Penggunaan Blog

Senin, 14 Februari 2011

Genealogi Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia : Kecenderungan Bertahannya Gejala Parokialitas Antardisiplin

Bagian Pertama
Oleh: Mestika Zed

Makalah untuk Diskusi Panel, Program Studi Pendidikan Sosiologi-Antropologi, FIS Universitas Negeri Padang, 27 Juli 2006. Risalah ini merupakan bagian dan perombakan dari makalah penulis yang semula disampaikan pada “Workshop on Social Science for What?” diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berkerja sama dengan Ford Foundation, Jakarta, 22-23 Oktober 2002.

Di BARAT ada adagium yang mengatakan knowledge is power, “pengetahuan adalah kekuasaan.” Ungkapan itu, kalau tak salah, berasal dari Francis Bacon (1561-1626), tokoh Renaisans Eropa yang lebih dikenal sebagai “Bapak emperisisme”, penemu metode berfikir induktif dalam mencari kebenaran ilmiah. Akan tetapi di bawah permukaannya, terdapat suatu ideologi yang mengandung pengertian bahwa “pengetahuan”, maksudnya terutama pengetahuan intelek, berkenaan dengan masalah kualitas berfikir dan kuantitas informasi. Pada gilirannya siapa yang menguasai [wacana] informasi menguasai dunia. 

Sejak abad ke-18, sekelompok kecil kaum pembaharu politik dan industrialis, mendirikan semacam ‘the heroic model of science” sebagai fondasi baru untuk memperoleh kebenaran, yaitu positivisme. Klaim utama kaum positivis ialah bahwa hanya ada satu ilmu di dunia, yaitu Ilmu Fisik (Natuurwissenschaft). “Asli”, elegan, simpel dan jelas bila dirumuskan ke dalam hukum-hukumnya. Ilmu Alam dengan mengandalkan metode eksperimentalnya dilihat sebagai satu-satunya standar untuk mengukur kebenaran. “Contohlah ilmu mekanik, ikuti metode-metodenya, temukan hukum-hukum untuk segala sesuatu dalam biologi manusia; itulah seni menguasai hukum-hukum alam’, demikian nasehat yang dikumandangkan pemikir positivisme.
Pendiri aliran ini, Auguste Comte (1798-1957) adalah seorang fIlosof, ahli matematik yang juga dikenal sebagai “Bapak Sosiologi”. Comte dan para  pendahulunya, David Hume, Isaac Newton, Francis Bacon dan Rene Descartes, seperti juga para genius sebelum mereka: Copernicus, Kepler, Galileo dan Boyle adalah “raksasa-raksa” yang memiliki andil atas kemenangan Positivisme abad ke-18 dan ke-19 (Appleby e.t. al 1994:15).

Positivisme selanjutnya mendorong terjadinya revolusi ilmu pengetahuan. Revolusi ilmu pengetahuan pada saat yang sama melahirkan revolusi industri, yang dimulai di Inggris sejak abad ke-18. Revolusi industri pada saat yang sama mendorong penemuan dunia baru sebagai sumber bahan mentah dan sekaligus pasar bagi industri di Eropa. Sejak itu maka lahirlah imperialisme-kolonialisme dan sekarang globalisasi sebenarnya tak lain dari pengejawantahan lebih lanjut dari adagium di atas. Ilmu-ilmu sosial di Indonesia aslinya merupakan ilmu kolonial dan mengalami metamorfose sedemikian rupa, akan tetapi kemajuan apa yang telah dicapai oleh ilmu-ilmu sosial di Indonesia dewasa ini?

Risalah ini ingin mengemukakan dua isu pokok tentang keadaan ilmu sosial di Indonesia dewasa ini. Pertama, bagaimana konstruksi historis ilmu-ilmu sosial di Indonesia selama ini, sehingga menimbulkan dan/ atau terciptanya kadar parokialitas yang kental antardisiplin ilmu-ilmu sosial di negeri ini? Kedua, erat kaitannya dengan yang pertama, ialah belajar dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu sosial di masa lalu, mengapa ilmu sosial dewasa ini tampak seperti mengalami “krisis berkepanjangan”, sehingga menuai kecaman dan sejumlah kritik, baik dari “orang dalam” sendiri, maupun dari “orang luar”. Dengan membatasi pembahasan pada kedua pokok persoalan di atas, risalah ini akan memusatkan perhatian secara lebih khusus pada isu-isu teoretis-metodologis, suatu fenomena yang di negeri asal kelahiran ilmu sosial – Eropa Barat, dikenal dengan wacana methodenstreit, Dalam satu lain hal, methodenstreit merupakan “engine” yang mendorong perkembangan ilmu sosial sejak 200 tahun terakhir, tetapi di Indonesia ini tampaknya mengalami kemacetan yang nyaris total.

Untuk keperluan pembahasan, risalah ini mulai dengan menyoroti tiga  fase perkembangan ilmu sosial Indonesia berikut: (i) fase embrionik sejak zaman kolonial; (ii) fase ilmu sosial developmentalis sejak 1950-an sampai masa Orde Baru dan (iii) fase kontemporer, ketika ilmu sosial di negeri ini berada di persimpangan sejarah bangsa yang tengah dilanda krisis multidimensional. Selanjutnya berdasarkan pemahaman ketiga fase tersebut, risalah ini akan membahas secara lebih terinci persoalan di balik pertanyaan ilmu sosial untuk apa? dan bagaimana ilmuwan sosial Indonesia menanggapinya? Argumen-argumen  yang akan dikemukakan di sini agaknya tidak baru sama sekali, namun dengan menyoroti persoalan yang hidup di lingkungan tempat kerja kita sehari-hari di sini, akan terbukti nyata bahwa kita mungkin tidak dapat berharap banyak pada ilmuwan sosial kita di sini dan di sana untuk melahirkan teori-teori alternatif guna menandingi teori dominan [dari Barat]. Salah satu alasannya ialah karena ilmuwan sosial kita lebih suka menjadi penjahit teori-teori dominan dan mengkritisi fakta "apa adanya", sementara tidak ada upaya sistematik dan sistemik untuk memperbaharui paradigma atau pun penataan kelembagaan yang mendukung ke arah perbaikan yang lebih sehat dalam studi ilmu-ilmu sosial di Fakultas kita. Lantas apa jalan keluarnya?

Konstruksi Historis Ilmu Sosial Indonesia

Asal-usul dan perkembangan ilmu sosial modern di Indonesia sebetulnya tidak jauh lebih muda jika dibandingkan dengan ilmu eksakta (atau ilmu alam), terutama jika dilihat dari sejarah institusi di mana ilmu pengetahuan itu dikonstruksikan dan disebarluaskan. Apa yang disebut Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wtenschappen, yaitu semacam akademi seni dan ilmu pengetahuan tertua yang didirikan Belanda di Batavia 24 April 1778  biasanya dirujuk sebagai cikal-bakal sejarah ilmu pengetahuan di Hindia-Belanda (Indonesia).  Di sana berkumpul sejumlah cendikiawan Belanda untuk mengadakan pertemuan tukar menukar fikiran di bidang seni budaya dan ilmu pengetahuan guna menghasilkan karya-karya praktis yang segera dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat: teen nutte van het gemeen (“untuk kepentingan umum”), begitu moto Bataviaasch Genootschap pada awal berdirinya. Akan tetapi riset-riset yang agak intensif baru dilakukan pada abad ke-19, di samping menerbitkan jurnal ilmiah di bidangnya.

Ilmu sosial (atau lebih baik disebut proto-ilmu sosial) sebagai corpus pengetahuan yang terlembaga lewat perguruan tinggi, barulah merupakan gejala awal abad ke-20, yakni ketika Sekolah Tinggi Hukum didirikan tahun 1924. Di sanalah ilmu sosial “gado-gado” diajarkan. Ini berarti bahwa ilmu sosial tidak lebih muda dari ilmu eksakta, khususnya  Sekolah Tinggi Teknik, yang menjadi cikal bakal Institut Teknologi Bandung (ITB) didirikan empat tahun sebelumnya (1920), kemudian disusul oleh Sekolah Tinggi Kedokteran (1928). Sedangkan Fakultas Sastra dan Filsafat baru didirikan tahun 1940, dua tahun sebelum kejatuhan Belanda di Indonesia. Fakultas ekonomi belum ada pada masa ini kecuali hanya sebagai vakgroep (bidang studi) yang dipelajari di Fakultas Hukum. Pada masa tertentu ilmu sosial memiliki citra yang sama baiknya dan sama trendy-nya dengan ilmu alam, khususnya sarjana hukum dan kedokteran.

Fase Embrionik: Indologie atau Ilmu Sosial Kolonial?

Apa yang disebut ilmu sosial sebagai bentuk pengetahuan yang dikembangkan di Indonesia dewasa ini tampaknya tidak perlu menunggu berdirinya universitas-universitas. Pada mulanya bukan ilmu sosial, melainkan hanya keahlian tambahan untuk mendukung keberhasilan tugas di negeri jajahan, maka sejak tahun 1842 pemerintah kolonial memperkenalkan apa yang disebut dengan indologie, suatu bagian dari ilmu Oriental yang dikembangkan untuk tujuan menyiapkan bekal pengetahuan tentang masyarakat negeri jajahan bagi calon administrator yang akan bertugas di Hindia-Belanda. Zeitgeist yang melatar belakangi gagasan ini ialah proses pasifikasi daerah jajahan di Hindia Belanda. Ini tidak hanya lewat peperangan atau atas nama kebijakan rust en orde, (ketertiban dan keamanan), melainkan juga dengan cara yang lebih subtle, lewat wahana ilmu pengetahuan.

Indologie kemudian berkembang menjadi sebuah akademi (1864), yang didukung oleh lembaga-lembaga kerajaan. Dua yang terpenting di antaranya ialah Koninkelijk Instituut voor Taal, landen Volkekunde van Nederlandsch IndiĆ«  (KITLV – Institut Kerajaan untuk Ilmu Bahasa, Geografi dan Etnografi Hindia Belanda) yang didirikan di Leiden tahun 1851, dan Kolonial Instituut di Amsterdam (1871).  Pada tahun 1891, indologie telah menjadi salah satu jurusan di Universitas Leiden dan masuk ke Indonesia dengan semangat orientalisme lewat lembaga-lembaga kolonial di luar institusi akademik (Wisseling, 1987; Kuitenbrouwer, 2001). Yang paling penting di antaranya ialah Het Kantoor voor Inlandsche Zaken (didirikan 1899) yang berada di bawah kendali Depertemen Pendidikan dan satu lagi, Het Kantoor voor Volkslectuur (1908), yang kemudian menjadi cikal-bakal Balai Pustaka. Baru pada tahun 1920-an, setelah perguruan tinggi (atau sekolah tinggi) kolonial didirikan di Indonesia; dua di antaranya yang terkait langsung dengan ilmu sosial, masing-masing ialah Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool, RHS) didirikan 1924 dan Fakultas Sastra dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte, FLW) baru didirikan tahun 1940.

Dari kedua perguruan tinggi warisan zaman kolonial itulah ilmu-ilmu sosial versi indologie diperkenalkan ke Indonesia dan yang meneruskan tradisi indologie. Paradigma indologie, mirip dengan apa yang pernah diidentifikasi oleh Ignas Kleden belum lama ini dalam kasus Orde Baru, ialah menjadikan ilmu sosial sebagai ‘ilmu negara’ (Kleden, 1997: 35). Di situ ilmuwan sosial yang bergerak di bidangnya ‘mengabdikan’ ilmunya untuk kepentingan kekuasaan atau menjadi pejabat pemerintah kolonial (Fasseur, 2003). Fakultas Hukum zaman Belanda itu lebih merupakan fakultas “gado-gado”, di mana selain diajarkan ilmu hukum, termasuk hukum adat dan tata-negara, juga program ilmu sosial seperti, etnologi atau antropologi, sosiologi, ekonomi dan mata kuliah sejarah masih tergabung ke dalam mata kuliah yang disebutkan terdahulu (Bachtiar (1974: 17ff). Beberapa orang pengajarnya yang paling berpengaruh, setidaknya dalam arti bahwa karya-karya mereka banyak dibaca dan dikutip oleh sarjana pada masanya dan masa-masa yang lebih kemudian antara lain ialah J.H. Boeke (ekonom), B.J.O. Schrieke dan yang lebih muda W.F. Wertheim, keduanya adalah sosiolog. Sementara Fakultas Sastra dan Filsafat yang baru didirikan di Batavia (Jakarta) pada penghujung zaman kolonial (1940), mengembangkan program bahasa dan sastra, di samping sejarah, etnologi dan filsafat. Namun fakultas ini belum sempat menghasilkan seorang pun sarjana karena terpaksa ditutup menjelang pendudukan Jepang dan baru dibuka kembali tahun 1950.

Sampai tahun 1950-an, sebenarnya belum ada yang dapat dikatakan tentang ilmu sosial dan komunitas ilmuwan sosial Indonesia. Kecuali karena jumlahnya yang relatif sedikit, mereka yang menekuni bidangnya sebagai akademisi alias pengajar di perguruan tinggi, jauh lebih sedikit lagi. 

Untuk bidang yang terakhir ini hanya ada dua orang sarjana Indonesia terkemuka dan keduanya sudah menjadi guru besar sejak sebelum perang, masing-masing ialah Soepomo (hukum) dan Hoesin Djajadiningrat (filologi dan Islamologi), tetapi kebanyakan dari jumlah yang segelintir itu terjun sebagai birokrat dan/ atau menjadi aktivis politik (pergerakan). Meskipun demikian, beberapa ciri umum perkembangan ilmu sosial pada periode kolonial agaknya masih dapat diidentifikasi secara kasar sebagai berikut.

Pertama, disiplin ilmu sosial masih merupakan keahlian Indologie yang sepenuhnya berada di bawah otoritas sarjana Belanda. Kedua, sesuai dengan sifatnya, indologie sebagai studi kolonial memiliki afinitas politik – sejalan dengan ideologi kolonial – untuk merekayasa dan menciptakan formula politik pasifikasi. Kajian-kajian para indolog sering kali sangat rinci dan memperoleh legitimasi sosial dan politik yang niscaya sangat dibutuhkan untuk mengendalikan sebuah negara kolonial yang demikian besar. Dengan mengetahui keunikan, watak dan perilaku suku bangsa di kepulauan Nusantara, penguasa kolonial mampu menyusun kebijakan yang lebih efektif. Tak syak lagi, bahwa kemampuan Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya selama lebih kurang satu setengah abad itu sebagian besar telah dimungkinkan berkat studi-studi kolonial tersebut. Pada tingkat ini, adagium yang mengatakan bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”, knowledge is power, tampak menonjol dan telah dirasakan manfaatanya oleh penguasa kolonial. Ketiga, para indolog yang menguasai ilmu-ilmu sosial pada dasarnya adalah manusia-manusia ensiklopedis warisan aufklarung Eropa abad ke-18, dalam arti bahwa mereka menguasai banyak bidang sekaligus atau berpindah-pindah dari bidang yang satu ke yang lain. Jadi kendati terdapat bidang-bidang keahlian dalam akademi Indologie seperti geografi sosial, etnologi, filosofi, studi Islam, hukum adat dan linguistik, pada masanya seorang indolog menguasai banyak bidang.

Perlu juga dicatat bahwa dari semua bidang-bidang disiplin yang tersedia tampaknya bidang etnologi (atau etnografi) paling populer. Hal ini agaknya berkaitan erat dengan posisi mereka sebagai birokrat dan sekaligus akademisi di bidangnya. Dengan kata lain, para sarjana Indologie yang hampir seluruhnya terdiri dari orang Belanda, berprofesi rangkap, kecuali sebagai pengajar di perguruan tinggi (akademisi), juga menduduki jabatan penting dalam birokrasi (birokrat), suatu kecenderungan yang juga terlihat di negeri ini sampai sekarang, tetapi minus karya tulis. Ciri keempat ialah bahwa indologie sebagai keahlian Eropa tentang dunia timur (orientalis) sangat diwarnai oleh bias Eurosentrisme dengan interest ideologi kolonial. Sumbangan mereka dalam menunjang kebijakan pemerintah sangat besar artinya (Meir dan A. Teeuw (1976). Dalam hubungan ini, setidaknya ada tiga buah studi monumental yang bisa dicatat. Pertama mengenai kehidupan beragama (Islam) di Indonesia, khususnya Aceh, seperti yang dilakukan oleh Snouck Hourgranje (1857-1936); kedua, studi  tentang kemerosotan tingkat kesejahteraan pribumi di Jawa dan Madura dalam Onderzoek naar de Mindere Welvaarts Rapporten (1900) dan ketiga  studi mendalam tentang sebab-sebab pemberontakan komunis 1926/ 1927 (1927) di bawah suatu komisi yang diketuai oleh Prof. B. Schrieke (1890-1945). 

Penelitian terhadap ketiga kasus di atas, dan sejumlah penelitian lain tidaklah mengurangi fakta bahwa sumbangan mereka tidak hanya berguna bagi pengambilan keputusan pemerintah, melainkan juga terhadap pemahaman teoretis tentang masyarakat Indonesia. Dalam hubungan ini nama-nama seperti Hurgronje, Boeke, Furnivall (sarjana Inggris), Schrieke, Burger, Koch, Van Leur, dan yang lebih muda, Wertheim –- untuk menyebut beberapa di antara mereka,  menawarkan konsep-konsep teoretis-metodologis, yang dihasilkan dari pengalaman penyelidikan mereka tentang masyarakat Indonesia. Teori Boeke tentang “ekonomi dualistik”, meskipun mendapat kritik dari kalangan sarjana, memberikan sumbangan pemikiran teoretis dalam literatur ekonomi politik yang mendunia. Menurut Boeke, teori ekonom umum tidak dapat diterapkan pada masayarakat Hindia-Belanda (Indonesia), sehingga politik liberal (kapitalisme) abad ke-19 gagal membawa negeri jajahan itu ke tahap kapitalisme. Salah satu rintangan utama ialah sifat perekonomian “Indisch” yang sangat berlainan tipenya dengan ekonomi kapitalisme Barat.

Berlawanan dengan pandangan Boeke yang pesimistik terhadap pembangunan ekonomi kolonial di Hindia Belanda, terdapat gagasan-gagasan teoretis dari kelompok “optimistik” yang relatif beragam perspektif dan pendekatan mereka. Salah serorang di antaranya ialah D.M.G. Koch, “ahli sosiologi pertama yang otodidak di kalangan sarjana Belanda  tentang Indonesia”, seperti halnya Wertheim (yang semula studi hukum), menulis analisis-analisis yang berbau Marxsist dan Weberian tentang masyarakat Jawa. 

Dengan pendekatan perbandingan Koch dalam studinya (1919) coba membandingkan semangat ekonomi pedagang Islam Jawa dengan semangat Calvinis di Lage, Leiden dan daerah sekitarnya di Belanda.  Koch sampai pada kesimpulan bahwa di Indonesia (awal abad ke-20) tengah terjadi suatu perubahan ke arah kapitalisme (dan akhirnya sosialisme) dan meskipun terbendung oleh kapitalisme kolonial, akan tetapi kecenderungan itu hanyalah bersifat sementara.  Laporan Schrieke sebagai Ketua Komisi Penyelidikan tentang “sebab-sebab dan akibat pemberontakan komunis tahun 1927” tidak hanya mencermin kalibernya sebagai seorang sosiolog yang memiliki ketelitian dan kecanggihan dalam pengumpulan data dan analisis, tetapi karya-karyanya yang dipengaruhi oleh tradisi Weberian, seperti juga Van Leur, memberikan sumbangan berharga dalam memperkaya kajian sejarah Indonesia dari perspektif sosiologis.  Karya-karya Schrieke, Van Leur dan Wertheim telah menjadi sumber inspiratif dalam mendorong pembaharuan dalam penulisan sejarah Indonesia dari yang bercorak Belanda-sentrisme ke Indonesia sentrisme dan menjadi rujukan penting bagi generasi sejarawan Indonesia di kemudian hari.

Bagaimanapun indologie sebagai suatu bentuk pengetahuan ilmu sosial Indonesia avant-la-lettre (bentuk yang lebih dini) menjadi basis yang penting dalam upaya membangun  sebuah aspirasi, proposisi dan pencarian legitimasi. Aspirasi di sini masudnya ialah bahwa studi tentang prilaku manusia (dalam hal ini manusia Indonesia) sejak semula dikembangkan secara sadar sebagai upaya untuk mengerti dinamika masyarakat negeri jajahan lewat jalan ilmu pengetahuan, dalam hal ini indologie. Jalan ini terbukti ampuh karena selama sekitar satu abad pertama penjajahan Belanda di Indonesia perang Belanda melawan ‘pemberontakan’ pribumi sebenarnya tidak selamanya dimenangkan dengan ujung bedil, melainkan berkat keunggulan intelektual di belakangnya. Proposisi ialah paradigma bahwa tidak ada alasan logis yang secara intrinsik menghalangi mengapa aspirasi ilmu pengetahuan tidak mungkin. 

Logikanya malah sangat kontras dengan aspirasi, bahwa para indolog percaya bahwa perilaku manusia, sebagaimana yang mereka pahami, adalah suatu varian dari semua kegiatan manusia di dunia, suatu ‘subyek’ penyelidikan ilmiah atas dasar macam-macam epistemologi yang hampir sama logisnya, sama empiriknya dan sama praktisnya dengan studi ilmu fisik yang dikembangkan lembaga pendidikan tinggi kolonial di Hindia Belanda pada masa yang sama.  Pencarian legitimasi di sini maksudnya ialah bahwa indologie mencerminkan fakta bahwa ketimbang mencari pemecahan instan dan improvisasi dadakan, indologie sebagai suatu bentuk pengetahuan telah menjadi standar baru untuk mereperasi atau mendekonstruksi dunia, dalam hal ini mengubah keadaan sesuai dengan yang diingini rejim kolonial.  Perdebatan teoretis tentang sifat, kedudukan dan tujuan ilmu lewat apa yang disebut methodenstreit di negeri asalnya, Eropa Barat sejak abad ke-19,  tak pernah terhenti sampai sekarang, tetapi di Indonesia zaman kolonial sampai sekarang, kecenderung ini tampaknya kurang mendapat perhatian. Akhirnya, legitimasi tak pernah menempuh satu jalan dan jalan yang ditempuh ilmu sosial di Indonesia di masa kolonial ialah lewat indologie itu.

Perkisaran dari Indologie ke Ilmu Sosial Developmentalis

Periode selepas PD II, khususnya sejak tahun-tahun 1950-1960-an ditandai oleh terjadinya fase pergeseran penting dalam perkembangan ilmu sosial Indonesia, dari mainstream indologie yang lebih berorientasi Eurosentrisme kepada ilmu sosial baru yang berkiblat ke Amerika Serikat (AS). Pergeseran ini di satu pihak berkaitan erat dengan kondisi politik internal dalam negeri Indonesia dan di lain pihak berkenaan dengan konstelasi politik dunia sezaman. Yang pertama berhubungan dengan proses dekolonisasi, ketika perang kemerdekaan paska 1945 dan sentimen anti-Belanda yang bermuara pada ‘pengusiran’ semua guru besar Belanda yang mengajar di perguruan tinggi di Indonesia sejak awal 1950-an. Yang kedua berkenaan dengan munculnya persaingan global antara Blok Barat (kapitalis) dan Blok Timur (komunis) dalam menjalin hubungan dengan negara-negara bekas negeri jajahan.

Putusnya hubungan antara negeri induk (Belanda) dan koloninya (Indonesia) sejak tahun 1950, mempunyai dampak yang penting atas perkembangan ilmu sosial di Indonesia selanjutnya. Salah satu di antaranya ialah bahwa untuk beberapa lama Indonesia tak lagi menjadi daerah penelitian sarjana Belanda.  Masa vacum penelitian indologie Belanda itu segera diisi oleh ilmuwan sosial dari Amerika Serikat (AS).  Bukan secara kebetulan bahwa selepas PD II, AS tampil sebagai negara adidaya ekonomi dunia berhadapan dengan saingan utamanya, Uni Soviet (sekarang Rusia). Persaingan antara poros kapitalis (blok Barat) di bawah kepemimpinan AS di satu pihak dan poros komunis (Blok Timur) di bawah Uni Soviet di lain pihak, berlangsung dalam apa yang disebut “perang dingin”. Untuk memenangkan pengaruh global ini AS, tak hanya perlu memacu industri senjatanya, melainkan juga lewat akses pengetahuan tentang pelbagai kawasan di dunia.

Boleh jadi studi kawasan (area studies), sebagaimana akan dilihat nanti, merupakan inovasi akademis yang penting dalam ilmu-ilmu sosial paska PD II, tetapi pada saat yang sama kepentingan ideologi juga sangat nyata sekali. Program-progam studi kawasan yang dirancang untuk menghasilkan para spesialis di kawasan tertentu bekerja di bawah sebuah Komite Khusus yang disebut “The Social Science Research Council” yang dibentuk AS selepas Perang Dunia II. Komite itu secara khusus dimaksudkan untuk membangun kolaborasi dengan negara-negara yang baru merdeka lewat kerja sama akademik dengan berbagai kawasan di dunia (Utrecht, 1973: 40).

Para sarjana yang terlibat di dalam program itu biasanya berasal dari latar belakang disiplin ilmu sosial yang berbeda-beda –- dan kadangkala juga dari beberapa displin ilmu alam –- atas dasar kesamaan kepentingan di suatu kawasan (atau bagian dari kawasan) tertentu. Studi kawasan secara definitif menonjolkan sifat “multidisipliner”. Ide dasar studi kawasan ini sangat sederhana. Suatu kawasan adalah sebuah zona geografis dan sekaligus kawasan studi yang konon dianggap memiliki koherensi budaya, sejarah dan seringkali juga bahasa. Maka muncullah studi kawasan untuk Amerika Latin, Afrika, Uni Soviet, Asia Timur (Cina dan Jepang), Asia Selatan, Asia Tenggara, Eropa Timur dan belakangan Eropa Barat (Wallerstein, 1997: 57).

Studi kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dianggap menjadi arena kerja sama akademik dan sekaligus percaturan politik dan ekonomi yang paling menarik bagi AS. Bahkan menurut Benda (1982:13) tidak ada satu pun negara di kawasan Asia Tenggara yang memperoleh perhatian lebih besar dan dukungan dana yang lebih banyak dari AS selain Indonesia. 

Negara adidaya itu tidak hanya mengeluarkan dana untuk mengirim tim penelitinya ke Indonesia, tetapi sebaliknya juga memberi kesempatan kepada sarjana Indonesia untuk melanjutkan studinya di AS. Salah satu program kerja sama yang lebih awal berada di bawah suatu kelompok kerja proyek penelitian MIT (Massachussettss Institute of Technology) yang datang ke Indonesia pada pertengahan 1950-an. Anggota tim itu terdiri dari sejumlah mahasiswa tingkat doktoral AS yang bekerja untuk penelitian disertasi mereka. Dalam perkembangan kemudian, proyek ini, tidak hanya menghasilkan sejumlah disertasi doktor (Ph.D), tetapi juga berkelanjutan dengan menerbitkan sejumlah buku yang kemudian menjadi rujukan yang penting dalam studi ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Salah seorang yang paling terkemuka di antara mereka ialah Clifford Geertz, seorang antropolog yang sangat produktif dan memiliki reputasi dunia.

Dengan demikian, setelah sarjana indologie angkat kaki di Indonesia pada tahun 1950, termasuk di antaranya Prof. Wertheim (dengan kekecualian Prof. G.J. Resink yang memilih tetap tinggal dan menjadi warga Indonesia), ilmu sosial di Indonesia mulai bergeser dari tradisi indologie yang berorientasi Eurosentrisme ke ilmu sosial developmentalis, yang berorientasi AS. Istilah ilmu sosial developmentalis bukan tidak ditemukan dalam katalog epistemologi ilmu sosial yang pernah berkembang sampai saat ini, terutama dalam kelompok disiplin-disiplin tertentu seperti sosiologi, antropologi dan ekonomi. Istilah developmentalis (“pembangunan”) sudah lazim digunakan untuk mengacu pada suatu premis yang berakar pada serangkaian pendekatan teoretis-metodologis tentang bagaimana ilmu sosial jenis ini berhubungan dengan kebijakan (praktek) politik, khususnya dalam (ke) rangka proses-proses modernisasi di negara-negara sedang berkembang (lihat Long, 1987).

Paradigma ilmu sosial developmentalis, seperti halnya dengan pendahulunya, indologie, atau ilmu sosial kolonial, tentu tidak terlepas dari zeitgeist yang berkembang pada masanya. Dengan munculnya negara-negara baru dalam percaturan dunia, motif ideologis negara-negara Barat dalam menjalin kerja sama akademik dengan negara-negara baru itu sangat jelas di dalamnya. Studi kawasan (dalam hal ini Asia Tenggara, khususnya Indonesia) yang menjadi garapan ilmuwan sosial pada masa ini merupakan unit kajian yang dapat ditarik ke dalam orbit akademik dan sekaligus ideologi politik AS. Di situ ilmuwan sosial bekerja secara bersama-sama menangani masalah-masalah pembangunan ekonomi secara komprehensif dengan mengadopsi teori-teori modernisasi sebagai maisntreamnya. 

Asumsi dasarnya dapat disederhanakan dengan mengandaikan bahwa kawasan non-Barat secara analitis sama seperti kawasan-kawasan Barat, tetapi sekaligus tidak sama! (Wallerstein 1997:61). Sama dalam arti bahwa ada sebuah jalur modernisasi (pembangunan) yang sama untuk semua bangsa (rakyat, kawasan dan potensinya) dan karena itu semuanya sama. Tetapi bahwa bangsa-bangsa adalah berbeda satu sama lain karena mereka memang berada pada tahap yang berbeda, dan karena itu mereka sungguh tidak sama. Modernisasi memiliki watak ideologi dalam dirinya di mana model Barat juga dapat diaplikasikan ke kawasan non-Barat dengan cara menafsirkan perkembangan historis dunia Barat sebagai sebuah kematangan modernisasi dan dengan sendirinya juga  dapat menjadi model bagi negara-negara terkebelakang alias “dunia ketiga” (ibid.)

Dengan cara pandang seperti itu, teori modernisasi mengonseptualisasikan masyarakat dan proses perubahan sosial sebagai diferensiasi struktural dikotomik dan bertahap. Ini antara lain tercermin dari konsep-konsep utama yang digunakannya seperti Gemeinschaft-Geselschaft, solidaritas mekanis dan organik, folk-urban (desa-kota), terkebelakang (‘tradisional’) dan maju (‘modern’), agraris dan industrial, kaya dan miskin, dan seterusnya. Kosep-konsep ini tidak hanya menjadi alat analisis yang sangat digemari, tetapi juga mencerminkan titik perhatian mereka terhadap masalah-masalah ‘pembangunan’ di negara Dunia Ketiga  yang belakangan untuk menghindari citra hierarkhis diubah menjadi “Tiga Dunia”. Kalangan ilmu sosial Marxist umumnya sudah lama mencurigai teori-teori modernisasi, termasuk yang dikembang AS di Indonesia sebagai ‘borjuis’ dan ahistoris (Utrecht, 1973; Wertheim, 1984).

Begitulah, setidaknya sampai pertengahan 1960-an, ilmu sosial yang ada di Indonesia tak lain ialah ilmu sosial yang diperkenalkan oleh sarjana Amerika di universitas-universitas di negerinya dan dibawa ke Indonesia dalam kerangka kerja sama riset dan pengembangan ilmu sosial di Indonesia itu. Implikasi teoretis-metodologis dari kecenderungan ini amatlah besar pengaruhnya terhadap perkembangan selanjutnya.

Beberapa di antaranya dapat diidentifikasi sebagai berikut.  Pertama, sudah dikatakan di atas, ialah terjadinya perubahan paradigma dari ilmu sosial indologies yang berorientasi Eropasentrisme ke paradigma ilmu sosial developmentalis yang dikembangkan AS. Dalam arti tertentu, ilmu sosial developmentalis adalah ilmu sosial positivistik, yang menekankan klaim-klaim universalismenya seperti yang tampak dari paradigma teori-teori modernisasi yang  diusung ke Indonesia pada tahun-tahun paska revolusi atau periode 1950-an dan awal 1960-an. Namun ini tidak berarti, bahwa generasi pertama ilmuwan sosial Indonesia paska-revolusi tidak sepenuhnya tercerap ke pusat gravitasi ilmu sosial baru itu. 

Ilmuwan Indonesia generasi pertama yang sebelumnya dididik oleh guru-guru Belanda mereka –- untuk tidak mengatakan terdidik secara indologies –- seperti Soepomo (hukum), T.G.S. Moelia (sosiologi), Koentjaraningrat (antropologi), Soekmono (arkeologi), sedikit banyak Sartono Kartodirdjo (sejarah), Slamet Imam Santoso (psikologi), di samping sejumlah sarjana humaniora seperti St. Takdir Alisyahbana, Prijono dan Slamet Imam Mulyana, Poerbatjaraka –- adalah murid-murid dari para sarjana Belanda yang secara langsung dan tak langsung terkait dengan tradisi indologie. Dalam tahun 1950-an, tak satu pun di antara mereka yang menduduki kursi guru besar (profesor) di bidangnya,  kecuali Soepomo dan T.G.S. Moelia. Meskipun demikian sumbangan mereka sebagai peletak dasar ilmu sosial Indonesia tidak bisa dinafikkan. Pendidikan lanjutan mereka peroleh, seperti juga pergaulan akademik internasional mereka pada periode yang lebih kemudian membuat watak indologie semakin pudar, manakala digantikan mainstream ilmu sosial developmentalis yang mejadi pusat grafitasi baru dalam khazanah ilmu sosial Indonesia.

Kedua, dilihat dari sudut pendekatan dan dengan demikian juga metodologinya, terjadi beberapa pergeseran penting. Kalau studi-studi indologie tadinya lebih menekankan pendekatan etnografis, studi ilmu sosial developmentalis lebih menitik beratkan pendekatan budaya dengan menggunakan metode komparatif (Subianto, 1989: 67). Dalam hubungan ini, Ben Anderson lebih jauh merinci dua format pendekatan akademis yang berkembang dalam studi Indonesia di Amerika Serikat dan yang secara langsung mempengaruhi teori-metodologi ilmu sosial Indonesia. Format I ialah apa yang disebutnya dengan “liberalisme anti-kolonialisme” dan “metode historis”; Format II  ialah “liberalisme imperial dan metode komparatif” (Anderson, 1982: 71-3).  Yang pertama lebih banyak dilhami oleh para pionir studi Indonesia di AS antara lain Rupert Emerson, H.J. Benda, George MacT. Kahin (politik), John Echols, Clifford Geertz (antropolog), Clire Holt, Guy Parker, Karl J. Pelzer,  dan barangkali bisa ditambahkan dua nama Bruce Glassburner dan Benyamin Higgins (keduanya ekonom). Namun penting dicatat, bahwa meskipun masing-masing berasal dari disiplin ilmu yang berbeda-beda, kedua format di atas sangat intens menggunakan pendekatan historis.

Ketiga, pluralisme teori-metodologis dan munculnya generasi baru Indonesianits yang mondial memberi akses yang lebih luas dalam perkembangan ilmu sosial Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, karya-karya Geertz dan yang lebih kemudian, Ben Anderson, amat besar pengaruhnya terhadap ahli Indonesia (Indonesianist), suatu istilah baru muncul sekitar tahun 1970-an untuk mengacu pada ilmuwan (sosial) asing tentang Indonesia. Karya-karya mereka, trutama dua nama yang disebutkan terakhir, mencapai reputasi dunia, dalam arti menjadi rujukan akademik yang penting dan sering dikutip dalam kepustakaan ilmu sosial di dunia dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Geertz sangat dikenal dengan konsep “aliran” dan metode “thick description” dan Ben Anderson dengan teori kritik tentang konsep nasionalisme yang konvensional. Bukunya berjudul The Imaginned Communities. Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (terbit pertama 1983) dan beberapa kali cetak ulang).  Dengan masuknya ilmuwan sosial Barat non-Amerika setelah tahun pertengahan kedua tahun 1960-an, paradigma dan pendekatan teoretis-metodologis ilmu sosial Indonesia tidak lagi monolitik, tetapi semakin beragam. Kecendenderungan ini makin tampak setelah memasuki era Orde Baru Suharto.

Ilmu Sosial Indonesia Kontemporer

Penggunaan istilah ilmu sosial Indonesia kontemporer di sini hanyalah bersifat denotatif untuk menggambarkan arah dan kecenderungan umum dalam perkembangan ilmu sosial selama Orde Baru, setidaknya sampai pertengahan 1980-an. Meskipun agak bersifat “arbiter”, pengertian semacam itu bisa dipahami dalam arti, bahwa dalam banyak hal ia mencerminkan kelanjutan dari perkembangan sebelumnya, tetapi pada saat yang sama beberapa ciri pokoknya sebagaimana yang akan ditunjukkan nanti, masih tetap ada dan bertahan sampai sekarang.  Sampai pertengahan pertama 1960-an kita agaknya belum bisa berbicara tentang statistik perkembangan ilmu sosial Indonesia, baik mengenai profesi dan/ atau komunitas ilmuwan sosialnya, maupun lembaga penelitian dan pendidikan ilmu-ilmu sosial yang lebih profesional. Namun sejak awal Orde Baru, khususnya setelah memasuki tahun 1970-an -- sejalan dengan pulangnya sejumlah sarjana ilmu sosial yang menyelesaikan studi mereka di luar negeri,  tampaknya  terdapat loncatan-loncatan penting. Koentjaraningrat, ed. (1979), dan Taufik Abdullah dalam salah satu eseinya (1983) telah mendokumentasikan dengan baik data mengenai perkembangan ini, begitu juga pencapaian-pencapaian ilmu sosial dan kemanusiaan, di samping rintangan-rintangan struktural yang dihadapi selama dekade 1970-an dan awal 1980-an. 

Secara kuantitatif terdapat loncatan yang sangat signifikan, misalnya, jumlah perguruan tinggi yang mengajarkan ilmu sosial dan kemanusiaan dari hanya 2 (dua) buah fakultas ilmu sosial “gado-gado” sebelum perang, berkembang menjadi 74 fakultas ilmu sosial dan kebudayaan pada awal 1980-an. Dalam hal ini termasuk fakultas-fakultas ekonomi, hukum, psikologi, sastra, filsafat, komunikasi, ilmu-ilmu sosial dan politik. Jumlah ini pastilah makin bertambah besar lagi sejak dua dekade belakangan. Bersamaan dengan itu, jumlah mahasiswanya pun juga meningkat tajam dari hanya sekitar 318 pada tahun 1940 tanpa spesifikasi bidang studi mereka –- kecuali pengelompokan berdasarkan etnik (157 pribumi, 78 Cina dan 83 Eropa) – menjadi 134.000 mahasiswa pada tahun 1975; di antaranya hampir separo (53.000 mahasiswa) yang terdaftar pada fakultas ilmu sosial dan kebudayaan (Abdullah 1983: 24). Begitu juga staf pengajarnya; jika pada zaman sebelum perang jumlah dosen dan peneliti yang amat terbatas itu umumnya terdiri dari orang Belanda, maka sejak akhir 1950-an ke belakang –- dengan terjadi pengusiran para profesor Belanda dari Indonesia –- tenaga staf pengajarnya dipegang oleh orang Indonesia seluruhnya, dengan beberapa kekecualian masuknya sejumlah kecil dosen kontrak dari luar.

Sejak tahun 1971, lagi-lagi memetik dari tulisan Taufik Abdullah (1983:25ff.), banyak program peningkatan mutu pengajaran dan penelitian ilmu sosial telah dilakukan, termasuk di antaranya peningkatan peran ahli-ahli ilmu sosial dalam usaha-usaha pembangunan. Berbagai lembaga penelitian dibentuk, begitu juga organisasi profesi keahlian dalam pelbagai kelompok disiplin ilmu sosial dan kebudayaan. Pada saat yang sama seminar-seminar dan penataran-penataran mulai digalakkan. Sejak 1974, misalnya, setiap depertemen pemerintah diminta untuk mendirikan lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang) guna membantu pemerintah merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan di berbagai bidang.  Di luar itu, lembaga-lembaga dan/ atau pusat-pusat penelitian universitas atau perguruan tinggi umumnya memperoleh kesibukan baru mengadakan kontrak-kontrak proyek penelitian dalam pelbagai bidang. Penting juga disebutkan, peranan LEKNAS-LIPI sebagai lembaga riset non-departemental yang paling andal pada masa ini, tidak hanya terlibat aktif dalam melakukan riset-riset profesional, melainkan juga menjalin kerja sama penelitian, pelatihan dan pendidikan ahli ilmu sosial Indonesia dengan universitas-unversitas dan lembaga-lembaga penelitian di dalam dan luar negeri. Peranan unik yang dimainkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial) juga perlu dicatat, manakala lembaga semi-pemerintah itu, di samping melaksanakan proyek-proyek penelitian jangka pendek juga menerbitkan jurnal Prisma, sebuah jurnal ilmu sosial paling terkemuka di Indonesia selama dua dekade lalu dan buku-buku teks universitas, baik karya terjemahan maupun karya penulis Indonesia.

Mengamati perkembangan ilmu sosial sampai tahun 1980-an, pada umumnya orang berpendapat bahwa tingkat dukungan dan minat pemerintah terhadap ilmu sosial di Indonesia melebihi negara mana pun di Asia Tenggara (Mofit, 1983: 63). Peluang ini dalam satu lain hal jelas merupakan buah yang disemaikan sejak tahun 1950-an, ketika ilmu sosial developmentalis makin mengikis tradisi ilmu sosial kolonial alias indologie. Jika kita menoleh kembali ke keadaan ilmu sosial di masa Orde Baru, setidaknya ada beberapa kecenderungan menarik untuk dicatatkan di sini.

Pertama, Indonesia secara lambat laun tapi pasti menjadi lahan studi yang semakin menarik perhatian kesarjanaan secara internasional. Mula-mula Amerika Serikat, kemudian Australia dan beberapa negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Jerman dan belakangan juga di Eropa Utara yang berpusat di Swedia dan Jepang.  Sejalan  dengan ini dua gejala menarik perlu dicatat: pertama masuknya kembali generasi baru peneliti Belanda yang sudah ‘tercerahkan’ dalam paradigma baru dalam “werkgroep” Indonesich studies dengan sejumlah bidang studi (vakgroep) di berbagai universitas Belanda,   menggantikan mantel lama, indologie. Kedua timbulnya kesadaran baru di kalangan sarjana Asia Tenggara tentang hubungan regional antar-negara-negara di kawasan itu, yang sebelumnya tidak dikenal. Ini tentunya sejalan proses-proses dekolonisasi politik paska PD II, tetapi sejalan dengan itu rupanya terjadi semacam proses “dekolonisasi metodologi”, ketika Asia Tenggara dimaknai sebagai lapangan studi yang masuk akal (reasonable) dalam riset-riset ilmu sosial sampai saat ini. Ikhtiar terakhir untuk mengonstruksikan kawasan Asia Tenggara sebagai a tangible field of study, telah diajukan oleh O.W. Wolters (1994).

Lebih dari yang sudah-sudah”, tulisnya, “kebutuhan untuk bersikap self-awareness demi memahami lebih baik tentang sejarah masa lampau kawasan itu, perlu direnungkan kembali”. Ia mengingatkan bahwa upaya menjadikan Asia Tenggara sebagai lapangan studi yang up-to-date haruslah pula ditopang oleh kesadaran komunitas akademik di kawasan itu untuk melihat sejarah dan masyarakat di kawasan mereka itu sebagai bagian dari “jagad” global yang makin integral daripada sekedar menjadi bagian dari kawasan terpencil. Bila demikian, maka ciri pertama ilmu sosial Indonesia pada periode ini ialah terjadinya internasionalisasi studi Indonesia, dan sebaliknya mempertegas pengikisan pengaruh indologie atau ilmu sosial kolonial yang telah berlangsung sebelumnya, yang notebene adalah monopoli sarjana Belanda.

Kedua, diskusi-diskusi tentang ilmu sosial terutama ditandai oleh rangkaian debat kerisauan tentang mutu ilmu sosial di Indonesia dan relevansinya dengan pembangunan yang sedang berjalan. Oleh karena diskusi dan pembahasan seperti itu cenderung direduksikan kepada soal-soal sebab-musabab kemacetan ilmu sosial dari segi teknis dan rintangan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah, maka diskusi-diskusi kritis di bidang teori-metodologi “hampir tak pernah terjadi” (Otto D. van den Muijzenberg 1997: 153). (Kita kembali membahas ini secara lebih terinci pada bagian tersendiri di belakang nanti). Di situ isu-isu yang sering mengemuka cukup rumit dan beragam, mulai dari argumen bahwa ilmu sosial di Indonesia masih relatif muda; terbatasnya jumlah sarjana yang terlatih secara profesional, yang terjebak dengan jabatan rangkap; terbatasnya insentif kelembagaan untuk menghasilkan penelitian yang bermutu, yang bisa digunakan bagi pengambil keputusan; pembatasan-pembatasan (constrains) yang bersumber pada kebijakan pemerintah dan/ atau “pesan sponsor” (baca: negara), yang membatasi fokus penelitian pada aspek-aspek yang diperlukan untuk tujuan “pembangunan” yang berorientasi top-down  atau “selera beginda.”

Dengan begitu, meskipun kelihatannya ada komitmen dan penghargaan pentingnya penelitian ilmu sosial untuk tujuan pembangunan, sama sekali tak ada jaminan bahwa produk penelitian ini secara aktif digunakan dalam proses pembuatan kebijakan. Banyak yang sependapat, bahwa temuan penelitian yang nyata-nyata berorientasi pada kebijakan yang diambil pemerintah, dalam prakteknya, tidak sungguh-sunguh dilakukan (Mofit, 1983: 64), kecuali sebatas “legitimasi” bahwa suatu kebijakan diambil berdasarkan hasil penelitian ilmiah. Erat kaitannya dengan ini ialah bahwa sejumlah ilmuwan sosial Indonesia atau pun asing mengalami musibah akibat mengemukakan atau menerbitkan pandangan mereka yang bertentangan dengan rejim penguasa. Semua alasan ini bukan tidak ada korelasinya dengan persoalan mutu ilmu sosial di Indonesia, namun betapapun hebatnya mutu keilmuan mereka dan keteraplikasiannya dalam pembangunan, komunitas ilmu sosial itu tetap berada pada kedudukan yang lemah, karena menjadi subordinasi dari rejim otoriter yang sedang berkuasa dan sedikit banyak juga merupakan konsekuensi logis dari paradigma ilmu sosial developmentalis yang mereka pegang teguh. Agaknya dalam hubungan inilah Kleden (dalam Nordholt & L. Visser, 1997:35), menyebut ilmu sosial di Indonesia pada masa ini cenderung menjadi ilmu milik negara dalam arti “ilmu tentang segala hal ihwal yang menjadi kepentingan negara.” Jika demikian halnya maka pada fase ini negara tampaknya ikut bertanggung jawab terhadap kemandegan ilmu-ilmu sosial di Indonesia, di samping faktor-faktor lain yang disebutkan di atas.

Ketiga, menajamnya kadar “parokhial” antardisiplin ilmu yang berbeda-beda, baik ke luar maupun ke dalam. Ke luar, maksudnya klaim keabsahan pembagian utama ilmu pengetahuan modern ke dalam tiga locus yang secara instrinsik dianggap  berbeda: rumpun ilmu alam, ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan. Ke dalam maksudnya perbedaan di antara disiplin-displin ilmu sosial itu sendiri. Kedua-duanya sama parahnya karena masing-masing saling mengabaikan dan bahkan melecehkan satu sama lain. Celakanya kelompok yang satu cenderung memandang jelek yang lain, atau kalau bukan demikian saling menunjukkan kehebatannya. Ahli sejarah atau mahasiswa sejarah seringkali dilecehkan dengan mengaggap pekerjaan mereka hanyalah sebagai tukang kumpul fakta-fakta (facts-collector) manusia yang telah mati; pekerja ilmu amatiran yang rabun, karena tidak mempunyai teori, sesuatu mengingatkan kita pada ejekan Herbert Spencer yang mengatakan bahwa sejarawan hanyalah tukang angkat batu yang akan digunakan sosiologiwan untuk membuat bangunan.  Sebaliknya banyak sejarawan yang memandang ilmuwan sosial sebagai orang yang suka menggunakan jargon-jargon  yang abstrak untuk menyatakan hal-hal yang sudah jelas; tidak memiliki sense waktu dan tempat, membenamkan individu ke dalam kategori-kategori yang kaku; maka untuk menutup semua ini, mereka menyebut kegiatan mereka sebagai hal yang ‘ilmiah’. Di beberapa tempat di Indonesia, para dosen dan mahasiswa fakultas tertentu ikut mendesak agar pindah ke atau bergabung dengan fakultas lain karena beberapa alasan praktis, antara lain merasa ijazah cap fakultas mereka kurang “bonafide” atau kurang dihargai oleh pemerintah atau biro pelayanan tenaga kerja.

Sebaliknya ada yang mendua, ingin bertahan atau berpindah dengan alasan sendiri-sendiri. Dalam hiruk pikuk pembangunan dewasa ini kedudukan ilmu ekonomi sebagai salah satu cabang ilmu sosial  mengingatkan kita kepada klaim Samuelson yang menganggap disiplin ilmu ekonomi sebagai “queen of social sciences”.  Ilmu ekonomi seakan-akan menjadi “anak mas” dalam “pembangunan” Orde Baru yang memang sinonim dengam pembangunan ekonomi. Jika demikian halnya, maka tidak heran apabila ilmu-ilmu sosial nonekonomi cukup diletakkan sebagai ilmu-ilmu bantu (ancillary sciences) yang berperan hanya sekedar untuk menangani side effects yang ditimbulkan oleh proses pembangunan ekonomi. Dalam keadaan demikian ilmuwan sosial seakan-akan mengalami disorientasi peran yang semestinya dapat mereka lakukan. Sesungguhnya di sinilah awal ketimpangan ilmu sosial (dalam bentuk tunggal) Indonesia makin dirasakan, yakni ketika pengotak-kotakan ilmu-ilmu sosial (dalam bentuk jamak) semakin tajam, baik pada tataran institusi akademik dan paedagogik di satu pihak, maupun pada tataran masyarakat luas di lain pihak.

Akhirnya yang keempat, erat kaitannya dengan butir di atas, ialah ketidakjelasan atau mungkin kerancuan dalam menyiasati perkembangan ilmu sosial yang kelihatan makin tak terkendali, sehingga menimbulkan kebingungan-kebingungan yang terkesan belum tersedia jawabannya. Di satu pihak terdapat pengkotak-kotakan yang semakin tajam dalam rumpun ilmu-ilmu sosial dan di lain pihak terjadi pencagihan spesialisasi yang kelihatan semakin mendekatkan mereka satu sama lain.

Dewasa ini ilmu-ilmu sosial nonekonomi misalnya semakin terspesialisasi ke dalam bagian yang lebih kecil seperti terlihat dalam literatur sosiologi pembangunan, komunikasi pembangunan, antropologi pembangunan, administrasi pembangunan, di samping ilmu ekonomi sendiri bahkan perlu mempertegas dirinya dengan ekonomi pembangunan sebagai salah satu subdisplinnya. Dalam proses pencanggihan semacam itu, terdapat kecenderungan yang berlawanan; di satu pihak terdapat klaim bahwa ilmu sosial semakin dianggap penting peranannya dalam memecahkan masalah-masalah pembangunan, tetapi di lain pihak ada kecurigaan bahwa ilmu-ilmu sosial dianggap unsur yang “mengganggu” karena dicap mempersulit perencanaan ekonomi dan tak mampu memberikan indikator empirik yang terukur menurut model pembangunan yang makin lama makin bergerak ke paradigma positivistik.  Dalam situasi yang paradoks seperti itu, di manakah sesunguhnya tempat ilmu-ilmu sosial (dalam bentuk jamak) Indonesia, khsususnya di tengah-tengah perkisaran sejarah bangsa yang tengah dilanda krisis multidimensi berkepanjangan dewasa ini, yang notabene berada  pada pergantian zaman: pergantian abad, pergantian milenium, pergantian rejim, pergantian paradigma dan seterusnya?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar