Marunguih: Ratok Silungkang Tuo
(Tradisi dan Kesenian Rakyat Yang Terlupakan)
Oleh: Oleh: Yonni Saputra, SS & Dedi Yolson, SS.
Secara administratif Nagari Silungkang berada di Kecamatan Silungkang.
Nagari ini merupakan gerbang menuju kota Sawahlunto. Sebuah kota di Sumatera
Barat yang dikenal karena penghasil batubara sejak kolonial Belanda. Secara
geografis nagari Silungkang terletak pada bentangan gugusan Bukit Barisan.
Nagari Silungkang sendiri berada di sebuah lembah atau cekungan yang tidaklah
begitu luas. Dengan ketinggian rata-rata 239-450 meter di atas permukaan laut.
Daerah itu juga dikelilingi bukit-bukit batu yang cukup terjal dan tandus.
Kondisi geografis yang tidak mendukung ekonomi pertanian tentunya. Hal ini
menyebabkan masyarakat Silungkang lebih aktif mengembangkan ekonomi perdagangan
dan industri. Terutama industri rumahtangga yang lebih fokus pada usaha tenun.
Hampir setiap rumah tangga terdapat alat tenun.
Ditengah kehidupan masyarakat industri tenun dan pedagang ini
berkembang berbagai tradisi, seni dan budaya. Salah satunya adalah marunguih
atau dalam bahasa kesehariannya di Silungkang disebut dengan Ratok Silungkang
Tuo. Tidak dapat dipastikan siapa pencipta tradisi ini. Namun marunguih sudah
ada sejak lama dan berkembang ditengah masyarakat Silungkang dengan segala
dinamikanya.
Maratok-i Inyiak, Harimau Jadi-jadian: Asal Mula Tradisi Marunguih
Menurut Umar Malin Parmato tradisi marunguih berkaitan erat dengan
peristiwa terbunuhnya harimau. Dijelaskan bahwa harimau tersebut bukanlah
sembarang harimau. Tapi itu harimau jadi-jadian. Harimau jadi-jadian yang
dimaksud adalah manusia yang menjadi harimau setelah meninggal dunia. Menurut
cerita yang diterima dari para tetua atau pendahulu. Orang yang menjadi harimau
itu setelah meninggal dunia itu dikarenakan tidak tahan menerima azab kubur.
Kemudian atas penderitaan azab itu ia bermohon untuk dapat kembali ke dunia dan
mengabdi penuh menjalankan segala perintah dan meninggalkan larangan. Pendek
kata ia berjanji akan menjadi orang yang patuh dan taat terhadap ajaran agama.
Umar Malin Parmato 78 tahun satu-satunya saat ini yang bisa melakukan
marunguih tepatnya di Sungai Cocang Silungkang Oso memaparkan. Permintaan dan
do’a orang yang mendapat azab kubur itu untuk embali ke dunia didengar dan
dikabulkan Tuhan. Ia pun dikembalikan ke dunia. Namun wujudnya sayang tidak
lagi utuh menyerupai manusia. Tapi persis berupa binatang harimau. Sebagai
harimau jadi-jadian. Binatang satu ini cukup pintar dan mengerti segala
tingkahlaku manusia. Bahkan bahasa manusia pun ia mengerti. Dan yang lebih
mengagumkan adalah kemampuannya dalam beladiri silat. Silat harimau bila
disebut. Oleh karena asal usulnya manusia dan memiliki kemampuan lebih dari
binatang lainnya. Maka ia disebut atau dipanggil juga dengan inyiak. Sebuah
panggilan penghormatan tentunya.
Keinginan inyiak untuk menjadi orang yang taat dan patuh akan ajaran
Tuhan sepertinya tersandung dengan wujudnya yang tidak mungkin hadir ditengah
masyarakat. Ia kini sudah diantara dua makhluk manusia dan binatang. Satu sisi
inyiak memiliki naluri manusia dan sisi lain adanya sifat binatang yang
disertai wujud fisiknya. Naluri kemanusiaan binatang jadia-jadian yang
dihormati masyarakat ini kadang tampak dengan jelas ketika ada misalnya
penduduk yang tersesat dalam rimba. Ketika itu biasanya harimau ini akan
memberikan bimbingan jalan keluar dengan isyarat dengan bunyi-bunyian seperti
atau mematahkan ranting kayu juga dengan jejak dan isyarat lainnya sehingga
hati orang yang tersesat itu tergerak mengikuti sebuah arah. Begitu
dihormatinya binatang harimau ini, sampai-sampai ketika bertemu jejaknya saja
dihutan atau ladang penduduk, seseorang secara spontan akan meminta izin untuk
memasuki dan melintasi didaerah tersebut.
Namun demikian, sifat binatangnya juga tidak dapat ia tinggalkan. Hal
ini terlihat ketika bagaimana ia mendatangi kandang ternak atau menganggu
ternak penduduk dan memakannya. Perilaku harimau seperti itu apalagi berulang-ulang
dan merugikan juga menakut-nakuti masyarakat perlu diambil tindakan. Jika
keadaan semakin merisaukan, penduduk memberlakukan apa yang terkandung dalam
pepatah “salah ditimbang, utang dibaia” (salah diadili, utang dibayar).
Suatu ketika setelah melakukan berbagai pertimbangan. Penduduk
bersepakat untuk menangkap dan memperangkap harimau/inyiak yang merisaukan itu
dengan jerat yang terbuat dari besi. Rencana itu pun dijalankan. Hari, lokasi
ditentukan perangkap besi kemudian dipasang. Usaha penduduk untuk menghukum
harimau jadi-jadian yang dihormati itu berhasil. Inyiak, harimau yang dihormati
itu terjepit perangkap. Ia pun meraung-raung kesakitan. Penduduk kemudian
mendatang lokasi dan membawa inyiak pulang. Inyiak, si harimau jadi-jadian
diarak beramai dengan iringan musik talempong, saluang dan gendang tasa.
Harimau jadian-jadian yang meresahkan itu hendak diadili ia akan
ditembak mati dengan sebuah bedil tradisional. “salah ditimbang, utang dibaia”
(salah diadili, utang dibayar). Pengadilan masyarakat terhadap harimau yang
diyakini manusia pada mulanya ini dilakukan dalam sebuah upacara. Meskipun ia
melakukan kesalahan namun pengadilan tetap dilakukan dengan penuh penghormatan.
Seseorang akan dimemimpin jalannya prosesi. Ia akan berkata-kata kepada
inyiak sang harimau jadi-jadian. Kira-kira yang disampaikan seperti ini:
“nyiak....
kalau salah, yo batimbang (kalau salah, ya ditimbang)
Kalau utang, yo dibaia (kalau utang, ya dibayar)
Sebelum eksekusi penembakan berlangsung berbagai pantun yang berisikan
permintaan izin dan maaf disampaikan pada inyiak yang dianggap mengerti akan
bahasa manusia. setelah prosesi penghormatan, inyiak pun ditembak mati dan
dikuburkan.
Itu semua belum cukup dan belum selesai. Inyak yang telah mati itu
masih mendapat penghormatan penduduk. Penduduk akan melakukan marunguih untuk
inyiak yang sudah jadi bangkai dan terkubur itu. Marunguih atau maratok-i
(meratapi) inyiak mesti dilakukan. Kalau tidak, penduduk akan mendapat musibah
dan bala. Marunguih mesti dilakukan agar musibah itu tidak datang mendera
penduduk dan kampung. Marunguih dilakukan seseorang dalam kain sarung di dekat
kuburan harimau jadi-jadian tersebut pada malam hari. Segala cerita dalam pesan
marunguih disampaikan dalam bentuk pantun-pantun yang didendangkan dalam irama-irama
tertentu.
Peristiwa inilah yang disinyalir sebagai akar tradisi marunguih.
Ditekankan bapak Umar Malin Parmato, marunguih merupakan bagian prosesi
penangkapan, pembunuhan hingga pemakaman harimau jadi-jadian yang disebut
inyiak dan hanya dilakukan dimana harimau yang dibunuh itu dikubur.
Marunguih: Ratok Silungkang Tuo, Ratok Patolong Namo Hingga Kesenian
dan Hiburan.
Marunguih dari uraian diatas sudah dijelaskan sebagai bagian upacara
penting untuk penghormatan kepada harimau jadian-jadian yang telah dihukum mati
penduduk karena kesalahannya. Namum demikian dalam perjalanannya pola-pola
marunguih berkembang dan menjalar ke beberapa tradisi pada masyarakat
Silungkang.
Marunguih kemudian berkembang menjadi media penyampaian sebuah keadaan
atau situasi yang dihadapi seseorang. Biasanya yang disampaikan itu adalah
seputar berbagai pengalaman hidup seseorang, keluarga atau kaum. Keadaan itu
tentu beragam, seperti keadaan sedih, kegagalan, kepedihan, tertekan,
kesuksesan, percintaan bahkan kemalangan atau duka lara. Menariknya, apa yang
disampaikan itu dilakukan dalam sebuah sarung ditempat-tempat yang dianggap
dapat mewakili apa yang sedang dirasakan dan disampaikan itu. Kadangkala orang
yang sedang marunguih pergi dan memilih tempat dirumah-rumah tua yang sudah
tidak berpenghuni atau di dalam dan belakang rumah dan tempat-tempat yang
mereka anggap pas untuk dapat dilaksanakan dengan penuh arti.
Marunguih dengan konotasi Ratok Silungkang Tuo akan semakin terasa
ketika pesan atau isi ratok (ratapan) yang diungkapkan menyangkut hal-hal yang
menyedihkan seperti bagaimana seseorang mengalami kegagalan, kemalangan,
kematian misalnya. Marunguih dalam suasana kematian sama sekali tidak dilakukan
bersembunyi dalam sarung karena keadaan duka marunguih benar-benar terjadi
dalam wujud ratok (ratapan). Sehingga marunguih berupa ratok dalam suasana
terbuka. Biasanya segala proses dan pengalaman yang dilalui akan diungkapkan.
Adakalanya keluarga meminta bantuan sanak keluarga agar ikut serta atau
mengagantikan karena ia tidak mampu maratok (meratap). Keadaan seperti ini
dikenal dengan ratok patolong namo (dibantu/membantu meratap).
Seseorang atau keluarga yang ingin marunguih dalam bentuk lainnya, tapi
tidak punya kemampuan untuk mendendangkannya, malah tidak segan memanggil dan
menyewa orang yang bisa melakukannya. Sedangkan ia hanya menyampaikan kepada si
tukang marunguih point-poin yang hendak ia sampaikan. Nanti si tukang
marungihlah yang akan mendendangkannya. Kadangkala orang yang yang mendengarkan
apa yang dituturkan tukang marunguih terbawa suasana. Ketika cerita atau pesan
yang disampaikan berbau kesedihan dan duka lara tidak heran kalau orang yang
mendengarkan ikut sedih berurai air mata. Apabila diantaranya ada yang tahu
bagian dari rentetan cerita atau kisah yang sedang dituturkan itu malah ada
yang ikut menyambung. Sehingga marunguih yang tadinya dimulai dari satu orang
akan saling sambung menyambung dan bersahutan dari satu orang ke orang lain.
Suasana ramai dan riuh pun tentu membuat suasana bertambah mengaharu biru.
Dalam perkembangannya, marunguih tidak melulu penuh dengan hal berbau
ratok (ratapan). Marunguih juga berkembang sebagai sebuah kesenian dan hiburan
yang dipertontonkan. Dengan kata lain marunguih disini menjadi sebuah seni
pertunjukan. Sebagai sebuah seni pertunjukan, marunguih diiringi dengan alat
musik tradisonal Silungkang berupa talempong bambu, saluang dan gendang tasa.
Sebagai sebuah kesenian yang bersifat menghibur, si tukang marunguih tentu
menyesuaikan pesan dan cerita yang disampaikan kepada khalayak. Biasanya
apa-apa yang dituturkan lebih pada kisah kesuksesan, kebahagiaan dan kisah
heroik yang kadangkala diselingi canda gurau. Sehingga masyarakat bisa
menikmati kesenian ini dan mengambil hikmah dari pesan-pesan yang terkandung
sepanjang apa yang dituturkan oleh orang yang sedang marunguih tadi. Seseorang
yang membawakan kesenian ini tidak melulu berkisah tentang kisah hidupnya
sendiri, akan tetapi juga marungih-kan kisah hidup orang lain. Apalagi kalau
diminta seseorang. Seseorang yang ingin kisah hidupnya ditampilkan pada
kesenian marunguih ini terlebih dahulu berkonsultasi dan menceritakan kisah
hidupnya kepada si tukang marunguih.
Sebagai sebuah tradisi yang berkembang menjadi sebuah kesenian dan
hiburan rakyat ini disinyalir mencapai puncak keemasannya ditengah masyarakat
pendukungnya di nagari Silungkang hingga tahun 1925. Pada masa-masa itu
marunguih sebagai tradisi dan kesenian hampir setiap saat dapat dijumpai.
Menjelang revolusi kemerdekaan tradisi marunguih cukup eksis. Kemudian pada
tahun-tahun berikutnya tradisi dan kesenian ini mulai meredup dan hilang
ditengah masyarakat. Pada saat sekarang sudah sangat sulit untuk menemukan
orang yang bisa dan mau marunguih.Banyak faktor tentunya yang menyebabkan
tradisi dan kesenian ini tidak mampu bertahan ditengah masyarakatnya. Penyebab
utama tentu berkenaan dengan internal masyarakat pendukungnya sendiri.
Keadaan melemahnya eksistensi tradisi dan kesenian marunguih tentu
tidaklah diharapkan. Untuk membangkitnya tentu diperlukan terobosan dan format
yang tepat sehingga marunguih sebagai tradisi dan kesenian tetap terjaga.
Apalagi bagi kota Sawahlunto dengan brand image Kota Wisata Tambang Nan
Berbudaya. Kekayaan seni-budaya tentu menjadi bagian penopang kepariwisataan
kota ini. Bahkan dalam kaca mata penulis sebagai tradisi dan kesenian,
marunguih tidak melulu bertutur kisah seseorang atau orang lain. Namun juga
dapat menyampaikan cerita dan kisah bermuatan moral dan kebijaksanaan. Bila
disimak lebih jauh marunguih adalah juga sebagai media atau alat penyampaian
yang perannnya dapat disandingkan dengan media-media lain. Katakanlah media
audio-visual, televisi, radio dan media cetak koran, majalah, buku dan
sejenisnya. Bukankah pada prinsipnya media-media itu sebagai media komunikasi
untuk menyampaikan atau memberitakan sesuatu.
Coba kita amati sebuah fenomena pilkada, pileg dan pildes atau
pemilihan walinagai tentu yang lebih dekat dengan geografis tradisi dan
kesenian ini. Seperti kita saksikan, ajang pesta demokrasi lokal itu
memanfaatkan berbagai media untuk mengkampanyekan diri dan jagoan
masing-masing. Radio, televisi media cetak koran, majalah lifleat dan brosur
memuat berbagai berita tentang sang calon dengan berbagai cerita kesuksesan dan
prestasi. Sebenarnya peran itupun dapat diambil dan dilakukan dengan tradisi
dan kesenian marunguih. Dengan itu kampanye jalan ditengah masyarakat dan
kesenian marunguih tetap hidup dan terjaga ditengah masyarakat. Begitu pula
peran mencitrakan dalam upaya mempromosikan Sawahlunto sebagai Kota Wisata Tambang
Nan Berbudaya. Marunguih dalam hal ini tentu sedikit mengalami modifikasi.
Kami bukan hendak mengatakan marunguih dijadikan alat politik dan
promosi. Tapi dalam pikiran kami setidak-tidaknya itulah moment dan salah satu
jalan untuk mempertahankan dan kembali menghidupkan tradisi dan kesenian ini.
Bagaimana lebih jauhnya tentu ini menjadi pemikiran dan pekerjaan bersama kita,
terutama para pemerhati, pelaku serta lembaga-lembaga kesenian dan kebudayaan.
Peran dan dorongan pemerintah kota Sawahlunto melalui lembaga terkait tentu
lebih diharapkan. Agar kebudayaan
apalagi yang berakar akan tradisi lokal dengan melalui proses ditengah
masyarakat tetap bertahan dan hidup ditengah arus globalisasi kehidupan yang
pada prinsipnya tidak meminggirkan hal-hal seperti ini. Kearifan dan
kebijaksanaan kita ditunggu untuk membankitkan potensi-potensi terpendam bagi
khazanah kebudayaan khususnya tradisi dan kesenian lokal yang akan menjadi
warna-warni kehidupan hari ini dan akan datang.
Oleh: Yonni Saputra, SS & Dedi Yolson, SS.