Penggunaan Blog

Senin, 14 Februari 2011

Genealogi Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia : Kecenderungan Bertahannya Gejala Parokialitas Antardisiplin (II)

Bagian Kedua
Oleh: Mestika Zed.

Ilmu Sosial untuk Apa?

Mengapa pertanyaan ini perlu diajukan? Adakah yang salah dengan ilmu sosial di Indonesia dewasa ini? Tentu tak ada asap kalau tak ada apinya. Asap hanyalah akibat, efek dari sebab. Mirip dengan isu “asap nasional” yang melanda negeri ini sejak beberapa tahun terakhir, keadaan ilmu sosial di Indonesia juga terjebak pada kegelisahan terhadap dampak.


Barangkali karena kepulan asap langsung mengenai orang banyak, merabunkan pemandangan dan membuat mata perih, maka yang lebih mengemuka ialah akibat daripada sebab. Mungkin juga karena upaya pencarian sebab musababnya jauh lebih sulit dan rumit daripada akibat. Terlebih lagi jika berkenaan dengan fenomena manusia dan bukan pisiknya. Sebab seringkali lebih rumit, berbelit-belit, melingkar-lingkar, kait mengait dengan banyak hal, multikausal. Apalagi kalau ia berkaitan dengan orang atau kelompok tertentu.  Untuk itu orang biasanya lebih suka menyederhanakannya dengan istilah “oknum”; entah itu yang namanya “peladang berpindah-pindah”, atau “pengusaha HPH yang nakal”. Maka seringkali sebab-sebab bergeser menjadi dalih, yang tidak lain dari alat pengingkar (refutation) yang lahir bukan dari proses kejadian yang sebenarnya, melainkan dari alasan-alasan yang dibuat-buat, tetapi dikonstruksikan benar adanya. Dalih pada dasarnya adalah alat pembenaran manipulatif terhadap kebenaran dan ini sudah lumrah, sehingga tak heran kalau Indonesia suatu saat pernah dijuliki sebagai “negeri kambing hitam”, di mana banyak orang pandai berdalih. Setiap kali muncul asap, para pakar sibuk mendiskusikan sebab-musababnya dan pejabat pun berjanji mencarikan pemecahannya. Namun keadaan seperti itu terjadi berulang kali setiap tahun tanpa ada jawaban dan penanganan yang jelas dan bersungguh-sungguh.

Seperti halnya dengan kasus asap, ilmu sosial di Indonesia dewasa ini sering dipersoalkan karena seribu satu persoalan seakan-akan “mengambang” menemukan jalan buntu tanpa ada pemecahan yang tuntas. Terlebih lagi di tengah-tengah krisis multidimensi yang melanda bangsa kita hari ini, maka dari hari ke hari dalam media massa kita  menemukan keluhan serba “sulit”. Baru-baru ini, misalnya, Panglima TNI mengeluarkan pernyataan “sulit” memberantas perdagangan senjata! Pernyataan serupa juga pernah keluar dari pejabat berwewenang  tentang betapa sulitnya menengarai penyelundupan gula dan beras.  Masih belum lama berselang juga keluar pernyataan “korupsi sulit diberantas”; “sulit menembus sistem hukum (ekstradiksi) Singapura guna memburu koruptor yang membawa lari uang ke negeri jiran itu”; masalah calo atau TKI baru akan dicarikan penyelesaiannya, meskipun kejadian ironi dan nestapa yang menimpa tenaga kerja Indonesia di luar negeri itu sudah merupakan cerita lama.

Sekarang otonomi daerah yang sudah lama ditagih ternyata hasilnya tidak seperti yang dibayangkan; Pilkada kini menimbulkan kerisauan baru karena menyuburkan politik uang; masalah pendidikan kita ibarat menyelasaikan “benang kusut”, ketika isu BBM akan naik, sembako pun telah lebih dulan naik dan begitulah seterusnya.  Tentu amat banyak sekali persoalan sosial ekonomi dan politik yang berulang kali terjadi, dan upaya untuk mencari penyebabnya telah pula dikemukakan, tetapi tampak tidak ada tanda-tanda penyembuhan. Pertanyaannya ialah, di manakah tempat ilmu sosial dalam perkisaran sejarah bangsa yang penuh keluh kesah ini? Apakah ilmu sosial hanya membatasi dirinya sebagai disiplin akademik yang menyibukkan dirinya sekedar untuk memahami dan menjelaskan struktur dan dinamika masyarakat an sich, ataukah juga ikut bertanggung jawab dalam memecahkan persoalan demi perbaikan masyarakat? Agaknya dalam hubungan inilah mengapa pertanyaan “social sciences for what” mencuat ke permukaan. Pertanyaan ini –- yang menjadi tema pokok dalam workshop LIPI dalam suatu workshop –- jelas merupakan topik yang besar dan berat, tetapi juga amat mendasar. Mendasar karena seperti dikemukakan pada awal bagian ini, mungkin ada sesuatu yang salah dalam tubuh ilmu sosial Indonesia, baik teoritis maupun metodologis.

Beberapa dekade yang lalu di awal 1970-an, Harsja Bachtiar pernah melontarkan keluhan tentang apa yang disebutnya “somewhat anarchical” dalam konteks pendidikan ilmu sosial di Indonesa (Bachtiar (1974: 16). Kerisauan terhadap rendahnya mutu ilmu sosial di negeri ini membuat masyarakat sering memandang rendah kedudukan ilmu sosial. Di bangku pendidikan mulai dari sekolah menengah sampai ke perguruan tinggi ilmu sosial dianggap sebagai  “ilmu kelas dua.” Keluhan tentang “krisis berkepanjangan” dalam tubuh ilmu sosial Indonesia rupanya masih terus bergema sampai akhir-akhir ini, tetapi tak pernah menemukan jalan keluarnya (Heryanto Kompas, 18/11/1999). Baru-baru ini terdapat kerisauan terhadap ilmu sosial yang dikembangkan di Indonesia karena yang ditemukan di perguruan tinggi hanyalah ilmu sosial “impor” dalam bentuk “build-in”. “Kita tidak dapat berharap banyak pada kaum intelektual untuk melahirkan teori-teori alternatif guna menandingi teori dominan” (Kompas, 27/4/2002). Menurut pandangan ini, para ilmuwan sosial Indonesia lebih suka menjadi penjahit teori-teori neo-liberal, juru bicara teori-teori Barat, “agen kapitalisme”, sehingga sangat berjarak dengan realitas masyarakat. Boleh jadi pernyataan ini hanyalah gambaran kekecewaan dari mereka yang peduli dan sebetulnya juga bukanlah hal yang baru sama sekali karena  kerisauan serupa juga sudah muncul sejak awal 1970-an, seperti yang tampak dari munculnya wacana “indigenisasi” (pempribumian) ilmu-ilmu sosial Indonesia.

Ignas Kleden dalam salah satu eseinya (1978: 3-23) telah memberi penjelasan menarik tentang perkara ini. Menurutnya diskusi tentang indigenisasi ilmu sosial di Indonesia setidaknya melibatkan tiga dimensi –- ideologi ilmu sosial, teori ilmu sosial dan metodologi ilmu sosial –- yang secara analitik berbeda, seraya mengusulkan bahwa hanya dua dimensi saja (ideologi dan teori) yang bisa dipribumisasikan, sedang dalam lapangan metodologi tidak mungkin. Salah satu alasannya ialah karena hanya metodologi satu-satunya kriterium yang dapat menjamin validitas pengetahuan kita.
 
