Penggunaan Blog

Selasa, 29 Maret 2011

Beberapa Catatan tentang Dunia Saudagar dan ‘Kesaudagaran’ Minangkabau



Oleh: Mestika Zed


Sumber gambar: Masoed Abidin's Weblog
Profesi saudagar dan tradisi “kesaudagaran” mungkin terdapat dalam hampir setiap kelompok etnik mana pun di dunia, bahkan sejak dahulu kala. Namun dalam konteks Indonesia, gejala ini tampaknya lebih menonjol di kalangan etnik Minangkabau. Para penulis ontologi ekonomi dan kemasyarakatan cenderung mengakui bahwa salah satu identitas kultural orang Minangkabau ialah keahlian dalam dunia niaga. Profesi saudagar dan tradisi “kesaudagaran”, tak syak lagi, berkait-kulindan dengan kehidupan sosio-kultural setempat. Dalam memperingati seratus tahun kebangsaan (nasionalsime) ke-Indonesiaan tahun 2008 ini sepatutnya kita memberikan perhatian pada tradisi “kesaudagaran” dan peran saudagar Minang dalam membangun identitas kebangsaan di masa lalu.


Tulisan ini ingin melacak tradisi ‘kesaudagaran’ Minang itu dengan membatasi uraian pada tiga pokok persoalan berikut ini; (i) bagaimana menjelaskan bahwa profesi saudagar dan tradisi “kesaudagaran” bertalian erat dengan dunia kehidupan (lebenwelt) sosial-kultural budaya masyarakat Minangkabau; (ii) apa dan bagaimana kontribusinya dalam pergerakan kebangsaan di masa lalu; dan (iii) ada apa dengan profesi saudagar dan tradisi “kesaudagaran” Minang dewasa ini dan apa yang mungkin dapat dilakukan untuk merevitalisasi budaya ‘kesaudagaran’ Minang tersebut ke depan, sehingga ia perlu dipertahankan sebagai warisan khazanah budaya lokal masih relevan untuk menjawab tantangan zaman, khususnya dalam kerangka menyejahterakan masyarakat bangsa di tingkat lokal mau pun nasional?
Akar Budaya ‘Kesaudagaran’ Orang Minang.
Budaya dagang orang Minang dapat dilihat dari profesi saudagar (marchant) yang mereka jalani dalam kehidupan sehari-hari. Istilah lokalnya ialah ’menggalas’.[1] Artinya melakukan kegiatan jual-beli atau tukar menukar dalam sistem pasar lokal atau regional. Berkat keuletan dan kegigihan mereka dalam di arena menggalas ini, membuat mereka mampu menyaingi pedagang Cina, yang pada umumnya mendominasi kegiatan perdagangan di nusantara di zaman kolonial (Furnivall 1939).  Barangkali karena alasan-alasan inilah maka istilah Minangkabau sering diplesetkan dengan ungkapan ”Minangkiau”. Malahan ada juga solorohan sarkastik, yang mengatakan, ’begitu terjadi migrasi penduduk ke bulan, saat itu sudah berdiri pula ’rumah makan padang’ di sana. Memang dewasa ini ’rumah makan padang’ dan pelbagai jenis jualan kaki lima di mana-mana di nusantara diidentikkan dengan keahlian orang Minang. Sebaliknya, kalau kita pergi menjelajahi pelosok Sumatera Barat, kampung asal orang Minangkabau, maka dapat dilihat bahwa daerah ini termasuk salah satu dari sedikit daerah di mana ekonomi rakyat dan perdagangan sampai ke pelosok pedalaman tetap dipegang oleh penduduk setempat.[2]  
 "Manggaleh", Menggalas (bhs.Minang) berasal dari kata galeh/galah, yaitu bambu yang dipakai untuk pikulan barang dagangan. sumber gambar:www.kaskus.us/showthread.php?t=2300077
Tradisi ’menggalas’ pertama-tama berkaitan erat dengan institusi pasar dan orang Minang sudah lama mengenal sistem pasarnya sendiri, bahkan sudah ada jauh sebelum kedatangan bangsa Barat ke Indonesia. Istilah lokalnya ”pakan” [pekan]. Maka bagi para saudagar atau ”penggalas” Minang, tiada hari tanpa pasar. Pepatah adat mengatakan, adat badagang, duduak dagang, tagak dagang, bakato dagang sakali. Indak baban batu digaleh. Bukan kebetulan kalau rotasi pasar tradisonal berjalan tiap hari dalam sepekan (seminggu) menurut nama hari (dari bahasa Arab) seperti Pekan Ahad, Senayan, Selasa dan seterusnya. Pada hari pekan itu banyak petani yang membawa hasil pertaniannya ke pasar dan sebaliknya mereka membeli barang-barang keperluan sehari-hari atau alat rumah tangga lainnya; sebagian untuk dijual kembali di pasar-pasar yang lebih kecil atau di lepau-lepau di nagari-nagari. Sebaliknya pedagang-pedagang yang lebih besar menjual galasnya di pasar-pasar mingguan yang lebih besar lewat galeh babelok dan bahkan menjadi bagian yang penting dalam jaringan pedagang keliling (peddlers) nusantara seperti yang pernah dideintifikasi oleh Van Leur  di masa lalu (1955: 53, 60ff).[3] 
Pada dasarnya makin teratur kehidupan masyarakat makin banyak pula ditemukan perdagangan dan pasar. Pasar petani yang dihidupkan oleh para saudagar lokal itu berkembang pesat, terutama sejak masuknya pengaruh Islam di Nusantara. Islam dalam hubungan ini tidak hanya memperkenalkan pemahaman konsep teologis (Tauhid) terhadap penganutnya, tetapi pengalaman sejarah Islamisasi itu sendiri, yang berlangsung lewat perdagangan justru memperkuat tradisi dagang orang Minangkabau. Di Minangkabau perkawinan antara adat dan Islam melahirkan doktrin sosial (atau filsafat) berbunyi adat besandi syara’, syara’ basandi Kitabullah (ABS-SBK). Meskipun doktrin itu kini hanya tinggal wacana, orang Minangkabau tetap sadar akan identitas khas mereka yang berdasarkan adatnya itu dan menganggap kelompok mereka sebagai puak etnik yang unggul.
Penerobosan pengaruh dunia modern ke lingkingan kehidupan sehari-hari mereka, tidak perlu menggoyahkan tradisi berfikir mereka yang menjujung tinggi rasa percaya diri mereka (self-confidence) dan juga tidak pula mesti mengubah penghargaan mereka terhadap kemerdekaan [berfikir] individu. Ungkapan adat seperti ”alam takambang jadi guru”; mengambil contoh ke nan sudah; mengambil tuah ke nan menang, tidak hanya bermakna mengandalkan kekuatan akal, tetapi juga fleksibilitas budayanya. Ia juga berkaitan erat dengan watak orang Minangkabau yang berorientasi outward looking. Watak kemerdekaan (independensi) dan outward looking orang Minang menemukan habitatnya dalam tradisi merantau dan profesi dagang. Salah satu wujud paling nyata dari gejala ini terlihat dari pilihan profesi berdagang kaki lima. Konsep kaki lima itu sendiri memiliki makna simbolik, di mana si pedagang adalah orang yang merdeka, ’independen’ dari atasan dan bawahan karena ia sendiri adalah ‘manajer’ atas ’galas’ yang diurusnya. Sebaliknya ini sekaligus menjelaskan mengapa profesi tentara (militer) kurang diminati orang Minang.
Visi adat dan falsafah Minangkabau tentang kemerdekaan berfikir  selanjutnya menuntut warganya, untuk senantiasa mengontraskan atau membandingkan antara dunia di sekitarnya dan daerah rantau. Sebab hanya dengan jalan begitulah anak nagari akan mampu melihat mana yang baik dan mana yang buruk dari keduanya. Hal itu menuntut orang untuk berfikir kritis, melakukan otokritik karena ada referensi yang bisa dipakai sebagai pembanding. Alam tempat asal adalah referensi itu awal. Dari situ dapat pula dilihat bahwa visi itu sebenarnya cara berfikir dialektis (tesis-antitesis dan sintesis itu) dilahirkan, sehingga kontradiksi atau konflik dianggap sebagai hal yang wajar manakala ia dapat disintesasiskan atau diselesaikan secara memuaskan atau harmonis. Keberhasilan untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk terutama bergantung pada akal, yaitu kemampuan ber­fikir secara rasionil. Kalau begitu, visi itu mendorong juga orang Minang untuk berfikir secara kritis, dinamis atau dialektis. Cara berfikir demikian dengan sendirinya menolak dogmatisme atau parokhialisme, sebab keduanya menghalangi kemerdekaan berfikir.
Atas dasar pandangan ini, maka pengertian rantau bukan lagi semata-mata mencari uang dan harta kekayaan, melainkan juga menuntut ilmu atau mengaji. Jika ditarik lebih jauh, maka merantau tidak melulu sekedar hijrah atau berpindah secara fisik, tetapi juga secara men­tal (pemikiran). Yang pertama memperkuat tradisi ‘menggalas’, yang kedua memperkuat tradisi intelektual. Bukti-bukti tentang ini telah ditunjukkan dalam sumbangan parantau, baik untuk kampung halamannya maupun untuk tanah dalam arti luas. Tentu saja masih bisa dijelaskan kaitan struktural antara tradisi merantau – dan dengan demikian juga budaya ”kesaudagaran” orang Minang – dengan sistem sosialnya yang matrilineal.  Karena sistem sosial matrilineal Minangkabau pada dasarnya mengandung pengertian genealogis dan kepemilikan, maka ada konsekuensinya yang tak terelakkan.  Pertama sistem matrilineal menjamin eksisensi dan perlindungan terhadap perempuan, baik secara sosial mau material dan kedua sebaliknya kurang memberi tempat pada anak laki-laki atau pemuda. Karena itu oleh adat mereka dianjurkan pergi merantau.
Masih ada satu lagi faktor budaya lokal yang perlu disebutkan dalam mendukung budaya menggalas, yaitu keahlian orang Minang dalam berwacana lisan. Keahlian ini dipupuk lewat tradisi pepatah-petitih, pidato adat atau mamangan. Kepandaian bersilat lidah, mengolah kata memerlukan latihan dan tradisi adat menyediakannya. Keahlian berwacana ini juga sangat diperlukan dalam interaksi pasar, terutama untuk merebut hati pelanggan di mana kegiatan tawar-menawar yang panjang adalah inheren dalam pasar tardsional. Lebih-lebih lagi ketika alat komunikasi masih terbatas secara lisan, maka kepandaian berbicara tidak hanya menunjukkan kehalusan, melainkan juga sebuah manisfestasi kuasa via kata.[4]

  Suasana pasar tradisional di kota Padang.Sumber gambar Nasbahry Couto (2004)/ eksperimen fotografi digital.Pedagang sayur-mayur, dan jualan kebutuhan sehari-hari umumnya adalah masyarakat sekitar kota Padang.

Kendatipun kehidupan di nagari-nagari di Minangkabau sejak dulu dan bahkan sampai sekarang, masih bersifat agraris, tetapi ada yang membedakan petani Minangkabau dengan kebanyakan petani di tempat lain. Salah satu ciri khas petani Minangkabau dapat diibaratkan dengan ungkapan, ”orang yang hidup dari bercocok tanam, di mana sebelah kakinya terbenam di sawah atau di ladang dan sebelah yang lain berada di pasar.” Dengan kata lain, petani murni dalam pengertian Wolf (1963), yaitu orang yang semata-mata hidup bergantung pada bercocok tanam (tanah), dan tidak mengerti pasar, jarang ditemukan di Minangkabau karena sistem pasar itu sendiri hampir sama tuanya dengan tradisi pertanian mereka. Meskipun demikian, kita harus berhati-hati untuk tidak menyamakan begitu saja antara sistem pasar tradisional di mana terdapat interaksi perdagangan, jual beli pada zaman kuno dengan yang ada dalam masyarakat modern.
Pada kebanyakan masyarakat petani, yang sudah mengenal sistem pasar sekali pun, dorongan untuk berproduksi, pembagian kerja maupun distribusi hasil produksi pada pada umumnya tidak ada hubungannya dengan proses pasar atau perdagangan. Akan tetapi dalam masyarakat Minangkabau, ekonomi, khususnya ekonomi pasar dalam pengertian tradisional, adalah bagian integral dari sistem sosio-kulturalnya.[5] 5) Beberapa simpul sosio-kultural Minangkabau sebagaimana disinggung di atas telah memungkinkan tumbuh-nya tradisi ”kesaudagaran” orang Minang tersebut.
Kontinuitas dan Perubahan Budaya ”Kesaudagaran” Orang Minang
Kapitalisme dan negara-bangsa adalah dua kekuatan utama yang mengubah dan menentukan struktur dunia modern. Keduanya merupakan kekuatan yang telah membentuk semua masyarakat di dunia, tetapi tidak sepenuhnya mampu menembus sektor-sektor tertentu dalam masyarakat. Masih ada ranah yang lebih luas yang menghindari pengaruh langsung negara dan/atau pasar kapitalis, terutama kegiatan ekonomi lokal di Dunia Ketiga dan di Minangkabau sejak masa kolonial khususnya, tidak seberapa berpengaruh dan bahkan sebaliknya memberi peluang berkembangnya pedagang-pedagang lokal. Sampai setakat ini mustahil bagi kami untuk mengidentifikasi tipologi saudagar Minang yang asli. Namun berdasarkan pengamatan sementara, di mana sisa-sisa tipe saudagar lama masih dapat dilihat contour-nya sebagai berikut.
Pertama, para saudagar – sejalan dengan semangat indivudalisme dalam dunia ’kesaudagaran’ Minangkabau – cenderung bekerja sendiri-sendiri. Gambaran saudagar Minang di masa lalu agaknya dapat diungkapkan dengan meminjam pepatah Belanda berikut: Eenden zwemmen in groepen, de adelaar vliegt alleen (Itik berenang bergerombolan, garuda terbang sendiri-sendiri”). Para ’penggalas’ itu, bagaimanapun juga, adalah anggota dari masyarakatnya dan memilik tanggung jawab sosial sekaligus, namun dalam urusan galasnya mereka cenderung mandiri dan berjalan sendiri-sendiri. 
Kedua, jaringan saudagar tradisional umumnya bergerak dalam skala menengah ke bawah, sebagain besar dalam usaha kecil-kecilan, baik modal maupun jaringannya. Erat kaitannya dengan ini, jaringan hubungan-hubungan ’kesaudagaran’ umumnya bertumpu pada hubungan-hubungan keluarga. Sifat tanpa pandang pribadi (impersonal) dalam pasar merupakan unsur penting dalam teori ekonomi modern dan secara sosiologis-antropologis sulit diterapkan ke dalam tradisi ’kesdaudagaran’ Minang. Memang di sini ada kesimpangsiuran, sikap impersonal dalam dunia dagang sering cenderung disamakan dengan rasionalitas serta mencari keuntungan maksimal. Bila orang ingin bertindak secara rasional (dalam arti ekonomi) dan mencari laba, maka seharusnya dia secara ideal mengenyampingkan pertimbangan-pertimbangan perasaan yang menimbulkan ikatan-ikatan dalam hubungan sosial yang dapat bertentangan dengan motif mencari laba. Namun studi antropologis tentang pasar sebaliknya menukas bahwa justru ikatan-ikatan pribadilah yang membuat sistem pasar itu dapat berfungsi. Clifford Geertz (1989), menunjukkan bahwa hubungan-hubungan di pasar Indonesia umumnya secara konsekuen sesuai dengan keinginan mencari laba dan rasionalitas. Dan oleh karena itu dia menganggap hubungan-hubungan tersebut universal bahkan dalam masyarakat Barat, bila orang mempergunakan dikotomi personalisme/universalisme dari Talcot Parson. Meskipun demikian, dalam konteks saudagar Minang, banyak pengamat berpendapat bahwa salah satu kelemahan dari usahawan Minang, sejauh ini, justru karena mengandalkan hubungan-hubungan keluarga itu; kompetisi menjadi lemah dan kurang inovatif, sehingga riwayat keluarga kelas pedagang besar yang berketerusan dari satu generasi ke generasi  berikutnya jarang terjadi.
Ketiga, erat kaitannya dengan butir di atas, dorongan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal tetap merupakan asumsi psikologis yang pokok dan ini juga berlaku dalam lingkaran pasar pasar petani Minangkabau. Petani berusaha mendapatkan harga sebaik mungkin bagi hasil bumi mereka, dan sebaliknya tengkulak menjual dengan harga yang paling tinggi pula. Contoh-contoh ini dapat dijumpai dalam pasar petani kopi abad ke-19 dan awal abad ke-20. Studi saya dalam jaringan niaga kopi di abad ke-19 menunjukkan,[6]6) bahwa petani kopi Minangkabau cenderung enggan menyetor komoditi kopi mereka ke gudang-gudang kopi pemerintah yang ditetapkan harganya menurut harga pasar pemerintah. Sebaliknya mereka membangun jaringan perniagaan sendiri ke pantai timur dan selanjutnya ke Singapura dan Malaka. Tentu saja dengan keuntungan yang lebih besar. Keuntungan dari perdagangan kopi memberi kesempatana bagi mereka untuk naik haji dan belajar di Timur Tengah. Mereka ini kemudian pulang membawa gerakan pemabaharu di bidang pendidikan Islam -- lebih dikenal dengan gerakan Kaum Muda yang bertalian erat dengan gerakan nasionalis awal abad ke-20 (Deliar Nor, 1982)..
Akhirnya beberapa ciri lain dari ’kesaudagaran’ orang Minang tentu masih mungkin untuk diidentifikasi, baik permodalan, mekanisme kerja ’kesaudagaran’, gaya-hidup dan jaringan-jariangan perdagangan antar pasar yang sambung menyambung dari pedalaman ke kota-kota dan seterusnya ke dunia luar dan sebaliknya. Jaringan informasi dan alat pengangkutan sangat vital dalam pasar modern. Sebelum berkenalan dengan alat transportasi modern, para petani pedagang di masa lalu biasanya hanya mampu melakukan perdagangan jarak jauh dengan volume galas dalam skala terbatas. Mereka hanya mampu mempergunakan alat pengangkutan seadanya seperti pedati, atau kapal bermuatan kecil untuk perdagangan di kawasan pantai dan antar-pulau. Kondisi ini kemudian mengalami perubahan drastis dengan setelah masuknya kekuatan kolonial Belanda dan kaum imigran Cina ke daerah nusantara. Sebelumnya kebijaksanaan kolonial yang besar pengaruhnya dan diteruskan setelah Indonesia merdeka terhadap modernisasi ekonomi ialah menciptakan pasar yang belum ada sebelumnya atau mengatur pasar yang telah ada. Di sini persaingan pasar pada mulanya menyediakan tumbuhnya sentimen kelompok berdasarkan etnik, kemudian agama dan lalu berdasarkan kebangsaan. Sejarah Indonesia memberikan ilustrasi yang sangat jelas mengenai fenomena ini. Marilah kita lihat dalam pembahasan berikut ini.
 Saudagar dan Pergerakan Nasional di Masa Lalu
Percobaan para sarjana untuk menganalogikan tesis Weber tentang ”etika Protestan dan munculnya kapitalisme” di Eropa”, dengan kasus Islam di Indonesia juga pernah dilakukan. Dikatakan bahwa tumbuhnya ’emporium’ (dunia niaga) yang didominasi pedagang-pedagang muslim di kota-kota pantai sebelum kedatangan Eropa, dan kebangkitan dunia usaha kelompok Islam awal abad ke-20, boleh jadi, berkaitan erat dengan nilai-nilai etika (ajaran) Islam itu sendiri, terutama ajaran mengenai ketaraturan, kedisiplinan, ’kebersihan’ dan keterbukaan dalam menyerap tanda-tanda kebesaran Tuhan di muka bumi.[7]  Sejarawan Australia M.C. Ricklefs (2005) memberikan perspektif baru kepada kita tentang era modern Indonesia, menurutnya, harus mulai dari proses Islamisasi abad ke 12 dan bukan sejak abad kedatangan bangsa Barat abad ke-17/18 sebagaimana yang lazim dipahami selama ini. Islamisasi sejak awal abad ke-12 tidak hanya mampu membangun jembatan antar-pulau lewat jaringan-jaringan niaga  mereka di nusantara, melainkan juga menyemaikan sentimen anti-Barat berdasarkan nilai-nilai keagamaan. Maka tidak heran jika sebagian besar pahlawan Islam sebelum abad ke-20 berasal dari para pemimpin umat yang berperang melawan kolonialisme Belanda.
Nasionalisme modern abad ke-20 juga berasal dari kelompok saudagar yang tergabung dalam perkumpulan Sarikat Islam (1912), partai pertama yang anggotanya mencakup seluruh Hindia-Belanda (Indonesia). Di Minangkabau peran kelompok dagang tidak hanya terbatas pada upaya membangun sekolah-sekolah suasta di luar sistem pendidikan kolonial, melainkan juga pendukung gerakan Kaum Muda yang menjadi basis pergerakan kelompok nasionalis. Umumnya berpusat di padangpanjang. Pada tahun 1914, misalnya, sekelompok saudagar pribumi mendirikan organisasi usaha bernama Sarikat Usaha di bawah pimpinan Muhammad Taher Marah Sutan, seorang agen pelayaran di pelabuhan Padang. Ia adalah ‘seorang pekerja keras yang idealis’, yang menjadikan Sarikat Usaha sebagai ‘tempat berkumpul bagi sejumlah pemimpin dan intelektual di Padang’.[8]  .Anggota pengurus yang lain, Sutan Said Ali, adalah seorang guru Sekolah Adabiah dan anggota Sarikat Islam. Said Ali kelak meninggalkan Sarikat Usaha dan menjadi penggerak utama Partai Komunis.[9]
Organisasi ini bergerak di berbagai bidang sosial — pendidikan, perniagaan, penyelenggaraan pemakaman, kontraktor konstruksi, penerbit majalah keagamaan dan buku, dan pengelolaan bioskop.[10]  Organisasi ini juga memiliki tabloid empat halaman, Sjarikat Oesaha, yang terbit dua kali seminggu. Sarikat Usaha mendirikan cabangnya di kota-kota lain di Sumatra Barat, dan para pengusaha, baik yang menjadi anggota maupun yang bukan anggota. Mereka tidak hanya mendanai kegiatan-kegiatan perniagaan, tetapi juga kegiatan partai-partai politik, organisasi-organisasi keagamaan, segala bentuk penerbitan, sekolah-sekolah swasta, dan organisasi-organisasi pemuda. Salah seorang saudagar Padang yang paling aktif adalah Abdullah Basa Bandaro. Ia adalah orang yang ‘membina hubungan baik dengan pejabat-pejabat Belanda di Padang’ dan bekerjasama erat dengan Abdullah Ahmad pendiri Sekolah Adabiah di kota itu.[11] 11). Adalah Basa Bandaro pula yang membawa Sarikat Islam ke Sumatra Barat, dan di awal tahun 1920-an dia menjadi penyandang dana utama koran Djago-djago, Pemandangan Islam, dan koran-koran lain yang diterbitkan Sarikat Rakyat di Padangpanjang.
H. Abdullah Ahmad, pendiri Sekolah Adabiah di Padang adalah juga salah seorang pendiri Sarikat Usaha. Bersama dua temannya yang lain, yakni Haji Rasul di Padang Panjang dan Syekh Djamil Djambek di Bukittinggi – ia dikenal sebagai tokoh Kaum Muda. Ketiganya sangat menentang komunisme di daerah ini dan oleh pejabat Belanda ia dianggap bersikap moderat terhadap pemerintah Hindia Belanda. Hatta sangat menghormati Abdullah Ahmad dan Marah Sutan, dengan mengungkapkan ‘bila Haji Abdullah Ahmad terkenal dalam gerakan keagamaan, Taher Marah Sutan termasyhur dalam urusan sosial’. Paman Hatta sendiri, yaitu Gaek Rais juga pedagang besar yang banyak mempengaruhi sikap nasionalisme Hatta kecil.[12]
Dalam tahun 1930 didirikan Himpunan Saudagar Indonesia (HSI) di Padang dan di Bukittinggi. Pendirian cabang HSI di Bukittinggi melambungkan nama seorang saudagar Minangkabau lain yang kelak membawa dampak besar terhadap aspek ekonomi dan politik pergerakan nasionalis di Sumatera Barat sampai periode kemerdekaan. Dia adalah Anwar St. Saidi (lahir 1910) – ayah dari Rustan Anwar yang mewarisi tradisi pedagang dan kepejuangan dari ayahnya, berasal dari Sungai Puar, sebuah kampung perajin besi di lereng gunung Merapi. Meski berpendidikan rendah, Anwar adalah seorang anak muda yang memiliki pandangan luas dan energi luar biasa. Kesadaran politiknya tentulah terbentuk oleh kakaknya, Djamaluddin Ibrahim, mantan guru perguruan Thawalib yang pada 1930 menjadi anggota terkemuka partai PARI. Perhatiannya terfokus pada upaya-upaya pengembangan potensi dagang di daerah dataran tinggi Sumatera Barat demi ‘kemajuan’ rakyat Minangkabau. Menyadari banyaknya barang-barang yang dibuat di berbagai nagari di Agam yang lahan pertaniannya terbatas -seperti, kerajinan besi dan ukiran di Sungai Puar, pakaian di Ampat Angkat, perabot di Kamang, dan kerajinan perak di Koto Gadang dan Guguk- Anwar mengusulkan pembentukan asosiasi yang mampu mengkoordinasikan pemasaran produk-produk ini di dalam dan ke luar Sumatera Barat. Ketika gagasan ini dia sampaikan kepada Taher Marah Sutan, orang tua ini tidak menyetujuinya dan mengatakan bahwa jaringan dagang di masing-masing nagari, yang berakar pada hubungan sosial dan kultural setempat, tidak dapat dan tidak mungkin tergantikan oleh asosiasi. Oleh karena itu, dia menyarakan agar Anwar berkonsentrasi saja pada para saudagar di kota dan segala kebutuhannya, yang paling mendesak di antaranya bagaimana meningkatkan permodalan mereka.
Begitulah, dinamika yang mewarnai pergerakan nasionalis di Minangkabau tidak terutama bertumpu pada naluri modernisasi sempit dari kelompok elite birokrasi yang berpendidikan Barat, melainkan lebih bersandar pada jalinan kepentingan-kepentingan kalangan agama, pendidikan, dan pengusaha di kawasan ini. Merekalah kelompok yang menjunjung tinggi idealisme masyarakat saudagar Islam. Kepentingan-kepentingan ini disalurkan lewat rangkaian hubungan yang tidak melalui jaringan kolonial Batavia, Sumatera Barat, dan Negeri Belanda melainkan melalui jaringan hubungan alternatif antara Sumatera dengan Malaya/ Singapura dan Kairo/Mekah, sering via Bangkok dan India. [13]
Keandalan hubungan timbal balik di bidang keagamaan, perniagaan, dan pendidikan dengan kawasan-kawasan di luar koloni  tercermin dalam cerita-cerita sastra populer yang ditulis pada tahun-tahun terakhir penjajahan Belanda, terutama novel-novel yang diterbitkan di Medan dan Bukittinggi (Fort de Kock), yang berkisah tentang kehebatan-kehebatan Pacar Merah Indonesia, Tan Malaka. Tidak kurang dari lima novel yang terbit antara tahun 1938 dan 1940. bercerita tentang petualangan fantastis sang Pacar Merah dan kemerad-kemeradnya (antara lain Yamin, Djamulin [Djamaluddin Tamin], Alminsky [Alimin] dan Semaunov [Semaun], ketika mereka berjuang melawan kelihaian dinas rahasia Belanda dan Inggris di kawasan dunia yang membentang mulai dari Sumatera Barat hingga ke Selat Malaka dan Semenanjung Malaya, dan dari sana terus ke Kairo dan Teheran serta kota-kota lain di Timur Tengah.
Seperti yang dilakukan sebelum tahun 1930-an komunitas perdagang tahun 1930-an dan sebelum kejatuhan Belanda dan Jepang membantu berbagai organisasi pergerakan nasionalis dengan dukungan dana dan sarana komunikasi antara Sumatera Barat dan Jawa serta Semenanjung Malaya. Seperti tampak pada kasus saudagar Abdullah Basa Bandaro, meskipun dia bendahara partai Permi yang juga memiliki hubungan khusus dengan partai Sukarno (PNI) di Jawa. Demikian juga teman-teman seperjuangannya yang lain. Kendati ada rintangan dari pihak Belanda, saudagar Minangkabau tetap memelihara hubungan yang kuat dengan dunia usaha di Semenanjung Malaya, dan memiliki hubungan keluarga dengan para pemimpin dan anggota partai radikal, seperti PARI  yang bermarkas di sana. Kelompok ini jugalah yang berjasa dalam membiayai perjuangan pada masa revolusi 1945-1949.
Penutup
Dunia  ’kesaudagaran’ Minang adalah suatu jenis kewirausahaan khas Minang lebih dekat padanan dengan konsep pedagang daripada sebagai pengusaha dalam artian industri kapitalistik. Dengan kata lain, galas mereka sebagian besar bergerak di tingkat menengah ke bawah, bukan menengah ke atas. Orientasi mereka tidak  terutama pada orientasi pemupukan modal dan keuntungan maksimal, melainkan lebih pada orientasi cari makan dan memenuhi tuntutan sosial yang berbagai macam itu. Dan yang lebih penting kesadaran akan ide-ide ”kemajuan” yang paralel dengan nasionalisme ke-Indonesiaan yang modern menempatkan diri mereka sekaligus sebagai the agent of change dalam menjawab tantangna zamannya Barangkali  citra ”small is beautiful” masih lebih kuat dicirikan kepada mereka nyaman daripada berpacu menjadi besar tetapi tergopoh-gopoh ketika diterpa angin global. Dalam krisis finansial global dewasa ini agaknya penguatan terhadap kelompok ini memerlukan dukungan dari pemerintah karena di tangan merekalah denyut sektor riil berputar setiap hari. 
Erat kaitannya dengan ini, tema-tema diskusi mengenai ekonomi dan masyarakat dewasa ini jarang sekali sampai mengundang reaksi dan kebingungan yang melebihi reaksi dan kebingungan yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah terhadap masalah pedagang kaki lima. Padahal mereka adalah soko-guru ekonomi rakyat yang penting di daerah ini dan mestinya dilindungi dan difasilitasi usaha mereka oleh negara. Kapitalisme dan negara bangsa cenderung memarginalkan mereka, sehingga mereka sering dipostulatkan sebagai kekuatan ”ekonomi bayangan” atau ”sektor informal, yang tidak tercatat dalam statistik resmi, dan oleh sebab itu tidak tersentuh oleh ketentuan pemerintah dan kewajiban pajak. “Sektor informal” khususnya yang meliputi unit-unit kecil dalam ekonomi bayangan yang menghasilkan barang-barang dan jasa untuk dipasarkan sebenarnya masih tetap relevan untuk kondisi lokal Sumatera Barat. Yang besar biarlah untuk mereka yang bergerak pada tataran mancanegara.
Kepustakaan
Anas Navis. Pribahasa  Minangkabau. Jakarta: Intermassa, 1996.
Chadir Nir Latief, Etnis dan Adat Minankabau. Permasalahan dan Masa Depannya. Bandung: Angkasa, 2002.
Evers, Hans-Dieter dan Heiko Schrader (ed.) The Moral Economy of Trade: Ethnicity and Developing Markets. London: Routledge, 1994.
Furnivall, J. S. Plural Societies, dalam: H. - D. Evers (ed.), Sociology of Southeast Asia: Readings on Social Change and Development, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1980.
_________  Netherland Indie, A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press, 1939.
Geertz, Clifford, Penjaja dan Raja. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor, 1989.
Marsden, Wlliam, The History of Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford Univ. Press, 1996 [cetakan pertaam 1830].
’Mestika Zed, Melayu Kopidaun. Suatu Studi tentang Negara dan Petani di Masa Kolonial. Jakarta, 1983.
_________  Menggagas Zona Ekonomi Dunia Melayu. Beberapa Catatan Berdasarkan Telaah Sejarah”, Makalah untuk Diskusi Panel Praseminar Internasional tentang “Telaah Kritis tentang Kondisi Objektif Kebudayaan Melayu Hari ini dan Esok”,  diselenggarakan oleh Gerakan Masyarakat Peduli Kebudayaan Melayu (GMPKM), Padang, 27 Januari 2002.
Mohammad Hatta, Memoar. Jakarta: Tintamas, 1982.
Nurssyirwan Efendi, Pasar dan Fungsi Kebudayaan“. Dalam: Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, diedit oleh E.K.M. Masinambow. Jakarta: Asosiasi Antropologi Indonesia dan Yayasan Obor, 1997.
_________ “Minangkabau Rural Markets: Their System, Roles and Functions in the Market Community of West Sumatra, Indonesia’. Disertasi pada Faculty of Sociology, University of Bielefeld, Germany, 1999.
Ricklef, M.C. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Terjemahan. Jakarta: Serambi, 2005.
Schrieke, B., Indonesian Sociological Studies. Selected Writings. Part One. The Hague and Bandung: W. Van Hoeve Lt., 1955.
Taufik Abdullah. (ed.) Islam di Indonesia. Jakarta: Tintamas, 1974.
 
Catatan Akhir


[1] Kata dasar  ‘menggaleh” ialah “galeh” [galas], harfiah artinya tongkat atau galah bambu untuk memikul beban, biasanya untuk membawa barang jualan ke pasar. Galeh pada gilirannya berarti barang jualan, (atau merchandise). Anas Navis (1996: 130).
[2] Lihat temuan penelitian Chaidir Nir Latief (2002: 53).
[3] Catatan-catatan dari pelacong Barat seperti direkam William Marsden (1980, cetakan pertama 1811), menginformasikan kepada kita bahwa Odandus Barbosa (1519), penulis Portugis tentang Minangkabau, mencatat bahwa emas Minangkabau dibawa oleh pedagang-pedagang Minang ke Malaka. De Baros (1553) juga menyebut hal yang sama. Diego de Cauto (1600), mengisahkan sebuah kapal yang terdampar di pantai Sumatera dekat ”Monancabo” pada tahun 1565. Enam ratus orang turun ke pantai dan beberapa di antaranya adalah perempuan. Salah seorang dari perempuan itu, Dona Francisca Sardinha, sangat cantik sehingga penduduk setempat memutuskan untuk membawanya kepada raja mereka. Mereka berhasil setelah bertempur yang mengakibatkan enam puluh orang Eropa tewas. Pada masa ini hubungan antara Minangkabau dan Malaka ramai sekali. Banyak kapal mundar-mandir ke sana tiap tahun. Kapal-kapal tersebut membawa emas dan membeli bahan pakaian dari katun India dan barang-barang dagangan lain. Di zaman purba kerajaan itu diberiakan kaya akan emas yang diekspor dalam satu musim. Linschotten Jilid VSH. hal. ITS. 1601. Argeola, (1609) mencatat “sebuah kapal bermuatan keris yang dibuat di Minangkabau. Sejumlah besar artileri semacam mesin perang dikenal dan dibuat di Sumatra bertahun-tahun sebelum diperkenalkan oleh orang-orang Eropa." Best (1613) sejumlah pedagang yang sampai di Tlcod [Tiku?] dari Minangkabau, dan membawa berita dari Jambee." Beaulieu, 1622, "Di tepi samudera dekat Padang terletak Kerajaan Minangkabau dan Kerajaan Andripura [Indrapura]. Di Jambi terdapat perdagangan emas yang berlangsung dengan Minangkabau. Lihat juga Schrieke (1955: 53, 55 ff).
[4] Lihat misalnya tulisan Janne Drakkar tentang Minangkabau di bawah judul “The Kingdom of the Words. Minangabau Sovereignty in Sumatra (1993).
[5] Nursyirwan Efendi (1997).
[6] Mestika Zed (1983).
[7] Lihat misalnya esei terjemahan kumpulan karangan tentang islam Indoensia, Taufik Abdullah (ed., 1974).
[8] Marah Sutan menempuh pendidikannya hanya sampai kelas 5 sekolah rakyat, tetapi dalam pandangan Hatta, ‘minatnya sangat besar untuk memajukan pendidikan generasi muda, dan meyakini bahwa hanya ilmu pengetahuan yang ilmiah dan rasional yang akan dapat menciptakan warga negara yang bertanggung jawab’. Lihat biografinya oleh Mardanas Safwan, ‘Taher Marah Sutan: Tokoh yang Dilupakan’, Majalah Bulanan Kebudayaan Minangkabau (Jakarta), 1, 1 (Januari 1974), hlm. 52-55. Taher Marah Sutan memimpin organisasi ini sampai 1940. 
[9] Hatta melukiskannya sebagai seorang ‘guru yang lemah lembut’. Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta: Tintamas, 1979), hlm. 36; sumber lain melukiskan sebagai ‘orang yang dulunya tenang, tetapi setelah pensiun dari jabatan Sekretaris Sarikat Usaha berubah menjadi komunis yang radikal. Lihat juga Audrey Kahin (2005), hal. 42-43, catatan kaki, no. 79-80.
[10]  Audrey Kahin (2005), hal. 42-43.
[11] Taufik Abdullah, Schools and Politics, hlm. 25.
[12] Hatta,  Memoir, hlm. 41-42.
[13]  Ibid.