Penggunaan Blog

Jumat, 04 Maret 2011

Puritanisme dan Sense of Mission Amerika Serikat

Cuplikan buku : Negara Amerika Serikat dan Misinya
Oleh: Prof. Dr. Azwar Ananda, MA
Terbitan UNP Press 2010, ISBN: 978-602-8819-13-8, (175 hal.)

Puritanisme di Amerika Serikat berintikan nilai-nilai kebebasan individu. Nilai-nilai itu melahirkan pola-pola kehidupan yang mementingkan kehidupan dari individu-individu (domestik) dan mementingkan kehidupan bersama yang harmonis (publik). Nilai-nilai kebebasan individu yang melahirkan kehidupan bersama tersebut diwujudkan ke dalam ideologi Manifest Destiny merupakan dasar integrasi Texas ke dalam wilayah Amerika, sebagai langkah Amerika untuk menjadi negara kuat. Hal ini bertujuan untuk menjamin terlaksananya hak-hak individu seperti kebebasan, kemerdekaan, persamaan, dan demokrasi dalam kehidupan pribadi individu dan dalam kehidupan bersama yang harmonis.

Olmstead (1960 : 15) mengatakan puritanisme adalah gerakan reformasi Gereja Anglican yang berakar pada ajaran John Calvin yakni Kitab Injil dipandang sebagai kumpulan hukum yang komplit untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia. Inti ajarannya adalah Teologi yang bersifat federal yang menekankan adanya perjanjian antara Tuhan dan manusia.

Puritan menganggap Injil adalah esensi dari sejarah keselamatan manusia yang meliputi tiga dispensasi yaitu Ante-Legal yaitu sebelum kejatuhan Adam. Legal yaitu masa convenant merupakan hokum. Post-legal yaitu masa Tuhan mengirim Jesus Kristus untuk mendirikan Convenant of grace dengan manusia. puritanisme menekankan “Role of Man in Salvation” dan adanya kebebasan gereja.

Kammen (1965 : 125) menyatakan Puritanisme adalah suatu kepercayaan bahwa manusia harus terus-menerus berjuang untuk mengatasi keadaan dirinya yang penuh dosa secara alami dengan disiplin diri yang keras untuk membawanya pada kesempurnaan yang dicapai tidak sendirinya memberikan kehidupan di surga, sebab masuk surga atau tidaknya seseorang  telah ditentukan sejak kelahiran. Degler (1959 : 7--21) dan Boorstin (1953 : 56) serta Blum (1981 : 23) menyimpulkan puritanisme adalah pandangan hidup bangsa Amerika yang didasarkan pada Kitab Injil sesuai dengan interpretasi Protestan yang memuat nilai-nilai dasar bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Dari beberapa pendapat tentang puritanisme yang telah diuraikan terdahulu dapat diambil beberapa hal penting. Pertama, puritanisme mengakui kekuasaan Tuhan yang absolut. Tuhan telah menciptakan alam semesta beserta isinya dan Tuhan akan menjaga ciptaannya itu. Manusia sebagai ciptaan Tuhan, akan dipelihara oleh Tuhan baik selama hidup di dunia dan kehidupan akhirat yaitu kehidupan surga. Kedua, puritanisme mengakui adanya takdir Tuhan. Semua manusia adalah berdosa, akan tetapi Tuhan akan memilih orang-orang atau individu-individu untuk masuk surge, tetapi siapa yang dipilih tergantung kepada Tuhan, tidak seorang manusia mengetahui dirinya dipilih atau tidak.  Indikasi untuk dipilih adalah kesucian diri dan perbuatan baik (Olmstead : 1965 : 9). Ketiga, adanya paham mementingkan individu dalam beragama. Puritanisme percaya bahwa untuk mencapai keselamatan hanya bisa dicapai melalui hubungan langsung antara individu dengan Tuhan. Oleh sebab itu puritanisme menekankan “Role of Man in Salvation” serta diakuinya kebebasan gereja untuk mengatur dirinya sendiri (Olmstead : 1965 : 15).

Dilihat secara historis puritanisme berasal dari revolusi Protestan atau zaman reformasi yaitu suatu gerakan pemurnian gereja agar  kembali pada ajaran kitab Injil. Hal ini timbul karena adanya peranan Gareja Katolik Roma yang menganggap dirinya sebagai satu-satunya institusi yang berwenang mengatur dan mengotrol dunia secara universal. Setiap keinginan individu atau kelompok harus diatur oleh gereja, hanya dengan cara demikian persatuan dapat dipertahankan. Seluruh organisasi di atas bumi adalah anggota dari civitas dei yang berkuasa di dunia dan disorga (Olmstead:1965:2).

Reformasi Protestan menolak kekuasaan Katolik Roma untuk memakai Paus sebagai juru bicara guna menguasai dunia. Pemikiran Protestan mementingkan individu dengan berhubungan dengan Tuhan. Ajaran individualistik adalah inti dari ajaran puritanisme (Olmstead:1965:4).

Reformasi Protestan ini dipelopori oleh dua orang pemikir yaitu Martin Luther dan John Calvin. Dalam pemikiran tentang konsep keagamaan mereka menentang praktek-praktek ibadat serta ritual agama Katolik yang tidak sesuai dengan kitab Injil. Salah satu yang mereka tentang adalah adanya penjualan surat pengampunan dosa. Menurut Puritanisme dosa hanya bisa diampuni melalui permohonan ampun yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan dengan Tuhan. Dosa seseorang itu diampuni Tuhan atau tidak, tidak satupun manusia yang bisa mengetahuinya. Mengenai inti ajaran puritan dikemukan oleh dua pemikir.

Martin Luther (1517) menjelaskan inti ajaran puritan seperti berikut.
Sinful men, could win salvation neither by good works nor through the mediation of the church, but only by faith in the redemptive power of Christ and through a direct relationship to God-the priesthood of all believers and the only true guide to will of God was the Bible (Tindall:1984:30).

John Calvin (1536) menjelaskan inti ajaran puritan sebagai berikut.
God in His infinit wisdom had predestined a mass of sinners, including babes in the womb, to be torture in Hell for an eternity. The almighty had also chosen a selected few-the “elect” to enjoy eternal bless. Nothing that damned could would save them, whether faith, repentance or good deed (Bayley:1966:22).

Dari pemikiran dua tokoh yang melahirkan puritanisme di atas, terlihat bahwa dalam beragama dan menyembah Tuhan manusia secara individu memiliki kebebasan, sebab beragama dan menyembah Tuhan adalah menyangkut hubungan langsung antara individu dengan Tuhan yang diyakininya. Jadi, menyembah Tuhan bukan melalui atau tergantung pada Paus, Uskup, Pendeta ataupun Gereja. Doktrin agama Protestan yang mendasari puritanisme mengajarkan bahwa keselamatan hanya bisa dicapai melalui hubungan antara individu dengan Tuhan dengan berpedoman kepada kitab Injil.

Salah satu nilai yang paling penting dan mendasar dari paham puritanisme adalah ajaran tentang pentingnya individu dalam beragama. Dalam beragama individu memegang peranan kunci. Keselamatan individu dalam hidupnya tergantung pada individu sebab individu adalah tuan terhadap dirinya sendiri. Mengenai hal ini, Degler (1959:15) mengatakan sebagai berikut.
Proclaiming the priesthood of all believers, protestant is made each men’s relationship to God his own terrifying responsibility. No one else could save him, therefore no one must presume to try. More concerned about his salvation than about any mundane mater, the puritan was compelled for the sake of his immortal soul to be a fearless individualist.

Bertolak dari pemikiran keagamaan yang bersifat individualisme atau mementingkan individu tersebut, lahirlah konsep-konsep kehidupan masyarakat yang berakar dari ajaran puritan seperti dalam politik, ekonomi, dan sosial.

Dalam bidang ekonomi puritan mengajarkan bahwa kesalahan seseorang dapat diukur dengan kesuksesan seseorang itu dalam mengumpulkan benda materi di dunia. Bagi orang puritan, bekerja adalah merupakan persembahan kepada Tuhan dan sekaligus mengharap kurnia dari Tuhan. Di samping bekerja secara individual untuk dipersembahkan kepada Tuhan, puritan juga mengajarkan para penganutnya untuk berbuat baik kepada sesama manusia. Puritan beranggapan bahwa bekerja adalah berbuat baik kepada Tuhan, berbuat kepada sesama manusia dan sekaligus berbuat baik kepada diri sendiri (Degler:1959:17).

Dalam bidang sosial kemasyarakatan, puritan tidak mengenal kelas-kelas dalam masyarakat. Semua orang adalah sama baik dalam beribadah kepada Tuhan ataupun dalam keikutsertaannya mengatur masyarakat. Lipset (1963:2) mengatakan bahwa nilai dasar dari Amerika adalah persamaan (equality) dan kemampuan individu (achievement). Untuk mewujudkan adanya persamaan, rakyat harus diberi kesempatan yang sama dalam semua lapangan kehidupan dan dengan kemampuan yang dimiliki oleh individu ia dapat dicapai sesuai dengan yang diingininya. Jadi untuk mencapai cita-cita hidup dalam masyarakat tidak didasarkan atas kelahiran, kelas atau suku. Puritan mengajarkan bahwa manusia adalah sama dan tidak terpisah ke dalam kelas-kelas seperti yang terdapat dalam masyarakat aristokrasi dalam sebuah negara monarki (McMichael:1985:7).

Dalam bidang politik puritan mengajarkan bahwa manusia mempunyai perjanjian dengan Tuhan. Perjanjian itu disebut dengan the Covenant with God. Dalam perjanjian itu manusia berjanji akan mematuhi hukum-hukum Tuhan dan sebaliknya Tuhan juga berjanji akan membalas kepatuhan manusia dengan kebaikan-kebaikan. Perjanjian itu terdapat dalam kitab Injil, yakni Tuhan berjanji dengan Adam, Nuh, dan Abraham. Perjanjian itu dipraktikkan oleh orang puritan ke dalam politik.

Dalam bidang politik, prinsip dasar dari pemerintahan menurut konsep puritan adalah negara berdasarkan atas hukum Tuhan. Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang berdasarkan kepatuhan kepada hukum Tuhan. Selama pemerintahan menjalankan hukum-hukum Tuhan dengan baik, maka rakyat yang telah berjanji tadi harus mematuhi pemerintahan tersebut dan membantunya dalam menjalankan hukum atau peraturan kenegaraan. Jika pemerintahan telah menyeleweng dari hukum-hukum Tuhan seperti yang terdapat dalam kitab Injil, maka rakyat negara itu harus memberontak dan mengganti pemerintahan itu dengan yang lebih baik. Jika tidak, Tuhan akan turun untuk menghukum seluruh bangsa itu dengan azab dan kutukan (Chapin:1968:223, Degler:1959:23 dan Morgan:1958:19).

Dari pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam Puritanisme tersebut dapat disimpulkan bahwa puritanisme adalah suatu pandangan hidup yang beradasarkan kitab Injil sesuai dengan interpretasi agama Protestan. Puritanisme meletakkan dasar akan adanya hak-hak individu dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Puritanisme tidak saja merupakan reformasi agama, tetapi juga reformasi dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya.

Ide puritanisme seperti yang telah diuraikan tersebut bermula di Inggris, yaitu ketika ajaran Martin Luther dan John Calvin sampai di kepulauan Inggeris, Raja Henry VIII mendirikan gereja Anglican Inggris yang terlepas dari gereja Khatolik Roma. Pada abad ke 16 dan 17 tersebut terjadi pergolakan antara golongan puritan dengan pemerintah. Kaum puritan menuntut adanya Protestanisme yang lebih menyeluruh terhadap gereja-gereja nasional dan menginginkan agar bentuk kepercayaan dan cara-cara beribadah lebih disederhanakan. Kaum Puritan meminta Uskup dipilih oleh rakyat dan bukan ditunjuk oleh raja, ritual-ritual gereja yang tidak sesuai dengan ajaran kitab Injil dihapuskan dan tuntutan lainnya.

Tuntutan mereka itu ditolak oleh Raja James I dan Charles I. Mereka melarang puritan memberi kotbah dan berjanji mengusirnya dari Inggris. Karena tuntutan mereka terhadap pembaharuan tidak dipenuhi, ide individualisme yang mereka anggap paling benar tidak bisa dilaksanakan. Mereka pindah ke Belanda, kemudian ke Amerika dengan membawa sebuah ide untuk mereformasi gereja dan pemerintahan Inggris agar kembali kepada ajaran yang terdapat dalam kitab Injil.

Jadi, kepindahan kaum Puritan ke Amerika pada mulanya tidak berlandaskan pada alasan ekonomi dan sosial, tetapi membawa suatu ide untuk mencari kebebasan. Kebebasan dari penindasan dan pembatasan-pembatasan diberlakukan kepada kaum puritan oleh Raja James I dan Charles I. Ide mencari kebebasan itulah yang merupakan cita-cita dan mereka bertekad untuk memperbaharui gereja Inggris. Mereka akan membangun sebuah negara untuk menjadi contoh bagi semua umat manusia. Mengenai hal itu Toquenville (1968:36) mengatakan sebagai berikut.
No necessary forced them to leave their country: they gave up a diserabel social position and assured means of life hood, nor was going to new world to better their position or accumulated wealth, they for themselves away from home comforts in obedience to purely intellectual craving, in facing the inevitable suffering of exile they hope for triumph of an idea.

Perry Miller dalam bukunya Errand into the wilderness (1956) menyatakan bahwa kepindahan orang puritan ke Amerika adalah untuk memenangkan sebuah ide yaitu membangun masyarakat Kristus berdasarkan kitab Injil yang murni. Mereka membawa misi suci yaitu cita-cita untuk memurnikan ajaran Kristen. Misi itu mereka lakukan sendiri tanpa mendelegasikan pada orang lain. Jadi, misi suci itu adalah mereka sendiri dan inilah yang disebut dengan Errand oleh Miller. Tujuan dari misi ini adalah untuk menyempurnakan suatu gerakan reformasi yang sesuai dengan keinginan mereka. Miller mengatakan (1956:6): “To improve our lives to do more service to the lord, to increased the body of the Christ and to preserve our posterity from the corruption’s of the evil world, so that they in turn shall work out their salvation under the purity and power of Biblical ordinance”.

John Winthrop dalam Miller (1956:11) menyatakan bahwa ia akan membangun masyarakat New England berdasarkan teori Covenant dimana di antara orang puritan dan Tuhan diikat oleh perjanjian. Jadi Errand yang dilakukan adalah untuk melaksanakan suatu tugas yaitu mengorganisasikan suatu misi guna menyelamatkan umat Kristen dengan menyempurnakan reformasi yang telah dimulai di Eropa. “These Puritan did not flee to America: they win in order to work out that complet reformasi which was not yet accomplished in England and in Europe” (Miller, 1950:11).

Di samping itu, kaum puritan yang pindah ke Amerika ingin menjadi model, ingin menjadi contoh bagi semua umat manusia baik dalam beragama maupun dalam membangun negara. Cita-cita mereka itu terungkap dari pidato John Winhtrop di atas Kapal Arbella sebelum mereka turun ke pantai Massachussetts tahun 1630. Ia mengatakan “The lord make it like that of New England” For we must consider that we shall be like a city upon a hill, the eyes of all people are on us (Winhtrop:1989:109 dan Miller:1956:12).

Di Benua Amerika, kaum puritan mendirikan negara yang menurut mereka sesuai dengan kitab Injil. Koloni kaum puritan yang paling terkenal adalah New England yaitu terdiri dari Massachussetts, Connecticut dan New Hamshire. Di sini, nilai-nilai yang dianut oleh kaum puritan tumbuh dan berkembang. Mereka membangun gereja tanpa Uskup, dan Pendeta yang berkotak-kotak ke dalam hierarki. Mereka membangun pemerintahan sesuai dengan kitab Injil. The Encyclopedia of Religion (Vol:12:104) mengatakan secara moral puritan beranggapan bahwa mereka adalah rakyat yang ditunjuk oleh Tuhan untuk membangun New Jerussalem untuk menanti Kristus kembali turun ke bumi.

Kaum puritan membangun pemerintahan dan gereja yang sesuai dengan yang dicita-citakan. Karena kepindahan mereka disebabkan oleh tekanan-tekanan, di New England mereka membangun gereja dengan sistem Congregational, yaitu setiap gereja diberi hak otonomi guna mengatur diri sendiri. Dengan demikian hak-hak individu sudah mulai diakui di Amerika (Morgan:1958:77).

Benua Amerika sebagai benua kosong yang hanya dihuni oleh orang Indian, juga di eksplorasi oleh negara Eropa lainnya selain Inggris yaitu Prancis dan Spanyol. Di Amerika, terlihat bahwa ada persaingan antara Inggris dan Spanyol atau antara Protestan dan Khatolik di Amerika (Bayley:1966:12).

Spanyol menguasai benua Amerika mulai dari Florida sampai ke California dan sampai ke Amerika Selatan. Prancis juga mendirikan koloni di Amerika Utara yaitu Qeebec pada tahun 1608. Kemudian, La Salle seorang petualang Prancis tahun 1682 berhasil menyelusuri sungai Mississipi ke Selatan. Keberhasilan lainnya yang dicapai adalah pemberian nama Louisiana untuk menghormati raja Lois XIV. Perkembangan berikutnya adalah keberhasilan La Salle mendirikan pos Prancis di New Orleans yaitu di muara sungai Mississipi untuk mengawasi kapal-kapal dagang yang keluar masuk sungai itu. Pos itu didirikan tahun 1718 (Bayley:1966:47-48).

Bentrokan antara ketiga negara untuk menguasai benua Amerika tidak bisa dielakkan. Inggris dan Prancis yang saling bermusuhan, mulai bersaing untuk mempertahankan prinsip masing-masing. Kedua, negara ini terlibat pertempuran untuk memperluas daerah kekuasaannya ke arah Barat. Inggris (koloni Amerika) memperluas wilayah ke arah Barat untuk meniadakan musuh-musuhnya yaitu Spanyol dan Prancis. Hal ini terlihat dalam memperebutkan daerah Ohio dalam tahun 1740-an. Ohio adalah daerah strategis yang menghubungkan daerah Quebeec (Prancis Utara dan Louisiana (Prancis Selatan). Jadi, Inggris ingin mempertahankan keamanan dan supremasi serta pandangan hidup yang diyakini oleh mereka di Amerika Utara. Orang yang berjuang untuk itu adalah kaum puritan (Bayley:1966:54).

Akhirnya, pada abad ke 18, koloni Amerika sudah menjadi tiga belas koloni yaitu Virginia berdiri tahun 1607, New Hampshire (1623), Massachussetts (1628), New York (1626), Maryland (1634), Connecticut (1635), Rhode Island (1636), North Carolina (1653), New Jersey (1664), South Carolina (1620), Pensylvania (1681), Delaware (1638) dan Georgia (1733).
Dari ketiga belas koloni tersebut, New England yang terdiri dari Connecticut, Massachussetts, dan Hampshire adalah penganut puritan ortodoks. Ketiga koloni ini pernah menjadi satu konfederasi tahun 1643 dan kemudian runtuh akibat revolusi gemilang tahun 1689. Dasar struktur pemerintahan New England adalah Compact atau perjanjian yang dilakukan oleh Village. Hal ini didorong oleh kondisi geografi dan musuh-musuh mereka yaitu suku Indian dan negara Eropa yang lain. Jadi pemerintahan dimulai dari bawah (bottom-up) yaitu dari Village-State. Dalam menyalurkan aspirasi politik, New England mengenal adanya dewan kota (Town Meeting). Mereka diberi kebebasan untuk memilih anggota dewan sesuai dengan keinginan mereka.
Setelah ke 13 koloni Eropa memerdekakan diri dari Inggris dan menjadi Amerika Serikat, mereka mulai untuk meluaskan tanahnya ke wilayah barat. Area pertama dari pemukiman adalah wilayah AS yang mencakup ke Sungai Mississippi. Populasi Amerika Serikat pada tahun 1790 itu adalah 3.929.214. (Sumber: Microsoft ® Encarta ® 2009, CD)
Gereja di New England diorganisasi menurut aliran Congregational yakni setiap gereja diberi kebebasan untuk mengurus diri sendiri, sehingga penduduk New England merasa memiliki kemerdekaan dalam menentukan keinginan yang ingin dicapai (Bayley:1966:34-35).

Ketiga belas koloni juga diberi kebebasan oleh Inggris untuk mengatur diri sendiri selama satu setengah abad yaitu antara tahun 1607 sampai tahun 1673. Hal ini terjadi karena Inggris disibukkan oleh masalah dalam negeri dan peperangan dengan Prancis. Selama satu setengah abad itu, koloni hanya diatur oleh sistem Merchantilisme secara lemah, sehingga koloni-koloni menikmati kebebasan yang luar biasa dalam mengatur diri sendiri.

Akan tetapi mulai tahun 1763, sesudah Inggris memenangkan peperangan dari Prancis, seluruh Amerika Utara jatuh ke tangan Inggris. Inggris menjadi negara Emperium yang terbesar di dunia. Untuk membiayai emperium yang begitu luas dan membayar hutang perang akibat berperang dengan Prancis selama tujuh tahun, Inggris menetapkan kebijaksanaan baru terhadap koloninya di Amerika. Koloni Inggris di Amerika (Koloni Amerika) diminta ikut bertanggung jawab atas hutang-hutang Inggris dan memikul biaya untuk memerintah koloni. Setelah itu, mulailah Inggris memberlakukan berbagai macam undang-undang serta berbagai jenis pajak yang dilihat oleh koloni sebagai hal yang tidak pantas. Undang-undang itu ialah sugar act tahun 1764, yang berisikan bahwa Inggris harus memungut bea masuk dari setiap gula yang diimpor dari Hindia Barat. Setahun kemudian diberlakukan pula Stamp Act yang berisikan setiap barang cetakan dan dokumen harus dibubuhi materai. Kemudian, tahun 1766 keluarlah Townshent Act yang berisikan bahwa koloni harus membiayai tentara Inggris yang ditempatkan di koloni.

Bagi warga koloni, semua pemajakan terhadap sesuatu benda berarti pengambilan hak milik (property), pengambilan hak milik harus dilakukan dengan persetujuan pemilik. Warga koloni yang semasa itu kebanyakan petani yang memiliki tanah sendiri (Yeoman Farmer). Hak milik bagi mereka adalah suatu yang dikeramatkan sebab merupakan sumber hidup dan kebebasan. Hak milik seperti tanah adalah barang yang paling berharga. Mereka hidup bertani, menanam, memanen, dan mengkonsumsi sendiri. Jadi mereka tidak tergantung kepada orang lain termasuk kepada raja atau bangsawan. Oleh sebab itu dapat dilihat hak milik (property) adalah sumber kebebasan. Jadi, ancaman terhadap hak milik berarti ancaman terhadap kebebasan. Kebebasan yang telah mereka nikmati selama satu setengah abad ingin dicabut oleh Inggris, maka warga koloni memprotesnya dengan keras. Mengenai hal ini, John Lock dalam Morgan:1976:16-17 mengatakan berikut ini.
Men’s property must not be taken away without they consent, given either in person or by their representatives, for the colonists, as for other Englishmen, property was not merely a possession to be hoarded and admired, it was rather the source of life and liberty. If a man had property, if he had land, he had his own source of food, he could be independent of all other man, including King and Lords, where property was concentrated in the hands of the King and aristocracy, only the King and aristocracy would be free, while the rest of population would be little better than slave…..Hence Liberty rested on property, and whatever threatened the security of property threatened liberty.

Jadi, adanya kesadaran bahwa pengambilan hak milik hanya dapat dilakukan dengan izin pemilik, maka orang Amerika koloni mempertanyakan wewenang parlemen Inggris untuk memungut pajak di Amerika Koloni, sebab Parlemen Inggris bukan parlemen Amerika Koloni. Amerika tidak ikut memilih anggota parlemen Inggris, berarti parlemen Inggris tidak berhak mengatur Amerika Koloni termasuk memungut pajak dari rakyat Amerika Koloni.

Adanya keberanian untuk memberontak dan memprotes pemberlakuan undang-undang dan berbagai jenis pajak terhadap koloni tersebut ialah didorong oleh semangat cita-cita yang dibawa oleh kaum puritan ketika berangkat dari Inggris tahun 1629. Mereka mempunyai hak untuk memerintah diri sendiri dan menginginkan kebebasan serta anti kepada penindasan dan pemaksaan serta perkosaan atas hak-hak individu. Prinsip-prinsip itu telah berkembang selama satu setengah abad di alam liar Amerika, yaitu dari mulai kedatangan kolonis sampai lahirnya kebijaksanaan imperialism Inggris terhadap koloni tahun 1763.

Berkembangnya nilai-nilai itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Amerika adalah tanah yang luas. Orang Inggris di negerinya sendiri adalah sebagai petani penyewa sesampainya di Amerika berubah menjadi petani pemilik tanah. Manfaat positif dari hak milik atas tanah itu sudah mereka rasakan selama satu setangah abad. Kedua, Amerika terpisah sejauh 3000 mil dari kepulauan Inggris. Hal ini menyebabkan dalam waktu satu setengah abad orang puritan berkembang lebih “mengamerika” dibandingkan jika dengan sebagai orang Inggris. 
Ketiga belas koloni mengadakan revolusi tahun 1775. Semboyan mereka adalah “no taxation without representation” atau “Taxation without representation is tyranny”. Tanggal 4 Juli 1976, bergemalah pernyataan Kemerdekaan Amerika. Mulai sejak itu, Amerika sudah berubah dari negara koloni menjadi negara merdeka. Hal itu juga menandai lahirnya suatu bangsa yaitu bangsa Amerika (Lipset:1965:2).

Lahirnya Amerika menjadi sebuah bangsa secara historis disebabkan oleh beberapa faktor antara lain (1) umumnya rakyat koloni berbicara dalam bahasa Inggris, (2) koloni memiliki latar belakang sejarah yang sama, (3) kolonis mendiami daerah yang terletak dalam suatu benua dan berdekatan, (4) koloni adalah penganut ajaran Protestan dan warga koloni mengembangkan perasaan nasional yaitu bangga sebagai orang Amerika selama satu setengah abad (Morgan:1977:101). Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Haydu (1983:25-27) yakni lahirnya Amerika menjadi sebuah bangsa berasal dari Inggris. Jumlah penduduk koloni tahun 1790 adalah 60% orang Inggris. Jadi, tiga perempat dari penduduk koloni penganut Protestan karena banyak pengaruh Inggris menyebabkan orang Inggris lebih senang tinggal di Amerika. Kemudian, emigran lainnya yang bukan berasal dari Inggris harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan Inggris.

Dapat disimpulkan bahwa lahirnya bangsa Amerika pada tanggal 4 Juli 1776 dengan dikumandangkan pernyataan kemerdekaan, sejak semula sudah dapat dilihat bahwa ide-ide kemerdekaan, kebebasan, persamaan dan demokrasi yang menjadi akar dari koloni untuk memberontak terhadap negara induknya Inggris didasari oleh pemikiran-pemikiran puritanisme dari penganut agama Protestan yang pindah ke Amerika mula abad ke-17.

Misi yang mereka bawa adalah ingin mereformasi gereja Inggris dan pemerintahannya agar kembali disesuaikan dengan ajaran Injil. Akan tetapi, sesampainya di Amerika keinginan itu berubah, Amerika bukan saja ingin mereformasi gereja Inggris tetapi ingin memberi contoh pada semua umat manusia. Amerika akan menjadi “A city upon a hill” bukan saja bagi Inggris tetapi bagi seluruh dunia.

Keinginan untuk menjadi contoh itulah yang disebut dengan sense of_mission atau misi Amerika. Inti misi dari Amerika adalah ingin mencari kebebasan, kemerdekaan, persamaan, dan demokrasi. Orang Inggris yang kemudian menjadi bangsa Amerika memegang misi itu sejak semula. Jadi, dapat disimpulkan misi atau mission dari Amerika adalah kewajiban Amerika untuk membela nilai-nilai kebebasan, kemerdekaan, persamaan dan demokrasi yang diyakini Amerika sebagai nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia secara alami dan tidak bisa dicabut. Hal ini berasal dari konsep puritanisme yang mendasari lahirnya Amerika menjadi sebuah bangsa (Of Merk:1963:261-266, Miller:1956:6, dan Toquenville:1966:36).

Deklarasi Kemerdekaan dan Konstitusi : Pranata Pelaksanaan Hak-hak Individu

Suparlan (1988:3) mendifinisikan pranata adalah sistem antar hubungan peranan-peranan dan norma-norma yang terwujud sebagai tradisi untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial utama dari para anggota sebuah masyarakat. Sherman dan Kolker (1987:8) mendefinisikan pranata sebagai cara yang utama yakni masyarakat menentukan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan baik secara bersama (sosial) atau secara individu. Boyd dan Warcester (1973:36) mendefinisikan pranata sebagai “Institutions Channel of individual behavior to serve community need, thereby translating social norm into organized pattern of behavior and promoting their development”.

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, pranata adalah suatu sistem yakni anggota masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain dengan pola-pola resmi dan mendasari timbulnya lembaga-lembaga dalam masyarakat. Kedua, pranata adalah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup manusia. Ketiga, pranata timbul dalam masyarakat sebagai perwujudan dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah diterima dan dipedomani dan berfungsi sebagai ukuran tingkah laku dalam sebuah masyarakat.

Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan-kebutuhan untuk dipenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu secara wajar, manusia menciptakan pranata-pranata dalam kehidupannya. Pedington dalam Suparlan (1988:4) mengemukakan empat kebutuhan dasar manusia di bawah ini.
  1. Kebutuhan utama (primer) yaitu kebutuhan yang timbul karena aspek-aspek biologi/organism tubuh manusia. Kebutuhan itu mencakup makan/minum, perumahan, istirahat, reproduksi, dan kesehatan.
  2. Kebutuhan sosial (sekunder) timbul akibat dari hasil terpenuhi kebutuhan primer dan membutuhkan orang lain untuk memenuhinya, antara lain: berkomunikasi dengan sesama, kegiatan-kegiatan bersama, sistem pendidikan, dan lain-lain.
  3. Kebutuhan integratif yaitu kebutuhan yang timbul akibat manusia sebagai mahkluk berfikir, dan bermoral yaitu adanya perasaan benar salah, adil dan tidak adil, kebersamaan, sistem kepercayaan, dan lain-lain.

Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, manusia menciptakan pranata-pranata yang kemudian diwujudkan ke dalam bentuk institusi-institusi yang bisa dipergunakan oleh manusia sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

Selanjutnya Boyd dan Warcester (1973:36) membagi pranata ke dalam tujuh jenis berdasarkan fungsi dari pranata-pranata itu. Pertama, keluarga (domestik) yaitu yang berhubungan dengan struktur keluarga dan fungsi-fungsinya. Kedua, pendidikan yaitu yang berhubungan dengan pewarisan kebudayaan dan penelitian guna melahirkan ilmu atau teori-teori baru. Ketiga, politik yaitu yang berhubungan dengan pemerintahan dan perlindungan dari bahaya-bahaya luar. Keempat, ekonomi yaitu yang berhubungan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dari benda-benda ekonomi dan jasa. Kelima, agama yaitu yang berhubungan dengan kepercayaan dari manusia yang melampaui batas ilmu pengetahuan. Keenam, rekreasi yang berhubungan dengan waktu libur dan mengekspresikan keindahan. Ketujuh, pranata yang berhubungan dengan pelayanan-pelayanan sosial seperti orang jompo, orang sakit, gangguan jiwa dan kejahatan.

Berpedoman kepada definisi dan fungsi pranata seperti yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa deklarasi kemerdekaan dan konstitusi Amerika adalah pranata bagi Amerika memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Konstitusi Amerika itu adalah suatu sistem yang mengatur interaksi antara rakyat Amerika dengan pemerintah, rakyat dengan rakyat, rakyat dengan konggres, konggres dengan presiden, presiden dengan mahkamah agung, dan interaksi-interaksi lainnya. Lebih dari itu, deklarasi kemerdekaan dan institusi Amerika diciptakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat Amerika akan adanya jaminan hak-hak individu seperti kemerdekaan, kebebasan persamaan dan demokrasi, karena hal itu adalah nilai-nilai dasar dan misi dari Amerika.

Adanya kebutuhan akan jaminan terhadap hak-hak individu seperti kebebasan, kemerdekaan, persamaan, dan demokrasi timbul karena rakyat Amerika yang berasal dari imigran yang pindah ke Amerika untuk menghindari penindasan-penindasan oleh pemerintah negara. Rakyat Amerika takut akan terulang lagi penindasan terhadap hak-hak individu itu oleh sebab itu, mereka menciptakan pranata yang menjamin terlaksananya hak-hak individu dalam negara yang merdeka.

Friedman (1990:40) menyatakan bahwa hak-hak individu yang merupakan kebebasan, kemerdekaan, persamaan, dan demokrasi itu dapat dilihat secara visual dalam bidang ekonomi dan politik. Konstitusi Amerika ditujukan untuk menjamin terlaksananya hak-hak ekonomi dan politik rakyat dari pelanggaran mayoritas, karena konstitusi adalah fundamen dari praktik-praktik politik, filsafat politik, dan garis-garis besar dari struktur pemerintahan. Konstitusi secara umum adalah menggambarkan pola-pola hubungan antara pemerintahan dan rakyat.

Oleh sebab itu, pemerintahan yang dapat menjamin terlaksananya hak-hak individu seperti kemerdekaan, kebebasan, persamaan adalah pemerintahan yang demokrasi. Pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat melalui wakil-wakilnya. Pemerintahan diletakkan atas dasar pengakuan hak individu dan usaha individu untuk menjamin hak-hak alaminya. Di Amerika, hak-hak alami itu adalah kebebasan, kemerdekaan dalam beragama, kemerdekaan berbicara atau mengeluarkan pendapat, kemerdekaan berkumpul, pengadilan bebas serta adanya jaminan hak individu untuk hidup, kemerdekaan dan hak milik dilindungi dan tidak boleh diambil tanpa melalui proses hukum yang sesuai dengan asas demokrasi (Saye, et. Al:1986:17).

Demokrasi menekankan persamaan semua manusia. Persamaan semua manusia yang dimaksud bukan lahir dengan talenta yang sama, bukan pula memiliki harta dan penghasilan yang sama, tetapi yang dimaksud adalah semua manusia memiliki kesempatan yang sama (equal opportunity) untuk memanfaatkan takentanya guna mencari kehidupan dan mencapai kebahagiaan. Pemerintah mempunyai kekuasaan yang terbatas dan memberikan kemerdekaan yang luas bagi individu. Pemerintah bertugas membantu individu dalam mengembangkan dirinya secara maksimal (Carr:1957:13 dan Saye, et.al:1986:19).

Agar hak-hak individu dapat terjamin pelaksaannya, rakyat Amerika menuntut adanya hukum tertulis yang ditujukan untuk menegaskan adanya jaminan terhadap hak-hak tertentu adalah sama dengan tuntutan terhadap adanya hukum atau undang-undang, sebab hukum atau undang-undang adalah bukti pengakuan atas hak-hak individu secara formal (Friedman, 1990:11).
Untuk menjamin terlaksananya hak-hak individu di Amerika, para pendiri Negara membuat hukum-hukum dasar yang tertulis yang terdiri dari deklarasi kemerdekaan, konstitusi Amerika beserta dengan amndemen-amandemen yang menggiringnya. Ketiga hukum dasar yang tertulis itu jelas dengan tegas bahwa hak-hak individu dijamin pelaksanaannya di Amerika.
Deklarasi kemerdekaan atau the declaration of independent of America yang dibacakan pada tanggal 4 Juli 1776 adalah titik awal lahirnya bangsa Amerika. Tanpa deklarasi kemerdekaan itu, bangsa Amerika tidak akan pernah ada secara politik, ekonomi,  dan sosial.
Harris (1983:9) menjelaskan bahwa deklarasi kemerdekaan Amerika memuat tiga prinsip dasar yaitu perwujudan hak-hak asasi manusia, partisipasi rakyat dalam politik dan prinsip pemerintahan terbatas. Berikut ini akan diuraikan satu persatu. Prinsip pertama, adalah pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia itu tercantum dalam kalimat berikut.
We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their creator with certain unalienable rights, that among these are life, liberty and the pursuit of happiness. That to secure this rights, governments are instituted among men, deriving their just powers from the consent of governed. That when ever any form government become destructive of these ends, it is the right of the people to alter or abolish it, and to institute new government, laying its foundation on such principles and organizing its power in such form, as to them shall seem most likely to effect their safety and happiness (Tindall:1984:A1).
Hal ini adalah berkaitan dengan natural rights yaitu hak-hak yang didapat oleh manusia tanpa memerlukan persyaratan tertentu, hak itu menyatu dengan manusia. Penekanannya adalah pada dua hal yaitu “all men are created equal” dan “have unalienable rights (Harris:1983:9).

Kesadaran adanya hak-hak dasar manusia merupakan latar belakang meletusnya revolusi Amerika. Hak-hak dasar manusia itu ditindas atau diabaikan oleh Inggris dalam membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan terhadap koloni. Hal ini tercantum sangat panjang sekali dalam deklarasi kemerdekaan Amerika,  dibawah ini.

Sejarah raja Inggris sekarang adalah suatu sejarah dari pengulangan penderitaan dan perampasan hak untuk berkuasa, semua bertujuan secara langsung demi tegaknya suatu tirani absolut atas Negara-negara bagian lain. Untuk membuktikan ini biarlah diserahkan kepada dunia secara tulus. Pemerintahan Inggris telah menolak penyetujuan hukum yang paling baik dan berguna demi kebaikan masyarakat…..(Tindall:1984:A1). 

Jadi, demi hak-hak individu, Amerika menyatakan kemerdekaannya dari ikatan politik Inggris. Di sini dapat dilihat bahwa pendiri Amerika mengakui bahwa manusia mempunyai hak-hak dasar yang tidak bisa dicabut dan Raja Inggris telah melanggar hak-hak tersebut. Pengakuan terhadap hak-hak untuk hidup, kemerdekaan dan mencari kebahagiaan, maksudnya adalah manusia secara kodrat memiliki hak untuk hidup bahagia dengan dilindungi oleh hukum-hukum negara. Kepercayaannya terhadap hak-hak dasar ini adalah merupakan pandangan hidup Amerika (Way of life) (Harris:1983:14).

Prinsip kedua adalah pengaturan partisipasi rakyat dalam politik. Pengaturan partisipasi itu diatur dalam kalimat “That to secure these rights governments are instituted among men, deriving their just power from the consent of the governed (Tindall:1984:A1).

Jika manusia diciptakan sama dan memiliki hak-hak yang tidak bisa dicabut yaitu hak hidup, kemerdekaan dan mengejar kebahagiaan, maka setiap individu harus bisa memerintah diri sendiri dan tidak boleh diperintah oleh orang lain kecuali atas persetujuan individu yang bersangkutan. Dalam sebuah Negara, tentu ada yang memerintah dan ada yang diperintah. Inilah dasar dari partisipasi politik, yakni semua orang mempunyai kesempatan yang sama dalam berpartisipasi guna membuat peraturan atau keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka (Harris:1983:15).

Demokrasi Amerika adalah demokrasi perwakilan. Hal ini dikatakan oleh Roger William, John Wise, Patrick Henry dan Thomas Paine sebagai berikut “Rule by the people). Konotasinya adalah demokrasi langsung. Demokrasi langsung akan menimbulkan anarki dan ketidakstabilan dalam masyarakat. Hal itu adalah tidak mungkin. Demokrasi Amerika adalah demokrasi perwakilan dalam pemerintahan Republik yaitu pemerintahan melalui wakil-wakil rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi (Harris:1983:18).

Prinsip ketiga adalah pemerintahan terbatas (limited government). Pemerintahan terbatas adalah pemerintahan yang konstitusional, kekuasaan pemerintahan dicantumkan secara jelas dalam hukum dasar secara tegas batas-batasnya. Dalam pemerintahan, keterbatasan konstitusi harus bersifat tertulis (Saye, et.al:1986:16). Jadi, hak dan tugas pemerintah serta hak-hak rakyat tercantum secara tegas dalam konstitusi atau perundang-undangan sebuah negara.

Dalam konstitusi Amerika diatur lebih jauh tentang kekuasaan pemerintahan negara, hak-hak warga negara dan sistem pemerintahan yang memerintah negara Amerika. Semua itu tercantum dalam Konstitusi Amerika.

Yang dimaksud dengan Konstitusi Amerika adalah konstitusi hasil sidang konvensi untuk membuat konstitusi di Philadelphia tahun 1787. Pada waktu itu ditetapkan Konstitusi Amerika yang mulai berlaku pada hari Rabu pertama bulan Januari tahun 1789. Konstitusi ini dibuat dengan maksud untuk mencegah despotisme, tirani oleh seorang, beberapa orang atau banyak orang. Konstitusi Amerika juga termasuk amandemen yang merupakan pelengkap dari konstitusi, sebab Amandemen adalah bahagian yang tidak terpisahkan dari Konstiusi Amerika (Irish dan Prothro:1965:108-111).

Konstitusi Amerika terdiri dari pembukaan, batang tubuh sebanyak 7 pasal dan 24 ayat dan ditambah dengan 26 pasal Amandemen sampai tahun 1971. Semua ini membentuk sebuah sistem yang berfungsi sebagai hukum dasar dari negara Amerika.

Pembukaan konstitusi Amerika memuat tujuan berdirinya Amerika. Tujuan itu adalah membentuk persatuan yang lebih sempurna, menegakkan keadilan, menjamin ketenangan dalam negeri, membentuk pertahanan umum, memajukan kesejahteraan umum dan mengamankan kemerdekaan yang merupakan rahmat Tuhan bagi orang Amerika dan keturunan-keturunannya (Pembukaan Konstitusi Amerika).

Dalam batang tubuh Konstitusi Amerika yang terdiri dari 7 pasal dan 24 ayat memuat sistem pemerintahan dan hak masing-masing badan pemerintahan. Pemerintahan Amerika menganut paham pemisahan kekuasaan atas badan legislativ, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga badan pemerintahan yang masing-masing dipegang oleh Kongres, Presiden dan Mahkamah Agung, mempunyai kekuasaan sendiri-sendiri dan mereka bisa saling mengawasi guna menghindari terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang menjurus pada tirani dan mengancam kebebasan individu.

Saye dan Allums (1986) membagi prinsip-prinsip yang dimuat oleh Konstitusi Amerika atas delapan buah prinsip. Di bawah ini akan diuraikan secara keseluruhan.

Pertama, prinsip kedaulatan rakyat (Popular Sovereignity). Prinsip ini tercantum dalam pembukaan Konstitusi yang berbunyi: “We the people of United States do ordain declare and established the following constitution for government of ourselves and our posterity”. Dalam pasal 2 ayat 1 menyatakan:”The house of Representatives shall be composed of members chosen every States every second year by the people of the several states”. Pasal 4 ayat 1 mengatakan:”The United States shall guarantee to every states in this union republician form of government”.

Jadi, dalam Konstitusi Amerika tergambar bahwa kekuasaan tertinggi dalam Negara berada ditangan rakyat. Jika pemerintahan tidak lagi menjalankan undang-undang dengan baik rakyat Amerika, maka melalui wakil-wakilnya dapat menuntut pelaksana pemerintahan di depan pengadilan atau mengganti pemerintahan dengan yang lebih baik.
Prinsip kedua, Republicanisme (Republicanism). Republikanisme berarti kekuasaan pemerintahan yang berasal dari rakyat baik langsung atau tidak dengan masa jabatan yang terbatas. Hal ini seperti dikatakan oleh Madison (1788:222): “Derives all its power directly of indirectly from the great body of the people and is administered by person hading their office during pleasure, for a limited period orduring good behavior”. Carr (1957:15) mengemukakan suatu aturan yang harus dituruti yaitu: The Majority has power to govern and the minority posses certain rights that the majority must respect”.

Dalam prinsip Republikanisme ini tercantum dalam pasal-pasal: anggota DPR (House) menduduki jabatan selama 2 tahun (pasal 1 ayat 2), anggota senat memegang jabatan selama 6 tahun (pasal 1 ayat 3), Presiden memegang jabatan selama 4 tahun dan hanya boleh dipilih dua kali (pasal 2 ayat 1) dan amandemen ke- 22.

Ketiga, prinsip pemisahan kekuasaan (the saparation of power). Pemisahan kekuasaan adalah pembagian kekuasaan dalam negara atas tiga bidang yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini ditujukan untuk menghindari penyelewengan seperti yang terjadi pada kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan atau seorang raja (Saye:1983:52). Kekuasaan dalam negara terdiri dari legislatif oleh konggres. Konggres terdiri dari Senat dan DPR (House), keduanya dipilih oleh rakyat. Kekuasaan eksekutif  oleh Presiden yang dipilih oleh rakyat sekali dalam 4 tahun. Kekuasaan Yudikatif oleh Mahkamah Agung yang dibantu oleh hakim agung selama ia berkelakuan baik. Semua ini tercantum dalam pasal 1 ayat 1, pasal 2 ayat 1, dan pasal 3 ayat 1.

Keempat, prinsip Negara Federal (Federalism). Pemerintahan Federal adalah suatu uni dari beberapa pemerintahan negara bagian atau states di bawah koordinasi pemerintahan pusat yakni pemerintahan sentral dan lokal memiliki kekuasaan yang di bidang masing-masing (Saye:1983:1975).

Di Amerika, terdapat dua pemerintahan yaitu pemerintahan negara bagian dan pemerintahan pusat. Kedua jenis pemerintahan ini mempunyai tugas masing-masing yang diatur oleh konstitusi. Pemerintahan Pusat berwenang membentuk pertahanan, mengurus hubungan luar negeri, membuat undang-undang yang mengatur hubungan antara negara bagian dan perdagangan luar negeri. Hal ini tercermin dalam pasal 1 ayat 8 yang mengatur wewenang Kongres Amerika. Pemerintahan negara bagian mengatur diri sendiri contoh memungut pajak, penyelenggaraan pendidikan, dan lain sebagainya.

Kelima, prinsip pemerintahan terbatas (Limited Government). Pemerintahan Amerika menjalankan kekuasaan berdasarkan Konstitusi. Dalam hal ini, diatur dengan jelas wewenang pemerintahan federal pasal 1 ayat 9 dan wewenang pemerintahan lokal pasal 1 ayat 10.

Keenam, prinsip keseimbangan kekuasaan (check and balance). Prinsip check and balance adalah adanya keseimbangan kekuasaan antara ketiga cabang kekuasaan dalam negara yaitu Kongres, Presiden dan Mahkamah Agung. Ketiga kekuasaan itu secara hukum adalah sejajar dan dapat saling mengawasi guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan dan penyelewengan (Saye, et.al:1983:53). Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam pengambilan keputusan dalam memberlakukan sebuah undang-undang. Pasal 1 ayat 7 mengatakan setiap undang-undang harus mendapat persetujuan DPR (House) dan Senat. Sebaliknya, Presiden juga berwenang menveto rancangan undang-undang yang diajukan oleh Kongres dengan menolak menandatanganinya dan mengembalikan RUU itu ke DPR atau Senat atau dari mana RUU itu berasal. Sebaliknya veto Presiden dapat dibatalkan oleh 2/3 suara Kongres. Mahkamah Agung menurut pasal 3 ayat 2 mempunyai kekuasaan peninjauan kembali (Judicial Review) terhadap undang-undang yang dibuat oleh kongres atau yang diajukan oleh Presiden.

Jadi, dengan adanya saling mengawasi itu penyelewengan bisa dihindari dan kekuasaan masing-masing badan pemerintahan akan sesuai dengan konstitusi tertulis.
Ketujuh, prinsip supremasi dari hukum (supremacy of law). Maksudnya adalah bahwa Negara Amerika adalah negara hukum dan bukan negara kekuasaan. Amerika menghormati dan mematuhi hukum-hukum yang ada yang membatasi hak dan wewenang pemerintah dan kewajiban rakyat terhadap negara. Hal ini tercantum dalam pasal 6 ayat 2 berikut ini.
This constitution, and the laws of the united states which shall be made in pursuance there of, and all treties made or which shall be made, under the authority of the United States, shall be supreme law of the land, and the judge in every states shall be bound thereby anything in the constitution or laws of any states to the contrary, not withstanding (Tindall:1984:A20).

Jadi hukum Amerika adalah harus dihormati dan dipatuhi karena ia adalah keputusan rakyat dan pencerminan keinginan rakyat melalui wakil-wakilnya.

Kedelapan, prinsip Konstitusi Dinamis (a dynamic constitution). Maksudnya adalah suatu prinsip dimana Konstitusi Amerika dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yaitu dengan terbukanya kemungkinan dibuat amandemen-amandemen dari konstitusi. Amandemen itu diperlakukan untuk mengatur hal-hal yang belum diatur dalam konstitusi atau untuk mengantisipasi perkembangan politik di Amerika. Hal ini diatur oleh pasal 5 Konstitusi Amerika. Sampai tahun 1971 telah ada 26 pasal amandemen yang melengkapi Konstitusi Amerika.

Amandemen-amandemen itu ialah: amandemen I-X adalah tentang Bill of Rights di Amerika yang menjamin kebebasan individu dalam beragama, berkumpul, mengajukan pendapat, memiliki senjata, jaminan terhadap keamanan rumah, harta, pengadilan berdasarkan hukum dan lain-lain. Amandemen XI tentang kekuasaan kehakiman, amandemen XII tentang pemilihan Presiden, amandemen XIII tentang penghapusan perbudakan, amandemen XIV tentang kewargaan Negara dan suara dalam pemilu, amandemen XV tentang persamaan hak dalam pemilu, amandemen XVI tentang wewenang Kongres memungut pajak pengahsilan, amandemen XVII tentang anggota Senat, amandemen XVIII tentang pelarangan minuman keras, amandemen ke XIX tentang hak memilih bagi wanita, amandemen ke XX tentang serah terima jabatan Presiden, amandemen ke XXI tentang minuman keras, amandemen ke XXII tentang pembatasan masa jabatan Presiden, amandemen ke XXIII tentang pengaturan suara di distrik tempat kedudukan pemerintahan Amerika, amandemen ke XXIV tentang hak suara tidak dihubungkan dengan pajak, amandemen ke XXV mengatur tentang kalau Presiden berhenti atau tidak sanggup menyelenggarakan pemerintahan dan amandemen ke XXVI tentang hak memberikan suara bagi warganegara yang telah berumur delapan belas tahun.

Dari uraian di atas dapat dibaca bahwa Deklarasi Kemerdekaan dan Konstitusi Amerika adalah pranata yang menjamin perlindungan terhadap hak-hak individu seperti kebebasan, kemerdekaan dan persamaan. Konstitusi menciptakan suatu sistem pemerintahan yang memungkinkan hak-hak individu dapat dijamin. Mengenai hal ini Friedman (1990:40) mengemukakan sebagai berikut.
The American constitution to be sure…..it protected certain economic and political rights from encroachment of the majority. The bill of rights set up safeguards for criminal trials, to avoid the despotic practices of old world monarchies. Other provision protected religion from the state and property against appropriation. That was basically as fas as the declaration went. 
Jadi dengan adanya konstitusi tertulis Amerika menjamin terlaksananya hak-hak individu seperti kebebasan, kemerdekaan, persamaan dan demokrasi.

Daftar Bacaan
  • “The American Destiny” dalam Great Issues in American life, Encyclopedia Britanica,
  •      Vol.II, 1968
  • Amir Machmud. (1987).  Pembangunan Politik Dalam Negeri Indonesia. Jakarta : Gramedia
  • Bala, Robert. (2007).” Menggugat ’Bipolarisasi’Bush. Kompas, 21 Juni 2007.
  • Bedell, George C. (et. al). (1982).  Religion In America, New York:MacMillan Co.Inc.
  • Bayley, Thomas A. (1966). The American Pageant : A history of the Republlic. Boston : DC Heath and Company.
  • Beceker, Carl (et. al). (1977). Modren History, Morisstown (New Jersey) : Silver Burdett,Co.
  • Billington, Ray Allen. (1956). The Farn Western Frointier 1830-1860. New York : Harper and Row.
  • Billington, Ray Allen. (1967). Wetward Expansion : A History of American Frointier. New
  •          York : The Macmillan Co.
  • Blum, John M. (1981). The National Experience. New York : Hacourt Brace Javanovich, Inc.
  • Boorstin, Daniel J. (1953). The Genius of American Politics. Chicago : University of Chocago Press.
  • ______________.(1987). The Image : A Guide to Pseudo-Eventin American. New York : Antheneum.
  • Boyd,Maurice dan Donald Worcester. (1973).  American Civilization : An Introduction to Social Science. Boston : Allyn and Bacon Inc.
  • Brown, Maria. (1983). “Afro-American History” dalam Unity and Diversity, Josph Collier (ed).        Huntington Beach : American Studies publishing Inc.
  • Brown, Ralph H. (1948). Historical Geography of United State. New York : Harcourt Brace Javanovich Inc.
  • Cahayo, Imam. (2007). ”Menuntut Globalisasi yang Manusiawi” Kompas,
  • 15 Februri, hal 6.
  • Carr, Robert K.(1957) American Democracy in Theory  and Practice, New York : Rinehart & caompany, Inc.
  • Chapin, Bradley. (1968). Early American. New York : McMillan and Co.
  • Christenson, Reo M. (et.al). (1975). Ideologies and Modren Politics. New York : Dodd, Mead & Company.
  • Commager,Henry Steel. (1971). Documents in American History. New York : Appleton Century Crofts.
  • Boorstin, D.J. (1953). The Genius American Politics. Chicago: Chicago University Press
  • Dallek, Robert. (1983). The American Style of Foreign Policy : Cultural Politics and Fforeigh  Affairs. New York : New American Library.
  • Deconde, alexander  A. (1963). A history of American Foreign policy, New york : Charles Scribner’s Sons.
  • Degler, Carl N.(1959) Out of the Past, New York : Harper & Row.
  • Fitzgerald, Thomas A Jr(1980) American Foreign Policy 1789-1980, Ancina (California ) : Glincoe  Publishing Co.
  • Frantz, Joe B.(1984) Texas : A History New York : WW Norton & Company.
  • Friedman, Lawrence M. (1990) The Republik of Choice : Law, Authority and Culture, Cambridge (Mass) : Harvard University Press.
  • Galbraith, John Kenneth(1983) The Anatomy of Power,Boston  : Houghton Mifflin.
  • Graebner, Norman A.(1989) “Concret Interest and Expantion” dalam Major Problems in American Foreign Policy,Vol. I : to 1914, Thomas G.Patterson (ed), Lexington : Dc Heath and Company.
  • Haley, Donald J.(1983)“ The American Indian in US.History” dalm Unity and Diversity, Josph Collier (ed), Huntington Beach (California) : American Studies Publ.Co.
  • Haydu, Donald(1983) “The Anglos” dalm Unity and Diversity, Joesph Collier (ed), Huntington Beach (California) : American Studies Publ.Co.
  • Harris, Fred R.(1983) American’s Democrasy  : The Ideal and Reality, Dallas : Scott, Foresman and Company.
  • Horsman, Reginald(1989) “Anglo-Saxion Racism” dalam Major Problems in American Foreign Policy,Vol. I : to 1914, Thomas G.Patterson (ed), Lexington : Dc Heath and Company.
  • Hornby,AS. (1974) Oxford Advance Dictionary, Oxford: Oxford University Press
  • Haffsomer, Harold J.(1953). American Life : Introductory Analysis, englewood (NJ) : Prentice-Hall, Inc.
  • Horton, Rod W. (et al). (1974). Backgrounds of American Literary Thought. Englewood Clifts : Prentice-Hall, Inc.
  • Irish, Merian D.(et al)(1965) The Politic of American Democrasy.  Englewood Clifts : Prentice-Hall, Inc.
  • John, Glen M. (1979). “ Ethnicity and the Growth of Governmental power : Out of the ‘melting pot’ into the fire” dalam Cintemporary American Life, Jagdish N Sharma dan B Ramesh Babu (eds). Hyderabad (India) : American Studies researh center.
  • Jones, Howard. (1985). The course of American Diplomacy. New York : Franklin Watts.
  • Kammen, Michael. (1972). People of Paradox : An Inquiry Corcerning the Origins of American Civilization. New York : Vintage Books
  • ”Konflik Dunia, Kaankah Berakhir”, Media Indonesia, 1 Oktober 2002
  • Lipset, Seymour Martin.(1963). The Frist New Nation : the US in Historaical and Comparative Perspective.  New York :  Anchor books Doubleday & Co.
  • Madisson, James. (1968). “The Federalist Paper no. 39” dalam The Annals of American, Vol.3, Halaman 222-226.
  • Marty, Martin E. (1987). “Religion in America” dalam Making America, Luther  S, Luetke (ed), Washington Dc : USIA.
  • McCarmac, Eugine Irving. (1922). James K Polk : A Political Biography. Berkeley (California) : University of California Perss.
  • McClosky, Herbert. (1967). “Concensus and Ideology in American politics” dalam American Political Parties : A Systematic Perspective, Charles G, Mayo dan Meril L Crowe (eds), New York : Harper & Row.
  • McMichael,George (ed). (1985). Anthology of American Literature,Vol  I. New York : MacMillan Publishing Co.
  • Merk, Frederick (1963) Manifest Destiny and Mission in American History, New York : Random House.
  • Miller, Perry. (1956). Errand into the Wilderness. New York : Harpen r & Row.


Prof. Dr. Azwar Ananda, MA, adalah kelahiran Taratak Baru-Sijunjung, 20 Juli 1961, Dosen Tetap Jurusan Ilmu Sosial Politik, FIS, Universitas Negeri Padang, menjadi guru besar sejak 1 oktober 2007 di tempat yang sama.
Jenjang pendidikan beliau dimulai dari sarjana pendidikan  di IKIP Padang tahun 1985, lulus S2 di Universitas Indonesia Jakarta tahun 1993  dalam kajian tentang Amerika. Melanjutkan studi S3 di kota Launceston/Hobart University of Tasmania Australia 1995-1998. Alamat Komplek Jondul  IV Blok NN No.6 Tabing Padang, Telp. (0751) 7056722. Cell. 0812 66 02931. Pengalaman lain dari beliau adalah.
  • Summer Institute for Training and Development, Amherst-Massachussetts-USA, Juni-Agustus1999, (Summer Courses).
  • Seminar Internasional, Indiana-University-USA, 19-27 Desember 2000 (Sertifikat International Seminar).
  • School of Education,  Indiana University    Bloomington, Indiana-USA,1 Februari, s/d 1 Mei 2001 (Visiting Scholar)
  • Center For Civic Education, Calabasas, California, USA, 1 s/d 16 Mei 2002 (Training of Trainer)
  • Perintisan Kerjasama UNP-University of Sydney-Australia, University of Sydney   
  • Maret 2003, Negosiasi Kerjasama dengan University Utara Malaysia (Tindak Lanjut MOU UNP-UUM, 1 s/d 7 Juli 2004).
  • Universiti Pendidikan Sultan Idris/Univ.of Malaya, Tanjung Malim/Kula Lumpur Malaysia, 19 s/d 23 Okt.2006 (Tindak lanjut kerjasama/MOU.
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar