Ini adalah kisah
mistis seorang pemuda bernama Alamsyah. Suatu ketika, dia dibawa orang Bunian
mengarungi perjalanan gaib dengan naik pesawat. Perjalanan antara Medan menuju
Jakarta. Bagaimana kisah mistisnya...?
Rumah itu agak
terpencil dari rumah-rumah penduduk lainnya. Walaupun halamannya luas, namun
pekarangannya tidak terawat. Rumput liar dan sampah daun kering memenuhi
halaman itu. Pepohonan rindang seperti jambu air, jambu biji, bahkan mangga
yang berbuah lebat dibiarkan tumbuh begitu saja, seolah tidak ada yang
mengurusnya.
Aku sempat heran bila
melewati rumah tersebut yang selalu sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Tapi
setiap melewati rumah itu, aku merasa ada sepasang mata yang selalu
memperhatikan langkahku.
Mulanya aku tidak
memperdulikan hal tersebut. Maklumlah, sebagai warga baru di kampung itu, aku
sedang dalam tahap perkenalan.Sebagai seorang penyuluh pertanian yang
ditempatkan pemerintah, aku harus bisa bersosialisasi dengan penduduk kampung
tempatku bertugas. Aku pun mulai hafal satu persatu nama penduduk serta
rumahnya.
Tak jarang, bila
berpapasan dengan warga, aku yang duluan tersenyum dan mengulurkan tangan
sambil memperkenalkan diri dan keluargaku. Ya, namanya tinggal di perkampungan,
tentu haruslah pandai membawa diri. Lain dengan hidup di kota, karena kesibukan
masing-masing, antar warga satu kompleks saja tidak saling mengenal.
Siang itu, usai
menghadiri pertemuan di Balai Desa, aku berjalan melewati rumah besar yang di
mataku sepertinya menyimpan keanehan itu.
Tiba-tiba, dari
rerimbungan pohon jambu air di pekarangan rumah itu, keluar seorang laki-laki
setengah baya bertubuh kurus, rambutnya memutih dengan potongan yang tak
beraturan.Baju kaos dan celana komprang yang dikenakan si lelaki sudah memudar
warnanya di makan usia. Saat itu, dia hanya memandangiku. Aku tersenyum dan
mencoba berkomunikasi dengannya.
Namun dia hanya diam
saja. Dua jari tangannya didekatkan ke arah bibirnya. Aku mencoba memahami
isyaratnya itu dengan menjulurkan sebungkus rokok kepadanya.
Tangan lelaki tua itu
meraih rokok yang kusodorkan, lalu mengambil sebatang. Aku segera menyodorkan
mancis yang sudah kuhidupkan ke arah rokok yang terlelip di bibirnya. Lelaki
itu lalu menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Bibirnya
bergerak-gerak, namun tak ada terdengar suara yang keluar dari sana.
Sebelum berlalu, aku
memberikan bungkusan rokok yang kumiliki padanya. Namun dia menolak dan hanya
mengambil sebatang saja, setelah itu dia berjalan ke arah rumah tuanya.
Sore harinya, karena
penasaran dengan sosok lelaki tua itu, aku mendatangi rumah Pak Umar, kepala
dusun. Tujuanku ingin bersilaturahmi sekaligus mengetahui siapa sosok misterius
penghuni rumah berhalaman luas, yang di mataku juga terkesan misterius itu.
Saat kuceritakan pada
Pak Umar tentang pertemuanku dengan lelaki itu, Pak Umar terkejut dan berkata,
"Kenapa, apakah Pak Iwan diganggu oleh Alamsyah?"
"Tidak, Pak,
hanya saja ketika saya lewat siang tadi, dia berdiri di pingir halamannya, lalu
saya menyodorkan rokok padanya. Namun anehnya, dia hanya mengambil sebatang
saja, padahal saya sudah ikhlas bila dia mengambil sebungkus rokok
tersebut," ceritaku pada Pak Umar.
Pak Umar menarik nafas
berat. "Ya, begitu dia. Alamsyah memang selalu demikian. Dia selalu minta
rokok pada setiap orang yang dijumpainya. Tapi bila disodori sebungkus, dia
hanya mengambil sebatang saja, setelah itu dia berlalu," jelasnya.
Pak Umar melanjutkan
bahwa, dulunya Alamsyah adalah pemuda yang rajin bekerja. Tapi sejak dia dibawa
pergi orang Bunian naik pesawat terbang dan menghilang beberapa lama, dia jadi
lupa ingatan, lupa pada dirinya sendiri.
"Orang Bunian itu
dari suku apa, Pak?" Tanyaku.
"Nak Iwan, orang
Bunian itu adalah sebangsa makhluk halus." jelas pak Umar.
Selanjutnya Pak Umar
menceritakan tentang laki-laki bernama Alamsyah itu padaku. Inilah
ceritanya....
Peristiwa itu terjadi
sekitar tahun 1970-an. Pada masa itu, bepergian dengan pesawat merupakan
pengalaman istimewa. Hanya para pejabat dan orang kaya sajalah yang dapat
melakukan perjalanan udara tersebut.
Kala itu, Alamsyah
baru berumur 20 tahun. Sebagai pemuda miskin, Alamsyah ingin merubah nasib
keluarganya. Dia sudah bosan tinggal di desanya. Apalagi kehidupan keluarganya
yang miskin mengharuskannya bekerja keras sebagai petani penggarap.
Rasanya, Alamsyah
sudah membanting tulang seharian, namun hasil yang diperoleh tidaklah memadai,
hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Merasakan keadaan
hidup yang sedemikian, Alamsyah suka melamun sendirian, terutama bila dia
melihat pesawat terbang yang melintas di atas pematang sawahnya. Dia
mengkhayal, apakah dirinya dapat menikmati duduk di dalam pesawat itu. Dan
impiannya naik pesawat terbang selalu diceritakan pada para tetangganya.
Bagi penduduk desa
tempatnya tinggal, jangankan untuk naik pesawat, melihat besarnya pesawat itu
dari dekat saja mereka tidak pernah. Sehingga bila Alamsyah menceritakan
impiannya, mereka selalu menertawakan dan mengolok-oloknya.
Tapi Alamsyah tidak
pantang menyerah. Suatu ketika, ada tetangga dusun sebelah yang akan berangkat
haji. Dia pun ikut rombongan mengantar ke kota Medan. Tujuannya hanya ingin ke
Bandara Polonia dan melihat dari dekat badan pesawat terbang.
Alangkah kagumnya dia,
tatkala melihat ukuran pesawat yang sedemikian besarnya. Apalagi saat pesawat
itu mulai lepas landas, tanpa sadar tangan Alamsyah melambai-lambai. Sepulangnya
ke rumah, keinginan Alamsyah untuk naik pesawat terbang semakin menggebu-gebu.
Untuk mewujudkan impiannya itu, Alamsyah semakin rajin bekerja. Kadang,
seharian dia mencangkul di ladangnya dan baru pulang bila malam menjelang.
Seperti yang terjadi
hari itu. Saat matahari sudah condong ke barat, para petani yang bekerja,
satu-persatu mulai meninggalkan ladangnya. Namun Alamsyah belum beranjak jua.
Tanpa disadarinya, malam sudah menjelang. Dan hanya Alamsyah sendiri yang masih
mencangkul di ladangnya.
Saat itulah, entah
dari mana asalnya, Alamsyah mendengar suara keramaian. Dia menghentikan
pekerjaannya. Tatkala diperhatikan, di sekelilingnya bukan lagi persawahan,
namun telah menjelma menjadi sebuah kota yang sangat indah.
Lampu-lampu terang
benderang menghiasi setiap sudut kota itu. Alamsyah melihat orang-orang hilir
mudik dengan pakaian yang indah. Ada yang berjalan dengan membawa belanjaan,
tapi ada juga yang menaiki kuda.
Dalam keheranannya,
Alamsyah merasa bahunya ditepuk seseorang. Saat dia melihat ke belakang,
kagetlah dia karena yang menepuk bahunya adalah seorang gadis yang sangat
cantik. Gadis itu tersenyum padanya.
"Apakah Abang
penghuni baru kota ini, karena saya tidak pernah melihat Abang
sebelumnya?" Tanya gadis itu.
"Kamu siapa? Dan
aneh, saya berada di mana sekarang? Kalau tidak salah tadi saya sedang
mencangkul di sawah. Tapi kenapa saat ini saya sudah berada di kota ini?"
Alamsyah keheranan.
Gadis itu kembali
tersenyum. Dan senyumnya kali ini seakan telah membius kesadaran Alamsyah,
sehingga dia mendadak lupa pada keheranannya sendiri.
Namun, gadis itu
kemudian berujar dengan suara teramat lembut, "Perkenalkan, saya Laila,
salah seorang warga penghuni kota ini, Bang. Benar kata Abang tadi, bila
matahari bersinar, tempat ini merupakan persawahan. Tapi bila hari senja,
disini adalah tempat tinggal kami. Perkampungan orang Bunian."
Alamsyah melongo. Dia
sungguh-sungguh sulit percaya dengan apa yang baru saja dikatakan gadis yang
menyebut dirinya sebagai Laila itu.
"Ah, sudahlah,
Bang!" Cetus Laila melihat lawan bicaranya yang tampak seperti orang
linglung. Dia lalu melanjutkan, "Saya lihat Abang lelah dan belum makan.
Sebaiknya Abang istirahat di rumah saya."
Laila, gadis Bunian
itu kemudian membimbing Alamsyah berjalan. Bagai orang dihipnotis, Alamsyah
menuruti saja langkah Laila. Dengan bingung Alamsyah melihat di sisi kanan kiri
jalan bangunan-bangunan kuno tertata apik dan rapi. Sesekali juga mereka
berpapasan dengan penduduk kota tersebut, dan terlihat memperhatikan kehadiran
Alamsyah.
Mereka akhirnya sampai
di depan sebuah pintu gerbang rumah yang dijaga oleh pengawal. Dengan isyarat
tangan Laila, Alamsyah dan gadis itu masuk ke dalam ruangan yang ternyata
merupakan sebuah istana.
Alamsyah kagum melihat
perabotan rumah yang begitu indah. Meja dan kursi serta hiasan dindingnya
berukiran indah. Sementara itu perabotan makannya terbuat dari perak.
Puas mengagumi keindahan
istana itu, Laila membawa Alamsyah ke sebuah kamar dan menyodorkan pakaian
padanya.
"Abang mandilah
dahulu dan berganti pakaian yang ada di lemari ini. Usai itu, kita makan dan
jalan-jalan berkeliling kota menikmati malam. Karena saat ini keramaian dan
pertunjukan pasar malam," kata Laila.
Pemuda itu menuruti
perkataan Laila. Dia mandi dan berganti pakaian. Setelah itu mereka menuju
ruang makan. Alamsyah dipersilahkan tuan rumah untuk mencicipi hidangan yang
tersedia di atas meja. Karena seharian mencangkul di sawahnya, Alamsyah sangat
lapar, dan dia menikmati makanan dengan lahap.
Setelah makan, mereka
berkeliling kota dengan menaiki kuda. Sepanjang perjalanan Alamsyah tak
henti-hentinya mengagumi keindahan kota tersebut.
Ketika istirahat di
sebuah bangku taman, Laila bertanya pada Alamsyah. "Kalau saya perhatikan,
Abang sangat gembira. Sepertinya Abang belum pernah menikmati kegembiraan
seperti ini?" Tanyanya.
"Ya, baru inilah
saya menikmati perjalanan yang menyenangkan. Sehari-hari saya hanya bekerja
membanting tulang di ladang. Semua itu Abang lakukan untuk menghidupi keluarga
dan demi mewujudkan impian Abang," jelas Alamsyah.
"Memangnya apa
impian Abang itu? Ya, siapa tahu Laila bisa membantu," Laila menatap
lelaki di depannya.
"Abang pernah
bermimpi memiliki rumah yang bagus dengan isteri cantik. Tapi mimpi Abang yang
paling menganggu adalah ingin menikmati perjalanan dengan pesawat terbang.
Abang ingin merasakan terbang di antara awan dan melihat keindahan kota
Jakarta," jelas Alamsyah panjang lebar.
"Di alam orang
Bunian, impian Abang bisa aku wujudkan. Sekarang pegang tanganku dan pejamkan
mata Abang, dan jangan buka sebelum aku perintahkan!" Kata Laila sambil
merapatkan lima jarinya ke jari Alamsyah.
Bagai dihipnotis,
Alamsyah menuruti permintaan Laila. Perlahan, dia memejamkan matanya. Agak lama
berlalu, kemudian terdengar suara lembut Laila, "Bukalah matamu, Bang, dan
perhatikan di sekeliling kita!"
Saat membuka matanya,
Alamsyah terkejut, karena dia sudah berada di Bandara Polonia, dan sedang
berjalan dengan Laila menuju ke sebuah pesawat. Perlahan tapi pasti, Laila
membimbing langkah Alamsyah menaiki satu-persatu anak tangga pesawat.
Alamsyah tidak
mengerti bagaimana dia dan Laila bisa sampai di sana? Padahal jarak dari
kampungnya ke Bandara yang ada di kota Medan itu bisa memakan waktu satu hari
perjalanan.
Alamsyah juga heran,
sepertinya tidak ada orang yang peduli dan memperhatikan kehadiran mereka di
sana. Setiap orang masing-masing sibuk dengan urusan dan bawaannya sendiri,
saat akan menaiki badan pesawat.
Sampai di dalam
pesawat, Laila membawa Alamsyah ke ruangan pilot. Dari sana mereka melihat
bagaimana pesawat itu mulai melakukan penerbangan. Saat itu perasaan Alamsyah
sangat senang, karena dia dapat merasakan berada di dalam pesawat terbang.
Dari atas pesawat,
Alamsyah memperhatikan rumah-rumah di bawah yang sudah tampak setitik, dan
selanjutnya hilang di balik awan. Dan pemandangan hanya seputih awan saja. Dari
pengeras suara, Alamsyah mendengar pengumuman bahwa sesaat lagi pesawat akan
mendarat di Ibukota Negara Jakarta, tepatnya di banda Halim Perdanakusumah,
ketika itu. Alamsyah pun bersiap-siap hendak turun.
Tapi dia juga heran,
sebab Laila yang membawanya naik pesawat tidak berada di sisinya lagi. Alamsyah
berjalan mencari-cari di dalam pesawat tersebut. Hingga, akhirnya pesawat
mendarat, dan satu persatu penumpang turun, Alamsyah tak menemukan Laila.
Dalam kegalauannya
mencari Laila, Alamsyah melangkahkan kakinya menuruni anak tangga pesawat. Saat
kakinya menjejak di tanah, cahaya matahari menyengat kulit tubuhnya, dan
menyilaukan matanya. Nah, ketika itulah keanehan terjadi.
Alamsyah yang
sebelumnya berpakaian bagus, ketika itu berubah berpakaian lusuh, seperti akan
ke sawah. Dua orang petugas Banda yang melihat penampilannya tersebut heran
pada kehadiran Alamsyah di bandara, sebab dengan pakaian seperti orang yang
akan berangkat ke sawah; celana komprang, baju lusuh, dan topi caping
bertengger di kepalanya, Namun, orang berpenampilan lusuh itu baru saja turun
dari pesawat. Padahal di zaman itu, orang yang bepergian dengan pesawat,
hanyalah para pejabat ataupun orang kaya saja. Mereka sudah tentu berpakaian
bagus.
Ketika petugas
menanyakan tiketnya, Alamsyah tidak tahu, karena menurut pengakuannya dia
menaiki pesawat dengan sebab diajak seorang gadis cantik bernama Laila.
Petugas yang memeriksa
Alamsyah semakin kebingungan, bahkan kemudian menganggap Alamsyah orang gila.
Bayangkan saja, setiap kali ditanya petugas, Alamsyah hanya bisa
menyebut-nyebut nama Laila yang telah membawanya. Ketika ditanyai nama, alamat
dan darimana sia berasal, Alamsyah sudah tidak tahu lagi, yang keluar dari
bibirnya hanya nama Laila saja.
Setelah ditahan selama
satu minggu oleh petugas, dan terbukti tak membawa benda-benda berbahaya, saat
pesawat akan berangkat ke Medan, Alamsyah dititipkan untuk diperiksa di Medan,
karena menurut dugaan petugas dia berasal dari sana.
"Namun, Tuhan
berkehendak lain, sejak itu Alamsyah menjadi bisu dan tidak tahu siapa dirinya
lagi. Hingga aparat keamanan melepaskannya. Beberapa orang warga desa ini
menemukan Alamsyah di jalanan setelah enam bulan dia menghilang, dan dalam
kondisi seperti yang Nak Iwan lihat tadi, dia bisu dan kurang ingatan,"
jelas Pak Umar di akhir ceritanya.
Aku pun terdiam. Ah,
betapa sulit diterima akal sehat kisah mistis yang dialami oleh Alamsyah ini.
Wallahu'alam!
Sumber cerita :
http://kisahmistis.blogspot.com/2008/01/alamsyah-diajak-orang-bunian-naik.html