Oleh
Budiwirman
Dosen Jurusan Seni Rupa UNP
Editor Nasbahry Couto
Peta: Untuk mengetahui tempat nagari Silungkang (klik Wikimapia ini)This study aims to identify the symbolic values of education in traditional clothes Silungkang West Sumatra, to identify the motif forms containing symbolic values of education in songket Silungkang, and analyze the educational values inherent in songket Silungkang.
To browse on the symbolic values of education that is contained in these Songket, with the principal elements that must be found according to the formulation of the problem points, then used Ethnographic research methodology.
The types of research used ethnographic methods are associated with qualitative research. That is, qualitative researchers are as human instruments, serves to set the focus of research, selecting informants as data sources, collecting data, assessing data quality, analyze data, interpret data and make conclusions on its findings, and techniques of data analysis performed by analysis of the interactive model meaning, this analytical model has three kinds of main analytical components, namely data reduction, data and conclusion / verification. Each researcher collected data moving constantly until the data / information collected is considered adequate to answer the problem of research and conclusion.
The results obtained based on the symbolic values of education contained in songket used by indigenous stakeholders (the prince and Bundo Kanduang) in the customary phrase says: smart (clever), know (knowledge), good (qualified), which means clever means, that the stakeholders were educated indigenous. Know means that stakeholders must customary practice that belongs to your knowledge, and good means he has the expertise and wisdom in leading the community, especially his own kind. Conclusion of this research is on both the prince and songket there Bundo Kanduang symbolic values of education who became role models for indigenous peoples in the region itself.
Keywords: Symbolic, Songket, Culture.
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau terdapat berbagai jenis kriya yang muncul sebagai tuntutan budaya masyarakat
tradisi seperti; kriya ukir,
tenun/songket, sulam, tembikar/ keramik, kriya anyam dan lain sebagainya. Kriya
ini pada mulanya bentuknya sederhana -- sesuai dengan perjalanan waktu--
akhirnya disempurnakan sesuai kebutuhan nagari-nagari yang ada di alam budaya Minangkabau atau kawasan yang sekarang
disebut Sumatera Barat. Diantara benda kriya yang dimaksud ada yang dipakai untuk kebutuhan
fungsional, dalam pengertian dipakai untuk kebutuhan sehari-hari dan adapula yang dipakai untuk memenuhi
tuntutan upacara adat tradisi
Minangkabau.
Salah
satu produk kriya yang terkait dengan upacara adat yang dimaksud adalah kain tenun yang berbahan songket. Kain tenun ini
umumnya dipakai pada setiap perayaan dan
upacara adat masyarakat tradisi Minangkabau seperti upacara
adat perkawinan, upacara adat
pengangkatan Pangulu, dan upacara
lainnya.
Menurut Ismael, Sudirman
(2007), bentuk pakaian, serta tatacara dalam menggunakan rumah adat adalah
bagian dari kebiasaan suatu nagari, yang disebut “adat
istiadat”, pembagian adat itu dapat dilihat pada gambar 1. Dari (Gambar
bagan 1) ini, dapat
dipahami bahwa corak pakaian adat atau
bangunan adat suatu nagari di Minangkabau bisa
berbeda antara satu nagari dengan nagari yang lain. Misalnya pakaian adat
tradisi pada daerah Luhak 50 Kota, Payakumbuh akan berbeda dengan pakaian adat tradisi
di daerah rantau kota Padang,
demikian juga bisa berbeda dengan yang di pakai di luhak Agam. Ketiga luhak asal budaya Minangkabau (Agam, 50 Kota,
Tanah Datar), luhak-luhak ini sekarang disebut dengan Kabupaten.
Walaupun ada perbedaan dalam corak berpakaian atau rumah adat di suatu nagari, namun tidak setiap nagari di Sumatera Barat memproduksi sendiri bahan pakaian adat itu yang sebagian besar berbahan songket. Diantaranya yang menjadi pusat kriya kain tenun songket ini di Sumatera Barat adalah nagari Silungkang, Pandaisikek (Kabupaten Tanah Datar), Kubang (Kabupaten Lima Puluh Kota). Dari ketiga penghasil Songket itu, hasil produksi kriya songket Silungkang dapat dianggap yang terproduktif, dengan demikian hasil songket di kawasan ini tersebar ke seluruh daerah Sumatera Barat. Dan hal ini salah satu alasan untuk menjadikan songket Silungkang menjadi objek penelitian dan tulisan ini (lihat gambar 2). Namun alasan yang terpenting adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu tidak banyak lagi orang yang memahami makna dan nilai yang terkandung dari pakaian adat yang berbahan songket ini yang berasal dari budaya Minangkabau. Banyak literatur dan bahan mengenai songket seperti songket Palembang, Jambi dan sebagainya, pembahasan mengenai songket Minangkabau boleh dikatakan sangat sedikit. Disamping itu baik secara internasional maupun nasional telah dicanangkan Undang-undang untuk melestarikan “Warisan Budaya Tak-Benda” (intangible cultural heritage), sebab warisan budaya takbenda ini mudah hilang dan diketahui lagi oleh generasi yang akan datang (Sedyawati, Edy, 2003:vii-xvii). Berarti bahwa “warisan budaya tak benda” yang tak terlihat dari kriya songket ini penting untuk dilestarikan dan diselidiki.
Ibrahim, Anwar,dkk. (1986),
menjelaskan bahwa pakaian adat tradisional memiliki peranan penting dalam
upacara-upacara adat tertentu. Melalui pakaian adat tersebut tergambar
pesan-pesan, nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya, serta berkaitan
pula dengan aspek-aspek lain dari kebudayaan seperti ekonomi, sosial, pendidikan, politik dan
keagamaan.
Berkenaan dengan pesan
nilai-nilai budaya yang ingin disampaikan itu, maka ungkapan makna itu dapat dilihat melalui berbagai sistem
penandaan dari ragam cara berpakaian dan ragam
hias pakaian adat tradisional tersebut. Menurut Couto (2008) dengan mengutip ilmu
bentuk dari Wallsclaeger, C,
& Snyder Cynthia Busic (1992) dan semiotika Sausure dan Pierce, secara teoritik sistem penandaan itu
dapat dilihat dari (1) ilmu bentuk, dan,
(2) ilmu persepsi
atau komunikasi visual, serta (3) sistem tanda, ilmu semiotika (ikon, simbol, indeks),
sintaktik dan semantik.
Dari segi ilmu bentuk,
maka terdapat perubahan bentuk (transformasi bentuk) dari motif hias ukir
bangunan rumah adat ke motif hias songket yang diselidiki oleh Minarsih (1998). Akibatnya sistem makna yang ada pada ukiran
rumah adat memiliki kesamaan dengan yang terdapat motif hias tekstil, khususnya
songket. Transformasi bentuk adalah akibat perubahan
teknik meujudkan motif dengan nama
dan makna yang sama tetapi untuk maksud yang berlainan. Transformasi bentuk ini menurut
penelitian Couto (1998) juga terdapat dalam ragam kriya ukir rumah adat Minangkabau. Dari
segi bahasa visual atau komunikasi visual ada lima cara untuk menyampaikan
maksud yaitu secara (1) verbal, (2)
nonverbal, gerak-isyarat, (3) gambaran objek, (4) abstraksi gambaran objek, (5)
abstrak non-gambaran.
Gambar 2. Lokasi Penelitian (Silungkang) dan tiga pusat penghasil songket di Sumatera Barat
Gambar 3. Kesimpulan media komunikasi manusia, pesan dan kode pesan yang dipakai, Sumber Couto, Nasbahry (2010) dengan mengadaptasi Wallschlaeger (1991). Bahasa bentuk motif hias songket umumnya melalui (1), (3) dan (4) atau melalui verbal, gambaran objek dan atau abstraksi dari gambaran objek.
Gambar 4. Abstraksi gambaran objek: transformasi bentuk pada motif hias tradisi Minangkabau (bahasa visual), nama motif adalah bahasa komunikasi verbal.
Menurut Couto , dalam Sediyawati, Edi (2003), ada dua cara dalam menyampaikan maksud tertentu melalui bahasa visual,
pertama adalah melalui elemen
(unsur), kedua melalui kumpulan atau susunan elemen (sintaktik) dan atau bahasa bentuk. Dalam hal ini motif hias adalah elemen, cara memakai dan meletakkan
elemen dan komposisi elemen adalah sintaktiknya. Keduanya dapat dibaca maknanya (semantik) baik sebagai
elemen tunggal (motif hias dan
bagian pakaian) maupun sebagai kumpulan elemen (cara
berpakaian). Sebab cara berpakaian adalah termasuk kumpulan elemen (sintaktik). Kedua cara
ini secara visual dipakai dalam membaca makna pakaian adat tradisional songket
Silungkang.
Pembacaan makna (semantik) melalui
kumpulan elemen dilakukan berdasarkan aturan-aturan
tertentu misalnya (1) kapan suatu jenis
pakaian adat dipergunakan, (2) siapa yang harus memakainya, dan (3) bagaimana cara memakainya. Hal ini mengikuti
aturan-aturan yang telah disepakati sesuai dengan ketetapan adat di suatu nagari.
Hal ini diperkuat oleh Kartiwa (1994) yang menjelaskan bahwa, kain tenun songket merupakan bagian perwujudan
budaya masyarakat pemakainya. Antara
lain, tidak semua orang dibenarkan memakai busana ini, adanya nilai kesakralan, adanya persyaratan
pemakainya, dan nilai simbolis sebagai pakaian
kebesaran. Minarsih (1998), juga
menjelaskan bahwa yang diperbolehkan memakai kain songket di dalam budaya Minangkabau adalah orang-orang
tertentu (terpandang dalam masyarakatnya), yaitu pendukung upacara adat seperti (1) Bundo Kanduang, (2) Datuk dalam berbagai upacara
adat dan (3) Penganten dalam upacara adat perkawinan . Betapapun kayanya seseorang dan berkesanggupan memiliki benda itu, namun ia tetap
tidak diperkenankan memakai sesuka hati.
Jika pembacaan makna dapat melalui sistem kumpulan elemen (sintaktik) maka pembacaan makna visual (semantik ) yang kedua adalah melalui unsur atau elemen yang terdapat pada pakaian adat (kumpulan elemen), yaitu motif hias. Budiwirman (1986), menjelaskan bahwa, setiap motif hias yang terdapat pada kain tenun songket tradisional dapat mempunyai makna tertentu yang telah disepakati bersama (konvensi).
Baik
makna sintaktik dengan metamorfosisnya, maupun
makna elemen dapat dibaca melalui dua cara, yang pertama
melalui bahasa visual yang kedua
melalui bahasa verbal (misalnya melalui nama setiap motif hias). Seperti yang
diterangkan Couto di atas bahwa bahasa visual mudah mengalami transformasi bentuk (ber-metamorfosis),
demikian juga sintaktiknya (perubahaan susunan elemen) yang menyebabkan maknanya juga berubah
(semantik). Dalam posisi ini maka pembacaan makna akan
lebih mudah melalui bahasa verbal. Sebab keduanya (bahasa verbal maupun bahasa visual) memang memiliki hubungan satu
dengan yang lainnya --yang dibaca -- melalui ikon (yang menyerupai
sesuatu), indeks (yang
mengindikasikan sesuatu) dan simbol (kesepakatan
makna, atau konvensi). Pembahasan selanjutnya umumnya ditekankan kepada yang
terakhir ini yaitu pembacaan makna melalui simbol (lambang). Sebab ini perihal yang diusahakan agar dapat dipertahankan pergenerasi.
Khusus
dalam hal lambang, Daryusti (2006),
menambahkan, bahwa lambang merupakan
unsur yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Bahkan manusia disebut
sebagai homosimbolicum, yang artinya
sebagai pencipta dan pemberi makna melalui lambang.
Lambang adalah “arti sesuatu” berdasarkan persetujuan bersama (konvensi), sebagai
sesuatu yang memberikan sifat alamiah dan kualitas yang sama dan dapat
mewakili, mengingatkan kembali, atau membayangkan dalam kenyataan atau pikiran
(Daryusti, 2006).
Jika hal ini dikaitkan dengan perlambangan yang ada pada kain dan cara berpakaian adat minang, maka semua gerak langkah, semua tindakan dan perbuatan harus disesuaikan dengan makna yang disetujui pada pakaian adat itu. Memakai Destar berarti simbol manusia yang telah mencapai taraf pikiran yang tinggi, berpendidikan, arif dan bijaksana sesuai dengan tempatnya di kepala. Berbagai ragam hias yang terdapat pada Destar ditafsirkan maknanya oleh masyarakat tentang cara berpikir yang baik. Salah satu motif motif hias misalnya, Pucuk Rebung, dalam falsafah adat rebung ini adalah perlambang manusia terpakai, yang tertera dalam kata mamangan: “ muda berguna, tua terpakai” , menjadi contoh tauladan bagi kaumnya.
Kemudian kain tenun
songket yang dijadikan pakaian seperti Baju,
diistilahkan pandindiang miang, ialah
suatu kain yang diperuntukkan bagi tirai yang melekat pada dinding.
Makna dari kain pandindiang miang bagi masyarakat Nagari Silungkang ialah agar berjalan dan hidup penuh perasaan dengan bertitik tolak pada alam takambang dijadikan guru (alam
terhampar dijadikan guru). Baju yang melekat dibadan tidak hanya dijadikan
pembalut tubuh saja, melainkan diikuti oleh langan
besar dan longgar. Lengan yang
besar diibaratkan sebagai pengipas jika
panas agar jadi sejuk baik untuk diri sendiri maupun untuk anak Kemenakan,
potongan yang besar mengibaratkan sipemakai berjiwa besar, beralam lapang, bersifat sabar. Perwujudan baju ini menggambarkan
sifat yang harus dimiliki serta keharusan oleh seorang pemimpin untuk ditaati
ditengah kampung.
Didasarkan pada fungsi dan
makna filosofis baju menunjukkan sipemakai
harus memiliki hati lapang sebagai inti dalam menyelesaikan segala
permasalahan yang tedapat dalam lingkup komunitas kaumnya, permasalahan
tersebut dapat diselesaikan manakala cukup syarat melalui kata-kata bijak dalam
satu perundingan.
Umumnya pengetahuan
tentang pemakaian dan pembuatan pakaian adat beserta kelengkapannya, diajarkan
secara lisan atau dengan cara menirukan dan berlangsung secara turun-temurun (Ibrahim,
Anwar,dkk. (1986). Pengetahuan itu hanya dicatat dalam ingatan dan berulangkali
dipraktekkan setiap dibutuhkan oleh keluarga yang akan mengikuti
upacara-upacara bersangkutan. Oleh
karena semuanya tidak tertulis dan hanya ada dalam ingatan saja, maka tradisi
pakain adat serta perhiasan dan kelengkapannya itu mudah mengalami perubahan,
sehingga timbulah bentuk-bentuk baru dalam pakaian adat tradisional yang sulit
dilacak bentuk mana yang paling tua.
Dengan Keberadaan kain
tenun songket sebagaimana diuraikan di
atas, mendorong dilakukannya penelitian dan pengkajian lebih dalam
terhadap Simbolik Pendidikan dalam
Songket Silungkang, Sumatera
Barat.
B. Metode Penelitian
Untuk melakukan kajian
tentang makna mendidik dan pendidikan pada
kain Songket Silungkang -- dengan unsur-unsur
pokok yang harus ditemukan -- maka digunakan metodologi penelitian Etnografi. Spradley (1997), menjelaskan bahwa
metode etnografi adalah merupakan metode
yang digunakan untuk meneliti masyarakat dan makna terhadap objek yang
diteliti. Metode etnografi menyiratkan suatu cara kerja (pendataan, analisis,
dan penyajian) yang bersifat menyeluruh atau holistik.
Adapun
jenis penelitian yang digunakan terkait dengan metode etnografi adalah
penelitian kualitatif. Maksudnya, temuan-temuan dilapangan akan diolah secara
deskripsi kualitatif. Dengan kata lain prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati (Bogdan,1975).
Objek
penelitian ini adalah kain tenun songket
sebagai ciptaan manusia. Jelaslah akan mengandung unsur-unsur nilai, norma dan lambang yang sulit dipertemukan dengan faktor angka,
statistik dan kuantum lainnya. Nilai, norma dan lambang hanya mungkin dipertemukan dengan
gejala-gejala alami (fenomenologis), interaksi simbolik dan budaya (Moleong,
1989).
Oleh
sebab itu, interaksi simbolik dan budaya tersebut adalah tiga serangkai, modus
yang bila dihadapkan kepada budaya tradisional di Silungkang, maka akan kentara
sekali sentuhan-sentuhannya terhadap beberapa aspek budayanya.
Interaksi
simbolik dapat dilihat pada aspek budaya fisiknya. Diantara wujud budaya fisik
yang paling menonjol interaksi simboliknya disamping bahasa visual, juga terdapat dalam bahasa
verbal yaitu “petatah-petitih”.
Petatah-petitih mengandung lambang diskursif. Pakaian adalah bahasa visual yang mengandung lambang presentational. Artinya petatah-petitih
sebagai suatu ungkapan pikiran disampaikan secara berkias sekaligus merupakan lambang
diskursif mengandung makna untuk
dimengerti. Pakaian adat sebagai wujud budaya fisik (tangible culture) mengandung pesan untuk dipakai dan diresapi. Yang
berarti dapat dimengerti makna-makna yang ada di dalamnya.
Dengan penggunaan metode
ini, maka dapat ditemukan data yang bersifat proses kerja, deskripsi yang luas
dan mendalam, perasaan, norma, keyakinan, sikap mental, etos kerja, dan budaya
yang dianut seseorang maupun sekelompoknya. Dengan demikian maka akan dapat
diperoleh data yang lebih luas, pasti, sehingga memiliki validitas yang tinggi
dan mendalam.
C. Hasil Penelitian
1. Lambang Mendidik dan Pendidikan pada Pakaian Adat Silungkang
Kain
tenun songket merupakan bagian dari perangkat pakaian adat di Nagari Silungkang. Sebagaimana yang telah
diuraikan pada bagian terdahulu, bahwa pakaian adat terdiri dari; pakaian Pangulu, Manti, Dubalang, dan Bundo
Kanduang. Keberadaan kain tenun songket dengan ragam hias yang terdapat
pada kain tenun tersebut merupakan lambang yang memiliki makna tertentu yang erat
kaitannya dengan fungsi dari masing-masing pemangku adat yang menggunakan
pakaian tersebut. Marianto
(2006) mengatakan, bahwa hermeneutika dapat diartikan sebagai seni atau keterampilan
menafsirkan, menilai atau memaknai dari suatu teks dalam suatu konteks tertentu, ia dapat diartikan sebagai metode untuk
menilai makna dalam ekspresi kultural apa saja. Misalnya, upaya untuk
mengungkap nilai-nilai yang terkandung dalam makna lambang yang terdapat pada suatu budaya masyarakat,
dapat juga dikatakan sebagai suatu praktik hermeneutika.
a. Pakaian Pangulu
Struktur
pakaian Pangulu yang terbuat dari
kain tenun songket antara lain adalah Sandang, Cawek, dan Sisampiang. Struktur
pakaian tersebut memiliki makna yang berhubungan dengan sistem kekerabatan dan
sistem kepemimpinan seorang Pangulu
di Nagari Silungkang.
Gambar 5. Pakaian Kebesaran Pangulu(Sketsa: Repro Riza Mutia, 1997)
1) Sisampiang
Sisampiang (sarung), adalah bagian dari pakaian Pangulu yang memiliki makna atau lambang
sebagi pedoman bagi Pangulu dalam bertindak melaksanakan tugas-tugasnya sebagai
pemimpin kaum dalam masyarakat. Bahwa seorang pemimpin yang telah diberi amanat
oleh anak kemenanakan untuk memimpin
kaum mereka wajib untuk mentaati kesepakatan dalam adat. Daryusti (2006)
mengatakan, bahwa lambang merupakan
unsur yang esensial dalam kehidupan manusia. Bahkan manusia disebut sebagai homosimbolikum, yang artinya sebagai
pencipta dan pemberi makna terhadap lambang .
Sebagaimana dikatakan dalam petuah adat bahwa badiri Pangulu sapakaik kaum, bahwa keberadaan seorang Pangulu di dalam kaum atau di dalam sebuah kampung adalah atas kesepakatan atau persetujuan kaum yang akan dipimpinnya. Bahwa di Silungkang setiap laki-laki dapat atau bisa menjadi seorang Pangulu, hal ini disebabkan karena seorang Pangulu haruslah seorang laki-laki. Selanjutnya seorang Pangulu hendaklah seorang laki-laki yang memiliki kriteria tertentu yang dapat diangkat menjadi seorang pemimpin. Selanjutnya satu hal yang amat penting dalam menentukan seorang Pangulu atau pemimpin kaum adalah kesepakatan kaum yang akan dipimpin. Oleh karena itu walaupun seorang laki-laki telah memenuhi segala kriteria untuk menjadi seorang Pangulu, akan tetapi jika kaum yang akan dipimpinya tidak memberikan kata sepakat atau persetujuan bersama, maka laki-laki tadi tidak dapat diangkat menjadi seorang Pangulu. Oleh karena itu Sisampiang sebagai sebuah struktur pakaian Pangulu memiliki makna simbolik sebagai pemberi arah, pemberi rambu-rambu, pemberi batasan terhadap seorang Pangulu dalam melaksanakan fungsinya dalam kaum yang dipimpinnya.
1) Cawek
Sebagaimana dikatakan dalam petuah adat bahwa badiri Pangulu sapakaik kaum, bahwa keberadaan seorang Pangulu di dalam kaum atau di dalam sebuah kampung adalah atas kesepakatan atau persetujuan kaum yang akan dipimpinnya. Bahwa di Silungkang setiap laki-laki dapat atau bisa menjadi seorang Pangulu, hal ini disebabkan karena seorang Pangulu haruslah seorang laki-laki. Selanjutnya seorang Pangulu hendaklah seorang laki-laki yang memiliki kriteria tertentu yang dapat diangkat menjadi seorang pemimpin. Selanjutnya satu hal yang amat penting dalam menentukan seorang Pangulu atau pemimpin kaum adalah kesepakatan kaum yang akan dipimpin. Oleh karena itu walaupun seorang laki-laki telah memenuhi segala kriteria untuk menjadi seorang Pangulu, akan tetapi jika kaum yang akan dipimpinya tidak memberikan kata sepakat atau persetujuan bersama, maka laki-laki tadi tidak dapat diangkat menjadi seorang Pangulu. Oleh karena itu Sisampiang sebagai sebuah struktur pakaian Pangulu memiliki makna simbolik sebagai pemberi arah, pemberi rambu-rambu, pemberi batasan terhadap seorang Pangulu dalam melaksanakan fungsinya dalam kaum yang dipimpinnya.
1) Cawek
Cawek, (ikat pinggang), adalah lambang
pemaut budi (penyatuan akal/pikiran)
terutama dalam memimpin anak Kemenakan
dan masyarakat dalam nagari, Riza
Mutia (1997). Dalam pepatah adat tentang Cawek
seorang Pangulu dikatakan berikut ini.
Cawek suto bajumbai alai, saeto pucuak rabuangnyo, saeto jumbai alainyo, jambua nan tangah tigo tampok. Kapalilik anak kamanakan, panjarek aka budinyo, pamauik pusako datuak, nan kokoh lua jo dalam, nan jinak nan makin tanang, nan lia jan tabang jauah. Kabek sabalik buhua sentak, kokoh tak dapek diungkai, guyahnyo bapantang tangga, lungga bak dukuah dilihia, babukak mangko kaungkai, jo rundiang mako katangga, kato mupakaik kapaungkai.Artinya adalah sebagai berikut.
(Ikat pinggang sutra berjambul elai, sehasta pucuk rebungnya, sehasta jambul elainya, jambul yang tengah tiga jangkal, untuk mengikat anak Kemenakan, penjerat akar budinya, pemaut pusaka Datuk, yanmg kokoh luar dan dalam, yang jinak yang makin tenang, yang liar jangan terbang jauh, ikat sekeliling buhur sentak, kokoh tak dapat dibukak, goyang pantang lepas, longgar seperti kalung di leher, dibuka maka terlepas, dengan runding maka lepas, kata mufakat untuk pembuka).
Cawek atau ikat atau pemikat, atau paut atau
pemaut adalah sebuah ungkapan yang memiliki tujuan untuk membuat seseorang
menjadi tersentuh hatinya, menjadi suka hatinya terhadap sesuatu yang datang
dari seseorang yang ingin memaut hatinya. Dalam hal ini seorang Pengulu adalah
orang yang mampu memaut hati anak Kemenakannya
agar anak Kemenakan tersebut mau
melakukan berbagai hal-hal baik yang berhubungan dengan kemaslahatan bagi
segenap anggota masyarakat.
Cawek memiliki jambul pada kedua ujungnya, dan
memiliki makna dan lambang untuk
pendidikan yang berhubungan dengan sistem kepemimpinan seorang Pengulu. Jambul
memberikan lambang dari akal dan siasat
pemimpin/Pangulu. Seorang Pangulu harus mampu atau memiliki
kemampuan untuk memikat (siasat) hati anak Kemenakan,
sehingga anak Kemenakan mau mengikuti
anjuran atau perintah yang diberikan oleh sang Pangulu.
Berdasarkan uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa Cawek
yang digunakan oleh Pangulu merupakan
lambang untuk pendidikan yang dapat
melambangkan kepemimpinan seorang Pangulu
dalam mengayomi anak Kemenakan sesuai
dengan sistem kekerabatan masyarakat adatnya.
1) Sandang
1) Sandang
Sandang merupakan kain empat persegi panjang terbuat dari
kain tenun songket yang dipakaikan secara melingkar atau di Sandang pada bahu melingkar ke arah
pinggang Pengulu. Mutia (1997) mengatakan, bahwa Sandang merupakan sebuah lambang untuk pendidikan yang memiliki makna
sehubungan dengan kepemimpinan seorang Pangulu.
Dalam sebuah pepatah adat dikatakan bahwa Sandang
adalah pahapuih paluah di kaniang,
pambungkuih nan tingga bajapuik, pangampuang nan tacicie babinjek (penghapus
peluh di kening, pembungkus yang tinggal dijeput, pengumpul yang tercecer
diambil).
Pahapuih paluah di kaniang (penghapus peluh di kening) memiliki makna “penyegaran”, bahwa sesungguhnya seorang Pengulu dalam mengemban tugasnya sebagai seorang pemimpin dalam mengayomi anak Kemenakan, tentulah ia selalu berhadapan dengan berbagai masalah, dan setiap permasalahan yang muncul di tengah kaum atau anak Kemenakan harus diselesaikan secara bijaksana. Kondisi inilah kemudian yang membuat seorang Pengulu menjadi sangat sibuk dalam menjalankan tugas. Oleh karena itu seorang Pangulu perlu melakukan penyegaran, baik itu berupa penyegaran dalam arti yang sempit seperti beristirahat, maupun penyegaran yang bersifat menambah wawasan dan pengalaman guna memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi di tengah masyarakat. Jadi pahapuih paluah di kaniang bermakna untuk nilai-nilai simboliknya pada penyegaran atau penambah wawasan ilmu pengetahuan untuk keperluan menghadapi berbagai persoalan yang timbul di masyarakat.
Selanjutnya Sandang juga bermakna pambungkuih nan tingga bajapuik, pangampuang nan tacicie babinjek (pembungkus yang tertinggal di jeput) kata-kata adat ini mengisyaratkan pesan bahwa seorang Pengulu memiliki tugas untuk menjeput sesuatu yang “tertinggal”. Artinya dalam kehidupan bermasyarakat banyak hal yang dirasakan kurang terutama dalam penerapan ajaran adat, apakah itu tentang sopan santun yang terjadi di kalangan anak-anak muda, sistem pendidikan yang tidak sesuai dengan ajaran adat dan agama, sistem pergaulan yang bertentangan dengan adat dan agama, dan berbagai hal yang terjadi di masyarakat yang menuju kepada pengikisan nilai-nilai adat. Berbagai persoalan yang muncul sebagainana terurai di atas pada intinya adalah persoalan sebab akibat yang dihadapi oleh anggota masyarakat. Sementara dalam ajaran adat bertutur kata adalah kato mandaki, kato manurun, kato malereang, dan kato mandata (kata mendaki, kata menurun, kata melereng, kata mendatar). Namun kemudian banyak orang tua yang tidak memperhatikan keadaan seperti di atas, banyak orang tua membiarkan prilaku anak yang bertentangan tersebut. Dalam konteks pambungkuih nan tingga bajapuik, pangampuang nan tacicie babinjek (pembungkus yang tertinggal di jeput), maka tugas seorang Pengulu adalah membenahi kekurangan-kekurangan, menyadarkan kembali anak Kemenakan yang mungkin dulu tidak diajarkan oleh kedua orang tua mereka tentang adat sopan santun. Penyadaran dan pembenahan terhadap anak Kemenakan tersebut dilakukan oleh seorang Pengulu dengan sebuah cara yang sangat halus dengan konsep tetap melindungi segenap anak Kemenakan, artinya ketika seorang Pengulu mendapati seorang Kemenakan yang melakukan kesalahan, maka Pangulu tidak serta merta memarahi anak Kemenakan tersebut di depan teman-teman sang anak, akan tetapi kemudian seorang Pengulu yang bijak mencari waktu dan tempat yang sesuai untuk mengingatkan sang anak. Sehingga ketika si anak mendapat pengajaran dari mamaknya dia tidak merasa dipermalukan malah sang anak merasa mendapat ajaran yang menyegarkan dan membuat dia merasa semakin menghormati mamaknya (pamanya) sehingga ia semakin yakin kalau mamaknya memiliki tujuan yang baik terhadap dirinya dan masa depannya.
a. Pakaian Bundo Kanduang
Kedudukan
Bundo Kanduang dalam konteks sistem
kekerabatan Matrilinial memiliki peran yang sangat sentral. Dalam pepatah adat
dikatakan sebagai
berikut ini.
Limpapeh rumah nan gadang
Amban puruak pagangan kunci
Amban puruak aluang bunian
Pusek jalo kumpulan tali
Sumarak didalam kampuang
Hiasan dalam nagari
Nan gadang basa batuah
Kok hiduik tampek banasa
Kok mati tampaik baniaik
(Limpapas rumah yang besar
Amban purut pegangan konci
Amban purut alung bunian
Puras jala kumpulan tali
Semarak di dalam kampung
Hiasan dalam negeri
Yang besar basa bertuah
Jika hidup tempat bernazar
Jika mati tempat berniat).
Limpapeh rumah nan gadang
Amban puruak pagangan kunci
Amban puruak aluang bunian
Pusek jalo kumpulan tali
Sumarak didalam kampuang
Hiasan dalam nagari
Nan gadang basa batuah
Kok hiduik tampek banasa
Kok mati tampaik baniaik
(Limpapas rumah yang besar
Amban purut pegangan konci
Amban purut alung bunian
Puras jala kumpulan tali
Semarak di dalam kampung
Hiasan dalam negeri
Yang besar basa bertuah
Jika hidup tempat bernazar
Jika mati tempat berniat).
Petuah adat di atas menggambarkan tentang keberadaan
seorang Bundo Kanduang dalam sistem
kekerabatan, dimana sebagai seorang ibu ia berperan sebagai pemegang tampuk
harta pusaka (Amban puruak pagangan
kunci, dan Amban puruak aluang bunian)
serta sebagai pusat dari perkembangan anak Kemenakan dalam kaum dan dalam nagari
(Pusek
jalo kumpulan tali dan Sumarak didalam kampuang), itulah konsep matrilinial
yang dijadikan dasar hukum dalam sistem kekerabatan masyarakat Nagari Silungkang.
Sebagai
seorang pemangku adat Bundo Kanduang
memiliki pakaian kebesaran yang memiliki simbol-simbol dengan makna-makna
terkait dengan kepemimpinan seorang Bundo
Kanduang. Pakaian kebesaran seorang Bundo Kanduang terdiri dari; Baju, lambak (sarung), Tingkuluak (kain penutup kepala), Salendang, salempang, dan tarompa
(sendal). Struktur pakaian Bundo Kanduang yang terbuat dari kain tenun songket
adalah: 1) Tingkuluak (penutup kepala),
yang dibuat menyerupai atap rumah gadang, atau seperti tanduk kerbau, 2)
baju atau sering pula disebut dengan baju batabua, yang berarti baju yang dihiasi atau ditaburi (batabua) dengan ragam hias, 3. lambak
(sarung), yang juga bertabur dengan ragam hias, 4) Sandang atau (salempang), juga ditaburi motif hias,
dan 5)
Salendang.
1) Tingkuluak
Tingkuluak (penutup kepala),
yang berbentuk gonjong rumah gadang atau seperti tanduk kerbau
memiki makna lambang Ibu atau Bundo Kanduang. Oleh karena itu hanya
kaum perempuan, ibu, atau Bundo Kanduang
yang boleh memakai Tingkuluak
tersebut. Selain itu Tingkuluak juga
bermakna rumah gadang, bahwa pada intinya yang memiliki rumah gadang adalah Bundo
Kanduang. Sesuai dengan sistem matrilinial
yang menjadi dasar hukum adat masyarakat Nagari
Silungkang, bahwa kaum perempuan
adalah titik sentral garis keturunan masyarakat kaumnya. Oleh karena itu rumah
gadang, harta pusaka adalah milik Bundo
Kanduang atau kaum wanitanya.
Gambar 6. “Bundo Kanduang” menggunakan pakaian kebesaran.
(foto: Budiwirman 2010).
1) Baju.
Gambar 6. “Bundo Kanduang” menggunakan pakaian kebesaran.
(foto: Budiwirman 2010).
1) Baju.
Baju (kain pembalut badan), Bundo Kandung di Nagari Silungkang memiliki warna yang beragam,
sebahagian besar terbuat dari kain songket dengan motif batabua. Riza (1997) mengatakan, bahwa baju ini biasanya dirancang
secara khusus yaitu memiliki siba dan
minsia yang memiliki makna lambang .
Secara harafiah minsia merupakan
pembatas, namun secara filosofi minsia memiliki
makna aturan adat bagi seorang perempuan atau ibu atau Bundo Kanduang. Dalam petuah adat disebutkan bahwa seorang Bundo Kanduang adalah: Limpapeh rumah nan gadang, Sumarak dalam nagari,
Hiasan didalam kampuang. Bahwa seorang perempuan dalam tataran adat
Silungkang adalah tiang utama dari sebuah keluarga besar bahkan bagi masyarakat
dalam nagari. Seorang ibu dapat menjadi penentu dari
keberhasilan kehidupan bermasyarakat, seorang ibu memiliki tanggung jawab yang
besar terhadap kelangsungan reproduksi keturunan, bertanggung jawab terhadap
perkembangan atau pendidikan anak Kemenakan
dalam melanjutkan keturunan.
1) Kodek (Sarung)
Kodek atau sarung Bundo
Kanduang memiliki makna kebijaksanaan, dalam sebuah petuah adat disebutkan
mamakan abih-abih, manyuruak ilang-ilang
(memakan habis-habis, bersembunyi hilang-hilang). Seorang ibu hendaklah mampu
mengelola, mengendalikan diri, menjadi orang yang bijaksana dalam mengatur dan
menjalankan aturan adat. Dalam pepatah lain disebutkan bahwa Bundo Kanduang adalah berkut ini.
Nan gadang basa batuah
Kok hiduik tampek banasa
Kok mati tampaik baniaik
Tiang kokoh budi nan elok
Pasak kunci malu jo sopan
Hiasan dunie jo akiraik
Auih tampek minta aieLapa ka tampek minta nasi
(Yang besar sangat bertuah
Jika hidup tempat bernazar
Jika mati tempat berniat
Tiang kokoh budi yang bagus
Pasak konci malu dan sopan
Hiasan dunia dengan akhirat
Haus tempat minta air
Lapar tempat minta nasi).
Pepatah adat di atas menggambarkan tentang sosok ideal seorang Bundo Kanduang dengan segala kebesaran yang dimilikinya untuk mengayomi anak Kemenakan. Namun sesungguhnya dalam konsep lain disebutkan bahwa tidak ada orang yang sempurna di atas dunia ini. Oleh karena itu konsep memakan habis-habis, bersembunyi hilang-hilang, dapat dipandang sebagai sebuah bentuk kebijaksanaan seorang Bundo Kanduang sebagai seorang pemimpin dalam rumah gadang. Bahwa pada dasarnya manusia dapat saja melakukan sebuah kesalahan dalam perjalanan hidupnya, namun kemudian kesalahan-kesalahan tersebut tidak harus dikemukakan sebagai sebuah bentuk kesalahan yang akan berakibat kepada kehancuran semua anggota kaum. Bahwa setiap hal negatif yang muncul hendaklah selalu dimaknai sebagai sebuah kesalahan yang akan diperbaiki di masa yang akan datang. Oleh karenya seorang Bundo Kanduang harus dapat berbijaksana dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Sehingga kemudian berbagai persoalan tersebut tidak dijadikan sebagai halangan, akan tetapi dijadikan sebagai bahan pelajaran untuk masa yang akan datang, agar dikemudian hari berbagai halangan dapat dihindari sehingga perkembangan dan kemajuan tetap menjadi sasaran utama dalam melanjutkan keturunan sebagai salah satu tugas utama Bundo kanduang.
Nan gadang basa batuah
Kok hiduik tampek banasa
Kok mati tampaik baniaik
Tiang kokoh budi nan elok
Pasak kunci malu jo sopan
Hiasan dunie jo akiraik
Auih tampek minta aieLapa ka tampek minta nasi
(Yang besar sangat bertuah
Jika hidup tempat bernazar
Jika mati tempat berniat
Tiang kokoh budi yang bagus
Pasak konci malu dan sopan
Hiasan dunia dengan akhirat
Haus tempat minta air
Lapar tempat minta nasi).
Pepatah adat di atas menggambarkan tentang sosok ideal seorang Bundo Kanduang dengan segala kebesaran yang dimilikinya untuk mengayomi anak Kemenakan. Namun sesungguhnya dalam konsep lain disebutkan bahwa tidak ada orang yang sempurna di atas dunia ini. Oleh karena itu konsep memakan habis-habis, bersembunyi hilang-hilang, dapat dipandang sebagai sebuah bentuk kebijaksanaan seorang Bundo Kanduang sebagai seorang pemimpin dalam rumah gadang. Bahwa pada dasarnya manusia dapat saja melakukan sebuah kesalahan dalam perjalanan hidupnya, namun kemudian kesalahan-kesalahan tersebut tidak harus dikemukakan sebagai sebuah bentuk kesalahan yang akan berakibat kepada kehancuran semua anggota kaum. Bahwa setiap hal negatif yang muncul hendaklah selalu dimaknai sebagai sebuah kesalahan yang akan diperbaiki di masa yang akan datang. Oleh karenya seorang Bundo Kanduang harus dapat berbijaksana dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Sehingga kemudian berbagai persoalan tersebut tidak dijadikan sebagai halangan, akan tetapi dijadikan sebagai bahan pelajaran untuk masa yang akan datang, agar dikemudian hari berbagai halangan dapat dihindari sehingga perkembangan dan kemajuan tetap menjadi sasaran utama dalam melanjutkan keturunan sebagai salah satu tugas utama Bundo kanduang.
Kodek juga bermakna aturan adat bagi seorang Bundo kanduang dalam mengelola harta
pusaka kaum dalam nagari. Seorang Bundo Kanduang sebagai ambun puruak
hendaklah mampu menempatkan atau membuat prioritas atau mengatur lalu lintas
keuangan yang bersumber dari harta pusaka yang akan digunakan untuk keperluan
kelangsungan kehidupan anggota keluarga (anak Kemenakan). Kodek atau
saruang yang dikenakan oleh Bundo
Kanduang adalah penutup sekaligus pemberi arah langkah kaki sang Bundo kanduang dalam menjalani, dalam
mengatur harta pusaka, dalam mengatur sistem reproduksi bagi keberlangsungan
keturunan.
1) Salendang (Salendang )
Salendang merupakan kain empat bersegi panjang yang dipakai oleh kaum wanita (Bundo Kanduang), adalah kain tenun songket yang bermotifkan benang emas. Salendang ini dilambangkan sebagai wadah untuk menyimpan sesuatu pusaka atau kata mufakat, dan tempat menyimpan harta kekayaan. Dapat diartikan sebagai nilai-nilai simboliknya dalam pendidikan bahwa pemakain Salendang akan mengingatkan si pemakai pada cara hidup yang baik tidak boros, ingat akan aturan penggunaan harta sebagai mana mestinya. Motif yang dipergunakan pada kain tenun songket Salendang sama dengan motif kain sarung.
1) Salendang (Salendang )
Salendang merupakan kain empat bersegi panjang yang dipakai oleh kaum wanita (Bundo Kanduang), adalah kain tenun songket yang bermotifkan benang emas. Salendang ini dilambangkan sebagai wadah untuk menyimpan sesuatu pusaka atau kata mufakat, dan tempat menyimpan harta kekayaan. Dapat diartikan sebagai nilai-nilai simboliknya dalam pendidikan bahwa pemakain Salendang akan mengingatkan si pemakai pada cara hidup yang baik tidak boros, ingat akan aturan penggunaan harta sebagai mana mestinya. Motif yang dipergunakan pada kain tenun songket Salendang sama dengan motif kain sarung.
c. Lambang Mendidik dan Pendidikan pada Pakaian
Adat Bundo Kanduang
Makna simbolik
yang terdapat pada struktur pakaian Bundo
Kanduang di Nagari Silungkang memiliki hubungan yang erat
dengan sistem kekerabatan masyarakatnya. Pada struktur dan ragam hias yang
terdapat pada pakaian tersimpan konsep-konsep adat sehubungan dengan aturan
adat, norma-norma adat serta tatanan prilaku terutama bagi kaum wanita dalam
menata sistem kemasyarakatan dalam nagari.
1) Ungkapan Sistem Perekonomian
1) Ungkapan Sistem Perekonomian
Sistem ekonomi terlihat dari ujaran: “Ambuang puruak aluang bunian”, sebagai sebuah petuah adat tentang Bundo Kanduang, dapat dipandang sebagai sistem manajemen dalam
mengelola harta pusaka bagi seorang Bundo
Kanduang. Aluang bunian, dapat
pula dipandang sebagai ungkapan tentang disiplin dalam menjaga harta pusaka.
Setiap harta tidak dapat dipergunakan begitu saja tanpa ada suatu hal yang
memang diperlukan. Bahkan kemudian harta dibagi menjadi beberapa kelompok
sesuai dengan penggunaanya. Hal ini dapat dilihat pada sistem rangkiang (lumbung padi) yang terdapat
di halaman rumah gadang. Rangkiang
sitinjau lawik, rangkiang padi abuan, dapat pula dipandang sebabgi
sebuah sistem pembagian dalam penggunaan harta pusaka di rumah gadang yang dikelola oleh Bundo
Kanduang.
Penggunaan
harta pusaka dalam sebuah petuah adat dikatakan bahwa harta pusaka baru boleh
dipergunakan ketika: “maik tabujua di ateh rumah, gadih gadang indak balaki,
rumah gadang katirisan, dan adaik indak badiri “(mayat
terbujur di atas rumah, gadis tidak bersuami, rumah adat ketirisan, dan adat
tidak berdiri). Petuah adat di atas menegaskan bahwa harta pusaka hanya dapat
digunakan untuk: 1) menyelenggarakan mayat, 2) upacara pernikahan, 3)
memperbaiki rumah adat, dan 4) untuk memenuhi keperluan bersama di dalam nagari. Hal itupun jika tidak lagi harta lain yang
dapat dipergunakan. Cara mempergunakan harta pusakapun adat menegaskan bahwa
harta pusaka tidak boleh dijual, jadi untuk keperluan yang sangat mendesak,
maka harta pusaka hanya boleh digadaikan.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sesuai dengan sistem
kekerabatan masyarakat Nagari Silungkang, maka sesungguhnya seorang
perempuan atau Bundo kanduang adalah
seorang bendahara utama yang bertugas mengelola sistem keuangan dalam kaum
pesukuan. Oleh karena kepada setiap kaum ibu atau kaum perempuan dituntut agar
mampu menjadi seorang pengelola sistem harta pusaka di dalam kaum.
2) Bundo Kanduang sebagai Pengayom Sistem Kekeluargaan
2) Bundo Kanduang sebagai Pengayom Sistem Kekeluargaan
Sebagai seorang
perempuan, Bundo Kanduang berada
dibawah kepemimpinan seorang suami, oleh karenanya seorang perempuan hendaklah
mampu menempatkan diri sebagai pendukung kepemimpinan sang suami dalam
menjalani kehidupan berumah tangga. Sebagai seorang limpapeh rumah nan gadang (tiang utama) seorang perempuan dituntut
untuk dapat menjadi penyangga utama terhadap berbagai kebijakan sistem keluarga
inti (suami, istri dan anak). Dengan berpegang teguh kepada sistem kekerabatan
matrilini seorang perempuan diminta untuk dapat menjalankan kehidupan dan
melanjutkan sistem reproduksi agar anak Kemenakan
dapat berkembang ke arah yang lebih baik sesuai dengan perkembangan dan
kemajuan ilmu, teknologi dan seni.
a. Ungkapan untuk Mendidik Anak dan Kemenakan (Keponakan)
Sistem
pendidikan dalam kaum pesukuan maupun dalam lingkungan nagari sesungguhnya juga
bertumpu kepada Ibu atau Bundo Kanduang.
Konsep pendidikan ibu ini dapat dilihat dari petuah-petuah adat seperti berikut
ini.
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Di rumah paguno balunKonsep merantau dalam konsep pendidikan di Nagari Silungkang, telah membawa masyarakat menjadi perantau yang terkenal di Indonesia. Berdasarkan petuah adat tersebut jelas bahwa yang menyuruh anak pergi merantau adalah ibu atau Bundo Kanduang. Sebab dalam pepatah lain dikatakan pula sebagai berikut ini.
a. Ungkapan untuk Mendidik Anak dan Kemenakan (Keponakan)
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Di rumah paguno balunKonsep merantau dalam konsep pendidikan di Nagari Silungkang, telah membawa masyarakat menjadi perantau yang terkenal di Indonesia. Berdasarkan petuah adat tersebut jelas bahwa yang menyuruh anak pergi merantau adalah ibu atau Bundo Kanduang. Sebab dalam pepatah lain dikatakan pula sebagai berikut ini.
|
Petuah
adat ini menggambarkan pesan ibu kepada anaknya agar berhati-hati,
berpandai-pandai dalam pergaulan, dan sungguh-sungguh dalam bekerja menjalan
usaha di rantau orang.
Selanjutnya, ada pula pesan yang berbunyi: Pantangan bujang mauni kampuang, Hino kok rantau tak tajalang (pantangan anak laki-laki tinggal di kampung, hina jika rantau tidak terjalang), sebuah pesan yang sangat keras terhadap anak Kemenakan yang tidak mau berusaha (merantau) atau menuntuk ilmu.
Selanjutnya, ada pula pesan yang berbunyi: Pantangan bujang mauni kampuang, Hino kok rantau tak tajalang (pantangan anak laki-laki tinggal di kampung, hina jika rantau tidak terjalang), sebuah pesan yang sangat keras terhadap anak Kemenakan yang tidak mau berusaha (merantau) atau menuntuk ilmu.
Semua
itu merupakan ungkapan-ungkapan adat yang berhubungan dengan petuah Bundo Kanduang terhadap anak Kemenakan dalam kaum maupun dalam nagari. Dapat disimpulkan bahwa sistem merantau pada
dasarnya adalah sistem pendidikan yang berhubungan dengan keharusan menimba
ilmu ke negeri orang atau ketempat lain. Dalam konsep Bundo Kanduang Merantau adalah pergi menambah ilmu, tidak peduli
kemana si anak merantau, yang penting ia pergi dengan bekal yang diberi oleh Bundo Kanduang seperti beberapa pantun
di atas yang merupakan pesan atau bekal yang harus dibawa ke perantauan.
2.
Lambang-lambang
Mendidik pada Motif Kain Tenun Songket
Silungkang
Berikut
ini diuraikan nilai-nilai simbolik motif hias yang terdapat pada pakaian adat kebesaran (kain songket) Silungkang,
dari hasil wawancara seperti berikut ini.
a.
Motif Pucuak Rabuang (Pucuk Rebung)
Pada
uraian di atas diungkapkan sedikit perihal perikehidupan rebung, motif hias
pucuk rebung ini merupakan tafsiran nilai guna yang banyak. Pengrajin
mematrikan motif ini kedalam ukiran dan kain tenunan sehingga makna dari nilai
yang serba guna ini menjadi suri tauladan bagi masyarakat adat tersebut. Sama
halnya Dt. Garang (1983) mengatakan, Motif ini tidak saja dipahatkan menjadi
motif ukiran rumah adat, melainkan juga menjadi bentuk dasar gonjong rumah adat, hal ini dapat di
lihat pada falsafah adat yakni; ketek
paguno, gadang tapakai (kecil dapat digunakan, besar terpakai oleh
masyarakat). Rebung ini adalah anak bambu yang keluar
dari umbinya. Bentuknya seperti tumpal (kerucut) dan bersisik, kecil enak
dimakan, jika rebung ini sudah besar dinamakan bambu. Perlambangan dari bambu
ini adalah: Muda berguna, tua terpakai menjadi contoh bagi kaumnya.
Gambar 7. Motif Pucuak Rabuang (Sketsa: Budiwirman, 2010)
Gambar 7. Motif Pucuak Rabuang (Sketsa: Budiwirman, 2010)
Fenomena lain
yang dapat dipelajari dari bambu ini sebagaimana di jelaskan Wimar (2006)
mengatakan, bahwa ketika sudah menjadi batang yang tinggi pucuknya selalu
merunduk kebawah. Ini lambang dari
kekuatan tanpa kesombongan, salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin. Menurut penafsiran Datuak Rangkayo Sati dan Datuak Pingai bahwa,
nilai-nilai simbolik pendidikan yang tersirat dari motif Pucuak Rabuang yakni
pemimpin yang kuat dan punya ilmu pengetahuan serta berkharisma tinggi tentu
disegani oleh banyak orang. Sementara itu rebung sebagai nilai simboliknya
tentu belum mampu menjadi pemimpin, namun ia dapat menjadi bagian dari proses
regenerasi kepemimpinan.
b. Bada Mudiak (Ikan Teri Hidup Dihulu Sungai)
Dalam
paparan Wimar (2006) mengatakan, bahwa sejenis ikan teri yang banyak hidup di
laut bahagian pinggir pantai. Kehidupan ikan teri ini sangat banyak menarik
perhatian manusia, sehingga orang Silungkang mengambil perumpamaan pada tingkah
laku yang harus diperhatikan manusia. Ikan teri ini hidup berkelompok dan seia
sekata. Hal ini dapat dilihat dari kata adat sebagai berikut; ibarat ikan teri
serombongan kehulu, bagai burung punai terbang sekawan. Perumpamaan ini
menggambarkan kehidupan yang rukun dan damai seia sekata.
Gambar 8. Motif Bada Mudiak, (Sketsa: Budiwirman, 2010)
Gambar 8. Motif Bada Mudiak, (Sketsa: Budiwirman, 2010)
Namun mengapa
ikan-ikan kecil itu harus berjuang mencapai hulu sungai? Sebab, air yang jernih
ada di hulu. Inilah nilai-nilai simbolik pendidikan yang tersirat dari filosofi
bada mudiak, yaitu untuk mendapatkan
sumber yang jernih kita harus kembali kepangkal. Untuk menyelesaikan
permasalahan kita harus kembali kepangkal persoalannya. Ada makna Illahi yang tersembunyi dari makna ini,
bahwa untuk mencapai kebenaran haruslah kembali pada sumber yang sebenarnya,
yakni kebenaran Tuhan.
Adalah jalinan
yang saling membantu dan laka adalah alas periuk. Laka terbuat dari lidi
kelapa. Jalinan lidi itu dibentuk bulat dan dapat menampung periuk. Jadi bentuk
dasarnya seperti bagian bawah periuk. Ragam hias ini memaknai sistim keakraban
kehidupan masyarakat yang jalinan kekerabatannya sangat erat dalam menggalang
kekuatan untuk mendukung tanggung jawab yang sangat berat sekalipun. Ada
petatah-petitih adat yang menyatakan;
Nan basaluak bak laka
Nan bakaik bak gagang
Supayo tali nak jan putuih
Kaik bakaik nak jan ungkai
(Yang berkait seperti laka
Yang berkait seperti gagang
Agar tali tidak putus
Kait berkait tidak terberai).
Anyaman laka sangatlah rapi, tidak terlihat pangkal lidi atau ujung lidi menyembur keluar, semua tersembunyi ke bagian bawah. Inilah nilai-nilai simbolik dari masyarakat yang bersatu akan memunculkan banyak kekuatan, tetapi tetap rendah hati. Kekuatan tersebut dibangun atas dasar kerja sama dan keikhlasan. Individu-individu bersatu dan lebur sebagai sebuah kekuatan bersama. Tidak ada yang menonjolkan keilmuannya atau merasa lebih berjasa dari yang lainnya.
d. Buah Palo Bapatah (Buah Pala yang Dipatahkan)Nan basaluak bak laka
Nan bakaik bak gagang
Supayo tali nak jan putuih
Kaik bakaik nak jan ungkai
(Yang berkait seperti laka
Yang berkait seperti gagang
Agar tali tidak putus
Kait berkait tidak terberai).
Anyaman laka sangatlah rapi, tidak terlihat pangkal lidi atau ujung lidi menyembur keluar, semua tersembunyi ke bagian bawah. Inilah nilai-nilai simbolik dari masyarakat yang bersatu akan memunculkan banyak kekuatan, tetapi tetap rendah hati. Kekuatan tersebut dibangun atas dasar kerja sama dan keikhlasan. Individu-individu bersatu dan lebur sebagai sebuah kekuatan bersama. Tidak ada yang menonjolkan keilmuannya atau merasa lebih berjasa dari yang lainnya.
Pala (Palo bhs. Minang) dikenal sebagai bahan rempah-rempah yang
banyak manfaatnya, baik untuk bumbu penyedap masakan maupun sebagai bahan dasar
untuk obat-obatan. Jika buah pala dipatahkan (dibelah) menjadi dua, akan
menampakkan isi yang menyerupai ragam hias yang bagus dan indah.
Gambar 9. Buah Palo Bapatah
(Sketsa: Budiwirman, 2010)
Gambar 9. Buah Palo Bapatah
(Sketsa: Budiwirman, 2010)
Manfaat buah
pala dibelah dua menyiratkan nilai simboliknya untuk mendidik yaitu, adanya keinginan untuk saling berbagi menikmati keindahan, saling
berbagi rasa senang. Keindahan dan rasa senang tidak dibatasi menjadi milik
sekelompok kecil orang dan tidak dibiarkan tersimpan di dalam lingkaran
tertutup. Sebab dalam lingkaran tertutup bukanlah keindahan, dan tidak bisa
dinikmati keindahannya secara sempurna.
e. Sirangkak (Kepiting)
Sirangkak adalah semacam kepiting yang suka hidup dalam air atau
setengah kering. Ia suka merangkak, menggapai sambil menjepit kian kemari.
Sifat jepitannya ini akan menjadi bermakna bila jika manusia adalah sangat
menyakitkan, apalagi yang disakiti itu manusia yang tiada berdaya, dan ini biasanya digunakan untuk sindiran.
f. Cukia Baserak
Pepatah
berbunyi: “ terserak
mengumpulkan, tercecer mengemasi”. Maksudnya
jika ada barang–barang orang lain yang tercecer, kita wajib mengumpulkan untuk
diserahkan kembali kepada yang berhak. Inilah nilai simboliknya pada kejujuran
seseorang, karena saling mengingatkan satu sama lain dalam pergaulan hidup.
g. Barantai
Motif barantai disebut, barantai merah dan barantai putih. Ini melambangkan persatuan yang tidak
boleh putus-putus antara dua makhluk Tuhan Laki-laki dan wanita.
h. Tirai Pucuak Jaguang (Serabut yang Terdapat pada Ujung Jagung),
Jika buah jagung mulai mekar, maka pada ujung jagung tumbuhlah
serabut-serabut yang halus dan banyak. Serabut ini adakalanya menjulai kebawah.
Bentuk-bentuk ini memberi inspirasi kepada penenun untuk diterapkan pada motif
tenun yang simbolisnya adalah; padi masak jagung maupiah atau padi
masak jagung berbuah banyak. Jadi tentang jagung ini dapat pula di jadikan
sebagai nilai simboliknya salah satu lambang kemakmuran.
i. Balah Kacang (Belahan Kacang)
Sebagai sindiran
lah lupo kacang jo kuliknyo (sudah
lupa kacang pada kulitnya), artinya kacang yang dibelah akan menampakkan
isinya, isi ini merupakan cikal bakal yang akan tumbuh menjadi tunas baru.
Ungkapan ini mengandung arti nilai simboliknya pada pengajaran, bahwa sewaktu
membuka diri hendaklah memperlihatkan niat yang baik tanpa menyombongkan diri
dengan menunjukkan kemampuan ataupun kekayaan yang dimiliki.
j. Saik Ajik dan Saik Kalamai (Sejenis Dodol)
Saik Ajik adalah makanan tradisional yang terbuat dari
tepung ketan dan gula merah, berwarna coklat tua, dan sangat manis. Saik Kalamai berarti sayatan gelamai yang berpotongan jajaran
genjang. Kalamai selalu disajikan berupa sayatan-sayatan kecil, dan tidak
pernah dihidangkan dalam bentuk sayatan besar, ini di simbolkan agar makanan
tersebut dikosumsi secara sedikit demi sedikit. Saik Kalamai ini mengandung arti nilai simboliknya pada kehidupan
yang hemat dan terencana.
Demikianlah
gambaran tentang simbolik pendidikan yang terkandung dalam motif hias
songket Silungkang, pada prinsipnya
motif-motif hias itu ditata sedemikian rupa yang dapat mencerminkan kepribadian
sipemakainya dan serasi betul dengan apa yang disebut etika, atau tata krama
yang berlaku di Nagari Silungkang.
D. Penutup
Simpulan
dalam penelitian ini, adalah didasari oleh analisa yang telah dilakukan, dan
sebagai akhir dari pada rangkaian penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kain tenun songket
sebagai pakaian adat di Silungkang pada prinsipnya merupakan bagian yang tak
dapat dipisahkan dari eksistensi seorang pemangku adat di kultur kaumnya.
Pakaian yang terbuat dari kain tenun songket itu kiranya lebih dari pada
sekedar pakaian, ia sekaligus merupakan simbol atau lambang yang dapat
diterjemahkan dan bermakna mendidik dan atau pendidikan, dia
dapat menjadi tauladan dalam peri kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat adat di Minangkabau, dan khususnya di
Nagari Silungkang.
E. Daftar Rujukan
AM. Yosef Dt. Garang, dkk. 1983, Pengetahuan Ragam Hias Minangkabau,
Padang: Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan, Dep.
P dan K. Sumbar.
Alda Wimar dalam Bart, Bernhard. 2006, Revitalisasi Songket Lama Minangkabau,
Padang: Studio Songket
Erikarianti.
Bogdan, Robert and
Steven J. Taylor. 1975, Introduction
to Qualitative
Research Methods (The Search For
Meaning), New York:
John Wiley & Son
Budiwirman. 1986, Studi tentang Kain Tenun Songket Tradisional Balapak
Minangkabau, Skripsi/S.1,
Yogyakarta: I S I
Couto, Nasbahry.
1998. Makna dan Unsur-Unsur Visual pada
Bangunan Tradisional Minangkabau: Suatu Kajian Semiotik, ( Studi Kasus: Bangunan Rumah gadang di Sehiliran "Batang Bengkawas" Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat)
--------------------.
2008. Budaya Visual pada Seni Tradisi
Minangkabau, Padang: UNP.Press.
--------------------.
2010. Psikologi Persepsi dalam Kawasan
Desain Komunikasi Visual, Padang: UNP Press
Daryusti. 2006, Hegemoni Pangulu dalam
Perspektif Budaya,Jakarta:
Penerbit Pustaka.
Ibrahim, Anwar,dkk. 1986, Pakaian Adat Tradisional daerah Sumatera Barat,
Padang: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Direktorat
Sejarah dan Nilai
Tradisional, Proyek Inventarisasi
DokumenDaerah.
Ismael,
Sudirman. 2007. Arsitektur Tradisional
Minangkabau: Nilai-nilai Budaya dalam Arsitektur Rumah Adat, Padang: Bung
Hatta University Press.
Marianto, M Dwi, 2006, Quantum Seni, Semarang: Dahara Prize
Minarsih. 1998, Korelasi antara Motif Hias Songket
dengan Ukiran Kayu di Provinsi
Sumatera Barat, (Tesis), Bandung: I T B.
Moleong, Lexy J. 1989, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:
Penerbit
Remaja Karya CV.
Riza Mutia, dkk. 1997, Pakaian
Pangulu Minangkabau, Padang: Bahagian
Proyek
Permuseuman Sumatera Barat.
Sedyawati,
Edi.(ed.,). 2003. Warisan Budaya Takbenda,
Jakarta, Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian
Universitas Indonesia
Spradley P.James.
1997, Metode Etnografi, Yogyakarta: PT.Tiara Wacana
Wallsclaeger, C,
& Snyder Cynthia Busic; 1992. Basic
Visual Concepts and Principles: for artists, Architects, and Designers.The
Ohio State university:WBC
Dr. Budiwirman, M.Pd., lahir 17 April 1959 di Maninjau Kab. Agam Sumatera Barat. Tahun 1988, menyelesaikan pendidikan S.1 ISI Yogyakarta pada Jurusan Seni Murni, Prog. Studi Seni Grafis. Tahun 2003 menyelesaikan pendidikan S.2 pada Program Magister Pendidikan Sosiologi/Antro. di Universitas Negeri Padang. Tahum 2011 ia meraih gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Kajian Budaya pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang, sejak tahun 1988 ia tercatat sebagai Dosen yang aktif dalam berbagai kegiatan sesuai bidang studinya dan sebagai Dosen tetap Seni Rupa pada FBS Universitas Negeri Padang.