Meskipun demikian, sejumlah ahli justru mengeritik metodologi penelitian yang banyak dilakukan selama Orde Baru. Baiklah kita membatasi diri pada dua kasus berikut ini. Pertama, kebanyakan penelitian sosial yang dilakukan dalam rangka proses pembangunan di Indonesia bersifat logis-deduktif dengan menggunakan daftar angket yang kemudian diolah menurut rumus-rumus statistik tertentu. Artinya berdasarkan model-model yang telah ada, yang sudah sangat lazim dalam riset kuantitatif, maka berdasarkan teori-teori tertentu ditarik sejumlah hipotesis untuk kemudian menyusun suatu perencanaan penelitian (proposal) yang harus menghasilkan jawaban-jawaban yang lebih meyakinkan atas persoalan yang terkait dalam hipotesis tersebut. Oleh karena research proposal dibiayai oleh instansi tertentu dan karena setiap tahap penelitian harus mencantumkan biaya yang diperlukan, maka penyusunan perencanaan penelitian dalam prakteknya telah ditetapkan dan diselesaikan sebelum penelitian lapangan dimulai.

Bahaya yang sering muncul dalam rancangan penelitian semacam itu ialah bahwa baik pertanyaan penelitian, maupun jumlah dan siapa responden ditentukan oleh sponsor dan sebaliknya peneliti tidak memperoleh keleluasaan untuk mengembangkan instrumen risetnya dengan cara lain. Akibatnya adalah bahwa suatu perencanaan penelitian yang bersifat top-down di mana pihak peneliti harus melaksanakan “hukum besi” metodologi. Di situ data yang diperlukan dari responden hanya sejauh hal itu ditentukan lebih dulu dalam pertanyaan/ angket. Lebih celaka lagi, para responden biasanya diurut menurut posisi top-down dan mereka hampir tidak diberi kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya dan pengharapannya tentang apa yang sebetulnya juga terkait erat dengan pertanyaan penelitian (Poerbo & Nodholt, 1983). 

Jika demikian halnya, maka sebetulnya masih tetap terbuka upaya untuk mengubah metodologi karena “science goes with the method, not with the subject matter.” Dalam metodologi terdapat sejumlah metode-metode dan teknik-tenik yang senantiasa dapat diperbaharui dan disesuaikan dengan masalah yang dianggap relevan dan tidak relevan di satu pihak dan tujuan penelitian di lain pihak. Ketidaksesuain antara asumsi (hipotesis) dengan kenyataan tidak hanya berakibat salah secara faktual, akan tetapi pada gilirannya juga pada ketidaktepatan dalam penerapan konsep, yang dengan sendirinya mengandung “kekusutan yang mengelirukan” (obfuscating convolutions), meminjam istilah Alatas (2003:8). Bagaimanapun, yang terakhir ini juga terkait dengan paradigma metodologi yang digunakan. Bukankah dewasa ini paradigma dominan (mainstream) dalam penelitian sosial di Indonesia yang menganut model logis-deduktif (kuantitif) mulai dipertanyakan, sehingga munculnya alternatif baru, antara lain penelitian kualitatif dengan pelbagai variannya, antara lain apa yang kini lazim disebut riset aksi partisipatoris (participatory action research, PAR) sebagai tandingan terhadap model riset kuantitatif-positivistik sebagai diskursus dominan selama Orde Baru.

Kasus kedua berkenaan dengan munculnya wacana methodological pluralism yang menyanggah diktum methodological exclusivism dari ilmu-imu positif yang menggunakan model hypothetico-deductive (Roth, 1989: 5ff). Salah seorang di antara juru bicaranya ialah Paul Feyerabend yang percaya bahwa apapun lapangan penyelidikannya, “pengetahuan ilmiah diperoleh dari proliferasi pandangan-pandangan ketimbang aplikasi yang ditentukan oleh ‘ideologi’ dominan” dari aturan-aturan rasional positivist. Dalam kata-katanya sendiri, “we need a dream-world in order to discover the features of the real world we think we inhibit and which may actualy be just another dream-world” (Feyerabend, 1972:31-2). Pada halaman lain ia mengunci dengan kata-kata berikut: “It is possible to retain what one might call the freedom of artistic creation and to use it to the full, not just as a road of escape but as necessary means for discovering and perhaps even changing the features of the world we live in” ((ibid. p. 52).

Jika demikian halnya, maka kita mungkin dapat dengan berhati-hati menyimpukan bahwa metodologi dalam pandangan Feyerabend bukanlah melulu aturan-aturan rasional model positivisme, melainkan suatu “seni”. Selaku demikian, ia merupakan craft yang terbuka dikembangkan tak hanya oleh masing-masing disiplin yang berbeda, tetapi juga individu ilmuwan itu sendiri.

Erat kaitannya dengan butir di atas, tetapi dari sudut pandangan yang berbeda kita barangkali bisa menambahkan satu lagi dengan apa yang disebut wacana “dekolonialisasi metodologi,” seperti yang dilansir Wacana, sebuah jurnal terkemuka untuk ilmu sosia transformatif baru-baru ini (Edisi 15/ Th IV, 2003). Kolonialisasi metodologi, menurut pandangan ini, terjadi terutama lewat proses pendidikan di mana para pelajar atau mahasiswa harus menelan informasi ilmu pengetahuan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan, minimal dalam batas yang wajib diingat dan dihapalkan. Di situ berlaku semacam sistem bank atau apa yang oleh Paulo Freire disebut banking concept of education (ibid.). Dalam hal ini guru sebagai representasi investor mengajarkan ilmu pengetahuan (deposit) lewat lembaga-lembaga pendidikan yang sudah mapan dan berkuasa kepada para pelajar atau mahasiswa sebagai kreditor. Ilmu pengetahuan yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan –- dan konsep pendidikan itu sendiri –- sudah sangat Barat sentrisme dan lembaga pendidikan tak lebih sebagai sarana reproduksi pengetahuan, sistem dan struktur sosial setempat. Pendidikan seharusnya bukan sekedar “alih ilmu pengetahuan”, melainkan menciptakan kemungkinan untuk memproduksi atau kontruksi pengetahuan. Upaya dekolonialisasi metodologi tidak mesti berarti indigenisasi, tetapi sebuah paradigma baru dalam teori-teori paska kolonial (post-colinial studies) untuk membebaskan cara berfikir dan berkerja ilmu pengetahuan dari mainstream  yang dominan selama ini, baik pada tataran lembaga pendidikan maupun dalam masyarakat luas.

Akan tetapi kekecewaan dan harapan terhadap keadaan ilmu sosial Indonesia hanya sebagian saja untuk menjelaskan tentang persoalan yang diderita ilmu sosial di Indonesia dewasa ini. Jawaban atas pertanyaan tentang “social science for what” dan isu-isu sentral yang mencuat di balik pertanyaan itu seperti yang kemukakan di atas, barangkali dapat dibantu dengan mempelajari kontruksi historis ilmu sosial di negeri asalnya, lalu mengaitkannya dengan perkembangan di Indonesia, sebagaimana yang telah dibahas dalam uraian-uraian di muka. Dengan begitu kita mungkin dapat melihat lebih dekat kecenderungan-kecenderungan yang berlaku, suatu rangkaian kesatuan continuum pengetahuan ilmu sosial Indonesia yang saling terkait dengan sejarahnya sendiri; sebaliknya berupaya menemukan sesuatu yang hilang atau terputus dalam mata rantai sejarah ilmu sosial di Indonesia hari ini.

Methodenstreit : Pengalaman Barat


Menurut Popper (1985: 1) perkembangan ilmu sosial modern di negeri asalnya di Eropa, khususnya di Jerman dan Perancis sebetulnya tidak jauh lebih muda jika dibandingkan ilmu eksakta atau ilmu alam. Pada masa tertentu sebelum abad ke-18, ilmu sosial bahkan jauh lebih maju dibandingkan dengan ilmu alam. Namun berkat pencapaian teori dan metodologinya, setidaknya sejak abad ke-18, ilmu alam mengalami keberhasilan yang tak tertandingi dan bahkan makin mengalahkan ilmu-ilmu lain, termasuk ilmu sosial. Perkembangan itu tampaknya tetap berlangsung sampai hari ini.  Salah satu faktor pemicu dari perkembangan ini berasal dari perdebatan-perdebatan teoretis-metodologis yang konstan di kalangan ilmuwan tentang sifat dan kedudukan ilmu pengetahuan.

Setting historis yang melatar belakangi perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia bukan atas debat-debat methodenstreit atau filsafat ilmu-ilmu sosial itu sendiri, melainkan sebuah pewarisan genealogis tanpa reserve. Keunggulan teori dan metodologi ilmu positivist di Barat juga diambil-alih sedemikian rupa, sehingga selama puluhan tahun ilmuwan sosial kita sangat terlatih dengan metode kuantitatif, sementara metode kualitatif yang mestinya lebih cocok untuk studi tentang dunia kehidupan (lebenwelt) manusia menjadi asing karena relatif baru di tengah-tengah masyarakat peneliti kita. Pada gilirannya banyak kelompok disiplin ilmu sosial (ekonomi, sosiologi, politik, psikologi, sejarah, antropologi, geografi –– untuk menyebut beberapa di antaranya) bergabung mengikut model ilmu alam, sejak Comte mendeklarasikan sosiologi sebagai ilmu positif; Wilhelm Hundt mempergunakan metode eksperimen ilmu fisika di dalam psikologi; Stuart Mill memperkenalkan ilmu ekonomi yang semula termasuk “ilmu moral” dengan rumus-rumus matematik atau ekonometrik; “dunia sosial” (social realm), kata Emile Durkheim “adalah dunia alam benda (natural realm) juga; keduanya hanya dibedakan oleh tingkat kompleksitasnya; diktum Ranke, “Bapak ilmu sejarah modern” yang terkenal: wie es eigentlich gewesen ist (“apa yang sesungguhnya terjadi”), mengadopsi konsep obyektivitas ilmu alam untuk studi sejarah dan seterusnya.

Apa yang disebut pandangan klasik mengenai ilmu (science) yang dominan dalam dua abad belakangan berasal dari tradisi positivisme abad ke-19 itu. Kalau disederhanakan, gagasan metodologisnya mencakup lima ciri berikut: sederhana, obyektif/bebas nilai, presisi (akurat), prediksi, dan universal. Kelima ciri ini dengan beberapa variasinya senantiasa menjadi sumber perdebatan, methodenstreit sampai hari ini. Melalui rangkaian perdebatan yang konstan, setidaknya, sejak ke-19 sampai abad ke-20, methodenstreit tidak hanya berlangsung di antara dua poros: antara pembela epistemologi positivisme (ilmu alam) di satu pihak dan pembela epistemologi idealis atau humanis (ilmu kemanusiaan, termasuk ilmu sosial humanis) di lain pihak, tetapi selain itu juga terjadi di kalangan positivist sendiri lewat wacana positivismusstreit, dan belakangan juga di kalangan ilmuwan sosial dalam wacana rationalitätstreit.

Di Barat, kita tahu, bahwa penentang utama positivisme abad ke-19 adalah kelompok filosof idealis dari pengikut Neo Kantian seperti Dilthey, Windelband, Rikckert, Geog Simmel, Max Weber dan pengikut mereka di abad ke-20. Jika pemikir idealis waktu itu hanyalah merupakan padang rumput di antara hutan belantara positivisme, juru bicara yang paling sistematik dari padang rumput itu adalah Wilhem Dilthey (1833-1911). Sebagai wakil terkemuka dari kelompok idealis, Dilthey tidak hanya menyerang asumsi-asumsi dasar dari poisitivisme, tetapi juga menawarkan formulasi tandingan terhadap metodologi. Pertama, Dilthey menafikan pendirian paradigma positivisme yang mengatakan dunia tercipta di luar subjek (ilmuwan), yaitu pada fakta-fakta yang dapat dikenali secara obyektif.  Baginya subject mater ilmu-ilmu manusia tidak hanya urusan fakta-fakta bendawi, tetapi lebih berpusat pada eskperesi fikiran dan tindakan manusia yang diobjektifikasikan. Kedua, Dilthey juga mengganyang pendirian metodologis positivisme yang mengatakan bahwa fakta-fakta sosial dapat diterangkan dengan hukum-hukum umum (universal) dengan logika hukum kausal ilmu alam. Ia sebaliknya berpandangan, bahwa positivist dapat menjelaskan alam pisik secara kausal, tetapi tindakan manusia harus dimengerti (to be undertood, verstehen) dan bukannya dinalar (erklaren) dengan menggunakan penjelasan kausal lewat logika nomotetis. Ketiga, keyakinan positivisme yang memuja gagasan ‘kemajuan’ sebagai jalan untuk memperbaik kondisi hidup manusia tidak hanya bertentangan dengan keyakinannya yang lain, yakni kebebasan, melainkan merupakan kemunduran karena selain hanya mengakui kehebatan displin ilmu mereka, pada saat yang sama mereka menolak atau merendahkan ilmu non-positivisme.

Untuk mendemonstrasikan dasar metodologisnya, Dilthey selanjutnya menjelaskan dua bidang ilmu yang satu sama lain harus dibedakan dasar ontologisnya dan dengan demikian juga epistemologi dan metodologinya. Meminjam konsep Stuart Mill (dalam bukunya System of Logic, 1848) tentang  les sciences morales (ilmu-ilmu etika, suatu istilah dari abad ke-18 untuk megacu kepada  apa yang kini disebut ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi dan sejarah, Dilthey membuat perbedaan pokok antara rumpun dispilin Geisteswissenschaften (the Science of Mind – Ilmu Manusia) di satu pihak dan Natuurwissenschaften (ilmu-ilmu alam) di lain pihak. Kelompok pertama berkenaan manusia sebagai subyek (bukan obyek) mestilah bersifat unik, individual (ideografis) yang hanya mungkin ditangkap dengan metode verstehen (pengertian) karena di samping memiliki dimensi pisik (outer reality) juga terdapat  dimensi moral, “inner reality”. Artinya, “peristiwa dalam dunia kehidupan manusia”, demikian Dilthey, “adalah hasil kemauan, maksud-maksud, kehendak individu-individu atau kumpulan orang-orang yang tidak mungkin dibuat hukum-hukumnya menurut model ilmu pisik. Yang kedua, ilmu alam, berkenaan dengan persitiwa alam yang semata-mata bersifat bendawi, dan tak memiliki kesadaran, dan cirinya yang tetap bisa dideterminasikan dengan hukum-hukum universal (Brown, 1989: 17).

Dilthey dan juga penerusnya seperti Rickert tidak sepenuhnya menolak mentah-mentah gagasan postivisme. Seperti halnya dengan kelompok positivisme, mereka tidak menghargai semua interpretasi spekulatif-metafisis tentang realitas sosial, dan sebaliknya menerima pandangan bahwa ilmu sosial adalah disiplin yang empirik. Namun ‘pemberontakan’ mereka terhadap kecongkakan pengikut positivisme, membuat polarisasi yang semakin tajam antara dua kubu yang bertahan dengan pendirian epsitemologi dan metodologinya masing-masing. Pada ujung yang satu berdiri pengikut positivisme (Newtonian), di mana pada titik paling eksterimnya adalah matematika, suatu ilmu non-emperik yang lebih dekat dengan ilmu-ilmu alam eksperimental, yakni sejenis orde determinisme –- fisika, biologi, kimia dan mekanika dan ilmu-ilmu sosial positivistik: ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik.  Pada ujung yang lain berdiri pengikut idealis (Neo Kantian), di mana pada titik paling ekstrimnya adalah filsafat, seperti halnya matematika, disiplin non-emperik yang juga menganut orde deterministik –- yang tergabung ke dalam kelompok ilmu-ilmu kemanusiaan (kesusastraan, kesenian, musikologi dan agak ke tangah ilmu sejarah (Wallerstein 1997: 15).  Sepanjang abad ke-19, pembagian ilmu pengetahuan ke dalam pelbagai disiplin keilmuan terbentang dalam dua kubu epistemologis seperti itu: positivisme (nomotetis) dan idealisme (ideografis).

Dalam abad ke-20 wacana methodenstreit diramaikan oleh munculnya kelompok filosof dari Frankfurt School, kubu anti-positivismus yang mengembangkan suatu epistemologi ilmu sosial kritis beraliran neo-marxisme sejak awal 1920-an. Sebagai kelanjutan tradisi methodenstreit abad ke-19, mereka menyerang premis-premis ilmu positivisme yang sudah sangat dominan di universitas-universitas Eropa, khususnya klaim positivisme tentang sifat value-free dari cara bekerjanya ilmu. Tokoh paling terkemuka dari kelompok teoritisi kritis ini antara lain ialah, Max Horkheimer, Theodor W. Ardono, Herbert Marcus, dan yang lebih muda Jürgen Habermas (Fay, 1989). Meskipun masing-masing memiliki tekanan dan pandangan yang relatif berbeda-beda satu sama lain, di antara mereka terdapat kesamaan dalam beberapa hal, termasuk sejumlah ciri utamanya.  Salah satu ciri utama teori kritis ialah bahwa ilmu dibangun atas pengakuan eksplisit tentang asas manfaat ilmu dalam praktek sosial, sehingga apa yang diperlakukan sebagai “kebenaran’ mestinya lebih ditentukan oleh cara-cara khusus di mana teori ilmiah harus berkaitan dengan tindakan praktis. 

Ini tidak berarti bahwa mereka menjadi pendukung riset kebijakan, yang lebih berorientasi pada kepentingan negara, tetapi lebih pada riset advokasi publik dan emansipasi. Komponen lain yang cukup penting dalam teori kritis adalah ideologi, yaitu keyakinan dan sikap yang dimiliki oleh para pelaku (aktor atau agent). Dalam hal ini kritik terpenting dari ilmu sosial kritis terhadap ilmu sosial positivistik ialah wataknya ahistoris. Pandangan klasik Newtonian mengklaim bahwa ada garis simetris antara masa lalu dan masa depan; seperti Tuhan, kita pun dapat mencapai kepastian-kepastian dan oleh karena itu tidak perlu ada pemilihan antara masa lalu dan masa depan, karena pada dasarnya segala sesuatu hidup berdampingan dalam keabadian masa kini. Aliran Frankfurt sebaliknya menentang pandangan ini dengan argumen bahwa pemahaman tentang proses-proses dan tindakan manusia tidak mungkin dipaksakan menurut hukum-hukum universal model ilmu alam, karena fenomena sosial secara historis dikondisikan oleh pengalaman-pengalaman sezaman dan secara kultural ditentukan oleh nilai-nilai dominan yang dianut. Mereka juga menolak pemisahan antara individu dari masyarakat, penalaran dari emosi, fakta dari nilai-nilai, pengetahuan objektif dari opini subjektif sebagai bagian dari realitas. Konsepsi ini kemudian menjadi dasar dari ilmu sosial kritis yang menjadi tandingan terhadap ilmu sosial positivist. Tradisi filosofisnya berasal dari fenomenologi dengan sejumlah variasinya, mulai dari yang lebih moderat seperti Weber sampai ke yang paling radikal  (anti-positivist) seperti Peter Winch (Santos, 1992: 20).  Begitu juga,  gagasan-gagasan metodologisnya terbentang mulai dari yang mengandalkan metodologi hermeneutika (Gadamer) dan etnometodologi (Garfinkel) yang memberi tempat yang wajar terhadap keberadaan emosi dan imajinasi dalam penyelidikan mereka, seperti juga terhadap unsur-unsur humanistik yang lain, vitalitas, spontanitas, individualitas dan kebebasan.

Sebagian besar wacana metodenstreit dewasa ini dipicu oleh karya-karya seperti Thomas Kuhn dan Feyerabend dalam tahun-tahun 1960-an dan 70-an.  Karena Feyerabend sudah disinggung di depan dalam hubungannya dengan wacana metodologi lewat bukunya Against Methodologi (1978), di sini cukup dikatakan bahwa ia percaya, seperti juga diyakini Kleden (1987: 87) adanya unsur ideologi dalam setiap teori besar atau paradigma dasar dan yang menekankan “keterkaitan antara teori dan politik tidak bisa diabaikan” (Feyerabend, 1978: 109).

Karya Kuhn, The Structure Scientific Revolutions (1970 [1962]) berbicara tentang bagaimana ilmu bekerja dalam sebuah peradaban, yakni peradaban Barat yang unggul dengan paradigma ilmu positif (‘ilmu normal’). Meskipun memiliki kesamaan pandangan dengan Feyerabend dalam beberapa hal, ia membatasi analisisnya secara eksplisit pada sejarah ilmu pengetahuan. Artinya mengeksplorasi tema-tema besar tentang apa itu ilmu dan yang dikerjakan ilmuwan di dalam praktik nyata dalam revolusi-revolusi keilmuan dengan analisis dan contoh-contoh yang konkret dan empirik dari masa ke masa. Ternyata ilmuwan di mata Kuhn, bukanlah para penjelajah berwatak pemberani dalam menemukan kebenaran-kebenaran baru, melainkan lebih mirip pemecah teka-teki yang bekerja dalam pandangan dunia yang sudah mapan. Ia menggunakan istilah ‘paradigma’ untuk menggambarkan sistem keyakinan yang mendasari upaya mengutak-atik teka-teki ilmu. Di situ mencakup hukum, teori, aplikasi dan instrumentasi yang menyediakan model-model yang menjadi sumber tradisi riset ilmiah tertentu secara koheren dan yang diterima dalam suatu komunitas ilmuwan pendukungnya.

Pada gilirannya Kuhn melihat paradigma dianut mirip dogma, di mana ‘ilmu normal’ (istilah Kuhn untuk mengacu pada ilmu-ilmu positif yang unggul itu) dipelihara dan dipertahankan sedemikian rupa menurut pandangan dunia yang sudah mapan.  Stabilitas dogmatis ilmu normal adakalanya terganggu, tetapi seringkali menindas paradigma-paradigma baru di luar sistem keyakinan mereka karena dianggap bisa ‘subversief’, atau menggerogoti komitmen dasar yang sudah mereka sepakati sebelumnya. Namun ketika profesi tak bisa lagi mengelak dari anomali-anomali yang merongrong tradisi praktik ilmiah yang sudah mapan, maka dimulailah investigasi yang berada di luar kelaziman. Suatu titik balik hanya bisa tercapai ketika krisis bisa diatasi dengan revolusi di mana paradigma lama tak mungkin menutup jalan bagi perumusan paradigma baru. Dengan demikian ‘ilmu revolusioner’ yang lebih baru mengambl alih. Namun apa yang sebelumnya pernah revolusioner akan mapan dan menjadi ortodoksi baru: ilmu normal yang baru. Jadi menurut Kuhn secara historis ilmu berkembang melalui siklus-siklus berikut: ilmu normal diikuti oleh revolusi ilmu pengetahuan, kemudian menjadi ilmu normal dan kemudian diikuti lagi oleh revolusi. Setiap paradigma bisa menghasilkan karya khusus yang menentukan dan membentuk paradigma baru.

Pemikiran Kuhn secara implisit menyatakan bahwa peradaban-peradaban lain di luar peradaban Barat sebetulnya bisa menghasilkan praktik-praktik dan bahkan jenis-jenis ilmu yang berbeda-beda dengan paradigmanya masing-masing. Namun perdaban Barat yang konvensional dan hegemonik ini tidak mengakui adanya berbagai ilmu lain yang berasal dari peradaban dan budaya lain yang berbeda-beda. Watak Erocentrism dalam tafsir ilmu Barat modern (Wallerstein 1996; Lambropoulos, 1993), termasuk ilmu sosialnya, menampilkan citra bahwa ilmu Barat sebagai puncak ilmu dan mempertahankan monopolinya melalui lima cara berikut (Wallerstein 1996).  Pertama, lewat parokialitas universalisme definisi ilmu versi positivisme dan menolak mangakui berbagai definisi dan prestasi yang dicapai oleh berbagai peradaban dan budaya non-Barat sebagai ilmu yang sesungguhnya karena dianggap sebagai tahyul, mitos atau dongeng. Kedua, lewat historiografi ilmu, di mana sejarah ilmu non-Barat tidak dimasukkan ke dalam sejarah umum ilmu pengetahuan dunia. Ketiga, westernisasi peradaban duni dengan mempertahankan citra orisinil dan keunggulan peradaban Barat modern, antara lain dengan menulis ulang sejarah peradaban Barat yang berakar dari klasik Yunani Romawi untuk menunjukkan bahwa ia seakan-akan menciptakan sendiri ilmunya ketika penemuan-penemuan ilmu modern Barat dianggap sebagai warisan orisinil peradaban dunia “maju” yang harus diadopsi oleh dunia non-Barat. Keempat, melalui upaya membangun paradigma ilmu Orientalisme dan kelima melalui kolonialisme.

Bagaimanapun karya Kuhn telah memungkinkan berkembangnya kritik yang amat luas terhadap ilmu sejak pertangahan 1960-an dan dalam tiga puluh tahun terakhir kita telah menyaksikan munculnya kelompok pemikiran baru dan menyerang pembagian klasik tentang tiga kelompok disiplin ilmu (ilmu alam, ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan). Dalam lapangan ilmu alam kita mengenal apa yang disebut “complexity studies” yang mendekatkan hubungan ilmu alam dan ilmu sosial seperti terlihat dari karya-karya Ilya Prigogine, Haken dan Fritjiof Capra; dalam lapangan ilmu sosial muncul studi-studi paska-kolonial, (post-colonial studies), studi kultural (cultural studies) dengan pelbagai variannya. Akan tetapi menurut Wallerstein (1997) tak satupun di antara ramifikasi epistemologi baru itu datang dari dalam ilmu sosial sendiri, tetapi ini tidak berarti bahwa ilmu-ilmu sosial (dalam bentuk jamak) menjadi “stagnant” sama sekali karena pada saat terjadi semacam proliferasi spesialisasi internal yang semakin canggih.

Akhirnya cukup dikatakan di sini, bahwa dewasa ini wacana methodenstreit  dalam ilmu sosial bukan lagi tentang apa yang diperdebatkan oleh kaum realis (Newtonian, model deduktif-nomotetik) maupun idealis (Neo-Kantian, model induktif-ideografis, dengan pelbagai variasi istilah yang digunakan para ahli), melainkan terbentang pluralisme epistemologis dan metodologis yang beragam. Sebagian bertumpang tindih dan sebagian lain tersebar pada orbitnya sendiri dan adakalanya berkonvergensi. Watak ilmu, termasuk ilmu sosial, yang bermuatan ideologis dan nilai-nilai tak perlu dinafikan lagi. Namun masalahnya sekarang bukanlah sekedar masalah bahwa sebagian besar wacana ilmu sosial sudah sangat terlalu Eurosentrisme dan perlunya indigenisasi ilmu sosial. Juga bukan masalah bahwa komitmen-komitmen nilai yang direalisasikan dalam pilihan antara ilmu untuk ilmu dan ilmu untuk kebajikan mayarakat. Juga bukan pula hanya masalah-masalah seperti bagaimanakah realitas kekuasaan politik, sumber dana dan kelembagaan, prioritas dan pilihan masalah yang relevan dan tak relevan, atau prasangka sistem nilai, pengaruh atau bahkan klaim ilmu yang paling “murni” dan paling bergengsi sekalipun. Sesungguhnya kesemuanya menjadi bagian dari persoalan yang tengah dihadapi oleh sebagian besar ilmu sosial modern,  yang tak lagi merupakan ‘ilmu normal’ dalam pengertian Kuhnian. Masalah utamanya agaknya lebih berupa masalah bagaimana ilmu sosial sekarang dikaitkan dengan ketidakpastian pada dirinya dan dalam dunia realitas yang mengitarinya serta resiko-resikonya. Dalam kaitannya dengan ilmu sosial Indonesia, catatan penutup berikut ini barangkali masih ada gunanya, paling tidak untuk memberikan gambaran kasar tentang betapa rumitnya kondisi kelimuan dari ilmu sosial di Indonesia dewasa ini dan semuanya masih memerlukan pemikiran lebih lanjut dan bukannya sebagai kesimpulan akhir. 

Catatan Penutup


Basis teoretis ilmu modern, termasuk ilmu sosial, berasal dari pengandaian epistemologis dan dari metodologinya. Ilmu sosial modern di Indonesia khususnya, sebagaimana yang telah diuraikan secara garis besar di muka, berasal dari dua sumber utama, yang dalam satu dan lain hal memiliki kesamaan dalam sejumlah cirinya, di samping tentunya terdapat perbedaan-perbedaan. Pertama ilmu sosial warisan kolonial, yakni ilmu sosial jenis khusus –- atau lebih baik disebut proto-ilmu sosial –- yang bersumber dari indologie. Kedua bersumber pada tradisi akademik Barat, hasil wacana methodenstreit di Eropa abad ke-19, tetapi masuk ke Indonesia lewat jaringan-jaringan akademik dan politik Amerika Serikat setelah kemerdekaan, yang di sini secara arbitrer disebut ilmu sosial developmentalis.
 
Baik indologie (atau proto-ilmu sosial) maupun ilmu sosial developmentalis sejak semula mirip dengan apa yang disebut Kleden (1997) “ilmu milik negara” karena wataknya yang sudah sangat berifat negara-sentris, dalam arti bahwa negara [diasumsikan] jelas membentuk kerangka kerja yang dianggap jelas pada dirinya, yang dalam seluruh proses yang menjadi pusat perhatian dan dengan demikian analisis ilmu sosial tertuju untuk kepentingan negara.  Jika yang pertama ialah untuk kepentingan administrasi negara kolonial, yang kedua adalah negara merdeka yang sedang giat melaksanakan pembangunan. Watak negara yang menuntut kontribusi ilmu sosial pada dirinya tidak mengurangi fakta bahwa ilmu-ilmu modern, termasuk ilmu sosial, sejak awal kelahirannya di Eropa sana, secara sadar pernah mendefinisikan dirinya sebagai upaya pencarian kebenaran-kebenaran yang melampaui kearifan yang telah ada sebelumnya atau telah dideduksikan semacam itu.  Seperti halnya dengan ilmu-ilmu alam yang telah memberikan menusia jenis pengetahuan tertentu yang dapat mereka gunakan untuk mengendalikan [baca: menguasai] lingkungan alam mereka, demikian juga ilmu pengetahuan yang diperoleh dari ilmu sosial akan memungkinkan manusia mengendalikan lingkungan sosial mereka. Dengan begitu menjadikan lingkungan tersebut lebih harmonis dan lebih baik sesuai dengan kebutuhan dan keinginan anggota masyarakatnya. 

Namun watak ilmu sosial yang sudah sangat negara-sentris dan dominasi ilmu sosial developmentalis semacam itu semakin digugat sejak awal 1980-an karena sebagian besar sumber krisis berkepanjangan dalam tubuh ilmu sosial berasal dari konjungtur seperti itu. Di sini cukup disebutkan dua konsekuensi yang ditimbulkannya. Pertama, terjadinya perubahan yang semakin kompleks dan ketidakpastian dalam dunia nyata sebagai hasil pembangunan -- yang dalam semangat zaman kolonial disebut “pasifikasi” dan dalam semangat zaman positivisme abad ke-19 Eropa disebut “progress” dan “industrialisasi.” Negara dan rejim yang berkuasa tampak kehilangan janji-janji mereka sebagai agen modernisasi (baca: pembangunan) karena harmonisme dan cita-cita kesejahteraan yang dijunjung tinggi  masyarakat umum dan kaum akademisi tidak kunjung tiba atau nyaris selamanya hanya ada dalam lamunan angan-angan dan harapan. Kedua, adanya perubahan-perubahan dalam dunia ilmu pengetahuan modern itu sendiri, dalam hal ini khususnya ilmu sosial, sebagaimana yang telah digambarkan di depan, tetapi yang terjadi di Indonesia adalah perubahan-perubahan tanpa wacana methodenstreit seperti di negara asalnya karena ilmuwan Indonesia lebih merupakan user yang setia dalam mengambil-alih ilmu Barat ketimbang memproduksi atau mereproduksinya.

Masih lebih untung sejawat ilmuwan di belahan dunia lain seperti di Amerika Latin atau di India dan beberapa negeri dunia Islam di mana upaya-upaya untuk membangun basis epistemologi dan metodologi ilmu sosial baru tampak lebih dinamis. Ini tidak berarti bahwa setiap paradigma baru yang dilahirkan atas nama teori baru menjadi tandingan atas teori yang sudah mapan. Argumen yang ingin dikemukakan di sini ialah bahwa selama ilmuwan sosial kita hanya fasih melakukan ‘transfer ilmu pengetahuan’ tanpa memeriksa apriori tersembunyi dari asumsi-asumsi teoretis dari kelahiran sebuah teori dan penerapannya pada konteks realitas di negeri asal teori itu diciptakan, maka semakin terpasung perkembangannya dalam siklus yang sama. Di Indonesia, seperti dikatakan oleh Muijzenberg (dalam Nodholt dan Visser, 1997: 153) bahwa teori-teori modernisasi, paradigma Marxis dan feminis, teori gender dan banyak lagi lainnya secara lambat laun telah dianut dan dikritik oleh rekan-rekan Asia Tenggara. Namun diskusi kritis di bidang teori-metodologi “hampir tak pernah terjadi”. 

Kiranya sulit untuk membantah kritik ini. Namun ini tidak berarti bahwa suasana akademik di kalangan ilmuwan sosial Indonesia sepi sama sekali dari wacana methodenstreit seperti yang tampak dari forum-forum seminar, tulisan-tulisan media massa dan jurnal ilmiah seperti Wacana, sebuah jurnal ilmu sosial transformatif yang terbit di Yogyakarta belum lama ini, kendati belum ada buku-buku serius yang mengupas secara mendalam salah satu atau beberapa isu-isu teoretis-metodologis ilmu sosial Indonesia. Perdebatan-perdebatan dalam forum terbatas seperti itu barulah merupakan percikan embun yang terlalu kecil dan belum mampu menurunkan hujan untuk membasmi asap ilmu sosial yang sudah disinggung di muka dalam melukiskan keadaan ilmu sosial di Indonesia. Lagi pula, krisis ilmu sosial di Indonesia, yang mendorong timbulnya pertanyaan “social sciences for what”? sesungguhnya adalah bagian dari krisis kebudayaan Indonesia secara keseluruhan. Dengan tercarabutnya tradisi dan dikesampingkannya wahyu sebagai sumber epistemologis dan justifikasi politik, ilmu sosial modern di Indonesia yang diambil-alih dari peradaban Barat itu menjadi hampir satu-satunya sumber kebenaran sosial. Agaknya karena alasan ini jugalah yang menyebabkan pemikiran Kuntowijoyo tentang epistemologi “ilmu sosial profetik” diabaikannya tanpa mendapat tanggapan apa-apa dari kalangan ilmuwan Indonesia. Agaknya karena alasan ini pula yang menyebabkan ilmu sosial di Indonesia menjadi ahistoris seperti yang dikeluhkan sosiolog Arif Budiman beberapa tahun yang lalu (1983:74). Kritik ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kleden (1997) tentang pengabaian “kekhususan historis-kultural dan kawasan geografi” dalam menerapkan teori-teori dan metodologi Barat dalam kajian ilmu sosial di Indonesia.  Krisis ilmu sosial Indonesia jelas tidak dapat diserahkan pemecahannya melulu pada ilmuan sosial sendiri sampai krisis kebudayaan kita secara keseluruhan dapat disembuhkan. Namun ilmuwan sosial dalam hal ini sama sekali tidak bisa melepaskan tanggung jawab sosial dari disiplin akademiknya. Ilmu sosial harus berperan sebagai cermin dan sekaligus lampu; legitimasi dan kritik. Lebih dari itu, ia menerangkan realitas yang terjadi dalam masyarakat dan menawarkan alternatif pemecahan berdasarkan asumsi-asumsi keilmuannya sambil terus menerus memperbaharui dirinya sendiri hingga tetap menjadi ‘ilmu normal’ yang terpakai dalam pengertian Kuhnian. Agaknya inilah yang kurang diteruskan oleh ilmu sosial Indonesia selama ini. ***

KEPUSTAKAAN

  • Abdullah, Taufik. “National Integration and Social Sciences in Indonesia”, in Prisma, The Indonesian Quarterly, Vol. IV, no.1 (1975): 14-39.
  • ________ “Ilmu Sosial dan Peranannya di Indonesia”, Prisma No. 6 (1983), hal. 22-39.
  • ________ “Social Sciece in ndonesia: Performances and Perspectives”, dalam Taufik Abdullah and E.K.M. Masinambow (ed.). Trends and Persectives od the Social Sciences in Indonesia. Tokyo: Institute of Developing Economies, 1979.
  • Alatas, Syed Farid. “Pengkajian Ilmu-Ilmu Sosial: Menuju ke Pembentukan Konsep Tepat”, Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. XXXVII, No. 72 (Sept – Desember 2003), pp. 1-23.
  • Amir, Sulfikar. “Epistemologi Nasionalisme”, Kompas 3 November 2004.
  • Anderson, Bennedic R. O’G. dan Audrey Kahin (eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debat. Ithaca: Cornell Modern Indonesai Project, 1982.
  • Appleby, Joyse, Lynn Hunt & Margaret Jacob. Telling the Truth about History. New York, London: W.W. Norton & Company, 1994.
  • Arif Budiman, “Ilmu Sosial Indonesi ahistoris”, Prisma No. 6 (1983), pp. 74-90.
  • Bachtiar, Harsja, W. “The Social Science in Indonesia”, Prisma, The Indonesian Quarterly, Vol. II, No. 3 (April 1974), pp. 14-34.
  • Bahrin, Tunku Shamsul, Chudan Jeshurun and A. Terry Rambo (et.al., eds.), A Colloquium on Southeast Asian Studies. Proceeeding of An International Conference held at Kota Kinibalu, Sabah, 22-26 Novemver 1977. Singapore: Instituter of Southeast Asian Studies, 1981.
  • Basset, D.K. “Southeast Asian Studies in the United Kingdom”, in Bahrin, et.al., eds. (1981), pp. 58-72.
  • Benda, Hary, J. “Democracy in Indonesia”, dalam Anderson (1982), hal. 13-21.
  • Benny Subianto, “Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia: Mencari Pendekatan dari Masa ke Masa”, Prisma, no. 2 (1989), hal. 59-76.
  • Breuster, Jenifer and Anthony Reid, “A.W. Hamilton and the Origins of Indonesia Studies in Australia”. (copy, tt).
  • Brown, Richard, Social Science as Civic Discourse. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1989.
  • Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial. Terjemahan dan Pengantar oleh Mestika Zed. Jakarta: Yayasan Obor, 2001.
  • Callohoun, Craig. Critical Social Theory. Oxford, Combridge: Balckwell, 1995.
  • Dahm, Benhard, Die Sudostasewissenschaft in den USA, in Westeuropa und in der Bundesrepublik Deutchland. Gottingen: Vandenhoeck and Ruprecht, 1975.
  • ________ “Sudosteasienkunde in Passau” in Dietmar Rothermund (ed.), Periplus: Jaarbuch fur Ausseeropaische Geschichjte 1. Munster/ Hamburg: Litertur Verlag, 1991.
  • Fasseur, C. De Indologen: Ambtenaren voor de Oost 1825-1950. Amsterdam: Bert Bakker, 1993.
  • Fasya, Teuku Kemal. “’Cultural Studies’ dan Masa Depan Ilmu Humaniora Baru”,  Kompas 2 Agustus 2002.
  • Fay, Brian. Critical Social Science. Ithaca: Cornell University Press, 1989.
  • ________  Teori Sosial dan Praktek Politik. Terjemahan Budi Murdono, Jakarta: Grafiti, 1991.
  • Feyerabend, Paul. Against Method: Outline of An Anarchistic Theory of Knowledge. London: Verso, 1978.
  • Frederick, William H. “Indonesian Studies in the United Satates. An Overview of the Past Twenty Years”, Asian Studies Review, 14-1 (July 1990), pp. 100-5.
  • Hadiz, Verdi & Daniel Dhakidae (eds.). Social Science and Power in Indonesia. Sinagpore: Equinor & Institute of Southeast Asian Studies, 2004.
  • Heryanto, Ariel. “Ilmu Sosial Indonesia. Krisis Berkeanjangan”, Kompas 18 November 1999.
  • Higgins, Benjamin, “The Indonesian Project of the MIT – Center for International Studies”, Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vol. VIII, No. 3 (1955), pp.
  • King, Victor, T. “The Sociology of Southeast Asia: A Crtical Review of Some Concepts and Isues”, BKI, Deel 150, 1e (1994): hal. 171-206.
  • ________  (ed.), The Research on Southeast Asia in the United Kingdom. Hull: Univ. of Hull, Association of Southeast Asia, 1989.
  • Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES, 1987.
  • Koentjaraningrat (ed.) The Social Sciences in Indonesia. Jakarta: Indonesian Institute of Sciences-LIPI, 1979.
  • Kloos, Peter, “Penerapan Pengetahuan dan Pengetahuan tentang Penerapan”, dalam Philip Quarles van Ufford, Frans Husken dan Dirk Kruijt (eds.), Tendensi dan Tradisi dalam Sosiologi Pembangunan, Terjemahan R.G. Soekotjo (Jakarta: Gramedia, 1989).
  • Kuhn, Thomas. The Structure Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Prerss, 1970 [edisi I, 1962].
  • Kuitenbrouwer, Maarten, Tussen orientalisme en wetenschap; Het Koninklijk Instituut voor Taal-Land- en Volkenkunde in historisch verband, 1851-2001. Leiden: KITLV Uitgevereij, 2001.
  • Kuntowijoyo, “Menuju Ilmu Sosial Profetik”, Republika, 7 Agustus 1997. Juga diterbitkan dengan sedikit perubahan dalam Paradigma Islam. Interpretasi untuk Aksi, Mizan,1999.
  • Lambropoulos, Vassilis. The Rise of Eurosentrism. Anatomy of Interpretation. Princeton, New Jersey: Pricenton Univ. Press, 1993.
  • Leclerc, Jacques, “Indonesian Studies in France”, Asian Studies Review, No. 2 (1990), pp. 1176-21.
  • Lombard, Denys, “Southeas Asian Studies in France” in Bahrin, et.al., eds. (1981), pp. 50-7.
  • Long, Norman. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. Terjermahan. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
  • McCullagh, Behan C. The Logic of History. Putting Postmodernism in Perspective. London and New York: Roudledge, 2004.
  • Maier, H.J. en A. Teeuw (eds.), Honder Jaren Studie van Indonesie, 1850-1950. Levensbeschrijvingen van de Twaalf Nederlandsche Onderzoekers. Den Haag: B.V. Uitdrukkerij en Uitgeverij Smits, 1976.
  • Mestika Zed, Artikel “Pengantar” untuk buku Peter Burke, Teori Sosial dan Sejarah. Terejmahan..Jakarta: Yayasan Obor, 2002.
  • ________ “
  • Morfit, Michael, “Penelitian sebagai Proses Sosial”, Prisma, no. 6 (Juni 1983), pp. 64-73.
  • Nodholt, Nico Schulte & Leontine Visser (eds.), Ilmu Sosial Asia Tenggara. Dari Partikularisme ke Universsalisme. Jakarta: LP3ES, 1997.
  • Noer Fauzi, “Dekolnisasi Motodologi. Memerdekan Pendidikan”, dalam Wacana, IV, Edisi 15 (2003),  pp. 3-9.
  • Nugroho, Heru. “Perdebatan Metodologi Ilmu-Ilmu Sosial”, dalam bukunya Menumbuhkan Ide-Ide Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajatr, 2000.
  • Pelras, Christian, “Indonesian Studies in France: Restrospect, Situation and Prospect”, Archipel, 16 (1978), pp. 7-20.
  • Philpott, Simon. Rethinking Indonesia. Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. London: Maxmillan Press, 2000.
  • Piliang, Yasraf Amir, “Genealogi Politik Indonesia”, Kompas 20 Desember 2003.
  • Popper, Karl R. Gagalnya Historisisme. Terjemahan Nena Suprapto dan diperbaiki oleh Ignas Kleden. Jakarta: LP3ES, 1985.
  • Priyono, Herry B. “Kuasa Amnesia dalam Ilmu-Ilmu Sosial di Indoensia”, Kompas, 22 Januari 2005.
  • Pyenson, Lewis. Empire of Reason. Exact Sciences in Indonesia, 1840-1940. Leiden: E.J. Brill, 1989.
  • Rahardjo, Dawam. “Ilmu Sosial dan Problem Sosial”, dalam buknya, Tantangan Indonesia sebagai Bangsa. Yogyakarta: UII Press, 1999.
  • Roth, Paul A. Meaning and Method in the Social Sciences. Ithaca and London: Cornell Unibersity Press, 1989.
  • Santikarma, “Pentas Antropologi di Indonesia”, Kompas 7 Juli 2004.
  • Santos, Boaventura de Sousa, “A Discourse on the Sciences,” dalam Review. Fernand Braudel Centre, Vol. XV, No. 1 (Winter 1992), 1-7.
  • Schrieke B.J.O. Indonesian Sociological Studies. The Hague, Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1955.
  • Siegel, James and Audrey R. Kahin (eds.). Southeast Asia over Three Generations: Essays Presented to Bennedict R.O’G. Anderson. Ithaca: Cornell Southeast Asia Program, 2003.
  • Soemardjan, Selo.”Alih Generasi Ilmu Sosiologi”, Kompas  22 Maret 2002.
  • Szanton, David L. “Southeaqst Asian Studies in the United States: Toward An Intellectual History” in  Bahrin, et.al., eds. (1981): pp. 72-87.
  • Tamara, Nasir, Mengkaji Indonesia. Pengaruh Amerika dalam Dunia Intelektual Indonesia. Yogyakarta: Bentang, 1997.
  • Tjondronegoro, Sediono, M.P. “Penelitian Imu Sosial dan Penentu Kebijakan, Prisma, no. 6 (Juni 1983), pp. 54-63.
  • Ufford, Philip Quarles van, Frans Husken dan Dirk Ktuijt (eds.),  Tendensi dan Tradisi Sosiologi Pembangnan. Terjemahan R.G. Soekadijo. Jakarta: Gramedia, 1989.
  • Utrecht, Ernest, “American Sociologists on Indonesia” dalam Journal of Contemporary Asia, Vol. 3, No. 1 (March 1973): 39-45.
  • Vermeulen, Frank. “Leiden word zwaartpunt voor Indonesiche studies” dalam Mare, [Tabloid Universitas Leiden], 27 Januari 1990; 
  • Wallerstein, Immanuel, “The Chalange of Maturity. Whither Social Science?”, dalam Review. Fernand Braudel Centre, Vol. XV, No. 1 (Winter 1992): 1-7.
  • ________ “History in Search of Science”, dalam Review. Fernand Braudel Centre, Vol. XIX, No. 1 (Winter 1992), 11-22.
  • ________ Lintas Batas Ilmu Sosial. Terjemahan Oskar dengan Kata Pengantar oleh  Alexander Irwan. Yogyakarta: LkiS, 1997.
  • _________  "Eurocentrism and its Avatars: The Dilemmas of Social Science” (1997), pp. 13 [http: //fbc.binghampton.edu].
  • _________  “Social Sciences in the Twenty-first Century", dalam World Social Science Report, UNESCO, 1999), pp. 11, pp. 11 [http: //fbc.binghampton.edu].
  • Wetrtheim, W.F. “The Forgotten Ones of Java: The Sociological False Conciousness”, dalam Kabar Seberang [Australia], No-13/14 (1984): 1-16.
  • _________ East-West Paralels: Sociological Approaches to Modern Asia. Den Haag: W. van Hoeve, 1964.
  • Wisseling, H.L., “Knowledge is Power. Some Remarks on Colonial Studies in the Netherlands” dalam Ibrahim Alfian dkk (eds.). Dari Babad dan Hikayat hingga Sejarah Kritis. Kumpulan Karangan Dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo. Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1987), pp. 351-68.
  • Wolters, O.W. “Southeast Asia as a Souheast Asian Field of Study”, Indonesia [Cornel Univesity] No. 58 (Oct. 1994):1-18.
Catatan Akhir:
  1. Tentang tradisi kelimuan dan pengaruh tradisi positivistik dalam ilmu-ilmu kolonial (colonial sciences) lihat Pyenson (1989).
  2. Salah satu jurnal terkenal ialah Beidrage tot Taal- Land en Volkenkunde (sering disingkat BKI), didirikan sejak awal abad ke-19.
  3. Menurut data tahun 1939, Sekolah Tinggi Hukum Jakarta, sebagai satu-satunya perguruan tinggi yang mengajarkan disiplin ilmu sosial “gado-gado”, memiliki mahasiswa masing-masing 249 mahasiswa pribumi, 50 mahasiswa Belanda dan 51 orang keturunan Cina (Bachtiar, 1974), hal. 19.
  4. Laporan Schrieke kemudian diterbitkan dalam salah satu bagian dari edisi Inggris, berjudul  Indonesian Sociological Studies  Jilid 1 (The Hague, Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1955).
  5. Kontribusi ilmuwan Belanda tentang studi Indonesia bisa ditemukan, misalnya, dalam H.J. Meier dan A. Teeuw (1976). Khusus ulasan tentang sumbangan teoritis dari generasi indologie ini dapat ditemukan dalam King (1994).
  6. Laporan penelitian Koch dalam buku Indisch-Koloniale Vraagstuken (1929) juga mempengaruhi karyanya yang diterbitkan kemudian, Om de Vrijheid. De Nationalistische Beweging in Indonesia (1950).
  7. Gagasan-gagasan serupa, tetapi dengan pendekatan lain tentang “perubahan” dan “modernisasi”, “individualisasi” di Jawa telah dikemukakan oleh D.H. Burger dalam disertasinya berjudul De Ontsluiting van Java’s  binnenland voor het Wereldverkeer (1939). 
  8. Tentang pengaruh tradisi positivistik dalam indologie secara blak-blakan dinyatakan sebagai berikut“ ... juga aturan-aturan hukum yang khas untuk suatu kebudayaan itu dapat dikembalikan ke formula: ‘jika A, maka B ....’ dan dalam bentuk itu maka engan sendirinya ia dapat dimanfaatkan untuk menerangkan, meramal, kadangkala untuk mengendalikan perbuatan manusia...”. Lihat Kloos (dalam Ufford, 1989: 140).
  9. Uraian yang paling menjelaskan tentang methodensteit, khususnya perdebatan klasik tentang konstruksi “ilmu” dan metodologinya antara pengikut positivis (ilmu alam) di satu pihak dan idealis (ilmu sosial/ kemanusiaan) di lain pihak, lihat, misalnya (Brown, 1989).
  10. Tentang perkembangan tradisi akademik di bidang ilmu-ilmu sosial paska-perang di Belanda lihat Philip Quarles van Ufford, Frans Husken dan Dirk Kruijt , eds. (1989).
  11. Lihat catatan Daniel S. Lev dalam “Introduction” untuk buku Anderson dan Audrey Kahin (eds.) (1982), hal. 2-3 dan ulasan Tamara (1997: 23ff) tentang generasi pertama dan kedua ahli ilmu sosial Amerika Serikat sebagai kelompok “American school”.
  12. Buku ini telah diterjemahkan setidaknya ke dalam enam bahasa dunia, tetapi celakanya baru saja diterjemahkan ke dalam edisi Indonesia paling belakangan (1999), sehingga tidak begitu dikenal oleh pembaca di Indonesia. Padahal buku itu sedikit banyak terinspirasi dari pengalaman riset penulisnya dalam mempelajari sejarah Indonesia. 
  13. Sekedar ilustrasi, nama-nama sarjana ilmu sosial, termasuk ekonom Indonesia yang belajar di AS dan kembali ke tanah air sekitar akhir 1950-an dan pertengahan 1960-an dan judul tesis mereka (Master dan Ph.D.) dapat ditemukan dalam Koentjaraningrat, ed (1979), pp. 269-285; lihat juga Benny Subianto (1989): pp. 68 dan 70.
  14. Tentang sejarah perkembangan studi Indonesia di berbagai belahan dunia, seperti di Amerika Serikat antara lain lihat Utrecht (1973), Szanton (1981), Anderson and Kahin (1982), Frederick (1989), Tamara (1997); di Australia lihat Viviani (1982), Brewster and Reid (copy tt); di Eropa antara lain lihat  Bahrin, et.al. (1981), khusus di Inggris Basset (1981), Smith (1981), King (1989); di Perancis Pelras (1978), Lombard (1981), Lecrec  (1990); di Jerman Dahm (1975, 1991); di Belanda Uffords and Husken eds. (1989).
  15. Tentang internasionalisering (internasionalisasi) studi Indonesia di Belanda lihat esei Frank Vermeulen, “Leiden word zwaartpunt voor Indonesiche studies” dalam Mare, [Tabloid Universitas Leiden], 27 Januari 1990;  Lihat juga Ufford, et.al. (1989).
  16. Paul A Roth (1989), hal. 4-5 dan 130ff. Dengan rationaliteistreit dimaksudkannya perdebatan di kalangan ilmuwan sosial yang ingin mempertahankan dan merivisi (dengan menggunakan istilah komputer redo)  tesis eksklusivisme metodologi positivis tentang ilmu dengan metodologinya dan kelompok yang ingin memblokir (undo) tesis the unity-of-method kaum positivis dengan membela pluralisme metodologis. Juru bicara terkemuka dari kelompok ini ialah Willard van Oraman Quine, Ludwigenstein, Richard Rorty dan Paul Feyerabend. Khusus dalam konteks Jerman lihat tulisan Heru Nugroho (2000: 1-10).
Mestika Zed, lahir (1955) di Batuhampar, Payakumbuh, adalah dosen Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang (UNP). Menyelesaikan kuliah pada Jurusan Sejarah Univ. Gadjahmada (1980), Post-Graduate Programme (M.A.) Vrije Universiteit, Amsterdam (1981-1983), S2 Univ. Indonesia, Jakarta (1983-1984) dan Doktor Sejarah  pada Jurusan Niet-Westerse Geschiedenis, Faculteit der Sociaal-culturele Wetenschappen, Vrije Universiteit, Amsterdam (1991).
Pernah menjabat Ketua Jurusan Sejarah Univ. Andalas, Padang (1992-1995) dan pendiri dan mantan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), Cabang Sumatera Barat (1993-2001), ia kini menjabat Ketua Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE), Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Padang, pernah Ketua Dewan Redaksi Forum Pendidikan, dan Jurnal Tingkap, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, FIS, Universitas Negeri Padang. Menulis sejumlah buku dan artikel dalam jurnal ilmiah nasional dan internasional. Salah satu bukunya berjudul Somewhere in the Jungle. Sejarah PDRI. Sebuah Matarantai Sejarah yang Terlupakan (Jakarta:Grafiti, 1998) memperoleh penghargaan buku terbaik dari IKAPI/Kementerian P&K di bidang ilmu sosial tahun 1999.




     

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar