaum kerabatnya. Ada juga yang sama sekali melepaskan gelarnya dari suku asli lalu memakai gelar baru seperti Datuk Djomogo dan Datuk Misabumi masing-masing dipakai oleh kepala kaum suku Piliang dan Simabua. Itu artinya datuk-datuk ini, meskipun masih tetapi menggunakan nama sukunya yang lama, Guci, mereka telah melepaskan diri dari kaum Datuk Bandaro.
Beberapa di antara pecahan suku baru ini kemudian ada pula yang keluar dan menetap di kampung lain di nagari yang sama. Anak kemenakan Datuk Djomogo, misalnya, terpencar pada beberapa daerah dengan beberapa suku, yaitu suku Guci di Batagak dan yang bersuku Piliang di Talatang Kamang, Luhak Agam. Demikian pula dengan kaum Datuk Misabumi, yang bersuku Guci ada yang di Padangpanjang, suku Simabua di Simabua, Luhak Tanah Datar. Dalam perkembangannya keturunan suku Guci dari Gandjo itu akhirnya bercampur satu sama lain dan dengan suku dari nagari lain melalui tali perkawinan adat dan Islam.
Pemekaran suku-suku belahan ini konotasinya terkesan relatif netral demokratis, meskipun menurut teorinya adat suku di kelarasan Koto-Piliang lebih arsitokratik dengan hierarki-hierarki yang relatif ketat dibandingakan dengan Bodi-Caniago yang relatif demokratis. Yang jelas kedua sistem kelarasan itu tetap bersandar kepada alur tradisi adat Minangkabau dan kuat keislamannya.
Anak-kemenakan dari kaum Datuk Bandaro menetap di kampung asal mereka di kampung Gandjo, Nagari Batagak. Sejak generasi pertama sampai kini baru ada tiga datuk yang berhasil dilewakan (digelar perhelatan) sebagai datuk pucuk. Mereka adalah Mantjak Dt. Bandaro (generasi kedua, anak Gandjo), Joenoes Dt. Bandaro (generasi sembilan), dan Munafri, S.H. Dt. Bandaro (generasi ke-11) Datuk-datuk ini dipilih setelah diajukan oleh para pendukung dari kaum mereka. Mereka ini dipilih tentu karena diangap punya kelebihan dari yang lain, misalnya, keluasan pengetahuannya, kuat keislaman, mapan, dan tak kalah penting adalah menetap di kampung halaman.
Nenek Syamsidar, Oepik Roemin dan suaminya Angku Palo Datuk Rangkayo Maharajo mempunyai tiga orang anak, dua laki-laki satu perempuan, yakni Siti Rafiah, ibu Syamsidar sendiri. Dalam sistem kekerabatan adat metrilineal, kedua saudara laki-laki dari ibunya itu disebut mamak (paman) oleh Syamsidar. Anak tertua, si sulung Abbas Sutan Bandaro Panjang namanya. Ia adalah orang berpendidikan pada zamannya dan berkerja sebagai kondektur kereta api. Tetapi selain itu ia juga terkenal cakap meramu obat-obat tradisional dan pengetahuan dukun. Istrinya Raha, adalah Mak Tuo (kakak ibu) bagi Bustanil Arifin yang pernah menjabat Ka. Bulog era Orde Baru. Setelah menikah Abbas tinggal di rumah keluarga istrinya di Padangpanjang, hingga akhir hayat. Ia tewas dalam kecelakaan kereta api penumpang yang jatuh di jembatan di Lembah Anai pada pada zaman Jepang (24 Mei 1944) pukul 9.15 WIB. Ratusan korban nyawa dan luka-luka dalam peristiwa tragis itu dikafani dan diselamatkan oleh murid-murid Diniyah Putri Padangpanjang. Normal Yahya, termasuk adik Syamsidar Yahya, ikut bertindak sebagai anggota regu penolong waktu itu.
Sedangkan si bungsu Marchatib Sutan Bandaro Panjang berdagang kelontong bersama istrinya di Marangin-Jambi. Isterinya dua orang. Istri pertama Djalilah namanya dari suku Pisang di Nagari Batagak. Djalilah adalah kemenakan Datuk Rajo Lelo Nan Kuniang anak Rajo Nan Taduang. Istri keduanya Kamaliah dari Batu Palano, juga dari suku Pisang. Ia cucu Inyiak Andah dan kemenakan bagi Amir Hamzah Datuk Tungga, suami Normal Yahya. Jabatan Datuk Tungga terakhir sebagai Kepala Jawatan Sosial Sumatera Tengah, setelah sebelumnya menjabat Bupati Rengat dalam 1947. Tampaknya perkawinan pulang kabako (menikahkan anak dengan kemenakan) dalam keluarga besar itu tampaknya sudah lazim, bahkan ideal dalam tradisi adat matrlilineal Minangkabau.
Ibu Syamsidar, Siti Rafiah dikawinkan dengan Haji Yahya dalam usia 18 tahun. Anak-anaknya, termasuk Syamsidar kecil diasuh dan dibesarkan di rumah gaduang (rumah “gedung”) dan bukan di rumah gadang atau rumah adat. Sesuai dengan namanya, rumah gaduang, berukuran relatif besar untuk ukuran zamannya, terbuat dari beton kuat dengan atap seng lama yang tebalnya mencapai 1mm. Bangunan rumah itu kelihatan mencolok di antara rumah adat dan rumah-rumah kampung yang lama atau bangunan baru masa kini. Barangkali karena ukurannya yang relatif besar, di samping arsitekturnya yang unik, bergaya Belanda. Bangunan semacam ini jarang dijumpai di nagari-nagari Minangkabau, kecuali ada di beberapa tempat seperti di Nagari Koto Gadang atau satu dua di nagari tetanggnya seperti di Batu Palano, Sarik, dan Sungai Pua.
Bangunan rumah gaduang berukuran 15 m x 8 m itu tediri dari empat kamar, berhadapan dengan ruang tengah. Salah satunya didiami oleh orang tua Syamsidar, dan satu lagi dihuni oleh kakek-neneknya. Selebihnya kosong. Syamsidar kecil dengan saudaranya yang masih kecil-kecil bisa bergabung dengan ibu, terlebih karena ayahnya kerap bepergian ke luar daerah untuk urusan dagang atau urusan lain. Keempat kamar dipisah oleh sebuah ruang keluarga di tengah-tengahnya. Ruang tamu yang lepas luas berada di depannya dan di bagian belakangnya terdapat dapur keluarga yang juga relatif luas pula. Antara dapur dan halaman belakang rumah disekat oleh dinding beton yang tinggi. Ruang keluarga sebagaimana lazimnya beralas tikar pandan atau rotan (lampit) dan beberapa set kursi. Di sanalah kelurga itu makan bersila dan melepas penat, atau melangsungkan reuni keluarga, tetapi karena rumah gaduang itu bukan rumah adat, dan bukan pula harta pusaka tinggi, maka tentu tidak bisa dipakai untuk melangsungkan perhelatan adat seperti batagak penghulu.
Rumah gaduang berarsitektur modern itu, tampak luar seakan-akan beranjung, seperti mode rumah kaum kelarasan Koto-Piliang juga. Tata letaknya sejajar dengan rumah gadang yang lain di kampung itu. Posisinya menyamping Gunung Merapi yang terletak beberapa kilometer di utaranya. Sedang pintu masuk dan beberapa daun jendela menyongsong angin masuk menyejukkan ruangan, datang dari arah Gunung Singgalang yang jauh di depannya. Tepat di depan rumah yang menghadap ke sisi barat itu terdapat beberapa buah rumah lain di dekatnya, yang di sisinya terdapat kolam-kolam ikan dan jernih airnya. Beberapa puluh meter saja dari rumah itu dijumpai persimpangan jalan tanjakan, berbelok ke kanan menuju jalan utama.
Kehadiran rumah gaduang di antara rumah gadang di nagari yang masih cukup kuat memegang adat istiadat Minangkabau memberi citra kemakmuran penghuninya. Perabot rumah dan peralatan di atas rumah itu tergolong mewah. Semua ini menunjukkan status sosial dan kemewahan yang jelas melebih rata-rata penduduk di nagari itu. Barang-barang perabotan yang mengisi rumah mereka itu pun mestilah mahal harganya dan agaknya tak terjangkau dengan ekonomi rumah tangga biasa. Di antaranya ada yang terbuat dari kayu berukiran indah, kuningan, maupun kaca. Juga tampak sepasang kursi “malas” (kursi goyang) berukir indah; beberapa lemari kayunya, dan lampu kristal gantung dengan bahan bakar minyak tanah menggantung ruang tengahnya. Sebagiannya pastilah didatangkan dari luar. Di salah satu pojok tampak alat mikrofon dengan sejumlah piringan hitam musik klasik dan modern. Ada juga tanduk rusa yang terpajang di atas pintu lorong antara ruang tamu dan pintu dapur, konon dimitoskan bertuah. Pada dinding kamar bagian luar di sebelah kiri dipajang sejumlah keris dan parang.
Barang-barang berharga itu sebagian besar tidak diubah letaknya dari dulu hingga kini, kecuali beberapa di antaranya pernah terlepas dari posisi semula, setelah beberapa kali terjadi gempa. Benda-benda itu termasuk barang peninggalan nenek moyang mereka di samping ada pula berupa souvenir yang dibawa oleh mamak (adik ibu) Syamsidar Yahya, yaitu Marchatib Sutan Bandaro Panjang yang berdagang kelontong bersama istrinya di Merangin-Jambi.
Tak hanya itu. Penghuni rumah itu juga tergolong orang berpunya. Ini antara lain terlihat dari kepemilikan yang ada di rumah itu seperti kuda dan bendi pribadi, kendaraan mewah di masa lalu. Ada bendi Bugih (Bugis) yang dapat dilarikan kencang dengan kuda, sedang kereta bendi beroda dua ditarik oleh seekor kuda, sebagaimana umumnya bendi di Minangkabau. Kuda-kuda itu dikandangkan di belakang rumah. Untuk pekerjaan ini ada kusir yang mengurusnya sehari-hari dengan digaji layak oleh keluarga Syamsidar kecil. Memang, pada masa kolonial Belanda keluarga bangsawan atau elit lokal, biasanya menyediakan dan menggaji kusirnya sendiri. Bendi-bendi itu dicat dan dihias indah dengan umbul-umbul. Pada siang hari kuda-bendi itu selalu siap sedia di pelataran parkir di depan rumah, bukan di belakang. Posisinya berdekatan dengan tangga depan berhadap-hadapan dengan daun jendela, sehingga mudah untuk dinaiki dan tampak saja dari atas rumah. Parkiran bendi itu berdinding batu dan bersemen. Hingga kini masih terlihat jejak puing-puingnya sekitar tiga sekat ruang.
Tradisi memelihara kuda-bendi ini agalmya sudah dimulai sejak kakek-kakek Syamsidar dan diteruskan kepada ayahnya. Buyut Syamsidar bernama Sitimbo Ameh, tak hanya cantik, jadi pujaan anak nagari, juga disegani. Terlebih lagi karna suaminya adalah seorang Rajo Kaciak (Rajo Kecil) atau Raja Muda, dari Kerajaan Pagaruyung) dari Koto Laweh. Kedudukan ini setingkat dengan vazal, perwakilan raja, dalam tradisi ketatanegaraan zaman raja-raja dulu. Jabatan ini membuat keluarganya sangat berpengaruh dan amat disegani di kawasan ini.
Buyut Syamsidar, yaitu Sitimbo Ameh melahirkan lima orang anak, salah satunya adalah nenek Syamsidar bernama Oepik Roemin, si bungsu tak beradik lagi. Suami buyut Sitimbo Ameh ialah Haji Makkah, Datuk Rangkayo Maharajo dari suku Sikumbang. Sedang suami Oepik Roemin atau kakek Syamsidar adalah seorang Angku Palo (wali nagari) Batu Palano, dan konon memiliki hubungan kekeluargaan dengan Kerajaan Pagaruyung. Ia juga seorang datuk (kepala suku Sikumbang). Isterinya tiga orang. Sebelum pulang ke neneknya, Angku Palo menikahi gadis bersuku Pisang asal Nagari Batu Palano dan mendapat anak bernama Inyiak Andah, sedangkan istri mudanya seorang gadis Nagari Sariak. Istri keduanya Kamaliah namanya, dari dari suku Pisang, Batu Palano. Ia adalah cucu Inyiak Andah dan kemenakan bagi Amir Hamzah Datuk Tungga, suami Normal Yahya saudara Syamsidar. Jabatan Datuk Tungga pernah Wedana di Karimun 1952-1953, setelah sebelumnya menjabat Bupati Rengat dalam 1947.
Adapun nenek Syamsidar, Oepik Roemin juga terkenal kecantikannya dan pemberani, meski tak memiliki ilmu silat seperti ibunya. Pola asuhan rumah tangga orang tua lama biasanya lebih mengutamakan agar anak-anak memegang teguh adat dan sopan santun serta tatakrama bermasyarakat serta pendidikan agama Islam. Pada abad ke-19 belum ada sekolah untuk anak-anak perempuan. Jadi walaupun ayahnya adalah pejabat pemerintah, mereka belum bisa baca tulis Latin, tetapi sebaliknya mampu baca-tulis Arab-Melayu.
Ibu Syamsidar, Siti Rafiah, juga mewarisi pendidikan rumah tangga semacam itu. Ia anak perempuan satu-satunya yang amat disayang dan dimanja oleh orang tuanya yang Angku Palo Batu Palano itu. Ia tak kalah cantik dengan ibunya, juga mengerti adat, namun juga kuat wawasan keislamannya. Padahal di usia remaja ia terkenal nakal untuk ukuran anak perempuan Minang kala itu. Tegas, pandai bersilat, berani, dan kerap memaksa teman sebaya memanggil dirinya “Etek”. Hingga usia tua pun ia dipanggil demikian. Tua maupun muda, memanggilnya dengan “Etek” layaknya seorang perempuan bijak yang dihormati di Minangkabau. Meski Etek Siti Rafiah anak Angku Palo, ia tak bersekolah dan hanya bisa baca-tulis Arab-Melayu.
Barangkali karena semua saudara-saudaranya lelaki, dan dialah satu-satunya perempuan di atas rumah itu, sehingga sejak kecil sampai remaja temperemennya agak keras,. Pembawaannya pun seperti anak lelaki pula. Dalam bermain ia suka memimpin tak jarang pula ia memaksa teman sebayanya harus mengikuti keinginannya. Dia misalnya suka menyuruh mereka memanjat dan mencuri buah kopi milik orang tuanya sendiri, tanpa pernah sekalipun dimarahi meskipun kerap ketahuan.
Meski ia anak seorang Angku Palo yang diangkat oleh Pemerintah Hindia-Belanda, benih-benih perlawanan terhadap sistem kolonial sudah tampak sejak usia remajanya. Terutama karena praktek sistem tanam paksa kopi pemerintah Belanda. Sejak pertengahan abad ke-19, Belanda mewajibkan penduduk secara paksa agar menanam kopi dan hasilnya harus diserahkan ke gudang kopi (pakhuis) pemerintah. Ayahnya yang menjabat Angku Palo Batu Palano sekaligus ditugasi pemerintah Hindia-Belanda untuk mengumpulkan hasil kopi rakyat sesuai target untuk diserahkan ke gudang-gudang kopi yang lebih besar milik pemerintah kolonial di kota. Etek kecil sering suka diam-diam “mencuri” sesuatu milik orang tuanya sendiri. Meskipun begitu, sang ayah tak kuasa menghukum tingkah anak perempuan satu-satunya itu. Malahan ia mendidiknya dengan senyuman saja. Dan inilah kisah berkesan yang pernah diterima oleh Syamsidar bersaudara ketika masih kecil sewaktu menghuni rumah gaduang itu.
Sang ayah juga seorang figur terpandang. Haji Yahya namanya, seorang saudagar muda dari Nagari Sarik. Ia dikenal saudagar yang sukses dan relatif lebih berjaya dibanding dengan adiknya, Saudagar Zakaria. Suatu ketika dalam masa sukses itu ia bertolak dari Emmahaven (Teluk Bayur) menunaikan ibadah haji. Sepulang dari sana, ketika baru menginjakkan kaki di kampung halaman, ia dipinang lagi oleh perempuan muda, meskipun sudah beristri dan beranak pula. Dengan isteri barunya ini Saudagar Yahya mendapat lima anak darinya. Masing- adalah Ana Yahya, Syaf Yahya, Juhsa Yahya, Lemidar Yahya, dan Dur Yahya.
Di kalangan masyarakat Nagari Sariak, Saudagar Yahya tergolong keluarga berpendidikan cukup tinggi dan penganut Islam berpikiran maju. Sama seperti saudara sulungnya, ulama terkemuka di Minangkabau, Sjech Djanan Thaib, adalah seorang aktivis pergerakan dari kelompok Islam modernist yang berhimpun dalam lingkaran Kaum Muda pada dekade kedua abad ke-20. Ia adalah hoofdredacteur (redaktur kepala) dari ”Seroean Azhar”, salah satu majalah mahasiswa Indonesia di Kairo, Mesir. Salah seorang tokoh utamanya ialah Syekh Djanan Thaib. Tujuannya, seperti terlihat dari ”kolofon” majalah itu, ialah ”menjeroe menoentoet pengetahoean, kemadjoean dan persatoean”. Djanan Thaib hanya sempat memimpin untuk lima nomor pertama, kemudian ia berpamitan untuk pindah ke Mekkah. Inilah kata-kata perpisahan dan sekaligus ucapan selamatnya kepada redaktur yang baru di bawah Iljas Ja’coeb.
Toean-toean pembatja ,,Seroean Azhar" !
Semendjak saja berdjalan dari Mesir ke Eropah hingga sampai kembali lagi ke Mesir ini, jang mana soedah memakai dan melaloei masa lebih koerang enam boelan, boekannja ,,Seroean Azhar" bertambah lemah, malahan bertambah koeat dan madjoe djoega dan tidak koerangnja dari sehari ke sehari bertambah langganannja, sedang djoeroe pemoedi selama saja tinggalkan itoe, ialah saudara kita lljas Ja'coeb. Dan lagi karena memikirkan keselamatan soerat chabar kita ini dan berhoeboeng dengan diri saja sendiri akan meninggalkan Mesir dan teroes akan pergi ke Mekkah dan diri saja rasanja tidaklah diharap lagi akan kembali ke Mesir ini, maka menoeroet poetoesan rapat jang bersidang pada 21 Februari 1926 djabatan Hoofdredacteur dipindahkan kepada saudara Iljas Ja'coeb jang soedah memikoel djoega akan djabatan pengarang bagi ,,Seroean Azhar" dan jang mendjadi wakil saja djoega selama berdjalan ke Eropah.
Sekarang saja oetjapkan selamat pelajaran ,,Seroean Azhar” ditangan Hoofdredacteur jang beharoe ini dan selamat bagi toean-toean pembatjanja seloeroeh Indonesia dan Semenandjoeng Tanah Melajoe. Bagi saja sendiri tidaklah akan meloepakan memimpin ,,Seroean Azhar" dengan beberapa tenaga biar poen dimana sadja saja tinggal, fatafaddaloe biqaboelin faiqin ihtirami Djanan Thaib. [cetak ,iring dari penulis buku ini].
Tidak diceritakan mengapa Djanan Thaib harus angkat kaki dari Mesir. Tetapi untunglah bekat keterangan sumber Audrey Kahin (2005: 66) dikatakan para penerus Djanan Thaib mengalami nasib yang sama dengan pendahulunya, Muchtar Lutfi yang bergabung dengan Iljas Jacub dalam kegiatan politik dan penerbitan dinyatakan sebagai persona non grata-kan lalu diusir dari Mesir, . karena keterlibatan mereka dalam gerakan nasionalis Mesir. Kedutaan Belanda diduga ikut memainkan skenario ini. Pertama mereka akhirnya menyingkir ke Mekah. Iljas Jacub kemudian kembali ke Minangkabau pada 1930, dan kemudian diikuti oleh koleganya, Luthfi pada tahun berikutnya. Setelah kembali, keduanya nanti langsung masuk jajaran pucuk pimpinan Permi.
Akan halnya Djanan Thaib, setelah meniggalkan Mesir pergi ke Mekkah, akhirnya menetap dan berkeluarga dengan perempuan setempat di Tanah Arab dan sejak itu tak pernah lagi pulang ke Indonesia. Selama di Mesir ia tampaknya berhubungan dengan kelompok nasionalis Mesir dan beberapa mahasiswa aktifis Indonesia di sana, termasuk kolega juniornya, Iljas Ja’coeb wakil redaktur “Seroean Azhar”. Mochtar Lutfi (1900-1950) bersama Iljas Jacob (1903-1958), dan Djalaluddin Thaib (1898-1959) kemudian menjadi trio pendiri partai radikal, Permi pada awal 1930-an. (Kita akan membahas ini kembali di belakang nanti).
Di awal abad ke-20, saat kolonialisme Belanda mencapai puncak-nya, hubungan dekat antara kelompok pedagang dengan dunia pendidikan, yang menjadi tempat berkumpulnya kaum pergerakan tampaknya sudah menjadi ciri khas yang menonjol dalam sejarah politik Sumatera Barat ketimbang daerah lain. Dalam keluarga Syamsidar pola hubungan semacam itu juga dapat ditemukan dan yang nantinya membentuk kepribadiannya sebagai aktivis perempuan dalam pergerakan politik dan pendidikan.
Masyarakat Kolonial Awal Abad ke-20
Masyarakat kolonial seperti dilukiskan oleh J.S. Furnival (1967) tentang Indonesia zaman Belanda (Hindia-Belanda) adalah masyarakat majemuk (plural society) yang sangat khas. Dikatakan demikian karena masyarakat yang berbeda-beda (suku, ras, bahasa dan agama) itu hidup sendiri-sendiri bagaikan minyak dan air. Mereka hidup terpisah sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam kesatuan politik negara kolonial. Mereka justru sengaja dibiarkan dan malah diciptakan demikian rupa sehingga satu sama lain mudah diadu-domba. Di mana-mana di kota-kota Indonesia ada “Kampung Jawa”, “Kampung Ambon”, “Kampung Nias”. “Kampung Cina”, “Kampung Kling”, “Kampung Melayu” dan seterusnya. Orang Belanda adalah kelompok minoritas yang berkuasa dan berada di puncak kubus sosial masyarakat majemuk itu. Pada lapis kedua ada kelompok Oosterlingen (Orang Timur), khususnya pendatang Asia seperti Cina, Jepang, India dan Arab. Mereka dekat dengan rejim penguasa dan berprofesi sebagai pedagang perantara atau dunia bisnis yang mensuplai produk Eropa ke masyarakat dan sebaliknya produk komiditi ekspor pribumi ke kelompok bisnis Eropa. Pada lapisan ketiga terdapat kelompok mayoritas pribumi yang direndahkan derjatnya dengan istilah inlander, yaitu kaum pribumi, atau rakyat jajahan yang dikuras kekayaan alamnya dan juga tenaga manusianya. Dalam hubungan ini, Soekarno muda sekali waktu pernah menyebut pribumi yang terjajah itu sebagai ‘bangsa koeli’, ‘koeli bangsa-bangsa’. Inilah salah satu alasan mengapa “kita ingin merdeka’.
Di dalam masyarakat kolonial yang majemuk itu tidak ada semacam ikatan politik yang mempersatukan mereka secara horizontal, kecuali undang-undang pemerintah. Karena itu pula maka tidak ada kehendak bersama (common will) kecuali kemauan sendiri-sendiri seperti orang dalam pasar. Masyarakat kolonial pada gilirannya adalah masyarakat yang terbelah, bertingkat-tingkat (hierakhis) dan diskriminatif. Ini tidak hanya dalam kesempatan lapangan kerja dalam memasuki dunia birokrasi, melainkan juga dalam dunia pendidikan dengan membedakan kelompok elit (orang berpangkat, kaum bangsawan dan orang kaya) dengan rakyat badarai.
Perasaan diperlakukan tidak adil itu juga sangat terasa di kota-kota besar di Sumatera Barat (khususnya di tiga kota utama: Padang, Padangpanjang dan Bukittinggi). Di antara pelbagai kelompok masayarakat pribumi, adalah kelompok saudagar yang boleh dikatakan relatif ‘independen’ (merdeka) dari sistem kolonial. Pandangan hidup mereka lebih terbuka karena banyak berjalan dan fikiran mereka tidak terikat betul dengan aturan pemerintah seperti yang berlaku terhadap petani di pedesaan atau pejabat pemerintah mulai dari tingkat atas sampai ke tingkat terendah. Ide-ide kemajuan juga mulai berkecambah di lingkaran kelompok pedagang ini. Pada tahun 1914, misalnya, sekelompok saudagar pribumi mendirikan organisasi usaha bernama Sarikat Usaha. Pengurus dan juga sekretaris sarikat ini adalah Muhammad Taher Marah Sutan, seorang agen pelayaran di pelabuhan Padang. Ia adalah ‘seorang pekerja keras yang idealis’, yang menjadikan Sarikat Usaha sebagai ‘tempat berkumpul bagi sejumlah pemimpin dan intelektual di Padang’. Anggota pengurus yang lain, Sutan Said Ali, adalah seorang guru Sekolah Adabiah dan anggota Sarikat Islam. Said Ali kelak meninggalkan Sarikat Usaha dan menjadi penggerak utama Partai Komunis.
Organisasi ini bergerak di berbagai bidang sosial — pendidikan, perniagaan, penyelenggaraan pemakaman, kontraktor konstruksi, penerbit majalah keagamaan dan buku, dan pengelolaan bioskop. Edisi pertama tabloid empat halaman, Sjarikat Oesaha, yang terbit dua kali seminggu, terbit pada bulan April 1914. Sarikat Usaha mendirikan cabangnya di kota-kota lain di Sumatra Barat, dan para pengusaha, baik yang menjadi anggota maupun yang bukan anggota. Mereka tidak hanya mendanai kegiatan-kegiatan perniagaan, tetapi juga kegiatan partai-partai politik, organisasi-organisasi keagamaan, segala bentuk penerbitan, sekolah-sekolah swasta, dan organisasi-organisasi pemuda. Salah seorang saudagar Padang yang paling aktif adalah Abdullah Basa Bandaro. Ia adalah orang yang ‘membina hubungan baik dengan pejabat-pejabat Belanda di Padang’ dan bekerjasama erat dengan Abdullah Ahmad pendiri Sekolah Adabiah di kota itu. Adalah Basa Bandaro pula yang membawa Sarikat Islam ke Sumatra Barat, dan di awal tahun 1920-an dia menjadi penyandang dana utama koran Djago-djago, Pemandangan Islam, dan koran-koran lain yang diterbitkan Sarikat Rakyat di Padangpanjang.
Pengurus Sarikat Usaha bersifat moderat. Tdak semuanya anti penjajah. Salah seorang pendirinya, yaitu H. Abdullah Ahmad, yang juga dikenal sebagai pendiri Sekolah Adabiah di Padang adalah salah seorang dari tiga tokoh pembaharu di Sumatera Barat. Dua temannya yang lain, yakni Haji Rasul di Padang Panjang dan Syekh Djamil Djambek di Bukittinggi – ketiganya dikenal sebagai tokoh Kaum Muda. Ketiganya sangat menentang komunisme di daerah ini dan oleh pejabat Belanda ia dianggap bersikap moderat terhadap pemerintah Hindia Belanda. Hatta sangat menghormati Abdullah Ahmad dan Marah Sutan, dengan mengungkapkan ‘bila Haji Abdullah Ahmad terkenal dalam gerakan keagamaan, Taher Marah Sutan termasyhur dalam urusan sosial’.
Tak syak lagi, bahwa Syekh Djanan Thaib, saudara sulung Saudagar Yahya (ayah Syamsidar) termasuk ke dalam pengikut kelompok Kaum Muda ini. Penentangannya dengan Goeroe Ordonantie (1905), yaitu undang-undang pengetatan peraturan terhadap para guru agama, membuatnya ditangkap dan diusir oleh Belanda. Haji Rasul khususnya, yang kemudian menetap di Kota Padangpanjang menjadi ‘patron’ bagi pergerakan di kota itu dan ia amat berjasa dalam pembaharuan pendidikan surau dan melahirkan aktivis pergerakan seperti Zainuddin Labay dan adiknya Encik Rahma el Yunusiyah, pendiri Dinyah Putri.
Pengaruh Etek Rahmah – demikian ia dipanggil oleh masyarakat Padangpanjang – menjalar ke nagari-nagari di sekitarnya dan bahkan kemudian ke seluruh Indonesia. Cita-cita pembaharuan pendidikan oleh kelompok Kaum Muda ini juga disambut gembira oleh saudagar Yahya di kampung isterinya, Batagak. Ia kemudian termasuk kelompok orang-orang yang berfikiran maju dan menggabungkan diri dengan semangat yang dibawakan oleh aktivis pergerakan Kaum Muda ini. Meskipun kegiatan perdagangan tampaknya lebih menonjol ketimbang pergerakannya, ia orang yang peduli dengan pendidikan masyarakat dan kelak menyekolahkan anak-anaknya ke Diniyah Putri.
Karena relatif moderat, ia dapat membuat pilihan-pilihan yang bebas untuk menentukan sikap hiduonya, termasuk dalam mendidik anak-anaknya. Berbeda dengan saudara tuanya, Djanan Thaib, yang lebih radikal, dan karena itu berada di bawah pengawasan PID (intelijen) Belanda, yang membuat dirinya diasingkan ke Timur Tengah (Arab Saudi) hingga akhir hayatnya, Saudagar Yahya bisa berdiri tegak di depan pejabat Belanda dan dihormati pula oleh masyarakat di kampungnya. Karena termasuk keluarga berada, ia dan saudaranya sempat naik haji dan memperdalam ilmu agama di Al Azhar – Mesir di awal abad ke-20. Meskipun tak sempat tamat karena suatu alasan tertentu Saudagar Yahya memilih kembali ke kampung halaman, sedangkan kakaknya menetap di sana, dan memiliki hubungan dekat dengan Syeikh Ahmad Khatib, tokoh Minangkabau yang menjadi imam di Masjid Haram, Mekkah. Salah seorang kemenakannya kemudian menyusul ke kota suci umat Islam itu. Belakangan diketahui pernah diangkat sebagai pejabat tinggi Pemerintah Arab Saudi dan membangun rumah tangga dengan perempuan Arab setempat seperti halnya dengan Djanan Thaib.
Syamsidar Yahya walaupun hanya mendapat cerita itu dari ayahnya sangat merasa bangga dengan semangat perjuangan Sjeikh itu. Dan semangat ini sedikit banyak ikut menjalar ke sanubarinya. Kebanggaan terhadap sanak keluarganya yang berkiprah di rantau itu juga dapat dijumpai pada beberapa dunsanaknya (saudara, keluarga) yang lain. Dua orang di antaranya ialah Ibnoe Djalil dan Djamil Mantari Alam (Inyiak Jami’). Keduanya adalah datuk Syamsidar Yahya atau paman ibunya (anak laki-laki dari saudara perempuan neneknya). Yang pertama guru mengaji di Pattani – Thailand Selatan dan juga beristri dengan perempuan setempat. Sedangkan yang kedua menetap di Malaysia dan setelah sekian puluh tahun di sana akhirnya kembali ke kampung halaman untuk melanjutkan kegiatan pergerakan keagamaannya di Ulakan – Pariaman. Sayangnya meninggal setelah dua bulan sejak kepulangannya itu. Beberapa dunsanak lainnya juga dikhabarkan pernah menjabat Gubernur di Sulawesi. Juga Letkol. Darwis As (anak saudara ibu), terakhir dinas di Jakarta, Syaf Yahya saudara tiri Syamsidar Yahya, murid kesayangan Tan Malaka, Emzita suami Yulidar Yahya adalah murid kesayangan Hamka, kemudian menjadi pejabat tinggi Deplu dan pernah menjabat Konsulat di sejumlah negara, terakhir bertugas di Colombo.
Kalau dilacak lebih jauh garis keturunan ke generasi di atasnya lagi, Syamsidar sekeluarga tentu memiliki alasan untuk bangga dengan keturunan keluarga mereka. Sebagaimana sudah disinggung di muka, bahwa suami buyutnya (Si Timbo Ameh) adalah Haji Makkah Datuk Rangkayo Maharajo juga keturunan datuk-datuk. Setelah sampai masanya gelar sako yang disandangnya itu kemudian diwariskan kepada kemenakannya, Luthan. Luthan kemudian diangkat sbagai Angku Lareh Sungai Pua, kemudian menjabat Demang IV Koto. Terakhir ia termasuk kandidat anggota Volksraad Pusat melalui pemilihan oleh anggota Minangkabau Raad (semacam Volksraad Daerah) di Padang. Kandidat lainnya yaitu Demang Yahya Dt. Kayo, Demang Darwis, Ir. S.M. Latif, dan Mr. Muhammad Yamin. Namun Demang Luthan yang meskipun secara ekonomi sangat kuat tapi kalah dalam pendidikan, akhirnya kalah juga dalam pemilihan.
Penerus sako Demang Luthan jatuh ke kemenakannya, yaitu Abdoel Moein. Dia lalu menyandang gelar adat yang sama, Datuk Rangkayo Maharajo. Abdoel Moein muda kemudian menikahi Syamsidar Yahya di Kampung Dalam – Batagak pada tahun 1933. Dengan demikian ikatan keluarga antara keduanya pun semakin sempurna lewat tali perkawinan. Sebagai cucu bagi Haji Makkah dan keponakan Demang Loetan, Abdoel Moein Dt. Rangkayo Maharadjo adalah keturunan arsistokrat lokal yang bekerja pada pemerintah Belanda, seperti halnya dengan ayah keluarga Syamsidar. Namun ketika zaman berubah, musim berganti Abdoel Moein, sebagaimana yang akan dibahas nanti, meniti karier yang sama. Tetapi bukan lagi dalam pemerintahan Belanda, melainkan di Republik Indonesia yang merdeka. Berpindah-pindah tugas dan jabatan dari satu tempat ke tempat lain hingga akhir hayatnya, ia adalah suami yang penuh pengertian dan tangggung jawab terhadap isteri dan keluarganya. Terakhir suaminya, Abdoel Moein menjabat sebagai Bupati Kampar di Pekanbaru dan di usia pensiunnya pindah ke Pekanbaru dan sang isteri tetap aktif sebagai aktivis perempuan berkecimpung dalam dakwah dan pendidikan Islam di kota itu. ***
Catatan Akhir
- Lihat misalnya M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Terjemahan (Jakarta: Serambi, 2005), hal. 315.
- Alwir Darwis dkk, Geografi Budaya Daerah Sumatera Barat (Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1976/1977).
- Tentang “Gempa Padang Panjang” diceritakan oleh H. Wiemar Angku Bandaro, “Rumah Gadang Rumah Bertuah,” Jakarta, 2001 (Memoar, tidak diterbitkan).
- Tentang “Gempa Padang Panjang” diceritakan oleh H. Wiemar Angku Bandaro, “Rumah Gadang Rumah Bertuah,” Jakarta, 2001 (Memoar, tidak diterbitkan).
- Lebih misalnya uraian Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jild I: Tanah di Bawah Angin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992). Juga ulasan tentang “Akibat Pertemuan Lempeng Burma dan Hindia”, AFP/Litbang Media Indonesia, Media Indonesia (Kamis, 30 Desember 2004). hal. 3.
- Pernyataan Ade Edwar. Ketua Komisariat Daerah Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumbar. Penanganan Bencana Belum Optimal” dalam Harian Padang Ekspres (Minggu, 18 Maret 2007).
- Ibid.
- Dikutip dari Chrsitine Dobbin, Islamic Revivalism in A Changing Peasant Economy. Central Sumatra, 1784-1847 (London and Malmo: Curzon Press, 1983), hal 7.
- Maksudnya penghulu asal/asli yang datang pertama kali ke tempat itu. Gelar penghulu andiko umumnya dipakai oleh orang Luhak Agam. Cirinya yaitu gelar penghulu suku andiko yang asli memakai nama tunggal dan tidak ada tambahan di belakangnya untuk membedakannya dengan gelar penghulu yang datang kemudian sebagai belahan dari suku asli. Jadi penghulu suku belahan memakai gelar warisan ganda dengan ditambah kata sifat yang lazim dipakai sehari-hari. Misalanya Datuk Bandaro Nan Putiah dst. Mengenai penggunaan gelar ini selengkapnya lihat A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau (Jakarta: Grafiti Pers, 1984), hal. (1984), hal. 134.
- Gelar penghormatan untuk seorang penghulu suku yang dituakan di antara para penghulu di nagari dan sekaligus pucuk adat nagari. Saudara Datuk Bandaro, mamak-mamak Syamsidar, antara lain ialah Palimo Badarah Poetih, Oebah (perempuan satu-satunya), Palimo Bandaro, dan Pioeh.
- Ranji (Tambo) Keturunan Datoek Bandaro, Datoek Djomogo, dan Datoek Misaboemi, versi salinan (Jakarta: ….1985). Versi asli ranji atau tambo keluarga ini bertuliskan Arab-Melayu, kini masih tersimpan di rumah keluarga itu, meski angka tahunnya tak terbaca lagi. Menurut catatan ranji keluarga ini hingga sekarang (2007/2008) terhitung sudah empat belas generasi sejak kaum itu menetap di Batagak.
- Dobbin (1983), hal. 117ff.
- Suku yang berkembang merata di seluruh Minangkabau adalah Guci, Bodi, Caniago, Jambak, Koto, Melayu, Piliang, dan Tanjung. Wawancara dengan Darlis Yahya di Batagak, 21 Juni 2007. Lihat juga A.A. Navis (1984:123).
- Pemekaran suku di Minangkabau umumnya terjadi akibat pertambahan penduduk, karena alasan pindah dan “malakok” ke penghulu lain di pemukiman baru, atau sebaliknya karena kehadiran pendatang baru (kemenakan di bawah lutuik). Boleh jadi faktor konflik juga bisa menjadi penyebab pecahnya suku hingga memisahkan diri.. Wawancara dengan Darlis Yahya dan M. Mualin (Batagak, 21 Juni 2007).
- Sumber lisan menyebutkan bahwa semua keturunan Masak, salah seorang generasi keenam, bersuku Guci dan mereka yang sekaum itu berada di bawah naungan datuk asli, yaitu Datuk Bandaro. Wawancara dengan M. Mualin (Batagak, 21 Juni 2007).
- Perkiraan itu masih berdasarkan pada perkiraan hitung-hitungan sederhana antara generasi dan tahunnya. Wawancara dengan M. Mualin dan Darlis Yahya (Batagak, 21 Juni 2007).
- Ibid.
- Ibid.
- Wawancara dengan Darlis Yahya dan M. Mualin (Batagak, 21 Juni 2007). Lihat juga Navi (1984), hal. 134.
- Wiemar Angku Bandaro, “Rumah Gadang Rumah Bertuah”, ibid.
- Wawancara dengan Darlis (Batagak, 22 Juni 2007). Peristiwa tragis itu sempat diabadikan oleh salah seorang seniman dalam bait-bait lagu Minang.
- Wiemar Angku Bandaro, “Rumah Gadang Rumah Bertuah”, Manuskrip (Jakarta, 2001), hal. 6.
- Sebutan “Etek” itu biasanya hanya lazim diberikan kepada orang dewasa atau yang dituakan, khusunya kepada saudara perempuan ibu yang lebih muda. Di sejumlah daerah Minangkabau sebutan itu adakalanya dipakai untuk menggantikan gelar “bundo kanduang” bagi seorang perempuan yang bijak dan berjiwa pemimpin.
- Wawancara dengan Darlis Yahya dan M. Mualin (Batagak, 21 Juni 2007).
- Yang lainnya ialah majalah “Pilihan Timoer”, “Oesaha Pemoeda” dan, “Merdeka” ,,Seroean Azhar" pertama kali terbit pada bulan Oktober 1926 bertepatan dengan Rabi'oe'l Akhir 1344. Selanjutnya lihat Tengku Jafisham, Kitab Studenten Indonesia di Mesir (Medan; Pustaka Asmara, tanpa tahun). [diperkirakan tahun 1938].
- J.S. Furnival, Netherlands India: A Study of Plural Economy (Cambridge: The Cambridge University Prees, 1967), hal. 446-69.
- Ibid.
- Marah Sutan menempuh pendidikannya hanya sampai kelas 5 sekolah rakyat, tetapi dalam pandangan Hatta, ‘minatnya sangat besar untuk memajukan pendidikan generasi muda, dan meyakini bahwa hanya ilmu pengetahuan yang ilmiah dan rasional yang akan dapat menciptakan warga negara yang bertanggung jawab’. Ibid. Lihat juga Mardanas Safwan, ‘Taher Marah Sutan: Tokoh yang Dilupakan’, Majalah Bulanan Kebudayaan Minangkabau (Jakarta), 1, 1 (Januari 1974), hlm. 52-55. Taher Marah Sutan memimpin organisasi ini sampai 1940.
- Hatta melukiskannya sebagai seorang ‘guru yang lemah lembut’. Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta: Tintamas, 1979), hlm. 36; sumber lain melukiskan sebagai ‘orang yang dulunya tenang, tetapi setelah pensiun dari jabatan Sekretaris Sarikat Usaha berubah menjadi komunis yang radikal. Lihat juga Audrey Kahin (2005), hal. 42-43, catatan kaki, no. 79-80.
- Audrey Kahin (2005), hal. 42-43.
- Taufik Abdullah, Schools and Politics, hlm. 25.
- Hatta, Memoir, hlm. 41-42.
- Berbeda dengan pesaingnya, Mr. Muhammad Yamin, yang berhasil memenangkan 27 suara dari 50 suara berkat dukungan aktivis bawah tanah “Gerakan Ingin Merdeka” (GIM), seperti Sariamin dan Abdul Latief. Marleily Asmuni, H. Sariamain Ismail (Selasih/Selaguri), Hasil Karya dan Pengabdiannya (Tanpa kota terbit: Departemen Pendidikan dan Kebudataan, 1983/1984), hal., 77. Lihat juga Hamka, Islam dan Adat
- Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar