Suatu studi perlambangan (simbolisme) pada pakaian adat remaja untuk upacara Dulang Paanta di kecamatan Koto nan Gadang Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat[1]
Tiap daerah atau nagari di Sumatera Barat memiliki corak pakaian adat tersendiri, ini adalah contoh pakaian adat pengantin yang dipakai pada upacara adat perkawinan di kota Padang, yang berbeda dengan pakaian adat di daerah lain seperti daerah Solok, Pariaman, Koto Gadang dsb.di Sumatera Barat: Sumber Editor, 2006
Zubaidah
Staf Pengajar Seni Rupa FBS UNP Padang
Editor: Nasbahry Couto
Abstract, Apparel
traditional Minangkabau society is a symbol that has meaning in accordance with
the order of society. Pangulu and Bundo Kanduang seen as a symbol of a leader is
an important part in the traditional order in Minangkabau, especially if associated
with matrilineal kinship system adopted by the Minangkabau society. Everyone in
the traditional order has a ceremonial dress in accordance with their respective
positions, ranging from leaders down to ordinary people, children to adults. One
of these traditional clothes pile special Ampek used young women in traditional
ceremonies. Therefore, this study intends to find out the meaning of heap Ampek
clothing used by female adolescents in the Koto district Payakumbuh Fifty Gadang
nan City, West Sumatra Province. Based on research results can be noted that
the pile Ampek custom clothing worn by young women who have the characteristic red
color. The whole structure on the heap Ampek clothing is a symbol that contains
the teachings directed against young women in accordance with the character or the
nature of women who have unyielding spirit. Clothing Ampek heap as a
representation containing the values of personality that is directed to young
women in social life and achieve a brighter future to continue the descent.
Keywords: Lambak Ampek, simbols, nilai filosofi pakaian adat remaja putri
A. Pendahuluan
a. Pakaian Adat untuk Pemimpin Masyarakat (Kaum)
Minangkabau adalah salah satu diantara nama etnik (suku bangsa) [2] di Indonesia yang dikenal menganut paham sistem kekerabatan matrilineal, yaitu suku anak mengikuti
garis keturunan ibu. Sesuai dengan
sistem kekerabatan masyarakat
Minangkabau maka pesukuan dipimpin oleh Pangulu
dan Bundo Kanduang. Sebagai pemimpin kaum (Pangulu dan Bundo Kanduang) keduanya
memiliki pakaian khusus yang dipakai
pada upacara-upacara adat.
Dalam lingkup sebuah kebudayaan, pakaian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
peristiwa-peristiwa budaya, seperti upacara-upacara adat yang berlangsung dalam
kehidupan masyarakat. Ibenzani Usman (1991:21) menjelaskan, pakaian
tradisional berfungsi sebagai pakaian untuk melaksanakan upacara, baik itu
upacara keagamaan, maupun upacara adat. Disamping itu, pakaian tradisional secara adat berfungsi sebagai cerminan
kepribadian atau prestise bagi pemiliknya.
Peta Lokasi : Klik ini untuk mengetahui lokasi penelitianb. Pakaian Adat untuk Masyarakat Umum
Selain pakaian adat khusus yang digunakan oleh Bundo Kanduang sendiri, ditemukan
beberapa pakaian adat yang digunakan oleh semua wanita. Pakaian-pakaian adat
ini digunakan untuk sebagai
berikut ini.
1. Pakaian adat untuk anak-anak.
2. Pakaian adat remaja.
3. Pakaian adat orang dewasa.
4. Pakaian adat untuk orang tua.
Masing-masing struktur pakaian adat tersebut,
baik elemen bentuk, warna, dan motif hias yang melekat pada pakaian adat
tersebut berbeda-beda. Perbedaan tersebut berhubungan dengan status wanita yang
memakainya, dan penggunaan
pakaian-pakaian adat tersebut berkaitan
dengan situasi dan kondisi kapan pakaian tersebut digunakan dalam
upacara-upacara adat. Keunikan pakaian adat wanita tersebut terlihat pada
struktur, warna, dan aksesoris yang digunakan oleh sipemakai pakaian.
c. Pakaian Adat untuk Remaja (Lambak Ampek)
Diantara pengguna pakaian adat yang disebutkan
diatas salah satunya digunakan oleh kaum remaja putri (anak gadis remaja)
disebut dengan pakaian adat lambak ampek.
Secara visual pakaian lambak ampek
dilihat dari strukturnya memiliki arti
khusus yaitu sebagai pengarah yang
berkaitan dengan peranan kaum remaja perempuan
yang menggunakannya. Selanjutnya pakaian tersebut membawa tanda yang
erat hubungannya dengan sistem kemasyarakatan Minangkabau.
Herman dalam Ariusmedi (2003:89) menjelaskan bahwa, pakaian adalah salah satu simbol nonverbal yang signifikan
dalam mengkomunikasikan aspek-aspek tertentu dari kepribadian, usia, jenis
kelamin, peran, status, dan situasi. Lebih dari itu, pakaian, apapun bentuk,
jenis, warna, dan coraknya ternyata menyampaikan pesan atau mengenai sipemakainya. Bukan saja menyampaikan
hal-hal yang bersifat fisik tetapi juga menyampaikan hal-hal yang bersifat
non-fisik. Berdasarkan penjelasan di atas secara visual dapat diasumsikan bahwa
struktur, elemen bentuk, warna, motif hias dan perangkat aksesoris yang
digunakan pada pakaian-pakaian adat kaum remaja lambak ampek adalah
menyatakan simbol tertentu.
Fungsi dan makna simbol tersebut memiliki muatan
khusus, dan berkaitan dengan tatanan hidup masyarakat Minangkabau.
Muatan-muatan makna pakaian adat lambak
ampek dianggap mengacu kepada falsafah adat
Minangkabau, alam takambang jadi
guru (alam terbentang dijadikan
guru) yang berdasarkan adaik basandi
syarak, syarak basandi kitabullah (adat bersendikan syariat, syariat
bersendikan kitabullah).
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode
etnografi yang hasilnya berupa deskripsi-deskripsi verbal. Spradley (1997:29)
menjelaskan bahwa hasil akhir dari pembuatan etnografi adalah suatu deskripsi
verbal mengenai situasi budaya yang dipelajari. Selanjutnya melalui metode ini, pemaknaan terhadap simbol-simbol
yang terdapat pada objek penelitian baik secara visual maupun pengamatan
terhadap perilaku sosial yang bisa diamati secara langsung, dan dapat
diinterpretasikan secara deskripsi verbal.
Daerah penelitian dilakukan di kecamatan Koto nan Gadang Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatera Barat.
Sumber data yaitu data visual berupa struktur, warna, dan motif hias dan
elemen estetis lainnya, data verbal berupa informasi yang diperoleh melalui
informan. (Lokasi penelitian klik kanan disini)
Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Spradley dalam Sanapiah (1990:44,45) bahwa informan
adalah orang yang menguasai dan memahami sesuatu melalui proses engkulturasi
yang bukan sekedar diketahui tetapi juga dihayati, disamping itu mereka masih
tergolong berkecimpung dalam kegiatan yang tengah diteliti.
Sedangkan Teknik pengumpulan data adalah observasi, catatan lapangan, wawancara
, dokumentasi. Menurut Bogdan dan Biklen
dalam Moleong (2000:153), bahwa catatan lapangan adalah catatan tertulis
tentang apa yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan
data dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif.
Sementara Lincoln dan Guba dalam Moleong
(2000:135) menjelaskan bahwa wawancara bermanfaat untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian,
kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain.
Prosedur analisa data menggunakan analisa
interpretasi yang didiskripsikan. Dengan penekanan kepada kajian budaya seperti
antropologi budaya, semiotik, estetika, serta ilmu lain yang erat hubungannya
dengan kajian budaya rupa, dan melakukan pemeriksaan terhadap keabsahan data.
Setya Yuwana (2001:80-83) menjelaskan bahwa untuk
memeriksa keabsahan data perlu dilakukan triangulasi sumber data, pengumpul
data, metode pengumpul data, dan triangulasi teori yang dilakukan dengan mengkaji berbagai teori yang relevan. Tahapan-tahapan
dalam menganalisis data kebudayaan yaitu, open
coding, axial coding dan selective coding.
C. Temuan Penelitian
Dari penelitian pakaian adat di lokasi penelitian, ditemukan beberapa struktur,
bentuk dan elemen pakaian ini sebagai
berikut ini.
1.
Tangkuluak cawek
2.
Talakuang beledru
3.
Sandang simburan atau Salendang balapak,
4.
Sungkuik mato,
5.
Baju kuruang (kurung) basiba baminsia,
6.
Lambak ampek,
7.
dan Sarung jawa.
8. Selanjutnya
pakaian Lambak ampek
yang dipakai
oleh anak remaja putri berumur 17 – 20 tahun (aqil balig).
Pakaian ini berfungsi sebagai pakaian untuk mengantar penganten pria kerumah penganten
wanita, batagak pangulu, dan balanjo
kapasa pada upacara adat batagak pangulu.
a. Tangkuluak Cawek
Tangkuluak
Cawek yaitu tangkuluak
khusus digunakan untuk pakaian anak gadis remaja yang sudah akil balig. Tangkuluak Cawek pada awalnya berasal
dari salah satu perangkat pakaian kebesaran Pangulu.
Perangkat pakaian tersebut dinamakan dengan Cawek.
Bagi Pangulu, Cawek ini adalah kelengkapan pakaian kebesaran yang berfungsi
sebagai Cawek atau pengikat pinggang.
Kain Cawek ini berwarna merah dan
memiliki motif tumpal, bagi masyarakat Minangkabau disebut dengan Pucuk Rebung.
Tangkuluak Cawek
b. Baju Kurung Beludru Merah
Baju Kurung Beludru Merah, khusus untuk anak
gadis bajunya berwarna merah, memiliki minsia
dengan warna kuning keemasan.
Baju beledru merah
c. Sandang Simburan
Sandang
Simburan, sandang ini disebut juga dengan salendang
(selendang). Kain sandang Simburan
terbuat dari tenunan benang makau, di
Minangkabau disebut dengan selendang Balapak.
Kain ini khusus digunakan untuk
selendang pakaian adat anak gadis remaja. Tata cara memasangkan selendang
tersebut pada gadis remaja adalah dengan meletakkan kain di atas bahu sebelah
kanan dan kedua ujungnya dipertemukan pada pinggang sebelah kiri dan dibiarkan
terurai.
Sungkuik
Mato, pengertian Sungkuik
Mato adalah penyungkup mata. Cara penggunaannya yaitu dipasangkan pada
bahagian belakang tubuh menutupi punggung. Dasar kain terdiri dari beledru
warna hijau dan merah, ukuran 60 x 25 cm. Pada dasar kain yang berwarna merah
terdapat motif tabur terbuat dari kuningan dan sekeliling pinggir kain sungkuik diberi minsia.
Sungkuik mato
e. Lambak Ampek
Lambak
Ampek, pengertian dari Lambak Ampek yaitu sarung yang
memiliki minsia sebanyak empat
buah. Diantara ke empat minsia terdapat
warna hitam, merah hati, dan biru tua. Kain Lambak Ampek khusus digunakan untuk pakaian adat anak remaja putri
yang sudah akil balig.
Lambak ampek dan sarung
a. Perlambangan Tingkuluak Cawek
Tingkuluak
Cawek, sebagaimana
yang dijelaskan sebelumnya bahwa Cawek
Pangulu, difungsikan sebagai penutup kepala untuk pakaian anak gadis remaja
disebut tanggkuluak cawek. Makna dari fungsi Cawek
tersebut pada pakaian Lambak Ampek adalah bahwa Pangulu harus mampu memimpin dan
menyatukan anak kemenakan sehingga masing-masing merasa terikat dalam kesatuan
dengan penuh rasa kekeluargaan. Museum Sumbar (1997: 60). Cawek adalah simbol pangulu dalam pepatah
disebutkan:
Penghulu lantai nagari, kamalantai dusun jo taratak, kamalantai koto jo
nagari, malantai korong jo kampuang, malantai sawah jo ladang, malantai surau
jo musajik, malantai labuah jo tapian, malantai anak-kamanakan.
Artinya, Penghulu lantai nagari, akan melantai
dusun dan taratak, melantai kota dan nagari, melantai korong dan kampung, melantai sawah dan ladang, melantai surau dan
mesjid, melantai jalan dan tepian, melantai anak-kemenakan. Idrus Hakimi (1988:160) menjelaskan. pengertian
lantai atau melantai adalah dasar dari sebuah bangunan baik itu rumah, tempat
tinggal, mesjid, balai adat dan lainnya. Jika dihubungkan dengan tanggung jawab
seorang Pangulu, kata-kata melantai
konotasinya adalah meletakkan dasar adat, kepada segenap sistem kemasyarakatan
di dalam sebuah nagari, berupa aturan-aturan adat. Kemudian bagaimana
melaksanakan aturan-aturan atau hukum-hukum di masing-masing nagari namun tetap
mengacu kepada adat yang diadatkan. Dengan demikian Cawek sebagai simbol Pangulu, dijadikan pula untuk kain penutup
kepala (tangkuluak) dan menjadi
simbol pada pakaian adat gadis remaja. Artinya pangulu bertanggung jawab
mendidik dan memberikan pembelajaran adat terhadap anak dan keponakan sebagai
kesiapan mental mereka dalam menghadapi keragaman masyarakat. Sebaliknya kaum
remaja putri harus mentaati dan menjunjung tinggi seluruh ajaran adat
berdasarkan syariat Islam. Selanjutnya tanggkuluak
cawek memiliki warna merah sebagai
perlambangan sumangaik ka untuak palawan
dunie (semangat untuk melawan dunia).
Dapat disimpulkan warna merah tangkuluak cawek meisyaratkan terhadap kaum remaja putri
harus semangat dan kuat dalam menjalani
kehidupan. Sementara yang dikatakan tangkuluak adalah kain yang dilipat, dan
hasil lipatan tersebut menyerupai bentuk
sepasang kerucut diatas kepala.
Kemudian ketika melipat kain cawek tersebut, harus
pula membentuk pola segitiga berdasarkan garis lipatan kain pada kening ketika tangkuluak dipasangkan diatas kepala.
Dapat disimpulkan tangkuluak menyerupai sepasang bentuk
kerucut sebuah rumusan yang dapat ditafsirkan sebagai ikonografi dari gading,
tanduk kerbau, dan atap rumah bagonjong
yang memiliki konotasi kokoh, makmur, dan pelindung. Tangkuluak cawek yang berkonotasi sebagai kokoh, makmur dan
pelindung, dapat pula dihubungkan dengan sifat manusia yaitu melindungi dan
bertanggung jawab sesuai aturan adat adalah
kebutuhan utama untuk kelangsungan hidup. Struktur tangkuluak cawek seperti yang dijelaskan
di atas melambangkan bahwa kaum remaja putri harus berperilaku dalam menjalani
kehidupan menjunjung tinggi dan
melaksanakan aturan-aturan dan norma-norma adat.
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa Tangkuluak Cawek adalah simbol yang
memiliki nilai semi sakral. Haris Sukendar (1984:65) menjelaskan bahwa simbol-simbol
semi sakral melambangkan sifat-sifat raja, lambang kekuasaan dengan bentuk
menyerupai segi tiga runcing, serta simbol ketua adat. Sejalan dengan
penjelasan di atas maka simbol yang melekat pada Tangkuluak Cawek berisi nilai-nilai adat dan ditujukan kepada gadis
remaja. Nilai adat tersebut berisi norma-norma dan aturan yang harus dipelajari
dan dilaksanakan oleh kaum remaja yang akan menjadi seorang pemimpin dalam
masyarakat, yaitu Bundo Kanduang.
b. Perlambangan Sandang Simburan
Sandang
Simburan, cara
memasang selendang simburan yaitu
dengan meletakkan kain selendang pada bahu sebelah kanan, kemudian dipertemukan
pada pinggang sebelah kiri dan kedua ujung selendang tidak diikat dibiarkan
terurai. Makna dari tata cara yang
seperti demikian adalah sejalan dengan makna Tangkuluak Cawek bahwa gadis remaja sudah diberi beban secara adat,
mempelajari dan melaksanakan aturan-aturan sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dalam adat. Seandainya terdapat kesalahan dan kekhilafan dari perilaku
kaum remaja dalam masyarakat, maka mereka belum bisa diberi sangsi secara adat,
karena masih dalam pengawasan orang tua
dan mamak (paman).
c. Perlambangan Sungkuik Mato
Sungkuik
Mato memiliki warna merah artinya adalah untuak palawan dunia (untuk melawan
dunia), kemudian motif tabur dari bahan kuningan, gambaran sebagai tando awak urang lai (tanda kita orang
berada) maksud warna dan motif tabur tersebut menandakan bahwa orang yang menggunakan
sungkuik mato mempunyai ekonomi yang
mapan. Namun demikian sungkuik harus
diletakkan di belakang atau dibahagian punggung artinya rendah hati. Beberapa penjelasan sungkuik mato tersebut adalah cerminan sifat seseorang, yaitu sebagai
seorang remaja putri sesuai dengan fitrahnya memiliki sifat suka berangan-angan
dan suka memandang kepada yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Namun
demikian harus diarahkan kepada yang positif yaitu dijadikan sebagai spirit
yang tinggi untuk mengikuti hal-hal yang bersifat dunia. Tetapi harus pandai mewaspadai diri dan ingat dengan minsia (batas) yang melambangkan
nilai-nilai adat bahwa segala sesuatu sesuai dengan batasan aturan. Dengan
demikian Sungkuik Mato adalah perlambangan yang memuat nilai-nilai spirit
yang tinggi namun harus pandai menempatkan diri sesuai dengan situasi dan
kondisi dimanapun berada.
d. Baju Kurung Beludru Merah
Baju Kurung Beludru Merah, khusus untuk anak remaja
putri memiliki baju berwarna merah, dan memiliki minsia dengan warna kuning keemasan. Sebagaimana yang telah
diuraikan terdahulu, pakaian untuk anak gadis memiliki warna cerah, memberikan
spirit yang tinggi sesuai dengan sifat usia wanita yang menggunakannya.
e. Lambak Ampek
Lambak
Ampek, yang berfungsi untuk menutupi kaki atau
perangkat sarung memiliki warna merah dengan empat minsia. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa warna
merah dikatakan untuak palawan dunia.
Secara psikologis warna merah berarti berani, bergairah, semangat yang
berhubungan dengan jiwa dan kepribadian
seseorang. Warna berpengaruh terhadap mentalitas seseorang yang bisa mengarah
kepada perobahan tata laku, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
warna-warna cerah memiliki psikologis yang mengarah kepada semangat dan sifat
keaktifan. Konotasi dari warna ini kalau dihubungkan kepada sifat anak usia
remaja adalah spirit yang kuat, memiliki perilaku yang menonjol sesuai dengan
perkembangan jiwa anak usia 17-20 tahun. Warna merah pada Lambak Ampek melambangkan sifat spirit yang tinggi gadis
remaja. Selanjutnya lambak mempunyai minsia empat
buah, artinya semangat yang tinggi harus sesuai dengan aturan adat, atau disebut
dengan jalanko ado batehnyo (berjalan ada batasnya). Empat minsia
pada pakaian melambangkan aturan-aturan yang kuat untuk dipelajari dan
dilaksanakan oleh gadis remaja.
Menurut ajaran adat Minangkabau ada empat sifat
yang harus dilaksanakan anak gadis yaitu mamakai
raso jo pareso, manaruah malu jo
sopan (memakai rasa dan periksa, menerapkan malu dengan sopan). Untuk
melaksanakan keinginan disesuaikan dengan aturan adat yaitu, maminteh sabalun anyuik, malantai sabalun lapuak, ingek-ingek sabalun kanai, sio-sio nagari alah. (memintas sebelum hanyut, melantai sebelum
lapuk, ingat-ingat sebelum kena, sia-sia nagari hancur binasa).
Selanjutnya bagaimana ajaran tentang memelihara harga diri yaitu, budi jan tajua, paham jan tagadai, nan kayo
iyolah kayo budi, nan mulieh iyolah mulieh di baso, (budi jangan sampai
terjual, paham jangan sampai tergadai, yang kaya ialah budi, yang mulia ialah
basa-basi). Supaya sukses dalam pergaulan yaitu, tahu dijalan mandata, jalan mandaki, jalan manurun, jalan malereng, (mengetahui
jalan mendatar, jalan mendaki, jalan menurun, jalan melereng). Untuk mencapai
akhirat yaitu, beriman, bertauhid, Islam, dan berma’rifat. Beberapa aturan
tersebut diatas menyampaikan nilai-nilai kepribadian yang harus dilaksanakan
oleh remaja dalam pengawasan orang tua dan adat. Selanjutnya aturan tersebut diarahkan kepada
anak usia remaja yang harus memiliki batas sesuai dengan aturan adat
bersendikan syariat Islam. Dengan demikian Lambak
Ampek adalah simbol pakaian adat yang memuat nilai-nilai kepribadian yang
diarahkan kepada kaum remaja.
f. sarung
Fungsi sarung sebagai pendamping lambak secara tersirat digunakan sebagai
kain sarung untuk melaksanakan shalat. Makna sarung yang difungsikan sebagai
sarung untuk kelengkapan shalat yaitu melambangkan aturan nilai-nilai agama, bagaimanapun
kesibukan di dunia, syariat Islam harus tetap dijalankan.
Upacara Dulang Paanta
E. Daftar Pustaka
Pakaian Lambak
Ampek, dalam upacara adat perkawinan Koto nan Gadang digunakan pada prosesi
upacara Dulang Paanta (Dulang
Pengantar) yaitu sebuah prosesi mengantar penganten laki-laki ke rumah
penganten perempuan, dengan membawa makanan adat di dalam Dulang. Pada prosesi ini terjadi baarak (arak-arakan) yang terdiri dari seluruh kaum ibu pihak
laki-laki termasuk anak perempuan yang memakai pakaian adat masing-masing.
Kaum remaja dengan pakaian Lambak Ampek diatur sedemikan rupa dalam upacara adat
arak-arakan. Posisi kaum remaja tersebut
berada di belakang kaum ibu yang menggunakan pakaian adat dan dibahagian depan rombongan arak-arakan penganten
laki-laki. Selanjutnya ketika
arak-arakan pengantar mempelai laki-laki sampai di rumah penganten perempuan,
para anak perempuan yang berpakaian Lambak
Ampek ditempatkan berdekatan dengan kedua penganten, yaitu di Pelaminan.
Makna keikut sertaan pakaian Lambak Ampek dalam upacara ini adalah bahwa anak gadis dalam budaya
Minangkabau sering disebut dengan anak pingitan. Anak pingitan sesungguhnya
adalah, bahwa segala perilaku dan kebebasannya terbatas, selalu diawasi oleh
keluarga, dan masyarakat lingkungan. Sebagaimana makna simbol yang melekat pada
pakaian adat Lambak Ampek bahwa
pengguna pakaian tersebut memiliki keterbatasan sesuai dengan status usia dan
harkatnya sebagai seorang wanita.
Pakaian lambak ampek yang dipakai remaja putri di Payakumbuh dalam
upacara adat
Di samping itu makna simbol pada pakaian Lambak Ampek menunjukkan, bahwa mereka
sudah diberi tanggung jawab yaitu mempelajari tatanan adat. Tujuannya adalah
sebagai acuan untuk berperilaku yaitu para gadis remaja secara adat harus
memahami dan mulai melaksanakan norma-norma sesuai dengan tatanan adat
Minangkabau.
Oleh sebab itu pakaian Lambak Ampek adalah simbol keberhasilan dari proses pendidikan yang dilakukan oleh kedua orang tua dan keluarga menjelang akil balig. Proses pendidikan adat tersebut sudah dimulai sejak usia anak-anak yaitu dengan adanya para orang tua yang sudah melibatkan mereka ke dalam lingkungan adat. Seperti diawali dengan melibatkan anak-anak dengan pakaian adat yang disebut dengan Pisang Saparak, Bacawek Salai (pakaian untuk anak-anak dalam upacara). Jadi konsep pendidikan adat dalam pakaian Lambak Ampek adalah proses pemberian pendidikan tatanan adat, yang sudah dimulai sejak usia anak-anak yaitu mereka diperkenalkan terhadap lingkungan masyarakat adat. Keikut sertaan gadis remaja dalam upacara, maknanya adalah memberi kebebasan untuk menampilkan diri di muka orang banyak, yang dilingkungi oleh adat.
Oleh sebab itu pakaian Lambak Ampek adalah simbol keberhasilan dari proses pendidikan yang dilakukan oleh kedua orang tua dan keluarga menjelang akil balig. Proses pendidikan adat tersebut sudah dimulai sejak usia anak-anak yaitu dengan adanya para orang tua yang sudah melibatkan mereka ke dalam lingkungan adat. Seperti diawali dengan melibatkan anak-anak dengan pakaian adat yang disebut dengan Pisang Saparak, Bacawek Salai (pakaian untuk anak-anak dalam upacara). Jadi konsep pendidikan adat dalam pakaian Lambak Ampek adalah proses pemberian pendidikan tatanan adat, yang sudah dimulai sejak usia anak-anak yaitu mereka diperkenalkan terhadap lingkungan masyarakat adat. Keikut sertaan gadis remaja dalam upacara, maknanya adalah memberi kebebasan untuk menampilkan diri di muka orang banyak, yang dilingkungi oleh adat.
Gadis remaja disebut dengan bunga yang sedang
kembang, sebagai belahan jiwa bagi kedua orang tuanya, secara psikologis mereka
sedang memiliki sifat dengan semangat yang tinggi. Kadang-kadang kaum remaja
tidak menyadari apa yang seharusnya pantas dan belum pantas untuk dilakukan.
Oleh sebab itu dalam prosesi upacara ia
ditempatkan dibahagian tengah karena mereka dianggap sebagai bunga yang harus dijaga dan dipelihara. Secara
halus memberikan isyarat kepada masyarakat bahwa mereka sudah bisa dipersunting
untuk dijadikan istri dan menantu. Karena mereka beranjak menjadi dewasa dan
akan menjadi calon ibu yang akan menggantikan generasi yang akan datang.
Seperti dalam adat dikatakan anak gadis sumarak
korong jo kampuang (anak gadis semarak korong dengan kampung).
Bagi orang Minangkabau anak gadis adalah sebuah
harapan yang akan mengembangkan keturunan sebagai generasi yang akan mewarisi
suku dan harta pusaka. Keikut sertaan mereka dalam upacara secara langsung
berarti mereka sudah mencoba melaksanakan tatanan adat sebagaimana
mestinya. Kehadiran gadis remaja yang
berpakaian Lambak Ampek, dalam
pandangan adat adalah penampilan yang
sangat rancak (cantik), dan
kecantikan tersebut dipakai sebagai media untuk tampil di hadapan urang banyak (keramaian upacara) sebagai kapalawan
dunie (pelawan dunia). Artinya kehadiran mereka di antara peserta upacara
adalah sebagai simbol bahwa mereka tetap mengikuti perkembangan zaman.
Dalam adat Minangkabau penampilan seperti di atas
adalah sebuah anjuran yang bermanfaat
untuk memberikan pengalaman baru kepada segenap anak perempuan yang berada
dalam fase pertumbuhan. Peristiwa upacara adalah wadah yang sangat strategis bagi mereka untuk
memperoleh pengalaman baru. Karena kaum perempuan yang menggunakan Lambak Ampek, pada gilirannya ke depan,
akan memasuki fase yang lebih tinggi yaitu fase berumah tangga. Oleh karena itu
keberadaan pakaian Lambak Ampek untuk
gadis remaja adalah ajang pelatihan,
pelajaran, dan pemahaman akan tanggung jawab yang telah menunggu ketika mereka
harus membina sebuah rumah tangga di masa depan. Makna dari pakaian Lambak Ampek dalam upacara adat yaitu
menghantar anak perempuan kemasa dewasa tanpa pernah lepas dari pengawasan
sosial.
E. Daftar Pustaka
1. Ariusmedi. 2003.
Bahasa Rupa pada Pakaian Penghulu. Kajian tentang Elemen, Pola, dan Makna
Simbolis (Tesis) Bandung: ITB Bandung
2. Darwis Thaib.
1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi; N.V. Nusantara
3. Haris Sukendar.
1987. Konsep-Konsep Keindahan Pada Peninggalan Megalitik
4. dalam estetika
dalam Arkeologi Indonesia. Jakarta; Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
5. Ibenzani Usman.
1991. Perubahan-Perubahan Motif, Pola dan Material Pakaian Adat Pria
Minangkabau. Pusat Penelitian IKIP Padang
6. Idrus Hakimi.
1988. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja
Rosdakarya
7. Lexy. J.
Moleong. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
8. Muzni Ramanto.
2009. Psikologi Warna. Padang; Seni Rupa FBSS UNP Padang
9. Setya Yuwana
Sudikan. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana
10. Sanapiah Faisal.
1990. Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar dan Aplikasi. Malang: Penerbit YA 3
Penulis/ Peneliti
Dra. Zubaidah Agus, M.Sn.
Kelahiran Bukittinggi, 25 April 1958. Lulusan Kependidikan Seni Rupa IKIP Padang th 1984, Pasca Sarjana ITB Jurusan Seni Murni th 2001. Banyak mengadakan penelitan tentang budaya visual tradisi Minangkabau khususnya tentang pakaian adat wanita. Konstribusi pada blog ini adalah dalam membahas karya seni, mengisi tulisan ilmiah dan populer budaya visual khususnya tentang hasil penelitian.
Pakaian Tradisional Minangkabau (Umum)
Baju Kurung “Basiba”
Baju Kurung atau baju kuruang basiba merupakan pakaian kaum
perempuan Minangkabau yang sudah dikenal identitasnya dan menjadi identitas
perempuan Minang. Baju kuruang ini adalah pakaian Bundo
Kanduang sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang, keistimewaan baju kuruang basiba adalah longgar dipakai,
sehingga tidak membentuk lekuk tubuh.
Asal kata basiba
Orang tua kita yang masih hidup semenjak zaman
penjajahan sampai sekarang, diantara mereka masih mempertahankan kebiasaan
mereka sampai sekarang; makan sugi, pakai
baju guntiang cino jo guntiang basiba. Tetapi darimana asal kata basiba ini dan apa artinya
?
Salah
satu tafsiran kata basiba adalah berasal dari tiga tanda jahitan yang berawal
dari ujung ketiak wanita yang di kasih pita (bis) yang sesuai dengan warna
baju, dan di tambah lagi dengan lipatan yang indah sebagai penghiyas baju di
bagian pasangan baju (rok). Baju basiba juga
termasuk kedalam daftar baju kurung yang longgar, tidak bersaku, dan panjang
baju di bawah lutut. Pembuatan baju basiba di perkirakan dalam ukuran 4 sampai 8 cm, tanpa kopnat, dan tanpa sempit.
Baju kurung ini adalah baju longgar, dalam (sampai ke lutut), basiba, pakai kikiek di
katiak, lengan panjang dan dalam (sampai kepergelangan), basalendang (memakai selendang) penutup kepala dan pakai kain
sarung (sarung Jawa/Jao) menutupi
kaki sampai
ke mata kaki.
Baju kuruang (kurung) ini biasanya menggunakan
bahan dasar kain beludru berwarna merah. Sedangkan baju kuruang (kurung) untuk penganten
banyak menggunakan warna merah, biru, coklat tua, dan
ungu. Sekarang banyak pula muncul beludru dengan warna-warna baru seperti warna pink, oranye, dan
sebagainya. Biasanya baju tersebut berpotongan longgar, memakai siba pada kedua pada kedua sisinya.
Permukaan baju kurung ini ditaburi ragam hias dengan sulaman benang
emas. Di pinggir lengan kiri dan kanan, serta pinggir baju bagian bawah diberi minsie. Minsia adalah jahitan tepi yang berbentuk melingkar dengan
menggunakan benang emas. Hiasan ini sering pula menggunakan ragam hias khusus
yang terbuat dari bahan logam yang berwarna keemasan dijahitkan ke baju.
Pakaian basiba, masih di pertahankan di daerah Padang Panjang Provinsi Sumatera Barat. Pakaian ini digunakan oleh para siswi hampir di semua
sekolah-sekolah, pesantren, dan juga masyarakat umum kaum wanita.
Tetapi,
jangan heran jika baju basiba akhir-akhir ini identik dengan pakaian masyarakat
Malaysia, pakaian yang sempat diklaim hak ciptanya oleh negeri jiran tersebut. Baju kurung basiba sampai di
negeri tetangga berawal dari zaman pejuangan dahulu, banyak para pejuang Minang
yang di asingkan oleh pemerintahan setempat karena ada beberapa ketidak patuhan
rakyat pada aturan penjajahan, konon kabarnya saat itu kerajaan
Pagaruyung mengutus beberapa alim ulama, cadiak pandai, dan pesuruh bundo kanduang untuk berpencar dan mendirikan satu kelompok pejuang
nagari, dengan tujuan agar budaya Minang ini tidak punah .
Makna Baju Kurung
Baju yang bertabur warna emas ini dianggap orang memiliki
makna yang luas dan dalam. Makna yang utama adalah memberikan gambaran sifat
sosial dari pemakainya. Jahitan pinggir yang disebut minsie melambangkan jiwa
demokrasi yang luas yang berlaku di Minangkabau. Yaitu demokrasi yang memiliki
aturan dan batas-batas yang telah ditentukan dalam adat “dilingkungan alur dan
patut”, yang bersandar pada semboyan “adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah” (adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah).
Baju kurung basiba remaja:
Dalam pakaian adat wanita Minangkabau umumnya, baju kurung telah menjadi baju pakaian adat wanitanya dengan berbagai variasi
bahan dasar, ragam jenis serta teknik ragam hiasnya. Bahan dasar baju pakaian adat wanita umumnya terdiri dari kain bertabur, kain borkat, kain tuf, kain saten, kain sutra dan kain beludru.
Umumnya pakaian wanita minang tidak menonjolkan bagian tubuh yang bisa
menimbulkan ransangan seksual bagi lawan jenisnya, dalam hal ini baju kurung
dalam pepatah adat disebut sebagai
: “ kain pandindiang miang,
ameh pandindiang malu” (kain pendinding / pembatas
miang, emas pendinding / penutup malu ) artinya pakaian itu betul-betul menutup seluruh tubuh agar
tidak tidak menampakkan aurat.
Oleh karena orang
Minangkabau umumnya beragama Islam, maka ada ketegasan agar tidak memberi ransangan seksual bagi lawan jenisnya dengan demikian maka pemakaian baju kurung
atau baju lapang, basiba
sangat disukai oleh kaum
wanitanya.
[1]
Catatan editor : dengan tidak mengurangi rasa hormat, dan salut atas penelitian
ini yang mengungkap sistem simbol pakaian adat remaja Minangkabau di lokasi
penelitian, terpaksa judul ini dirobah oleh karena di Minangkabau berlaku adat selingka nagari, artinya baik bentuk, corak maupun simbolisme
pakaian adat ini tidak berlaku umum di lingkaran budaya Minangkabau. Judul asli
penelitian ini adalah : Simbolisme Pakaian Adat Lambak Ampek terhadap Perilaku
Kaum Remaja dalam Lingkungan Adat Minangkabau, yang di biayai oleh DIKTI, dan yang dimuat pada Jurnal Ranah Seni, Seni Rupa
FBSS UNP Padang pada edisi bulan Januari-Juli- 2011.
[2]
Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang
anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya
berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama.[1] Identitas suku pun ditandai
oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut[2] dan oleh
kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku
atau ciri-ciri biologis
atau ciri-ciri biologis
Baju kurung Moderen,